Pakaian Ressa memang tidak banyak, karena pakaian-pakaian mode jahiliyah yang kekurangan bahan sudah dibakar habis. Tentu saja satu koper cukup untuk menampung pakaiannya.
Benar saja, kopernya pun tidak ada."Ressa kamu kemana, Sayang?" panik Tian, menyambar ponsel yang berada di atas nakas. Peringatan baterai lowbat yang pertama menyapanya saat membuka ponsel tanpa sandi itu. Hanya panggilan dan pesan darinya yang memenuhi notifikasi.Pantas saja pesannya tidak dibalas.Dengan tangan bergetar, Tian men-scroll layar ponsel Ressa yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Matanya mengembun saat mendapati pesan yang dikirimkan oleh Ressa beberapa hari lalu. Wanita kesayangannya itu meminta izin untuk pergi, entah ingin pergi ke mana atau untuk apa.Kening Tian berkerut. Ia tidak pernah merasa mendapatkan notifikasi ini di ponselnya. Namun di ponsel Ressa sudah terlihat centang dua berwarna biru, itu artinya sudah dibaca. Apa mungkin DeSudah dua hari ini Tian uring-uringan karena tidak menemukan keberadaan Ressa. Bahkan ia tidak pulang ke rumah Aruna, lebih memilih tidur di rumah yang ditempatinya dengan Ressa dulu."Daddy," panggil Dea mencicit, tidak berani dekat-dekat dengan ayahnya itu lagi. Ia nekat datang ke kantor karena Dad Tian tidak ada pulang ke rumah."Hm," sahut Tian malas. Lebih baik menghindari Dea dan Aruna daripada emosi melihat mereka berdua."Daddy kapan pulang?" Tanya gadis remaja itu takut takut."Tidak tahu," jawab Tian malas.Dea mengerjap, matanya sudah mengembun mendapati sikap dingin Dad Tian.Tian menghela napas lelah, meskipun sebab Dea dia ditinggalkan Ressa, namun semua ini bukanlah salah putrinya itu. Dia yang salah, karena semua berawal dari dirinya."Nanti Daddy pulang, kamu pulang lah dulu diantar Om Denis," ujar Tian akhirnya.***"Masih belum ada kabar Ressa, Mas?" Tanya Aruna yang sedang menemani T
Setelahnya pria itu mengelus kepala Ressa yang terus bergumam tidak jelas, sesekali menyebut namanya lagi."Kamu kenapa?" Bisik Tian lembut, "aku ada di sini, ini Tian yang di sini." Gumamnya untuk menenangkan Ressa.Ressa mencari-cari kenyamanan, memeluk pinggang Tian yang duduk disisi tempat tidur. "Aku benci Tian yang suka main perempuan. Aku benci ibu yang selalu maksa nikah. Aku benci mereka. Aku benci." Gumam Ressa yang bisa di dengar Tian dengan jelas. "Aku bencii mereka!" Ulangnya lagi dengan isak tangis."Tidur Ressa, kamu mabuk!" Tegas Tian melepaskan tangan Ressa dari pinggangnya. Tubuhnya jadi panas dingin karena sentuhan perempuan itu. Ia gegas beranjak mengambil kaos di lemari. Tangan Ressa yang menyentuh kulitnya sangat meresahkan."Jangan pergi!" Rengek Ressa ketika Tian melepaskan tangannya.Baru kali ini Tian melihat Ressa yang rapuh. Biasanya perempuan itu selalu ceria dan galak, tak pernah menunjukkan kesedih
"Dari mana aja kamu, pagi-pagi pulang sama laki-laki." Berang Rina, dia tidak suka Ressa menolak lelaki pilihannya malah memilih laki-laki yang tidak jelas asal usulnya."Dia bos aku Bu, aku ganti baju dulu," ucap Ressa santai."Jadi kamu menolak lelaki baik karena sudah menjadi simpanan bos, hah." Teriak Rina kesal karena punya anak yang tidak bisa menghargai ibunya sendiri."Ibu, sudah-sudah. Ingat tekanan darah, marah-marah terus. Malu kalau dilihat orang apalagi ada tamu." Tegur Amrin, untung telinganya sudah kebal mendengar ocehan istrinya ini setiap hari."Ayo masuk, tunggu Ressa di dalam," ajak Amrin pada Tian. Tian mengangguk, dia baru mengerti bagaimana tertekannya hidup Ressa selama ini. Perempuan paruh baya itu tidak mau melihat ke arah Tian ketika ia mengutarakan niatnya untuk melamar Ressa. Ia ingin secepatnya menikahi perempuan yang sudah memberikan rasa berbeda untuknya."Saya tidak merestui kamu menikah
"Apa kamu berharap rumah tangga kita akan kenapa-kenapa?"Tian mengambil posisi duduk di samping Ressa lalu membawanya dalam pelukan. "Tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus, Ressa. Pasti akan ada kesalahpahaman dan kerumitan di dalamnya. Ada saatnya nanti kamu lelah untuk bertahan di samping aku. Dan kamu perlu orang yang bisa menjernihkan pikiranmu." "Kalau kamu ragu menikah denganku lebih baik batalkan saja niatmu." Ressa melepaskan pelukan Tian."Hei merajuk!" Goda Tian sambil tertawa kecil, menarik Ressa yang hendak pergi untuk duduk kembali. "Aku cuma gak mau kamu menyesal menikah denganku.""Mas."Tepukan dari Aruna di pipinya membuat Tian mengerjap, matanya telah mengembun. Mungkin malam itu adalah malam terhangat yang pernah ia dan Ressa lalui bersama. Setelahnya Ressa tidak pernah sehangat itu lagi padanya, banyaknya perempuan tanpa status di sisinya membuat hubungan mereka tidak mudah."Ayo aku antar ke kamar," tu
"Honey," Tian menoleh ke arah pintu, sorot matanya sendu saat menatap putrinya yang berdiri dengan wajah marah. "Kemari Sayang," panggilnya lembut pada Deandra.Gadis beranjak remaja itu mendengus kasar, namun dengan langkah gontai ia mendekat. Tangannya terkepal erat, menunjukkan kalau dia tidak suka dengan situasi ini."Daddy sayang sama Dea," ucap Tian sambil mengusap kepala Deandra, mencoba menenangkan hati gadis kecil itu. "Kalaupun Daddy berpisah sama Mommy, itu bukan berarti kami tidak menyayangi Dea. Daddy akan tetap menyayangi Dea, Sayang."Deandra menatap dalam-dalam ke mata ayahnya, mencari kebenaran dari perkataan tersebut. "Daddy mau mencari tante Ressa?" tanya gadis kecil itu dengan nada tidak suka.Tian mengangguk perlahan, menyatakan niatnya dengan tegas. "Daddy harus mencari tante Ressa, Sayang.""Dea nggak mau kalian bercerai!" ujar Deandra dengan suara parau, menahan tangis. Air mata menggenang di sudut matanya, namun d
Sementara itu, di kantornya Tian memijat pelipis pening sambil memejamkan mata saat mengingat pernyataan Deandra yang tidak memperbolehkannya bercerai dengan Aruna. Bagaimana ia bisa mencari Ressa dengan tenang kalau seperti ini."Sibuk Mas?"Suara Aruna membuat Tian membuka mata, di depan pintu ada Aruna dan putrinya."Ada apa Ru?" tanya Tian."Dea mau ngomong, Mas," jawab Aruna dengan nada ragu-ragu sambil memandang putrinya yang tampak gugup."Dea mau ngomong apa sama Daddy?" Tian beranjak mendekati putrinya yang tidak berani mengangkat kepala sejak masuk tadi.Anak itu tampak menarik napas dalam-dalam sebelum berkata. "Bilangin kalau ketemu Tante Ressa, Dea minta maaf," ucap Deandra kemudian menangis tergugu. "Gara-gara Dea, Tante pergi dan Daddy jadi bersedih."Melihat putrinya menangis, Tian segera meraih Dea dalam pelukan. "Sayang, maafin Daddy kalau bikin kamu marah."Dea mengangguk pasrah, wajahnya yang
"Aru nggak ada disini?" Tian mengernyitkan alis saat ayah mertuanya mengatakan kalau sejak semalam perempuan itu tidak pulang ke rumah, lalu pergi kemana? Padahal bilangnya ingin menginap di rumah ayah. Setelah dipikir-pikir tidak mungkin juga, Aru sedang menghindari ibunya."Dad, apa Mommy kabur juga seperti Tante Ressa," cemas Deandra sambil memegang erat jas daddy nya. "Nanti Daddy tanya Om Denis dulu ya, siapa tahu Om Denis yang nemenin Mommy. Kamu Daddy antar ke sekolah sekarang ya," Tian menenangkan putrinya, jangan sampai Aruna ikutan kabur juga. Mencari Ressa saja dia sudah dibuat pusing tujuh keliling.***"Ck," Tian berdecak saat mengetahui Aruna berada di apartemen Denis. "Dia masih istri gue, lo cicil duluan?" geramnya pada sang sahabat yang berstatus sebagai asisten pribadi."Enak aja, harusnya gue yang perlu waspada sama istri gila lo itu, dah bawa pulang sana." Denis membenamkan tubuhnya di sofa, masih mengantuk karena menemani Aruna yang hampir menangis sepanjang mal
"Sayang, kamu dimana, aku kangen," lirihnya. Berharap suatu saat ia bisa bertemu lagi dengan Ressa, dan mengungkapkan segala kerinduannya yang telah membuncah di hati.Dea berdiri di depan pintu, matanya mengembun saat mendengar suara kesedihan sang ayah. Dad Tian, sosok yang selama ini dikenalnya sebagai pria tegar, kini menangis dalam kesendirian. Ia merasa bertanggung jawab atas semua ini.Karena dia membenci Tante Ressa hingga membuat Dad Tian menjadi begini. Andai saja dia bisa menerima Tante Ressa dengan tulus, mungkin Dad Tian akan bahagia seperti Mom Aru"Hey, kenapa masih berdiri di tengah pintu," tegur Denis pada putri sambungnya yang terdiam."Dea sedih lihat Dad Tian diam-diam menangis sendirian," jawab Dea dengan suara lirih.Denis menghampiri Dea dan menepuk lembut kedua bahu gadis itu. "Nggak usah sesali yang sudah berlalu ya, Dad Tian juga sudah memaafkan Dea. Kita masih usaha mencari Tante Ressa," ucap Denis memberi semangat.Dea mengangguk, berusaha menenangkan hatin