"Mommy, ada kakak di taman." Pekik Erra melihat Dea duduk sendirian di kursi. Gadis kecil itu menarik tangan mommy-nya mendatangi Deandra.
"Dea, kenapa sendirian di sini?" Tanya Hira. Putrinya itu merengek ingin bermain di taman pagi-pagi, terpaksa ia membawanya."Mau main di sini aja Tante," jawab Dea sambil tersenyum."Siapa yang marah-marah, Daddy atau Mommy jadi Dea kabur ke sini?" Tanya Hira to the point. Dia tidak percaya dengan ucapan gadis itu."Gak ada yang marah Tante," kekeuh Dea."Tante bisa bedain mana mata yang habis nangis mana yang enggak." Hira mengelus pipi Deandra lembut. Putri Tian itu tidak menjawab, hanya tersenyum."Kakak temani Dea main di kantor Daddy," paksa Erra menarik tangan Dea."Kakak mau di sini aja nunggu Daddy Tian jemput," bohong Dea. Kalau dia ikut pasti sahabat daddy-nya itu akan memberitahu keberadaannya. Dia masih belum siap bertemu sang daddy dan dimarahi lagi."Jangan tak"Fan, aku gak bisa ke kantor sekarang. Dea pergi dari rumah." Ucap Tian terburu-buru dari seberang telepon setelah mengucap salam."Kenapa?" Tanya Erfan singkat sambil menatap istrinya agar Dea tidak curiga kalau dia yang sedang dibicarakan."Tadi malam Azmi menyelinap masuk ke kamar Dea. Aku memarahinya, pamitnya sama ibu sekolah. Tapi di sekolah tidak ada, aku masih mencarinya.""Hm," Erfan hanya berdehem menjawabnya kemudian mematikan telepon. Di seberang sana Tian berdecak karena tidak biasanya Erfan mematikan teleponnya sepihak."Kenapa Sayang?" Tanya Ressa, mereka masih berada dalam mobil di depan pintu gerbang sekolah Dea."Gak tau, Erfan matiin telepon gitu aja." Kesal Tian, mencoba menelpon lagi tapi malah di reject Erfan. Beberapa menit kemudian masuk notifikasi pesan. Erfan mengirim foto Dea sedang menyuapi Erra makan."Jangan dijemput sekarang!" Isi pesannya, Tian menghela napas lega menyandarkan kepala di j
"Honey, maafin Daddy Sayang sudah membentak kamu. Daddy gak marah sama Dea. Daddy marah dengan diri Daddy sendiri karena gak bisa menjaga Dea." Tian memeluk putrinya dengan rasa bersalah yang menggunung. Denis yang menjemput Deandra dari kantor Erfan saat Aruna pergi ke pasar bersama ibunya. Dia sangat hati-hati agar masalah ini tidak diketahui istrinya itu. Ia meyakinkan Dea kalau Tian sudah tidak marah-marah lagi supaya mau pulang. "Dea yang salah Daddy," Dea memberikan kalungnya pada Tian dengan tangan bergetar. "Buanglah, Dea hanya butuh Daddy." Ucapnya sambil terisak. Tian menatap istrinya yang menggeleng. Ressa tidak tega melihat putrinya patah hati diusia semuda ini."Simpan buat Dea Sayang, sini Daddy pasangkan. Dea tau, Daddy sangat khawatir Dea kenapa-kenapa karena belum mengerti masalah cinta dan pemikiran orang dewasa." Ujar Tian pelan seraya memasangkan kalung itu ke leher Dea. Ia sempatkan melihat foto di liontin, hatiny
Setelah Dea mendapatkan banyak wejangan Tian membawa putrinya itu pergi ke kantor. Sebelum Aruna pulang dan mengetahui Dea tidak berangkat sekolah."Dea temani Buba ya Sayang, Daddy meeting dulu.""Yes Daddy," jawab Deandra diikuti anggukan."Buba..." panggil Dea setelah daddy nya sudah lenyap di balik pintu."Iya Sayang, ada apa?" Ressa menoleh pada putrinya yang terlihat sedang serius bermain game."Apa jadi orang dewasa itu selalu rumit?"Ressa tersenyum diikuti kernyitan di kening mendengar pertanyaan Deandra."Kalian para orang dewasa itu sangat sulit dimengerti," lanjutnya."Itu karena kami tidak hanya memikirkan kesenangan, tapi tanggung jawab Sayang. Masalah kecil dari pandangan kalian itu bisa jadi masalah serius bagi kami." Ressa membawa kepala Deandra berbaring di pangkuannya "Seperti yang terjadi pada Dea tadi malam. Mungkin Dea cuma berpikir Om itu datang untuk memberikan hadiah. Tapi Dea
"Pagi Honey, gimana tidurnya semalam? Nyenyak?" Tanya Tian saat mereka sudah berkumpul di meja makan."Nyenyak banget Dad, sampai lupa caranya membuka mata." Sahut Dea setengah bercanda."Jangan aneh-aneh Sayang, Daddy-mu bisa gila kalau kamu gak bangun-bangun." Sela Ressa di tengah obrolan."Oh ya Bu, mungkin minggu depan kita akan pindah rumah. Denis kemaren sudah cari rumah yang cocok buat kita. Biar bisa muat kalau anak-anak Ibu ngumpul semua," ujar Denis ikut bicara."Hm, duit siapa tuh beli rumahnya?" Tanya Deandra mendelik."Jelas Daddy-mu lah," sahut Denis sombong."Oh, kirain duit Daddy Tian." "Ya iya itu maksudnya Daddy Tian," sahut Denis sambil tertawa kecil."Iih Daddy!!" Dea menggigit lengan Denis yang duduk di samping kirinya."Daddy Denis mana punya uang sebanyak itu Sayang," gurau Denis sambil mengelus lengannya yang sakit. "Itu uang Dad Denis kok Sayang, uang Daddy cuma buat beli kolam renangnya aja. Biar Dea bisa berenang sepuasnya seperti ikan." Tian mengunyel pip
"Aduuuhh, sakiiit Honey. Daddy gak ngomong apa-apa, iyakan Sayang." Tian mengkode Dea sambil memelas."Daddy bilang gak suka bikin penyakit Buba, sukanya bikin dedek sama Buba." Ucap Dea tanpa Dosa, Denis tertawa paling nyaring."Dasar Daddy nakal!!" "Sayaaang, kok dibilangin sih! Daddy jadi kena marah Buba-mu kan." "Derita Daddy," sahut Dea kemudian menyuap sarapan yang mulai dingin karena mereka kebanyakan bicara. Mengabaikan sang ayah yang sibuk membujuk istrinya.***“Dad Tiaaan, tolongin Deaaaa!!” teriak Deandra yang dipanggul Denis seperti karung beras dari kamar ke ruang tengah.“Maaass, suka banget sih ngusilin Dea. Jemputnya gak pake cara itu juga.” Tegur Aruna, kalau kedua daddy Dea itu bersama pasti ada saja yang mengusili putrinya.“Biar Dea gak capek jalan, Sayang.” Jawab Denis sekenanya, menurunkan Dea di sofa sambil tertawa gelak.“Sekalian aja jemput pake pesawat Mas!” ucap Aruna sewot. Ressa dan Tian terkekeh geli mendengarnya.“Daddy, aku dijadiin karung beras sama
Semenjak Denis mengurus perusahaan keluarganya Tian jadi lebih sibuk. Mereka memang tetap tinggal satu rumah tapi di kantor tidak bertemu lagi. Sering Tian pulang telat, ia belum mendapatkan pengganti Denis untuk jadi asistennya."Daddy sudah makan malam?" Sambut Dea pada sang ayah yang baru pulang."Sudah Sayang," ucapnya seraya duduk di sofa. Hanya ada Denis yang menemani Dea belajar di ruang tengah. "Buba sudah tidur Sayang?""Sudah, tadi adek rewel. Buba muntah terus," beritahu Dea mengaggkat kaki Tian ke pangkuan lalu memijatnya."Buba mau makan?" Tanya Tian lagi."Sedikit, Dea sudah bikinin Buba susu.""Makasih sudah jagain Buba Sayang," Tian mengusap puncak kepala Dea dengan penuh kehangatan."Kalau bukan Dea siapa yang jagain Buba hm?" Tanyanya sombong, Tian jadi senyum-senyum sendiri."Dea sudah selesai belajarnya? Apa mau Daddy temani dulu.""Daddy mandi dan temani Buba aja, Dea bisa ngerjain PR sendiri. Lagian ada Daddy Denis yang nganggur," ucapnya sambil tersenyum licik p
Beberapa bulan kemudian"Sayang, aku besok harus ke London." Beritahu Tian mendadak, sebenarnya dia juga tidak rela berpisah dengan istrinya ini."Mas, kenapa baru ngasih tau." Rengek Ressa, dia memang tahu dulu Tian sering bolak-balik mengurus Extnet Indonesia dan London. Tapi bukan saat dia hamil seperti ini juga, bawaannya pengen dekat-dekat terus dengan suaminya itu."Semua dadakan Sayang, kami juga baru membicarakannya tadi sore, demi keberlangsungan Extnet Indonesia." Tian semakin mengeratkan pelukannya. Tahu kalau istrinya ini sedang manja-manjanya."Berapa lama?" Tanya Ressa cemberut."Dua minggu," Tian mengamati wajah sendu Ressa. Dia tidak mungkin membawa Ressa yang sedang hamil besar dalam perjalanan jauh."Itu lama Mas, kalau aku kangen gimana?""Mas usahakan video call kamu setiap hari ya Sayang, kalau gak sibuk. Karena banyak yang harus aku selesaikan di sana. Kalau bisa aku selesaikan cepat agar bisa cepat pulang.""Mau gimana lagi? Aku gak ngijinin pun kamu akan tetap
"Maaf Sayang, dadakan. Dea ngerti ya, Daddy harus pergi sekarang." Tian mengecup punggung tangan Dea sambil tersenyum kemudian beralih ke pipi. Sementara Ressa tidak berkomentar duduk di tempat tidur. Deandra melirik Bubanya yang terlihat sendu."Daddy berangkat berapa lama?" Tanya Dea yang terpaksa menyetujui daddy-nya pergi. "Dua minggu, bantu hibur Buba Sayang. Temani Buba tidur juga ya." Pinta Tian, putrinya itu sudah bisa diandalkan untuk menjaga sang istri."Hati-hati Daddy, aku akan jaga Buba." Deandra tersenyum mencium pipi Tian lalu mendekati ibu sambungnya yang betah membisu."Buba, jangan sedih. Kita sarapan dulu yuk, biar dedek sehat." Dea menarik lembut tangan Ressa agar mengikutinya.Tian juga menggiring di belakang sambil menyeret koper. Dia berpamitan pada orang rumah dan ibu mertuanya."Senyum Sayang, biar Mas tenang ninggalin kamu." Bisik Tian, ia pasti sangat merindukan aroma tubuh istrinya ini.Ressa menarik kedua sudut bibirnya secara paksa. Menyunggingkan senyu
"Haid," jawabnya pelan."Oh, ayo Mommy temani ganti di kamarmu."Deandra mengangguk kecil. Aruna paham, putrinya itu baru kedatangan tamu pertama kali tidak memiliki persiapan apapun."Mas, aku temani Dea ke kamar dulu." Ijin Aruna, setelah mengambil stok pembalut di lemarinya.Denis mengangguk, setelah ibu dan anak itu pergi ia menghela napas panjang. Mereka harus memperhatikan Deandra lebih ekstra lagi. Ia takut Azmi tiba-tiba datang menemui Dea lagi dan melakukan hal yang di luar batas."Mommy, perutku sakit." Rengek Dea setelah keluar dari kamar mandi. Ia langsung berbaring di tempat tidur."Mommy ambilkan obat pereda nyeri ya Sayang." Baginya mungkin hal seperti itu sudah biasa setiap tamu bulanan datang. Tapi tidak untuk gadis yang baru menginjak remaja itu."Dea kenapa Ru?" Tanya Tian yang melihat Aruna terburu-buru keluar dari kamar putrinya."Sakit perut Mas karena baru pertama haid," jawab Aruna cepat."Haid?" Tian melongo, putri kecilnya sudah haid. Itu artinya Dea bukan ana
"Mulutnya, gak dikasih saringan!!" Seru Denis geram pada perempuan yang baru brojol itu. Salah-salah itu akan menjadi pemicu perdebatan diantara dengan Tian."Aku bukan kelapa yang harus disaring dulu untuk mendapatkan santannya Denis.""Terserah kau saja, asal kau bahagia." Gumam Denis jengkel."Kenapa jadi sewot sih, cukup ibu hamil yang sensitif. Bapaknya jangan!" Oceh Ressa semakin menjadi-jadi, seperti tidak baru selesai melahirkan."Urus istrimu itu Tian, bikin kesal aja!" Gerutu Denis keluar dari kamar."Hei, aku adik iparmu jangan semena-mena!" Teriak Ressa.Denis mengendikkan bahu tetap pergi dari kamar Tian."Sayang, mulutnya baru dijahit loh, masih bisa nyinyir aja." Tegur Tian dengan kekehan."Maass, kamu gak jelas!""Kalian semua yang gak jelas. Dea jadi pusing!!" Gumam Deandra melerai perdebatan unfaedah itu. Sebenarnya apa yang mereka permasalahkan. Hanya candaan Daddy yang tertukarkan. Kenapa Daddy-nya yang satu itu jadi sewot.***"Kenapa jadi sewot sih, Ressa cuma be
"Daddy, Mommy sakit apa?" Sambut Deandra.Denis baru pulang memeriksa Aruna sesuai saran sang ibu mertua. Pria itu membawa Dea duduk terlebih dahulu sebelum memberitahunya. Ia khawatir anak gadisnya ini merasa terabaikan."Mommy hamil Sayang, Dea gak papa." Ucap Denis pelan menggenggam tangan putrinya."Dea gak papa, malahan senang mau punya adik lagi." Jawab Dea dengan senyuman ceria. Aruna menghela napas lega. Tadi sangat khawatir saat dokter memberitahu kalau dia positif hamil. Ia tidak ingin putrinya itu merasa terasingkan dan dibeda-bedakan kasih sayang saat memiliki anak dari Denis. Mereka sangat menjaga perasaan Deandra."Makasih Sayang, Daddy tetap sayang sama Dea kok." Denis memeluk Dea seraya mengusap punggungnya hangat."I know Daddy," jawabnya dengan senyuman manis. Sekarang ia di kelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya. Hal yang hanya di dapatkannya dari sang ibu selama dua belas tahun ini.Suara bel mengalihkan atensi tiga orang itu, Aruna bergegas membuka
"Kita berpelukannya nanti lagi ya Sayang, Mommy yang sedang butuh Dea sekarang." Tian mengusap puncak kepala anak gadisnya."Bye Daddy, jagain Buba dan adek." Ucap Dea sebelum pergi mengikuti sang nenek dan pengawal ayahnya."Of course, Honey." Tian mengacungkan jempolnya dengan senyuman menawan.***"Hei kenapa menangis?" Aruna menepuk pipi putrinya lembut. Setelah sampai rumah tadi ia langsung ketiduran. Bangun-bangun Dea sudah menangis di sampingnya."Mommy kenapa sakit?" Tanya Deandra pelan."Cuma kecapean Sayang, udah jangan nangis ah. Lihat, kamu diketawain Daddy." Tunjuk Aruna pada sang suami yang senyam senyum sendiri."Daddy emang nakal," Dea memanyunkan bibir cemberut seraya menyeka air mata. Nasib punya ayah dua-duanya usil ya begini."Daddy salah terus deh, kan Daddy gak nyubit kamu kenapa jadi dibilang nakal." Denis sangat gemas dengan putri sambungnya ini, mengunyel-unyel di pipi."Nih buktinya Daddy nakal!!""Daddy sayang sama kamu bukan nakal," Denis terkekeh geli. "M
Denis menggiring istrinya ke kamar mandi. Aruna langsung mengeluarkan isi perutnya di sana. Lelaki itu hanya bisa membantu memijat di tengkuk."Bu, aku bawa Aru pulang dulu ya." Ijin Denis sambil menahan tubuh Aruna yang lemas keluar dari kamar mandi."Iya, kalian hati-hati. Istirahat aja di rumah," sahut Rina menatap putrinya yang sudah pucat."Mommy kenapa?" Tanya Dea khawatir. "Mommy cuma gak tahan nyium baut rumah sakit Sayang, Dea temani Daddy jaga Buba ya." Jawab Aruna sangat pelan."Mommy jangan lupa minum obat," Dea mengingatkan."Iya Sayang," sahutnya dengan anggukan kecil. "Kenapa bau obatnya sampai mobil Mas?" Rengek Aruna di dalam mobil sambil memegangi perutnya yang bergejolak lagi."Gak ada bau obat di mobil ini Sayang," Denis memberikan kresek pada Aruna untuk memudahkan saat muntah lagi."Tapi bau banget, aku tambah pusing. Tolong matiin AC-nya." Denis menurut saja mematikan AC dan membuka kaca mobil sudah seperti diangkot sedia kresek dan AC alami."Tahan sebentar S
Sedang di dalam ruang bersalin Tian mengomel pada Ressa. Pasalnya sang istri itu berjalan bolak-balik di hadapannya. "Sayang, aku pusing lihat kamu mondar-mandir." "Ini biar dedek tau jalan keluar Mas," ujar Ressa. Pembukaannya belum lengkap, Jadi masih menunggu waktunya melahirkan."Sini aku aja yang nunjukin jalan keluarnya Sayang, aku lebih hapal." Sahut Tian, membuat perawat yang berjaga di ruangan itu tersenyum geli."Mas ngomong apaan sih, bikin malu aja." Ucap perempuan yang mau melahirkan itu ketus."Marah-marah terus, ayo tiduran aja nanti kakimu capek." Ressa tetap saja mondar-mandir. Karena tidak mempan dengan ucapan. Tian membuat istrinya itu berhenti mondar-mandir dengan memeluknya."Kamu ini bisa bikin dedek lama keluar loh, Mas.""Enggak, dedek pintar sama Daddy. Sayang cepat keluar ya, jangan bikin Mommy kesakitan." Bisik Tian di perut Ressa. Tidak berapa lama setelah itu Ressa mengeluh perutnya sangat sakit.Bayi yang ada dalam perut Ressa itu patuh pada Tian. Kelua
Mau melangkahkan kaki masuk rumah, semakin dimarahi lagi nanti. Rumah besar juga salah, dia jadi lelah bicara sambil berteriak-teriak."Oke, Daddy Denis yang panggil Daddy. Sekarang kamu langsung ganti baju Sayang, Mommy yang lihat Buba." Sahut Aruna berjalan mendekati putrinya.Istri Denis itu berjalan cepat ke kolam renang, Ressa duduk di kursi memegangi perutnya kesakitan."Ressa tahan sebentar, Denis masih manggil Tian." Aruna mengelus-elus perut Ressa. Dia bingung harus melakukan apa untuk mengurangi rasa sakit di perut Ressa."Mules banget," lirih Ressa sampai berkeringat dingin."Sayang, kita ke rumah sakit." Tanpa babibu Tian langsung menggendong Ressa, Aruna mengikuti di belakang. Dari kolam renang cukup jauh mendatangi halaman depan. Tian membawa beban berat itu sambil ngos-ngosan."Aku bisa jalan Mas, kalau kamu capek gendongnya." Ujar Ressa kasihan melihat Tian kelelahan menggendong tubuhnya yang menggelembung."Diam Sayang, kamu bisa brojol di sini karena kebanyakan bicar
"Daddy, ini Dea lagi sedih loh.""Oh ya, jadi putri Daddy ini lagi sedih. Sedih kenapa Sayang, ayo cerita dulu sama Daddy." Goda Tian sambil menciumi pipi Dea membawanya ke dapur. Karena tadi putrinya itu bilangnya kelaparan. Entah hanya pura-pura atau beneran."Makasih Daddy, ngerti banget kalau Dea lapar. Sekalian suapin ya," ujar gadis remaja itu usil setelah didudukkan Tian di kursi."Of course Honey, Daddy suapin pake centong biar cepat besar." "Boleh di coba," Deandra menarik kedua sudut bibirnya sambil menganga. Gelak tawa keluar dari mulut Tian melihat kelakuan putrinya itu. Tian memasukkan centong ke mulut Dea yang digigit gadis itu. "Astaga, nasi dibuat mainan!!" Tegur Aruna. Deandra cepat melepaskan centong dari mulutnya lalu ikut tertawa bersama sang Daddy."Mas, anaknya diajarin yang baik toh. Masa disuapin pake centong," omel Aruna."Putrimu yang mau disuapin pake centong Ru, sebagai Daddy yang baikkan aku nurut aja." Tian membela diri."Daddy kok Dea sendiri sih yan
"Bukan dedek yang nakal Sayang, tapi Buba-mu yang minta dimanja." Tian mengerling jahil pada sang istri."Buba nangis terus daddy tinggal, terus puasa makan sama bicara juga. Mulai sekarang Daddy gak boleh tinggalin Buba lagi.""Daddy juga gak mau ninggalin Buba, tapi gimana. Gak mungkin Daddy bawa Buba perjalanan jauh Sayang." Tian memberikan pengertian pada anak gadisnya."Apa yang membuat Daddy sangat cinta sama Buba?" Tanya Dea serius. Dia sering cemburu melihat daddy-nya sangat menyayangi ibu sambungnya itu."Cinta kadang tanpa alasan Sayang, kenapa Dea bertanya seperti itu." Tian melirik Ressa, jawaban umum yang dia berikan itu bisa menjebaknya."Kalau suatu saat nanti Dea mencintai seseorang tanpa alasan, apa Daddy akan merestuinya. Walau orang itu sangat Daddy benci."Tian sangat mengerti kemana arah pembicaraan itu. "Jangan pertanyakan itu sekarang Sayang, kan belum terjadi." Ucap Tian tersenyum, pura-pura tidak mengerti dengan ucapan putrinya."Of course Daddy, aku hanya is