Ressa menghela napas pelan, bibirnya tersenyum getir, seolah-olah dirinya yang melakukan kesalahan.
"Terserah kamu aja mikirnya bagaimana, Tian.""Aku tuh kangen, kamu ngerti gak sih!" Sarkas Tian kesal mendengar kata cerai yang selalu keluar dari mulut istrinya ini."Kamu kesini sebenarnya mau apa?" Ressa lelah kalau bertemu ujung-ujungnya mereka hanya akan berdebat tiada akhir."Aku kangen sama kamu Ressa!" Tegas Tian menekankan, "aku capek nyabar-nyabari kamu, kamu itu gak seperti Aru yang penurut."Ressa melepaskan roti di tangannya, menatap nanar Tian yang baru saja membandingkannya dengan Aruna. Kepalanya mendongak agar air matanya tidak terjatuh. Sakit rasanya dibandingkan seperti ini oleh suami sendiri."Aku gak pernah minta kamu bertahan sama aku Tian, gak pernah. Aku gak pernah minta kamu bertanggung jawab atas janin yang aku kandung dulu, gak pernah. Kalau kamu capek tinggal lepaskan aku, gak usah banding-bandingin akuPerempuan yang baru saja menutup pintu itu tersandar sambil menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. "Hufh, tidak boleh marah, tidak boleh cemburu Ressa," rapalnya dalam hati, menguatkan dirinya sendiri. Sakit, berat, namun semua harus dilaluinya.***Pagi-pagi sekali Ressa membereskan seluruh rumah. Koper sudah siap untuknya pergi, kali ini ia tidak meminta bantuan pada sahabatnya karena Tian pasti akan memaksa Erfan dan Hira untuk memberitahu keberadaannyaSelama satu minggu ini ia sudah menyiapkan semuanya, dari uang cash, perhiasan sebagai tabungan mendesak dan tempat tinggal. Ia sengaja tidak menggunakan ATM agar Tian tidak bisa melacak keberadaannya. Ponsel lama di tinggalnya di rumah, ia juga sudah membeli ponsel dan simcard baru. Tian mungkin tidak akan menceraikannya, jadi biarkan saja dia yang pergi. Selama ada Aruna dan Dea suaminya itu pasti akan baik-baik saja."Bismillah Ya Allah, maafkan aku yang sudah jadi istri
Pakaian Ressa memang tidak banyak, karena pakaian-pakaian mode jahiliyah yang kekurangan bahan sudah dibakar habis. Tentu saja satu koper cukup untuk menampung pakaiannya. Benar saja, kopernya pun tidak ada."Ressa kamu kemana, Sayang?" panik Tian, menyambar ponsel yang berada di atas nakas. Peringatan baterai lowbat yang pertama menyapanya saat membuka ponsel tanpa sandi itu. Hanya panggilan dan pesan darinya yang memenuhi notifikasi.Pantas saja pesannya tidak dibalas. Dengan tangan bergetar, Tian men-scroll layar ponsel Ressa yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Matanya mengembun saat mendapati pesan yang dikirimkan oleh Ressa beberapa hari lalu. Wanita kesayangannya itu meminta izin untuk pergi, entah ingin pergi ke mana atau untuk apa.Kening Tian berkerut. Ia tidak pernah merasa mendapatkan notifikasi ini di ponselnya. Namun di ponsel Ressa sudah terlihat centang dua berwarna biru, itu artinya sudah dibaca. Apa mungkin De
Sudah dua hari ini Tian uring-uringan karena tidak menemukan keberadaan Ressa. Bahkan ia tidak pulang ke rumah Aruna, lebih memilih tidur di rumah yang ditempatinya dengan Ressa dulu."Daddy," panggil Dea mencicit, tidak berani dekat-dekat dengan ayahnya itu lagi. Ia nekat datang ke kantor karena Dad Tian tidak ada pulang ke rumah."Hm," sahut Tian malas. Lebih baik menghindari Dea dan Aruna daripada emosi melihat mereka berdua."Daddy kapan pulang?" Tanya gadis remaja itu takut takut."Tidak tahu," jawab Tian malas.Dea mengerjap, matanya sudah mengembun mendapati sikap dingin Dad Tian.Tian menghela napas lelah, meskipun sebab Dea dia ditinggalkan Ressa, namun semua ini bukanlah salah putrinya itu. Dia yang salah, karena semua berawal dari dirinya."Nanti Daddy pulang, kamu pulang lah dulu diantar Om Denis," ujar Tian akhirnya.***"Masih belum ada kabar Ressa, Mas?" Tanya Aruna yang sedang menemani T
Setelahnya pria itu mengelus kepala Ressa yang terus bergumam tidak jelas, sesekali menyebut namanya lagi."Kamu kenapa?" Bisik Tian lembut, "aku ada di sini, ini Tian yang di sini." Gumamnya untuk menenangkan Ressa.Ressa mencari-cari kenyamanan, memeluk pinggang Tian yang duduk disisi tempat tidur. "Aku benci Tian yang suka main perempuan. Aku benci ibu yang selalu maksa nikah. Aku benci mereka. Aku benci." Gumam Ressa yang bisa di dengar Tian dengan jelas. "Aku bencii mereka!" Ulangnya lagi dengan isak tangis."Tidur Ressa, kamu mabuk!" Tegas Tian melepaskan tangan Ressa dari pinggangnya. Tubuhnya jadi panas dingin karena sentuhan perempuan itu. Ia gegas beranjak mengambil kaos di lemari. Tangan Ressa yang menyentuh kulitnya sangat meresahkan."Jangan pergi!" Rengek Ressa ketika Tian melepaskan tangannya.Baru kali ini Tian melihat Ressa yang rapuh. Biasanya perempuan itu selalu ceria dan galak, tak pernah menunjukkan kesedih
"Dari mana aja kamu, pagi-pagi pulang sama laki-laki." Berang Rina, dia tidak suka Ressa menolak lelaki pilihannya malah memilih laki-laki yang tidak jelas asal usulnya."Dia bos aku Bu, aku ganti baju dulu," ucap Ressa santai."Jadi kamu menolak lelaki baik karena sudah menjadi simpanan bos, hah." Teriak Rina kesal karena punya anak yang tidak bisa menghargai ibunya sendiri."Ibu, sudah-sudah. Ingat tekanan darah, marah-marah terus. Malu kalau dilihat orang apalagi ada tamu." Tegur Amrin, untung telinganya sudah kebal mendengar ocehan istrinya ini setiap hari."Ayo masuk, tunggu Ressa di dalam," ajak Amrin pada Tian. Tian mengangguk, dia baru mengerti bagaimana tertekannya hidup Ressa selama ini. Perempuan paruh baya itu tidak mau melihat ke arah Tian ketika ia mengutarakan niatnya untuk melamar Ressa. Ia ingin secepatnya menikahi perempuan yang sudah memberikan rasa berbeda untuknya."Saya tidak merestui kamu menikah
"Apa kamu berharap rumah tangga kita akan kenapa-kenapa?"Tian mengambil posisi duduk di samping Ressa lalu membawanya dalam pelukan. "Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, Ressa. Pasti akan ada kesalahpahaman dan kerumitan di dalamnya. Ada saatnya nanti kamu lelah untuk bertahan di samping aku. Dan kamu perlu orang yang bisa menjernihkan pikiranmu." "Kalau kamu ragu menikah denganku lebih baik batalkan saja niatmu." Ressa melepaskan pelukan Tian."Hei merajuk!" Goda Tian sambil tertawa kecil, menarik Ressa yang hendak pergi untuk duduk kembali. "Aku cuma gak mau kamu menyesal menikah denganku.""Mas."Tepukan dari Aruna di pipinya membuat Tian mengerjap, matanya telah mengembun. Mungkin malam itu adalah malam terhangat yang pernah ia dan Ressa lalui bersama. Setelahnya Ressa tidak pernah sehangat itu lagi padanya, banyaknya perempuan tanpa status di sisinya membuat hubungan mereka tidak mudah."Ayo aku antar ke kamar," tu
"Honey," Tian menoleh ke arah pintu, sorot matanya sendu saat menatap putrinya yang berdiri dengan wajah marah. "Kemari Sayang," panggilnya lembut pada Deandra.Gadis beranjak remaja itu mendengus kasar, namun dengan langkah gontai ia mendekat. Tangannya terkepal erat, menunjukkan kalau dia tidak suka dengan situasi ini."Daddy sayang sama Dea," ucap Tian sambil mengusap kepala Deandra, mencoba menenangkan hati gadis kecil itu. "Kalaupun Daddy berpisah sama Mommy, itu bukan berarti kami tidak menyayangi Dea. Daddy akan tetap menyayangi Dea, Sayang."Deandra menatap dalam-dalam ke mata ayahnya, mencari kebenaran dari perkataan tersebut. "Daddy mau mencari tante Ressa?" tanya gadis kecil itu dengan nada tidak suka.Tian mengangguk perlahan, menyatakan niatnya dengan tegas. "Daddy harus mencari tante Ressa, Sayang.""Dea nggak mau kalian bercerai!" ujar Deandra dengan suara parau, menahan tangis. Air mata menggenang di sudut matanya, namun d
Sementara itu, di kantornya Tian memijat pelipis pening sambil memejamkan mata saat mengingat pernyataan Deandra yang tidak memperbolehkannya bercerai dengan Aruna. Bagaimana ia bisa mencari Ressa dengan tenang kalau seperti ini."Sibuk Mas?"Suara Aruna membuat Tian membuka mata, di depan pintu ada Aruna dan putrinya."Ada apa Ru?" tanya Tian."Dea mau ngomong, Mas," jawab Aruna dengan nada ragu-ragu sambil memandang putrinya yang tampak gugup."Dea mau ngomong apa sama Daddy?" Tian beranjak mendekati putrinya yang tidak berani mengangkat kepala sejak masuk tadi.Anak itu tampak menarik napas dalam-dalam sebelum berkata. "Bilangin kalau ketemu Tante Ressa, Dea minta maaf," ucap Deandra kemudian menangis tergugu. "Gara-gara Dea, Tante pergi dan Daddy jadi bersedih."Melihat putrinya menangis, Tian segera meraih Dea dalam pelukan. "Sayang, maafin Daddy kalau bikin kamu marah."Dea mengangguk pasrah, wajahnya yang