Sementara itu, di kantornya Tian memijat pelipis pening sambil memejamkan mata saat mengingat pernyataan Deandra yang tidak memperbolehkannya bercerai dengan Aruna. Bagaimana ia bisa mencari Ressa dengan tenang kalau seperti ini.
"Sibuk Mas?"Suara Aruna membuat Tian membuka mata, di depan pintu ada Aruna dan putrinya."Ada apa Ru?" tanya Tian."Dea mau ngomong, Mas," jawab Aruna dengan nada ragu-ragu sambil memandang putrinya yang tampak gugup."Dea mau ngomong apa sama Daddy?" Tian beranjak mendekati putrinya yang tidak berani mengangkat kepala sejak masuk tadi.Anak itu tampak menarik napas dalam-dalam sebelum berkata. "Bilangin kalau ketemu Tante Ressa, Dea minta maaf," ucap Deandra kemudian menangis tergugu. "Gara-gara Dea, Tante pergi dan Daddy jadi bersedih."Melihat putrinya menangis, Tian segera meraih Dea dalam pelukan. "Sayang, maafin Daddy kalau bikin kamu marah."Dea mengangguk pasrah, wajahnya yang"Aru nggak ada disini?" Tian mengernyitkan alis saat ayah mertuanya mengatakan kalau sejak semalam perempuan itu tidak pulang ke rumah, lalu pergi kemana? Padahal bilangnya ingin menginap di rumah ayah. Setelah dipikir-pikir tidak mungkin juga, Aru sedang menghindari ibunya."Dad, apa Mommy kabur juga seperti Tante Ressa," cemas Deandra sambil memegang erat jas daddy nya. "Nanti Daddy tanya Om Denis dulu ya, siapa tahu Om Denis yang nemenin Mommy. Kamu Daddy antar ke sekolah sekarang ya," Tian menenangkan putrinya, jangan sampai Aruna ikutan kabur juga. Mencari Ressa saja dia sudah dibuat pusing tujuh keliling.***"Ck," Tian berdecak saat mengetahui Aruna berada di apartemen Denis. "Dia masih istri gue, lo cicil duluan?" geramnya pada sang sahabat yang berstatus sebagai asisten pribadi."Enak aja, harusnya gue yang perlu waspada sama istri gila lo itu, dah bawa pulang sana." Denis membenamkan tubuhnya di sofa, masih mengantuk karena menemani Aruna yang hampir menangis sepanjang mal
"Sayang, kamu dimana, aku kangen," lirihnya. Berharap suatu saat ia bisa bertemu lagi dengan Ressa, dan mengungkapkan segala kerinduannya yang telah membuncah di hati.Dea berdiri di depan pintu, matanya mengembun saat mendengar suara kesedihan sang ayah. Dad Tian, sosok yang selama ini dikenalnya sebagai pria tegar, kini menangis dalam kesendirian. Ia merasa bertanggung jawab atas semua ini.Karena dia membenci Tante Ressa hingga membuat Dad Tian menjadi begini. Andai saja dia bisa menerima Tante Ressa dengan tulus, mungkin Dad Tian akan bahagia seperti Mom Aru"Hey, kenapa masih berdiri di tengah pintu," tegur Denis pada putri sambungnya yang terdiam."Dea sedih lihat Dad Tian diam-diam menangis sendirian," jawab Dea dengan suara lirih.Denis menghampiri Dea dan menepuk lembut kedua bahu gadis itu. "Nggak usah sesali yang sudah berlalu ya, Dad Tian juga sudah memaafkan Dea. Kita masih usaha mencari Tante Ressa," ucap Denis memberi semangat.Dea mengangguk, berusaha menenangkan hatin
"Iya tunggu sebentar." Ressa mengapit ponselnya di antara bahu dan telinga sambil menjawab telepon saat ada pelanggan yang tiba-tiba mengambil pesanan secara mendadak. Ia bergegas mengambil masker dan memasangnya buru-buru. Ini baru jam tujuh pagi, padahal dia sudah memesan ojol untuk mengantarkan buket ini ke tujuan."Maaf Mas jadi repot ngambil ke sini, padahal saya sudah pesankan ojol buat nganter." Ujar Ressa tidak enak hati sambil berlari dari rumah, karena jarak antara rumah pelanggan dengan rumahnya cukup jauh."Nggak papa, saya ingin membuat kejutan buat istri saya." Pria itu merogoh sakunya mengambil dompet."Sekali lagi maaf," Ressa yang tadi fokus menatap ke bawah karena tidak ingin terjatuh saat berlari mematung sejenak ketika melihat pria yang berdiri di hadapannya."Ressa!" Denis tersenyum penuh arti, ternyata firasatnya benar. Ia hanya beralasan saja kalau buketnya sangat mendesak, padahal bisa saja menunggu diantar. Namun rasa penasaran membuatnya langsung pergi ke
"Awas ya, kalau ketemu Tante Ressa aku akan bilang jangan mau sama Daddy lagi!" amuk Deandra menarik selimut yang menutupi wajah Ressa."Sayang, jangan kasar sama pacar Daddy," Tian berusa mempertahankan selimut. Dia benar-benar seperti ke gap sedang berselingkuh."Usir dia Daddy, aku benci Daddy! Daddy bilang cinta mati sama Tante Ressa tapi malah main perempuan!" seperti orang dewasa anak itu benar-benar geram melihat kelakuan ayahnya.Karena Dad Tian tidak merespon, gadis bar-bar itu akhirnya menerjang perempuan yang sedang dalam pelukan sang daddy."Honey!!" Tian segera menangkap tubuh putrinya yang memerah marah sebelum menindih Ressa. Sementara di dalam selimut Ressa cekikikan menahan tawa. Lucu sekali mendengar keponakannya itu mengamuk."Sekarang Daddy lebih memilih dia!!" Deandra menudingkan telunjuknya ke arah perempuan yang berada dalam selimut."Dengerin penjelasan Daddy dulu, Honey." Tian mengusap-usap punggung putri semata wayangnya."Enggak! Daddy mau jelasin apa lagi
Deandra berlari ke arah sang kakek yang sedang menunggunya berpamitan dengan Dad Tian, wajah cerianya memancarkan kebahagiaan. "Kakek, Buba sudah pulang!" serunya dengan antusias."Buba?" Amrin mengernyitkan dahi, bingung dengan sebutan yang digunakan cucunya. Tubuhnya kini tampak lebih kurus dan sebagian rambutnya telah memutih."Buba Ressa, Kakek," jelas Deandra, menarik tangan kakeknya untuk segera menemui tantenya yang baru saja pulang setelah lama menghilang.Amrin terkejut mendengar kabar tersebut. "Tante kamu pulang?" serunya dengan wajah penuh keterkejutan. "Iya Yah, aku pulang." Ressa tersenyum kecil keluar dari kamar, matanya telah kembali berkaca-kaca, menahan air mata bahagia.Tak mampu menahan rasa haru, Amrin langsung menghambur ke pelukan anak perempuannya. "Kamu kapan pulang, Nak?" tanyanya dengan suara bergetar karena sangat rindu dengan putrinya satu ini."Kamu pulang aja, Ayah sudah senang, jadi tidak perlu meminta maaf," ujar Amrin dengan senyuman hangat sambil m
Amrin tersenyum lembut, mencoba menenangkan putrinya. "Tidak ada manusia yang abadi, Nak. Semua pasti akan kembali pada pemiliknya," nasehat Amrin sambil mengelus kepala Ressa dengan penuh kasih sayang."Stop! Jangan katakan apapun, Ayah. Aku gak mau dengar Ayah ngomong aneh aneh!" potong Ressa, wajahnya memerah oleh air mata yang mulai menetes. Hatinya sangat terpukul, dan ia tak mampu mendengarkan kata-kata yang menakutkannya itu.Lelaki paruh baya itu semakin tersenyum lebar saat menantunya pulang datang dari mengantar Dea ke sekolah. "Tian, titip putri Ayah ya, tolong jaga dia dengan baik. Jangan disakiti dan dikecewakan lagi," pesan Amrin. Menatap menantunya penuh harap, ia yakin Tian telah berubah setelah ditinggalkan Ressa kabur selama empat bulan ini."Aku akan jaga putri Ayah dengan baik, tidak akan mengecewakannya lagi, Ayah." Janji Tian pada ayah mertuanya, mengusap belakang kepala Ressa yang masih menangis."Ayah sudah bilang, kamu harus bahagia. Kenapa jadi menangis," Am
"Ayah," panggil Ressa saat mereka pulang ke rumah, tangannya menenteng banyak barang belanjaan. Tadi mereka mampir ke supermarket untuk membeli keperluan sehari-hari sebelum pulang.Tidak ada sahutan, padahal mobil masih terparkir di depan. Perempuan itu masuk ke rumah dan mendapati sang ayah tertidur di sofa."Ayah, tumben pagi-pagi tidur lagi." Tegur Ressa heran, setahunya ayahnya itu paling anti tidur pagi hari. Ressa meletakkan belanjaannya di lantai dan duduk disisi sofa, "Ayah sakit?" Tanyanya seraya membelai pipi sang ayah. "Kenapa Sayang?" tegur Tian yang datang menyusul."Tumben Ayah tidur pagi, tapi gak sakit." Tangan Ressa masih menempel di kening sang ayah.Tian merasakan ada yang aneh dengan ayah mertuanya. Ia mendekat, menekan di jempol kaki, tapi tidak ada reaksi apa-apa. Hatinya sudah mulai gelisah."Sayang," Tian membawa Ressa dalam pelukan, membenamkan wajah istrinya di dada. Sedang tangan kanannya mengecek nadi di pergelangan tangan mertuanya. Karena kurang yakin
Selama satu minggu Ressa dan Tian menginap di rumah sang ibu, malam ini mereka sudah kembali ke rumah. Selama itu juga Tian tidak membahas masalah Ressa yang beberapa bulan meninggalkan dirinya, mereka seperti baik-baik saja.“Masih suka melamun aja?” Tegur Tian lembut pada Ressa yang duduk di depan cermin rias. Ia tergerak untuk menyisirkan rambut istrinya yang agak bergelombang itu."Masih berasa ada Ayah di sini, Mas." Ucap Ressa dengan suara lirih. Tian memutar kursi yang diduduki sang istri, lalu berjongkok di depannya."Barusan panggil apa tadi, Honey?" Tanya Tian takjub, seperti mendapat predikat tujuh keajaiban dunia."Mas," ulang Ressa. Dulu sang ayah yang ingin dia memanggil Tian dengan sebutan yang sopan, tapi tak dihiraukannya.Tian tersenyum, "gak mau manggil My Tian aja, hm." Godanya, tahu semua ini pasti karena teringat mendiang ayah mertuanya. Ia tidak ingin Ressa merasa kecil hati karena Aruna memanggilnya seperti itu.Lelaki itu menggenggam tangan Ressa lalu mengecup
"Haid," jawabnya pelan."Oh, ayo Mommy temani ganti di kamarmu."Deandra mengangguk kecil. Aruna paham, putrinya itu baru kedatangan tamu pertama kali tidak memiliki persiapan apapun."Mas, aku temani Dea ke kamar dulu." Ijin Aruna, setelah mengambil stok pembalut di lemarinya.Denis mengangguk, setelah ibu dan anak itu pergi ia menghela napas panjang. Mereka harus memperhatikan Deandra lebih ekstra lagi. Ia takut Azmi tiba-tiba datang menemui Dea lagi dan melakukan hal yang di luar batas."Mommy, perutku sakit." Rengek Dea setelah keluar dari kamar mandi. Ia langsung berbaring di tempat tidur."Mommy ambilkan obat pereda nyeri ya Sayang." Baginya mungkin hal seperti itu sudah biasa setiap tamu bulanan datang. Tapi tidak untuk gadis yang baru menginjak remaja itu."Dea kenapa Ru?" Tanya Tian yang melihat Aruna terburu-buru keluar dari kamar putrinya."Sakit perut Mas karena baru pertama haid," jawab Aruna cepat."Haid?" Tian melongo, putri kecilnya sudah haid. Itu artinya Dea bukan ana
"Mulutnya, gak dikasih saringan!!" Seru Denis geram pada perempuan yang baru brojol itu. Salah-salah itu akan menjadi pemicu perdebatan diantara dengan Tian."Aku bukan kelapa yang harus disaring dulu untuk mendapatkan santannya Denis.""Terserah kau saja, asal kau bahagia." Gumam Denis jengkel."Kenapa jadi sewot sih, cukup ibu hamil yang sensitif. Bapaknya jangan!" Oceh Ressa semakin menjadi-jadi, seperti tidak baru selesai melahirkan."Urus istrimu itu Tian, bikin kesal aja!" Gerutu Denis keluar dari kamar."Hei, aku adik iparmu jangan semena-mena!" Teriak Ressa.Denis mengendikkan bahu tetap pergi dari kamar Tian."Sayang, mulutnya baru dijahit loh, masih bisa nyinyir aja." Tegur Tian dengan kekehan."Maass, kamu gak jelas!""Kalian semua yang gak jelas. Dea jadi pusing!!" Gumam Deandra melerai perdebatan unfaedah itu. Sebenarnya apa yang mereka permasalahkan. Hanya candaan Daddy yang tertukarkan. Kenapa Daddy-nya yang satu itu jadi sewot.***"Kenapa jadi sewot sih, Ressa cuma be
"Daddy, Mommy sakit apa?" Sambut Deandra.Denis baru pulang memeriksa Aruna sesuai saran sang ibu mertua. Pria itu membawa Dea duduk terlebih dahulu sebelum memberitahunya. Ia khawatir anak gadisnya ini merasa terabaikan."Mommy hamil Sayang, Dea gak papa." Ucap Denis pelan menggenggam tangan putrinya."Dea gak papa, malahan senang mau punya adik lagi." Jawab Dea dengan senyuman ceria. Aruna menghela napas lega. Tadi sangat khawatir saat dokter memberitahu kalau dia positif hamil. Ia tidak ingin putrinya itu merasa terasingkan dan dibeda-bedakan kasih sayang saat memiliki anak dari Denis. Mereka sangat menjaga perasaan Deandra."Makasih Sayang, Daddy tetap sayang sama Dea kok." Denis memeluk Dea seraya mengusap punggungnya hangat."I know Daddy," jawabnya dengan senyuman manis. Sekarang ia di kelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya. Hal yang hanya di dapatkannya dari sang ibu selama dua belas tahun ini.Suara bel mengalihkan atensi tiga orang itu, Aruna bergegas membuka
"Kita berpelukannya nanti lagi ya Sayang, Mommy yang sedang butuh Dea sekarang." Tian mengusap puncak kepala anak gadisnya."Bye Daddy, jagain Buba dan adek." Ucap Dea sebelum pergi mengikuti sang nenek dan pengawal ayahnya."Of course, Honey." Tian mengacungkan jempolnya dengan senyuman menawan.***"Hei kenapa menangis?" Aruna menepuk pipi putrinya lembut. Setelah sampai rumah tadi ia langsung ketiduran. Bangun-bangun Dea sudah menangis di sampingnya."Mommy kenapa sakit?" Tanya Deandra pelan."Cuma kecapean Sayang, udah jangan nangis ah. Lihat, kamu diketawain Daddy." Tunjuk Aruna pada sang suami yang senyam senyum sendiri."Daddy emang nakal," Dea memanyunkan bibir cemberut seraya menyeka air mata. Nasib punya ayah dua-duanya usil ya begini."Daddy salah terus deh, kan Daddy gak nyubit kamu kenapa jadi dibilang nakal." Denis sangat gemas dengan putri sambungnya ini, mengunyel-unyel di pipi."Nih buktinya Daddy nakal!!""Daddy sayang sama kamu bukan nakal," Denis terkekeh geli. "M
Denis menggiring istrinya ke kamar mandi. Aruna langsung mengeluarkan isi perutnya di sana. Lelaki itu hanya bisa membantu memijat di tengkuk."Bu, aku bawa Aru pulang dulu ya." Ijin Denis sambil menahan tubuh Aruna yang lemas keluar dari kamar mandi."Iya, kalian hati-hati. Istirahat aja di rumah," sahut Rina menatap putrinya yang sudah pucat."Mommy kenapa?" Tanya Dea khawatir. "Mommy cuma gak tahan nyium baut rumah sakit Sayang, Dea temani Daddy jaga Buba ya." Jawab Aruna sangat pelan."Mommy jangan lupa minum obat," Dea mengingatkan."Iya Sayang," sahutnya dengan anggukan kecil. "Kenapa bau obatnya sampai mobil Mas?" Rengek Aruna di dalam mobil sambil memegangi perutnya yang bergejolak lagi."Gak ada bau obat di mobil ini Sayang," Denis memberikan kresek pada Aruna untuk memudahkan saat muntah lagi."Tapi bau banget, aku tambah pusing. Tolong matiin AC-nya." Denis menurut saja mematikan AC dan membuka kaca mobil sudah seperti diangkot sedia kresek dan AC alami."Tahan sebentar S
Sedang di dalam ruang bersalin Tian mengomel pada Ressa. Pasalnya sang istri itu berjalan bolak-balik di hadapannya. "Sayang, aku pusing lihat kamu mondar-mandir." "Ini biar dedek tau jalan keluar Mas," ujar Ressa. Pembukaannya belum lengkap, Jadi masih menunggu waktunya melahirkan."Sini aku aja yang nunjukin jalan keluarnya Sayang, aku lebih hapal." Sahut Tian, membuat perawat yang berjaga di ruangan itu tersenyum geli."Mas ngomong apaan sih, bikin malu aja." Ucap perempuan yang mau melahirkan itu ketus."Marah-marah terus, ayo tiduran aja nanti kakimu capek." Ressa tetap saja mondar-mandir. Karena tidak mempan dengan ucapan. Tian membuat istrinya itu berhenti mondar-mandir dengan memeluknya."Kamu ini bisa bikin dedek lama keluar loh, Mas.""Enggak, dedek pintar sama Daddy. Sayang cepat keluar ya, jangan bikin Mommy kesakitan." Bisik Tian di perut Ressa. Tidak berapa lama setelah itu Ressa mengeluh perutnya sangat sakit.Bayi yang ada dalam perut Ressa itu patuh pada Tian. Kelua
Mau melangkahkan kaki masuk rumah, semakin dimarahi lagi nanti. Rumah besar juga salah, dia jadi lelah bicara sambil berteriak-teriak."Oke, Daddy Denis yang panggil Daddy. Sekarang kamu langsung ganti baju Sayang, Mommy yang lihat Buba." Sahut Aruna berjalan mendekati putrinya.Istri Denis itu berjalan cepat ke kolam renang, Ressa duduk di kursi memegangi perutnya kesakitan."Ressa tahan sebentar, Denis masih manggil Tian." Aruna mengelus-elus perut Ressa. Dia bingung harus melakukan apa untuk mengurangi rasa sakit di perut Ressa."Mules banget," lirih Ressa sampai berkeringat dingin."Sayang, kita ke rumah sakit." Tanpa babibu Tian langsung menggendong Ressa, Aruna mengikuti di belakang. Dari kolam renang cukup jauh mendatangi halaman depan. Tian membawa beban berat itu sambil ngos-ngosan."Aku bisa jalan Mas, kalau kamu capek gendongnya." Ujar Ressa kasihan melihat Tian kelelahan menggendong tubuhnya yang menggelembung."Diam Sayang, kamu bisa brojol di sini karena kebanyakan bicar
"Daddy, ini Dea lagi sedih loh.""Oh ya, jadi putri Daddy ini lagi sedih. Sedih kenapa Sayang, ayo cerita dulu sama Daddy." Goda Tian sambil menciumi pipi Dea membawanya ke dapur. Karena tadi putrinya itu bilangnya kelaparan. Entah hanya pura-pura atau beneran."Makasih Daddy, ngerti banget kalau Dea lapar. Sekalian suapin ya," ujar gadis remaja itu usil setelah didudukkan Tian di kursi."Of course Honey, Daddy suapin pake centong biar cepat besar." "Boleh di coba," Deandra menarik kedua sudut bibirnya sambil menganga. Gelak tawa keluar dari mulut Tian melihat kelakuan putrinya itu. Tian memasukkan centong ke mulut Dea yang digigit gadis itu. "Astaga, nasi dibuat mainan!!" Tegur Aruna. Deandra cepat melepaskan centong dari mulutnya lalu ikut tertawa bersama sang Daddy."Mas, anaknya diajarin yang baik toh. Masa disuapin pake centong," omel Aruna."Putrimu yang mau disuapin pake centong Ru, sebagai Daddy yang baikkan aku nurut aja." Tian membela diri."Daddy kok Dea sendiri sih yan
"Bukan dedek yang nakal Sayang, tapi Buba-mu yang minta dimanja." Tian mengerling jahil pada sang istri."Buba nangis terus daddy tinggal, terus puasa makan sama bicara juga. Mulai sekarang Daddy gak boleh tinggalin Buba lagi.""Daddy juga gak mau ninggalin Buba, tapi gimana. Gak mungkin Daddy bawa Buba perjalanan jauh Sayang." Tian memberikan pengertian pada anak gadisnya."Apa yang membuat Daddy sangat cinta sama Buba?" Tanya Dea serius. Dia sering cemburu melihat daddy-nya sangat menyayangi ibu sambungnya itu."Cinta kadang tanpa alasan Sayang, kenapa Dea bertanya seperti itu." Tian melirik Ressa, jawaban umum yang dia berikan itu bisa menjebaknya."Kalau suatu saat nanti Dea mencintai seseorang tanpa alasan, apa Daddy akan merestuinya. Walau orang itu sangat Daddy benci."Tian sangat mengerti kemana arah pembicaraan itu. "Jangan pertanyakan itu sekarang Sayang, kan belum terjadi." Ucap Tian tersenyum, pura-pura tidak mengerti dengan ucapan putrinya."Of course Daddy, aku hanya is