Samudra tahu jika Nami tidak bermaksud ingin benar-benar mati. Nami dan mereka yang menyebutkan kematian, tidaklah sungguh ingin mati. Mereka hanya lelah dan membutuhkan pertolongan akan deraan hidup yang menghantam kehidupan. Ujian naik level setiap manusia memang berbeda. Samudra sebagai manusia yang punya hati nurani, tentu tidak akan meninggalkan Nami sendirian disaat terpuruknya. Nami terpaksa harus merelakan rumah yang penuh kenangan suka dan duka bersama mendiang papanya. Entah bagaimana kelanjutannya, Nami dibawa Samudra ke suatu tempat. Nami kembali disuntik penenang agar bisa menstabilkan mentalnya yang carut marut. Jejak air mata berkumpul di wajah ayu Nami yang biasanya terlihat paling cerah saat di hadapan orang lain. “Sam, kakak kira udah cukup kamu terlalu dalam masuk ke masalah yang Nami. Yang kemarin, kakak sama ayah dan ibu masih biarin kamu mendampingi Nami, meski kamu jelas nggak salah sama sekali. Namun sekarang sudah cukup, Bro. Kamu kembali fokus sama pekerj
Samudra sadar jika masalah Nami yang sekarang sama sekali bukan tanggung jawabnya. Pria itu hanya ingin menghapus kesedihan dari wajah rapuh gadis itu. Samudra lebih suka untaian senyum Nami dibanding tangis sesaknya."Segitunya kamu sama penggemar yang satu ini.""Kenapa? Kamu cemburu?""Iya. Nanti kalau aku sedih, hibur aku juga."Samudra juga tak mengerti, sebab dirinya begitu effort melakukan itu semua untuk Nami. Padahal dirinya tidak harus menghibur sampai meminta keempat anggota Squirrel Crush yang lain untuk membantunya melakukan persiapan.Agenda itu lancar total dengan Nami yang menangis haru. Meski Nami enggan memperpanjang derai air matanya di hadapan lima pria dewasa yang datang memberi kejutan manis kepadanya. "Mas nggak perlu begini padahal. Saya banyak berhutang budi dan materi sama mas.""Ini tak seberapa. Mungkin apa yang saya berikan belum mampu membuat nona mengembalikan situasi."Nami menggeleng,"Bukan tanggung jawab mas mengembalikan itu semua. Makasih sudah mau
“Maaf, Mas. Saya …. ““Tidak masalah sama sekali. Ini hanya air. Saya dan yang lain juga sering berbagi minuman.”Nami malu bukan kepalang. Ia tidak ingin Samudra mengira dirinya sengaja melakukan itu. Nami sungguh menyesal, karena salah ambil botol. Akibat suasana yang semakin canggung, Samudra akhirnya pamit undur diri. Namun tetap saja, Samudra memastikan Nami akan baik-baik saja selama ditinggal. “Nona, nanti saya mampir lagi.”“Nggak usah, Mas. Soalnya nanti saya mau nya-“Nami sampai terpotong kalimatnya, karena saat ia spontan mengangkat wajahnya yang masih tersisa rasa malu. Nami tak sengaja melihat Samudra menjilat bibirnya. Nami menggerakkan kepalanya dengan cepat untung membuang segala pikiran negatif. Untung saja Samudra tidak melihatnya. “Iya, Nona? Kenapa?”“Uhm,” Nami jadi lupa apa yang ingin dikatakannya. “Nggak, Mas. Hati-hati di jalan.” Akhirnya Nami menyerah dengan cepat akan ucapan yang ia lupakan begitu saja. Samudra pun pergi. Setelahnya, barulah Nami ingat
“Kakak becanda?”“Nggak, lah. Cek aja di google. Ada beritanya di awal tahun. Mahasiswi bunuh diri, karena stress ngerjain skripsi dan dapat dosen pembimbing yang susah ditemui.”Nami langsung mengeceknya untuk memastikan jika sang mantan gebetan tidak membual. Ternyata itu benar. Lokasi dan kamar yang dimaksud tidak disensor oleh situs-situs berita. Bahkan nama mahasiswinya masih terpampang jelas di internet. Nami pucat pasi seketika. Memang sangat tidak masuk akal ada kamar indekos murah, dicat baru, kosong empat bulan, dan diisi perabotan langsung. Sekarang ia mengerti, mengapa tetangga belakang indekos menyilangkan lengan ke arahnya. Rupanya itu adalah kode untuk tidak menyewa di sana. Sayang, Nami tidak mengerti akan kode tersebut. “Yeah, Nami … Nami. Kamu nggak berubah dari sejak kuliah. Masih gampang dikibulin orang lain.”Davin bisa membaca ekspresi Nami yang sangat mudah ditebak jika ia baru saja melakukan kesepakatan untuk tinggal di indekos murah tersebut. “Sini aku teme
“Saya nggak sengaja ketemu Kak Davin, Mas.”“Hmm.”“Saya dipaksa masuk ke rumah makan padang.”“Ya.”“Mas marah?”“Tidak.”“Kok jawabnya singkat-singkat gitu?”“Saya biasa saja.”“Nggak. Saya ngerasa kalau Mas Dirga marah sama saya. Saya nggak ngasih nomor ponsel ke Kak Davin, Mas.”Samudra terlihat kurang ramah saat itu. Ia datang keesokan hari, muncul di indekos yang baru Nami sewa. Nami sungguh mengabari Samudra akan kepindahannya. Samudra hanya membaca deretan pesannya. Tidak ada balasan semalaman dan pagi-pagi sekali, Samudra datang membawakan sarapan. Nami yang masih ketiduran, tentu kaget dengan suara ketukan di pintu. Ia pikir yang mengetuk adalah bapak pemilik kos, si Pak Sarkojin. Rupanya yang datang adalah Samudra dengan masker yang melekat di wajahnya. Nami yang tidak mengenakan riasan, rambut berantakan, belum sikat gigi, dan belum mandi pun, sontak menutup pintu lagi. Namun setelah pertimbangan singkat, ia biarkan Samudra masuk dan meminta lelaki itu untuk tidak menutu
“Mas, ini kost-kostan emang campuran, tapi aku nggak bisa ngizinin mas nginep.”Nami tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada perempuan dan laki-laki yang hanya berduaan di ruangan yang tidak begitu luas, dimana dinding dan atap menutupi aktivitas keduanya dari luar. Dan itu kemungkinan akan ada ikut campur pihak ketiga, bernama setan.“Pak Sarkojin sudah memberi izin.”Samudra mengatakan jika dirinya ingin menjaga Nami. Kebetulan juga besok Samudra ada pekerjaan di dekat dengan indekosnya Nami. “Mas, kita beda jenis kelamin.”“Nona bisa pukul saya menggunakan ini, jika saya berani macam-macam.”Nami tercengang saat Samudra tiba-tiba menyerahkan sebuah tongkat baseball sebagai jaminan bahwa dirinya tidak akan berani macam-macam di kamar kost yang dihuni perempuan. “Mas Dirga, nggak gitu maksud saya.”“Terus bagaimana?”Sayang Nami tidak bisa mengatakannya, karena Nami justru takut dirinya yang khilaf bila ada Samudra di kamarnya. Bukan khilaf dalam artian Nami akan melucuti pa
“Nona tidak kepanasan, sembunyi dalam selimut begitu?”Hampir dua puluh menit mereka saling diam. Samudra berusaha mencairkan suasana kembali setelah meyakinkan hatinya jika Nami memuji barusan tidaklah harus membuatnya tergelitik seperti tadi.“Nona? Sudah tidur?”Nami tidak ada menyahut sama sekali. Mungkin benar jika gadis itu sudah tidur. Namun Samudra ingin mengetes sekali lagi.“Bagaimana pertemuan dengan editor hari ini? Katanya nona sudah diharuskan merevisi karyanya. Selamat, Nona. Saya turut bangga. Saya dan yang lain sudah tidak sabar menunggu hasil akhirnya.”Samudra mendekat tanpa suara ke tempat tidur Nami. Dengan perlahan, Samudra menyingkap selimut di bagian wajah Nami.Samudra tersenyum melihatnya. Nami memang sudah tertidur dengan bibir membuka sedikit. Lucu sekali.“Semoga kesibukan nona yang baru ini, mampu membahagiakan nona.”Samudra pun turut mengampar bed cover di lantai, tepat di depan pintu masuk. Pria itu sengaja membawanya dari studio.Sebelum Samudra berba
"Kakak naksir Nami."Samudra membantah apa yang dikatakan Arson dengan gamblang. Samudra awalnya cuma curhat tentang mengapa dirinya suka aneh saat melihat Nami belakangan ini."Tidak seperti itu.""Ah, aku salah. Kakak memang nggak naksir Nami, tapi jatuh cinta sama Nona Nami."Arson merevisi perkataannya yang tentu saja semakin dibantah Samudra. "Apa bedanya naksir dan jatuh cinta?""Jelas beda, lah. Naksir cuma sebatas suka. Belum ugal-ugalan. Kalau jatuh cinta debarannya beda," ujar Arson yang entah mengutip ilmu dari mana. "Ini tidak sama dengan saat aku jatuh cinta dengan Raline.""Hah? Yakin sama Raline dulu cinta?" sahut Junot yang sejak tadi terkesan malas mendengarkan cerita Samudra mengenai Nami."Cinta macam apa yang nyuekkin separah itu? Kalau beneran cinta, sesibuk apapun pasti bakalan meluangkan waktu untuk ketemu. Seperti apa yang kakak lakuin ke Nami sekarang." Perkataan Junot disetujui oleh Arson."Perhatian banget sama Nami. Kirain emang udah naksir dan coba pede