Deandra berlari ke arah sang kakek yang sedang menunggunya berpamitan dengan Dad Tian, wajah cerianya memancarkan kebahagiaan. "Kakek, Buba sudah pulang!" serunya dengan antusias."Buba?" Amrin mengernyitkan dahi, bingung dengan sebutan yang digunakan cucunya. Tubuhnya kini tampak lebih kurus dan sebagian rambutnya telah memutih."Buba Ressa, Kakek," jelas Deandra, menarik tangan kakeknya untuk segera menemui tantenya yang baru saja pulang setelah lama menghilang.Amrin terkejut mendengar kabar tersebut. "Tante kamu pulang?" serunya dengan wajah penuh keterkejutan. "Iya Yah, aku pulang." Ressa tersenyum kecil keluar dari kamar, matanya telah kembali berkaca-kaca, menahan air mata bahagia.Tak mampu menahan rasa haru, Amrin langsung menghambur ke pelukan anak perempuannya. "Kamu kapan pulang, Nak?" tanyanya dengan suara bergetar karena sangat rindu dengan putrinya satu ini."Kamu pulang aja, Ayah sudah senang, jadi tidak perlu meminta maaf," ujar Amrin dengan senyuman hangat sambil m
Amrin tersenyum lembut, mencoba menenangkan putrinya. "Tidak ada manusia yang abadi, Nak. Semua pasti akan kembali pada pemiliknya," nasehat Amrin sambil mengelus kepala Ressa dengan penuh kasih sayang."Stop! Jangan katakan apapun, Ayah. Aku gak mau dengar Ayah ngomong aneh aneh!" potong Ressa, wajahnya memerah oleh air mata yang mulai menetes. Hatinya sangat terpukul, dan ia tak mampu mendengarkan kata-kata yang menakutkannya itu.Lelaki paruh baya itu semakin tersenyum lebar saat menantunya pulang datang dari mengantar Dea ke sekolah. "Tian, titip putri Ayah ya, tolong jaga dia dengan baik. Jangan disakiti dan dikecewakan lagi," pesan Amrin. Menatap menantunya penuh harap, ia yakin Tian telah berubah setelah ditinggalkan Ressa kabur selama empat bulan ini."Aku akan jaga putri Ayah dengan baik, tidak akan mengecewakannya lagi, Ayah." Janji Tian pada ayah mertuanya, mengusap belakang kepala Ressa yang masih menangis."Ayah sudah bilang, kamu harus bahagia. Kenapa jadi menangis," Am
"Ayah," panggil Ressa saat mereka pulang ke rumah, tangannya menenteng banyak barang belanjaan. Tadi mereka mampir ke supermarket untuk membeli keperluan sehari-hari sebelum pulang.Tidak ada sahutan, padahal mobil masih terparkir di depan. Perempuan itu masuk ke rumah dan mendapati sang ayah tertidur di sofa."Ayah, tumben pagi-pagi tidur lagi." Tegur Ressa heran, setahunya ayahnya itu paling anti tidur pagi hari. Ressa meletakkan belanjaannya di lantai dan duduk disisi sofa, "Ayah sakit?" Tanyanya seraya membelai pipi sang ayah. "Kenapa Sayang?" tegur Tian yang datang menyusul."Tumben Ayah tidur pagi, tapi gak sakit." Tangan Ressa masih menempel di kening sang ayah.Tian merasakan ada yang aneh dengan ayah mertuanya. Ia mendekat, menekan di jempol kaki, tapi tidak ada reaksi apa-apa. Hatinya sudah mulai gelisah."Sayang," Tian membawa Ressa dalam pelukan, membenamkan wajah istrinya di dada. Sedang tangan kanannya mengecek nadi di pergelangan tangan mertuanya. Karena kurang yakin
Selama satu minggu Ressa dan Tian menginap di rumah sang ibu, malam ini mereka sudah kembali ke rumah. Selama itu juga Tian tidak membahas masalah Ressa yang beberapa bulan meninggalkan dirinya, mereka seperti baik-baik saja.“Masih suka melamun aja?” Tegur Tian lembut pada Ressa yang duduk di depan cermin rias. Ia tergerak untuk menyisirkan rambut istrinya yang agak bergelombang itu."Masih berasa ada Ayah di sini, Mas." Ucap Ressa dengan suara lirih. Tian memutar kursi yang diduduki sang istri, lalu berjongkok di depannya."Barusan panggil apa tadi, Honey?" Tanya Tian takjub, seperti mendapat predikat tujuh keajaiban dunia."Mas," ulang Ressa. Dulu sang ayah yang ingin dia memanggil Tian dengan sebutan yang sopan, tapi tak dihiraukannya.Tian tersenyum, "gak mau manggil My Tian aja, hm." Godanya, tahu semua ini pasti karena teringat mendiang ayah mertuanya. Ia tidak ingin Ressa merasa kecil hati karena Aruna memanggilnya seperti itu.Lelaki itu menggenggam tangan Ressa lalu mengecup
Tian menyelimuti istrinya yang sudah tertidur karena kelelahan setelah melewati malam panjang. "Semenjak bersamaku hidupmu semakin berat, semoga kamu tetap kuat mendampingiku, Sayang." Gumam Tian seraya mengelus pelan pipi istrinya yang telah tertidur. Mulai sekarang dia akan benar-benar berfokus pada Ressa dulu. "Hidupku bukan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah lagi. Tapi untuk membahagiakan kamu." Tian tersenyum, mengecup gemas perempuan yang sangat dicintainya. Membuat Ressa bisa mempercayainya lagi itu perlu effort yang besar.Keesokan paginya Tian terjaga lebih dulu dan menyiapkan sarapan. Mulai hari ini ia akan memperlakukan istrinya ini layaknya seorang ratu dan dialah rajanya. Takkan ia mau jadi pelayan, pria itu terkekeh sendiri karena pemikirannya.Selepas menyiapkan sarapan Tian kembali ke kamar membangunkan Ressa. "Sayang," panggilnya lembut mengusap-usap di pipi. Ressa tidur semakin pulas kalau Tian membangunkannya pakai elusan."Honey," bisik Tian kemudian mengulum
Tian mendesah berat, mereka benar-benar kesiangan sholat subuh. Hampir jam enam baru keluar kamar mandi. Padahal sudah bertekad ingin sholat tepat waktu, gara-gara istri nakalnya ini dia jadi tergoda juga.Ressa tersenyum kecil melihat wajah masam suaminya sejak usai sholat tadi. Mereka langsung sarapan, terlalu lama berendam membuat perut keroncongan. Untung Tian sudah memasak untuk sarapan pagi ini."Kamu nakal, Sayang!" decak Tian yang masih kesal di meja makan."Tapi kamu suka kan, gak bisa nolak lagi." Sebut Ressa nakal dengan mata mengerling jahil."Iya, tapikan gak pas mau sholat juga. Aku sudah bilang mau berubah," ucap Tian cemberut."Yang cari gara-gara siapa, hm?" "Aku kan bangunin kamu. Abisnya dibangunin malah bikin aku merinding jadi aku masukin bathtub aja," jelas Tian."Hm, merinding gimana, emang aku nyeremin?" Ressa menempelkan kedua telapak tangannya di pipi, dengan wajah yang di imut-imutkan."Bukan, kamu bikin dia merinding. Nih bangun lagi gara-gara kamu manja-m
Karena ada meeting mendadak Tian akhirnya membawa Ressa ke kantor, demi tidak meninggalkannya sendirian di rumah. Ia juga takut Ressa kabur darinya lagi. Sambil berjalan menuju ruangannya lelaki itu sibuk menjawab telepon, dengan tangan kiri masih menggandeng sang istri.“Coba lihat, padahal Pak Bos sudah punya istri sah, gak malu ya ikut ke kantor, dasar perempuan murahan!!” Terdengar suara-suara berisik saat mereka melewati antrian lift. Ressa bersikap seolah tidak mendengar apapun, sudah biasa mendapat cibiran seperti itu sejak menjadi sekretaris Tian. Tentu saja dia mengenal para karyawan Tian yang dulu menjadi bosnya.Tian mematikan sambungan telepon, lalu berbalik mendatangi beberapa orang yang sedang mengantri di depan lift.“Denis, ke depan lift sekarang!!” panggilnya melalui telepon. Ressa meringis, pasti akan terjadi sesuatu setelah ini. Tapi dia masih belum bergerak dari tempatnya berdiri, enggan mendekati Tian.“Kalian terlalu berani menghina istriku!!” seru Tian datar t
“Karena cuma kamu yang berarti buat aku, mereka mau bicara apa aku gak peduli. Asal bukan kamu yang mengatakannya.”Tian semakin mengeratkan pelukan mendengar ucapan istrinya. Dia yang paling diharapkan untuk membuat Ressa bahagia, malah yang sangat sering menyakiti hati kesayangannya ini."Sekarang kamu ngerti kan kenapa aku gak pernah mau ambil pusing dengan perkataan pedas orang lain. Termasuk ibuku sendiri. Karena yang mengatakan itu bukan kamu, yang kuinginkan sekarang itu cuma kamu, Sayang.""Maafkan aku yang belum bisa menjadi suami yang sempurna buat kamu, Honey. Aku terlalu sering menyakitimu, membuat luka di hatimu ini.""Apa aku bisa mendapatkan suami yang sempurna di dunia ini?" Ressa menggeleng pelan, "tidak kan, karena aku juga tidak sempurna buat kamu."Tian mengecup kening Ressa dengan penuh cinta. Ia akan memberikan seluruh hidupnya ini untuk menjaga Ressa. "Terima kasih untuk seluruh cintamu ini, Sayang. Terima kasih sudah mau bertahan dengan aku yang selalu membuat