"Sayang, kamu dimana, aku kangen," lirihnya. Berharap suatu saat ia bisa bertemu lagi dengan Ressa, dan mengungkapkan segala kerinduannya yang telah membuncah di hati.Dea berdiri di depan pintu, matanya mengembun saat mendengar suara kesedihan sang ayah. Dad Tian, sosok yang selama ini dikenalnya sebagai pria tegar, kini menangis dalam kesendirian. Ia merasa bertanggung jawab atas semua ini.Karena dia membenci Tante Ressa hingga membuat Dad Tian menjadi begini. Andai saja dia bisa menerima Tante Ressa dengan tulus, mungkin Dad Tian akan bahagia seperti Mom Aru"Hey, kenapa masih berdiri di tengah pintu," tegur Denis pada putri sambungnya yang terdiam."Dea sedih lihat Dad Tian diam-diam menangis sendirian," jawab Dea dengan suara lirih.Denis menghampiri Dea dan menepuk lembut kedua bahu gadis itu. "Nggak usah sesali yang sudah berlalu ya, Dad Tian juga sudah memaafkan Dea. Kita masih usaha mencari Tante Ressa," ucap Denis memberi semangat.Dea mengangguk, berusaha menenangkan hatin
"Iya tunggu sebentar." Ressa mengapit ponselnya di antara bahu dan telinga sambil menjawab telepon saat ada pelanggan yang tiba-tiba mengambil pesanan secara mendadak. Ia bergegas mengambil masker dan memasangnya buru-buru. Ini baru jam tujuh pagi, padahal dia sudah memesan ojol untuk mengantarkan buket ini ke tujuan."Maaf Mas jadi repot ngambil ke sini, padahal saya sudah pesankan ojol buat nganter." Ujar Ressa tidak enak hati sambil berlari dari rumah, karena jarak antara rumah pelanggan dengan rumahnya cukup jauh."Nggak papa, saya ingin membuat kejutan buat istri saya." Pria itu merogoh sakunya mengambil dompet."Sekali lagi maaf," Ressa yang tadi fokus menatap ke bawah karena tidak ingin terjatuh saat berlari mematung sejenak ketika melihat pria yang berdiri di hadapannya."Ressa!" Denis tersenyum penuh arti, ternyata firasatnya benar. Ia hanya beralasan saja kalau buketnya sangat mendesak, padahal bisa saja menunggu diantar. Namun rasa penasaran membuatnya langsung pergi ke
"Awas ya, kalau ketemu Tante Ressa aku akan bilang jangan mau sama Daddy lagi!" amuk Deandra menarik selimut yang menutupi wajah Ressa."Sayang, jangan kasar sama pacar Daddy," Tian berusa mempertahankan selimut. Dia benar-benar seperti ke gap sedang berselingkuh."Usir dia Daddy, aku benci Daddy! Daddy bilang cinta mati sama Tante Ressa tapi malah main perempuan!" seperti orang dewasa anak itu benar-benar geram melihat kelakuan ayahnya.Karena Dad Tian tidak merespon, gadis bar-bar itu akhirnya menerjang perempuan yang sedang dalam pelukan sang daddy."Honey!!" Tian segera menangkap tubuh putrinya yang memerah marah sebelum menindih Ressa. Sementara di dalam selimut Ressa cekikikan menahan tawa. Lucu sekali mendengar keponakannya itu mengamuk."Sekarang Daddy lebih memilih dia!!" Deandra menudingkan telunjuknya ke arah perempuan yang berada dalam selimut."Dengerin penjelasan Daddy dulu, Honey." Tian mengusap-usap punggung putri semata wayangnya."Enggak! Daddy mau jelasin apa lagi
Deandra berlari ke arah sang kakek yang sedang menunggunya berpamitan dengan Dad Tian, wajah cerianya memancarkan kebahagiaan. "Kakek, Buba sudah pulang!" serunya dengan antusias."Buba?" Amrin mengernyitkan dahi, bingung dengan sebutan yang digunakan cucunya. Tubuhnya kini tampak lebih kurus dan sebagian rambutnya telah memutih."Buba Ressa, Kakek," jelas Deandra, menarik tangan kakeknya untuk segera menemui tantenya yang baru saja pulang setelah lama menghilang.Amrin terkejut mendengar kabar tersebut. "Tante kamu pulang?" serunya dengan wajah penuh keterkejutan. "Iya Yah, aku pulang." Ressa tersenyum kecil keluar dari kamar, matanya telah kembali berkaca-kaca, menahan air mata bahagia.Tak mampu menahan rasa haru, Amrin langsung menghambur ke pelukan anak perempuannya. "Kamu kapan pulang, Nak?" tanyanya dengan suara bergetar karena sangat rindu dengan putrinya satu ini."Kamu pulang aja, Ayah sudah senang, jadi tidak perlu meminta maaf," ujar Amrin dengan senyuman hangat sambil m
Amrin tersenyum lembut, mencoba menenangkan putrinya. "Tidak ada manusia yang abadi, Nak. Semua pasti akan kembali pada pemiliknya," nasehat Amrin sambil mengelus kepala Ressa dengan penuh kasih sayang."Stop! Jangan katakan apapun, Ayah. Aku gak mau dengar Ayah ngomong aneh aneh!" potong Ressa, wajahnya memerah oleh air mata yang mulai menetes. Hatinya sangat terpukul, dan ia tak mampu mendengarkan kata-kata yang menakutkannya itu.Lelaki paruh baya itu semakin tersenyum lebar saat menantunya pulang datang dari mengantar Dea ke sekolah. "Tian, titip putri Ayah ya, tolong jaga dia dengan baik. Jangan disakiti dan dikecewakan lagi," pesan Amrin. Menatap menantunya penuh harap, ia yakin Tian telah berubah setelah ditinggalkan Ressa kabur selama empat bulan ini."Aku akan jaga putri Ayah dengan baik, tidak akan mengecewakannya lagi, Ayah." Janji Tian pada ayah mertuanya, mengusap belakang kepala Ressa yang masih menangis."Ayah sudah bilang, kamu harus bahagia. Kenapa jadi menangis," Am
"Ayah," panggil Ressa saat mereka pulang ke rumah, tangannya menenteng banyak barang belanjaan. Tadi mereka mampir ke supermarket untuk membeli keperluan sehari-hari sebelum pulang.Tidak ada sahutan, padahal mobil masih terparkir di depan. Perempuan itu masuk ke rumah dan mendapati sang ayah tertidur di sofa."Ayah, tumben pagi-pagi tidur lagi." Tegur Ressa heran, setahunya ayahnya itu paling anti tidur pagi hari. Ressa meletakkan belanjaannya di lantai dan duduk disisi sofa, "Ayah sakit?" Tanyanya seraya membelai pipi sang ayah. "Kenapa Sayang?" tegur Tian yang datang menyusul."Tumben Ayah tidur pagi, tapi gak sakit." Tangan Ressa masih menempel di kening sang ayah.Tian merasakan ada yang aneh dengan ayah mertuanya. Ia mendekat, menekan di jempol kaki, tapi tidak ada reaksi apa-apa. Hatinya sudah mulai gelisah."Sayang," Tian membawa Ressa dalam pelukan, membenamkan wajah istrinya di dada. Sedang tangan kanannya mengecek nadi di pergelangan tangan mertuanya. Karena kurang yakin
Selama satu minggu Ressa dan Tian menginap di rumah sang ibu, malam ini mereka sudah kembali ke rumah. Selama itu juga Tian tidak membahas masalah Ressa yang beberapa bulan meninggalkan dirinya, mereka seperti baik-baik saja.“Masih suka melamun aja?” Tegur Tian lembut pada Ressa yang duduk di depan cermin rias. Ia tergerak untuk menyisirkan rambut istrinya yang agak bergelombang itu."Masih berasa ada Ayah di sini, Mas." Ucap Ressa dengan suara lirih. Tian memutar kursi yang diduduki sang istri, lalu berjongkok di depannya."Barusan panggil apa tadi, Honey?" Tanya Tian takjub, seperti mendapat predikat tujuh keajaiban dunia."Mas," ulang Ressa. Dulu sang ayah yang ingin dia memanggil Tian dengan sebutan yang sopan, tapi tak dihiraukannya.Tian tersenyum, "gak mau manggil My Tian aja, hm." Godanya, tahu semua ini pasti karena teringat mendiang ayah mertuanya. Ia tidak ingin Ressa merasa kecil hati karena Aruna memanggilnya seperti itu.Lelaki itu menggenggam tangan Ressa lalu mengecup
Tian menyelimuti istrinya yang sudah tertidur karena kelelahan setelah melewati malam panjang. "Semenjak bersamaku hidupmu semakin berat, semoga kamu tetap kuat mendampingiku, Sayang." Gumam Tian seraya mengelus pelan pipi istrinya yang telah tertidur. Mulai sekarang dia akan benar-benar berfokus pada Ressa dulu. "Hidupku bukan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah lagi. Tapi untuk membahagiakan kamu." Tian tersenyum, mengecup gemas perempuan yang sangat dicintainya. Membuat Ressa bisa mempercayainya lagi itu perlu effort yang besar.Keesokan paginya Tian terjaga lebih dulu dan menyiapkan sarapan. Mulai hari ini ia akan memperlakukan istrinya ini layaknya seorang ratu dan dialah rajanya. Takkan ia mau jadi pelayan, pria itu terkekeh sendiri karena pemikirannya.Selepas menyiapkan sarapan Tian kembali ke kamar membangunkan Ressa. "Sayang," panggilnya lembut mengusap-usap di pipi. Ressa tidur semakin pulas kalau Tian membangunkannya pakai elusan."Honey," bisik Tian kemudian mengulum