"Nami, ini aku."Leony datang ke rumah Samudra yang sementara ini ditempati oleh Nami. "Le, ayo, masuk! Duh, maaf banget ngerepotin!"Nami mengambil keranjang belanjaan yang dijinjing Leony. Nami terpaksa meminta tolong pada sahabatnya tersebut untuk belanja bulanan. Ia sudah seminggu tak bisa kemana-mana. "Nggak papa." Leony menyahut dengan senyum datar. Menahan kesal pada Nami yang cuma bisa cengengesan. "Jadi berapa semuanya?" Nami hendak mengganti uang yang digunakan Leony untuk membayarkan belanjaan. Namun sahabatnya itu hanya bersedekap dan menatap Nami dengan ironi. "Ke-kenapa?""Kamu anggap aku teman nggak, sih? Kamu kayak ngilang, Nam, beberapa bulan ini. Muncul juga di sosmed sama grup chat, sesekali doang. Harus banget pas udah kejepit gini, baru ingat punya teman?"Nami juga tidak nyaman sebenarnya harus menghubungi Leony dan langsung meminta tolong. Itu masih untung menghubungi bukan dengan maksud pinjam dulu seratus. "Maaf, Nam. Aku juga sebenarnya kangen sama kamu
"Wah, aku tak menyangka jika penonton liveku masih banyak. Sejujurnya aku sempat kepikiran untuk menutup kolom komentar. Akan tetapi, itu hanya akan menjadi komunikasi satu arah. Jadi aku memutuskan untuk tetap mengaktifkannya. Namun aku tidak berjanji, jika nanti bisa jadi akan menutupnya, apabila ada komentar-komentar yang tidak membuatku nyaman untuk dilihat."Nami dan Leony sama-sama tegang menonton live Samudra. Mungkin juga, semua mellifluous, netizen non fans, orang-orang yang bersangkutan, sampai keluarga Samudra pun ikut menyimak live dari public figure yang menghilang sepekan. "Apa ada yang merindukanku? Atau sebaliknya, kalian malah ingin aku menghilang lebih lama?"Samudra tertawa sembari mengusak rambutnya. Rambut itu mulai menebal dan memanjang. Ia meraih topi berwarna hitam di sisi meja dan mengenakannya terbalik, dimana bagian pelindung muka diputar ke belakang kepala."Ah, mengapa reaksi kalian seperti ini? Kalian memang luar biasa. Ku kira aku akan banyak dicibir se
"Duh, yang satu minggu nggak ada kabar."Nami kedatangan tamu pagi itu. Tidak lain dan tidak bukan adalah Samudra Dirgantara yang aroma sabun mandinya masih keciuman. Nami jadi bersyukur berniat mandi pagi. Padahal tadi sempat malas memutuskan bersih-bersih. Tidak terbayang bagaimana dirinya yang kumal harus menghadapi seorang Samudra."Boleh masuk?" Samudra meminta izin. Tentu saja Nami heran mendengarnya."Rumah kamu, kan, Mas? Masa aku nggak bolehin masuk?"Samudra masuk dan Nami menutup pintu. Keheningan yang menerpa, canggung seketika untuk memulai obrolan yang terjeda satu pekan. Keduanya duduk dalam senyap. Saling menatap satu sama lain, menahan malu dan rindu. Mungkin hampir dua menit mereka saling membisu. Sampai akhirnya Samudra menggeser bokong, mendekati Nami yang semakin gugup diantara malu.Tangan yang tergeletak di atas paha itu, digenggam Samudra. Hangat menjalar sampai ke dada. Insting keduanya, mengarah pada tatapan tak terbaca. Sampai akhirnya, Samudra mengecup
"Nyebelin banget, sih, Mas! Aku jadi mandi dua kali!"Nami menghentak-hentakkan kaki dan mulutnya bisa saja copot jika bukan ciptaan Tuhan. Samudra tertawa sembari menggosok-gosok ketiaknya dengan sabun. Nami menatap kesal pada Samudra. Sesekali tatapannya fokus pada pemandangan ketiak Samudra yang ternyata berbulu lebat. "Kamu kenapa teriak-teriak?""Gimana nggak teriak, Mas? Aku panik. Mukanya mas mirip laki-laki hidung belang soalnya tadi."Bagaimana Nami tidak berburuk sangka ke arah sana, jika tangannya ditarik. Terus tubuhnya dibawa Samudra dengan entengnya ke bawah shower. Basah kuyup. Nami meronta, berteriak, memukul-mukul Samudra panik. Samudra malah tertawa. Tawa yang tentu sangat menggema dan jatuhnya seram saat di kamar mandi. "Kurang ajar kamu nuduh pacar sendiri macam laki-laki hidung belang. Hidungku mulus begini, walau belum dicabut komedonya."Nami hampir tertawa, tapi ia tetap mempertahankan mode ngambeknya. Sesekali dikerjai punya pacar, asyik juga."Jangan cemb
"Mas, mama ketangkep polisi."Samudra lekas pergi ke kantor polisi yang disebutkan oleh Nami di telepon. Samudra tidak menemukan Nami. Ia malah berpapasan dengan gerombolan jurnalis. Samudra yakin mereka bukan kuli tinta khusus meliput berita selebriti. Mereka adalah wartawan yang memang khusus meliput kasus kriminal. Tetap saja Samudra harus waspada. Ia menelusup dari pintu lain. Sempat ditegur polisi yang kebetulan melihat."Saya ingin menemui anak dari tersangka penipuan yang baru ditangkap hari ini."Polisi tampaknya enggan meloloskan izin. Akan tetapi, Samudra terpaksa menggunakan privillagenya sebagai seorang public figure. Ia membuka maskernya sebentar dan polisi tersebut mengangguk paham."Tapi ... pacarmu sedang berhadapan dengan jurnalis." "Mengapa begitu?!""Polisi baru saja mengadakan konferensi pers."Ya. Samudra menontonnya secara live streaming di ponsel saat di perjalanan. Terlihat jelas, mama dan papa tiri Nami telah menggunakan seragam orange dan keduanya diperlih
("Nami, untuk sementara, break dulu dengan Samudra. Maaf, bukan maksud ibu menyakiti kamu. Tapi kamu pasti paham alasan ibu melakukan ini.")Siapa yang pernah gagal hidupnya di segala aspek?Keluarga hancur, asmara terhalang restu, dan dunia sedang mengarahkan pedang ke arah Nami. Usai Nami membaca berita yang menceritakan tentang dirinya yang adalah korban pelecehan seksual. Nami mendapat pesan dari ibunya Samudra. Yang Nami lakukan pertama kali setelah menerima semua itu, bukanlah menangis. Dirinya sudah terlampau lelah untuk membuang air mata. Dengan sisa tenaga, mengumpulkan puing-puing hati yang berserakan. Nami juga mengumpulkan semua barang-barang berharganya. Nami memang tak diusir. Akan tetapi, sangat tidak tahu diri jika Nami masih tinggal di rumah milik Samudra. ("Sayang, jangan diambil hati jika pesan yang kamu terima dari ibu, berisi hal yang sensitif. Aku akan meyakinkan ibu dan ayah untuk hubungan ini. Aku tidak melepaskanku, Nona. Tunggu aku.")Nami tidak berbunga-
Memang jika bisa, para sahabat selalu bisa berada di sekeliling kita disaat kita butuh peluk, tawa hangat, dan canda lucu mereka. Namun Nami sadar apabila seiring berjalannya usia, para sahabat tidak akan selalu ada untuk kita. Bukan karena mereka tidak ingin membersamai. Kedewasaan seseorang akan dituntut oleh tanggung jawab yang semakin memicu prioritas dari usia yang menua. Berkumpul bersama sahabat, tidak bisa menjadi rutinitas harian. Maka dari itu, pertemuan kala itu sangat dirasa spesial bagi Nami. Telah lama dirinya tak merasakan kehangatan dan tertawa lepas sampai rahang kebas dan sakit perut seperti kala itu. Hingga dini hari, tidak ada yang beranjak tidur. Kamar hotel yang mereka sewa, bahkan itu gratis, karena difasilitasi oleh suaminya Arsyi, masih terdengar gelak tawa yang riuh. Mereka cuma berempat, tapi berisiknya seakan-akan lebih dari sepuluh orang. Untung kamar hotelnya kedap suara. Jadi mau mereka terbahak sampai Nami berulang kali pipis pun, tak jadi masalah.
"Mas Dirga mabuk?"Yang dilihat Nami pertama kali saat membiarkan pintu studio ditutup di belakangnya adalah adanya aroma alkohol yang pekat. "Aku nggak mimpi, kan?"Samudra dengan kalimat tidak formalnya, muncul begitu saja. Nami semakin yakin jika Samudra memang berada di bawah pengaruh minuman."Tunggu sebentar." Samudra membuka pintu lagi dan pergi meninggalkan Nami sendirian. Samudra kembali ketika Nami sedikit membereskan studio Samudra, dimana sebelumnya letak selimut dan bantal berantakan. Juga ada bungkus makanan dan minuman di lantai. Satu-satunya tempat yang tidak disinggung Nami, hanyalah meja kerja tempat Samudra bermain musik.Samudra kembali dengan tampilan sedikit segar. Sepertinya pria itu mencuci muka dan menyikat gigi."Aku punya sedikit sisa roti." "Aku memesan sarapan." Nami memotong dan duduk di sofa lebar yang tadinya digunakan Samudra untuk tidur."Kayaknya kamu nggak bisa diajak ngobrol.""Nggak usah ngobrol. Kamu diam aja, biar aku pandangin seharian."Na