Aroma masakan telah berhembus dengan uap yang melambung tinggi menyerang indra penciuman dengan harumnya, seruan senang dari banyak orang terdengar bebas memasuki telinga, "tara!" teriak Vina berseru sambil membawa satu mangkuk besar berisikan sup kentang."Hore!" seru warga desa bertepuk tangan menyambut masakan terakhir yang dibawa keluar, wajah senang tidak dapat disembunyikan dengan mudahnya.Saling bergantian mengambil nasi, sayur, dan lauk dengan hiruk-pikuk suara bincang berebut masuk ke indra pendengaran dan menabrak gendang telinga tanpa peraturan. Tak jarang memekakan telinga akibat kehebohan yang terjadi, seolah ada rencana besar ditunggu dalam kebahagiaan seluruh desa."Selamat makan," ucap Vina cukup kencang setelah memastikan seluruh warga telah mendapat porsi dan bagiannya sendiri, senyum lebar terukir di wajah setiap insan.Suap demi suap disantap dengan nikmatnya, berbagai perbincangan kecil pula dilakukan seperti saat makan bersama pada umumnya. Tidak ada kecanggunga
Malam, langit gelap menyelimuti sebagian penjuru bumi dengan seberkas sinar rembulan. Malam, langit gelap yang menjadi waktu dan saksi bisu atas terlaksananya rencana para mahasiswa untuk melindungi harga diri.Seorang wanita berkalungkan liontin melepas rangkulan wanita berambut ikal, terkekeh dia sambil berjalan masuk ke kamar, "ah ... pengen banget gue ketawa," ucapnya sambil merebahkan diri dan tersenyum puas.Disusul oleh datangnya seorang pria berambut cepak yang dituntun wanita berkulit tan, dan diikuti oleh pria berambut kribo yang didampingi teman prianya juga. Ke-empatnya beranjak masuk kamar dan merebahkan diri bersama dua wanita sebelumnya, "gue enggak sangka kalau ini bisa terlaksana," kata pria berambut kribo itu sambil memijat tengkuknya sendiri, "tekan perut dan mainin anak lidah biar muntah itu bikin pusing, loh. Lo pada enggak mau kasih gue penghargaan gitu?" singgungnya lagi."Ogah," jawab lima mahasiswa lain, "kan sudah gue kasih opsi buat makan makanan itu kayak A
Aneka makanan tersaji dengan aroma yang menggoda, tampilan yang sebenarnya tidak begitu menarik ternyata dapat menggugah selera bagi yang merasa lapar. Tiga pria dan tiga wanita sudah duduk berkumpul di depan nampan yang terdapat sayur dan lauk, "padahal ini baru jam tujuh pagi tapi makanan sudah diantar saja ya, berasa di hotel," celetuk Erwin sambil mengusap-usap kedua tangannya ke paha, matanya tak henti mengamati tangan Vina yang sedang menyiapkan porsi makan setiap orang agar sesuai dan cukup satu sama lain, tidak kebanyakan dan tidak kekurangan."Selapar itu lo?" sahut Liona menerima piring dari Vina yang sudah berisikan nasi, sayur, dan lauk."Iya dong, gue semalam enggak makan dan malah drama sakit," jawab Erwin yang langsung terdiam saat Vina menyodorkan piring berisikan porsi makan.Semua saling mendapat porsi yang sesuai, kecerdasan Vina dalam mengamati aktivitas sosial ternyata juga berguna. Hanya dalam satu pekan terakhir dia mengamati porsi dan cara makan teman-temannya,
Pusing masih mengintai erat di kepala seorang wanita berkulit tan, sensasi pada mata setiap kali coba berkedip menimbulkan kebingungan dalam benak. Lemas, rasa itulah yang pertama kali disadari saat hendak merenggangkan badan yang terasa kaku.Entah waktu yang sudah ia terlantarkan selama tidur, rasanya sudah sangat lama dalam posisi yang sama hingga kaku dan sakit sendi menyerang. Menolehkan kepalanya perlahan sambil melenguh, "ah!" serunya terkejut dengan mata yang spontan terbuka lebar.Rasa lemas di tubuh pun seolah bertambah kala menjumpai ketakutan yang mengejutkan, bergeser menjauh dengan pandangan yang tak terlepas dari sosok di dekatnya kini. Bukan posisi aman yang didapat saat bergeser, justru kecemasan yang ia temukan kala mendapati sosok di sisi lainnya.Sontak, wanita itu beranjak duduk dan meringsut mundur ke pojok ruang sambil terus mengedarkan pandangannya dalam ketakutan. Dia sendiri, hanya bersama dua pria yang terbaring tak sadar dengan darah di pelipis dan wajah mer
Langit sudah mulai gelap lagi, tidak cerah berawan seperti biasanya di tepi pantai. Justru diikuti dengan gemuruh dan sesekali kilat yang menerangi malam, rasanya seperti sedang di studio foto yang begitu ramai dengan kilat cahaya sesaat.Desry, seorang wanita dengan rambut yang kini sudah acak-acakan menatap kosong ke arah langit dari tepi pendopo. Sudah bosan ia rasa menunggu lima teman kelompoknya untuk bangun dari tidur panjang, sesekali ia letakkan jari di antara hidung dan mulut teman-temannya, masih ada napas dan masih ada tanda kehidupan. Tapi, kenapa mereka tidak juga bangun? Begitulah yang Desry pikirkan.Beranjak dia dari pendopo, hanya kegelapan pekat yang ia lihat sejauh mata memandang. Inginnya meraba-raba sekitar untuk kembali ke rumah dan mengambil senter, tapi ucapan terakhir kali Liona sebelum terlelap bahwa hanya tempat ini yang aman.Apa yang aman? Sebenarnya apa yang terjadi? Liona bilang akan ada polisi yang datang, nyatanya hari sudah gelap namun belum juga ada
[12 Jam Sebelumnya]"Eh ini mahasiswa belum pada datang, Rin?" tanya pria berambut hampir botak, menghampiri seorang wanita yang sedang mengaduk masakannya."Belum bangun kayaknya," jawab wanita itu acuh tak acuh dengan tangan pria yang menggerayang bebas di tubuhnya, memainkan buah dada dan mencubit-cubit perut secara acak."Ah ... reaksinya enggak bagus," keluh pria berbadan kurus itu sambil beranjak meninggalkan area belakang rumahnya yang dijadikan tempat memasak."Bosan sama Ririn, Gus?" sahut seorang pria berperut buncit dengan badan agak bongkok, pria yang tiba-tiba datang dan memasuki area belakang rumah itu."Iya lo bayangin saja, Pak. Dari umur 15 tahun gue sama dia, sekarang umur sudah 25 tahun begini masih juga sama dia. 10 tahun, normal dong gue kalau bosan sama dia?" racau pria hampir botak itu sambil menerima rokok dari pria buncit yang bersandar dekat tungku, memperhatikan ekspresi wanita yang begitu datar seolah tidak memiliki telinga untuk mendengar, tetap terfokus p
Beberapa waktu berlalu, kesibukan Erina merapikan dapur pun kembali teralihkan saat seorang pria desa berteriak mencari Danang. Dengan cepat, Erina ikut berlari dan menyelinap di setiap pohon, tiang pendopo, atau rumah untuk mencuri dengar mereka."Bapak kayu bakar diurus dulu, tadi gue suruh tunggu," ucap Danang ke salah satu pria desa yang didengarnya."Nanti saja ah, kalau dia pergi juga besok pasti datang lagi," sahut pria yang diperintahkan Danang, sahutan yang hanya mendapat decakan belaka tanpa tindakan lebih lanjut.Mendengar hal itu, Erina yang tahu bahwa mereka akan ke rumah kayu tempat para mahasiswa berada, berlari wanita itu kembali ke rumah dan mengambil semua uang milik Agus di setiap saku celana dan pakaian sang suami.Kembali wanita berdaster itu berlari ke dekat gerbang utama desa, "ini pak, ambil saja semuanya, saya enggak tahu ada berapa. Kalau lebih ya nanti pas datang lagi bapak bisa bawa kayu lebih banyak, kalau kurang nanti bapak bisa minta ke cowok-cowok desa
[Beberapa jam sebelumnya]Tepukan di paha yang mengejutkan telah membangunkan seorang wanita berkulit putih, rasa sakit masih setia hinggap di kepalanya dengan denyutan yang terasa kuat dan terjadi secara acak. Wanita itu meraba lantai untuk menumpukan berat badan di tangan dan perlahan duduk, di tatapnya wanita muda yang sudah duduk bersila di hadapannya.Jejak darah mengalir dari pelipisnya telah mengering, "sudah mau sore kayaknya, kamu jemput Desry dulu ya?" ucap wanita muda itu.Menutup lagi mata sambil tetap menumpu beban tubuh di kedua tangan, kepala yang perlahan tertunduk itu terlihat dipaksanya untuk kembali terangkat, "tapi sebenarnya ada apa sih, kak?" tanyanya menahan pusing yang amat membebani kepala."Kalian mau diperkosa, mereka juga mau coba-coba ke teman cowok kamu." Jawaban yang sebenarnya sangat mengejutkan cenderung menjijikkan, namun begitu lemas badan rasanya untuk memberi respon itu."Afrian, Angga, dan Erwin?" sahut wanita berkalung liontin sabit itu, respon a