[12 Jam Sebelumnya]"Eh ini mahasiswa belum pada datang, Rin?" tanya pria berambut hampir botak, menghampiri seorang wanita yang sedang mengaduk masakannya."Belum bangun kayaknya," jawab wanita itu acuh tak acuh dengan tangan pria yang menggerayang bebas di tubuhnya, memainkan buah dada dan mencubit-cubit perut secara acak."Ah ... reaksinya enggak bagus," keluh pria berbadan kurus itu sambil beranjak meninggalkan area belakang rumahnya yang dijadikan tempat memasak."Bosan sama Ririn, Gus?" sahut seorang pria berperut buncit dengan badan agak bongkok, pria yang tiba-tiba datang dan memasuki area belakang rumah itu."Iya lo bayangin saja, Pak. Dari umur 15 tahun gue sama dia, sekarang umur sudah 25 tahun begini masih juga sama dia. 10 tahun, normal dong gue kalau bosan sama dia?" racau pria hampir botak itu sambil menerima rokok dari pria buncit yang bersandar dekat tungku, memperhatikan ekspresi wanita yang begitu datar seolah tidak memiliki telinga untuk mendengar, tetap terfokus p
Beberapa waktu berlalu, kesibukan Erina merapikan dapur pun kembali teralihkan saat seorang pria desa berteriak mencari Danang. Dengan cepat, Erina ikut berlari dan menyelinap di setiap pohon, tiang pendopo, atau rumah untuk mencuri dengar mereka."Bapak kayu bakar diurus dulu, tadi gue suruh tunggu," ucap Danang ke salah satu pria desa yang didengarnya."Nanti saja ah, kalau dia pergi juga besok pasti datang lagi," sahut pria yang diperintahkan Danang, sahutan yang hanya mendapat decakan belaka tanpa tindakan lebih lanjut.Mendengar hal itu, Erina yang tahu bahwa mereka akan ke rumah kayu tempat para mahasiswa berada, berlari wanita itu kembali ke rumah dan mengambil semua uang milik Agus di setiap saku celana dan pakaian sang suami.Kembali wanita berdaster itu berlari ke dekat gerbang utama desa, "ini pak, ambil saja semuanya, saya enggak tahu ada berapa. Kalau lebih ya nanti pas datang lagi bapak bisa bawa kayu lebih banyak, kalau kurang nanti bapak bisa minta ke cowok-cowok desa
[Beberapa jam sebelumnya]Tepukan di paha yang mengejutkan telah membangunkan seorang wanita berkulit putih, rasa sakit masih setia hinggap di kepalanya dengan denyutan yang terasa kuat dan terjadi secara acak. Wanita itu meraba lantai untuk menumpukan berat badan di tangan dan perlahan duduk, di tatapnya wanita muda yang sudah duduk bersila di hadapannya.Jejak darah mengalir dari pelipisnya telah mengering, "sudah mau sore kayaknya, kamu jemput Desry dulu ya?" ucap wanita muda itu.Menutup lagi mata sambil tetap menumpu beban tubuh di kedua tangan, kepala yang perlahan tertunduk itu terlihat dipaksanya untuk kembali terangkat, "tapi sebenarnya ada apa sih, kak?" tanyanya menahan pusing yang amat membebani kepala."Kalian mau diperkosa, mereka juga mau coba-coba ke teman cowok kamu." Jawaban yang sebenarnya sangat mengejutkan cenderung menjijikkan, namun begitu lemas badan rasanya untuk memberi respon itu."Afrian, Angga, dan Erwin?" sahut wanita berkalung liontin sabit itu, respon a
Sendiri, satu kata yang sebagian orang sangat menginginkan itu dan sebagian lainnya sangat muak akan hal itu. Sendiri, satu kata bermakna luas dengan perasaan yang menguras pikiran dan tenaga dalam harapan.Vina telah memejamkan matanya dengan ketenangan yang terlihat damai, meski kegelisahan terus Desry tunjukkan dengan ketakutan yang ia rasa. Hanya dapat menunduk dan tidak ingin lagi melihat wajah Vina, kantung mata sang wakil ketua kelompok itu begitu gelap dan menakutkan dirasa."Hm," deham seseorang dari belakang Desry, dehaman yang membuatnya langsung mengangkat kepala dan tanpa ragu menoleh ke belakang.Kedua tangan Desry yang masih memegang erat bahu Vina kini teralihkan saat mengetahui panggilan itu dari Liona, perlahan Desry baringkan tubuh lemas Vina dan menghampiri temannya, "Li?" tukasnya setelah duduk di hadapan Liona, "lo enggak sakit, kan? Lo baik-baik saja, kan?""Des ... nanti kalau ada polisi ke sini buat tanya banyak hal, cari jawaban paling aman buat kita dan buat
Matahari telah menunjukkan eksistensinya dari ufuk timur, mengintip dengan malu meski cahayanya telah menyinari sebagian permukaan bumi. Cerahnya pagi tidak secerah suasana hati yang diselimuti kebingungan warga desa, tersadar dari tidur lelap cenderung tak wajar dengan rasa sakit di beberapa bagian tubuh.Belum banyak kata yang bisa warga desa ucapkan satu sama lain, hanya saling melihat dan menunjukkan hal yang ingin diberitahu, seperti jejak darah maupun luka memar. Masih pada tahap mengumpulkan kesadaran sambil mengingat keadaan, tiba-tiba dua pria berseragam mendatangi beberapa pria desa yang masih saja duduk termenung."Selamat pagi," sapa salah satu petugas pada kepala desa yang sudah ia ketahui sebelumnya, sedangkan seorang petugas lagi memeriksa enam mahasiswa yang masih terlelap di pendopo balik semak ini."Pagi," sambut Danang dengan suara lemasnya."Kami dari kepolisian, dengan bapak Danang?" ucap petugas itu sambil menunjukkan tanda pengenalnya."Iya, betul," jawab Danang
Remasan yang bisa dikatakan sangat kuat dengan segala amarah tertahan, belum ada dua puluh empat jam sejak emosi Erina diluapkan, tapi kini emosi itu kembali lagi bahkan lebih kuat. Kuku-kuku yang memutih karena remasan itu sama sekali tidak membuat Erina merasa baik, "Kak Erina," panggil seseorang mengetuk pintu kamar yang masih terbuka itu.Perlahan remasan pada ujung daster itu terlepas, diikuti dengan kepala yang terangkat dan menunjukkan wajah termasuk mata yang memerah, "Kak Erina nangis?" kata orang itu menghampiri dengan raut khawatir yang tidak bisa dibohongi."Enggak," jawab Erina singkat sambil mengulum senyum, "kamu baik-baik saja, Liona?"Wanita berambut ikal itu pula mengulum senyum dan mengangguk, "aku sudah dengar semua dari Vina," katanya mengubah posisi duduk, tak disangka ternyata ia membaringkan dirinya dan menyandarkan kepala di kedua kaki Erina yang bersila."Semuanya sudah bangun?" tanya wanita itu menunduk dan mengelus-elus rambut Liona, ada rasa senang yang te
"Gue enggak habis pikir sama Erina, licik banget," gumam Liona sambil beriringan jalan menuju rumah sementara mereka selama di desa, "kalau begini keadaannya, kan gue jadi takut sama Erina, Vin. Jadi trust issue, siapa lagi yang mau gue percaya di desa ini sampai kelar KKN?" lanjut Liona mencecar Vina dengan perasaan dan pikirannya.Kebohongan yang jelas dilakukan Erina pada polisi mendatangkan perasaan tidak enak bagi Vina dan Liona, menyadari kebohongan untuk melukai orang lain dan menciptakan sandiwara seolah ada buronan yang menyerang, tidaklah baik untuk tetap dipendam, "kami balik," ucap Vina setelah sepanjang langkahnya hanya mengabaikan Liona yang pada akhirnya terdiam.Setelah mengunci pintu utama, dua wanita itu berjalan ke kamar pojok tanpa lagi niat untuk memeriksa penjuru rumah. Tidak kaget rasanya saat menjumpai dua petugas berseragam yang sebelumnya menginterogasi Erina, "kenapa di sini, pak?" tanya Vina sambil melangkah masuk bersama Liona, lalu duduk di antara Desry da
Keramaian desa yang dikunjungi oleh berbagai kalangan perlahan kembali pada ciri khas desa, sepi dan tenang. Para pencari berita, polisi, petugas kesehatan, pemerintah daerah setempat, dan utusan pihak kampus dari para mahasiswa juga telah berpamitan setelah menelusuri desa dengan segala bantuan dan bimbingan warga desa."Iya, Pak ... Iya betul, tidak perlu bapak sampai patroli atau menunggu desa ini, kami akan mengganti rantai dan gembok di gerbang agar lebih aman," ujar Danang mengantarkan beberapa petugas polisi dan dosen ke depan gerbang desa, gerbang yang menjadi satu-satunya pintu masuk dan keluar desa Metanoia."Tapi untuk mahasiswa kami, apa dijamin keamanannya?" tanya dosen pembimbing mahasiswa, kunjungan untuk yang ketiga kalinya setelah mendengar berita penyerangan desa oleh buronan."Dijamin kok, Pak. Aman kita," jawab Afrian mengancungkan ibu jarinya dengan senyum lebar dan menunjukkan barisan giginya."Kalau begitu, mohon disosialisasikan ke seluruh warga desa. Kalau ter
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba