“Kakak becanda?”“Nggak, lah. Cek aja di google. Ada beritanya di awal tahun. Mahasiswi bunuh diri, karena stress ngerjain skripsi dan dapat dosen pembimbing yang susah ditemui.”Nami langsung mengeceknya untuk memastikan jika sang mantan gebetan tidak membual. Ternyata itu benar. Lokasi dan kamar yang dimaksud tidak disensor oleh situs-situs berita. Bahkan nama mahasiswinya masih terpampang jelas di internet. Nami pucat pasi seketika. Memang sangat tidak masuk akal ada kamar indekos murah, dicat baru, kosong empat bulan, dan diisi perabotan langsung. Sekarang ia mengerti, mengapa tetangga belakang indekos menyilangkan lengan ke arahnya. Rupanya itu adalah kode untuk tidak menyewa di sana. Sayang, Nami tidak mengerti akan kode tersebut. “Yeah, Nami … Nami. Kamu nggak berubah dari sejak kuliah. Masih gampang dikibulin orang lain.”Davin bisa membaca ekspresi Nami yang sangat mudah ditebak jika ia baru saja melakukan kesepakatan untuk tinggal di indekos murah tersebut. “Sini aku teme
“Saya nggak sengaja ketemu Kak Davin, Mas.”“Hmm.”“Saya dipaksa masuk ke rumah makan padang.”“Ya.”“Mas marah?”“Tidak.”“Kok jawabnya singkat-singkat gitu?”“Saya biasa saja.”“Nggak. Saya ngerasa kalau Mas Dirga marah sama saya. Saya nggak ngasih nomor ponsel ke Kak Davin, Mas.”Samudra terlihat kurang ramah saat itu. Ia datang keesokan hari, muncul di indekos yang baru Nami sewa. Nami sungguh mengabari Samudra akan kepindahannya. Samudra hanya membaca deretan pesannya. Tidak ada balasan semalaman dan pagi-pagi sekali, Samudra datang membawakan sarapan. Nami yang masih ketiduran, tentu kaget dengan suara ketukan di pintu. Ia pikir yang mengetuk adalah bapak pemilik kos, si Pak Sarkojin. Rupanya yang datang adalah Samudra dengan masker yang melekat di wajahnya. Nami yang tidak mengenakan riasan, rambut berantakan, belum sikat gigi, dan belum mandi pun, sontak menutup pintu lagi. Namun setelah pertimbangan singkat, ia biarkan Samudra masuk dan meminta lelaki itu untuk tidak menutu
“Mas, ini kost-kostan emang campuran, tapi aku nggak bisa ngizinin mas nginep.”Nami tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada perempuan dan laki-laki yang hanya berduaan di ruangan yang tidak begitu luas, dimana dinding dan atap menutupi aktivitas keduanya dari luar. Dan itu kemungkinan akan ada ikut campur pihak ketiga, bernama setan.“Pak Sarkojin sudah memberi izin.”Samudra mengatakan jika dirinya ingin menjaga Nami. Kebetulan juga besok Samudra ada pekerjaan di dekat dengan indekosnya Nami. “Mas, kita beda jenis kelamin.”“Nona bisa pukul saya menggunakan ini, jika saya berani macam-macam.”Nami tercengang saat Samudra tiba-tiba menyerahkan sebuah tongkat baseball sebagai jaminan bahwa dirinya tidak akan berani macam-macam di kamar kost yang dihuni perempuan. “Mas Dirga, nggak gitu maksud saya.”“Terus bagaimana?”Sayang Nami tidak bisa mengatakannya, karena Nami justru takut dirinya yang khilaf bila ada Samudra di kamarnya. Bukan khilaf dalam artian Nami akan melucuti pa
“Nona tidak kepanasan, sembunyi dalam selimut begitu?”Hampir dua puluh menit mereka saling diam. Samudra berusaha mencairkan suasana kembali setelah meyakinkan hatinya jika Nami memuji barusan tidaklah harus membuatnya tergelitik seperti tadi.“Nona? Sudah tidur?”Nami tidak ada menyahut sama sekali. Mungkin benar jika gadis itu sudah tidur. Namun Samudra ingin mengetes sekali lagi.“Bagaimana pertemuan dengan editor hari ini? Katanya nona sudah diharuskan merevisi karyanya. Selamat, Nona. Saya turut bangga. Saya dan yang lain sudah tidak sabar menunggu hasil akhirnya.”Samudra mendekat tanpa suara ke tempat tidur Nami. Dengan perlahan, Samudra menyingkap selimut di bagian wajah Nami.Samudra tersenyum melihatnya. Nami memang sudah tertidur dengan bibir membuka sedikit. Lucu sekali.“Semoga kesibukan nona yang baru ini, mampu membahagiakan nona.”Samudra pun turut mengampar bed cover di lantai, tepat di depan pintu masuk. Pria itu sengaja membawanya dari studio.Sebelum Samudra berba
"Kakak naksir Nami."Samudra membantah apa yang dikatakan Arson dengan gamblang. Samudra awalnya cuma curhat tentang mengapa dirinya suka aneh saat melihat Nami belakangan ini."Tidak seperti itu.""Ah, aku salah. Kakak memang nggak naksir Nami, tapi jatuh cinta sama Nona Nami."Arson merevisi perkataannya yang tentu saja semakin dibantah Samudra. "Apa bedanya naksir dan jatuh cinta?""Jelas beda, lah. Naksir cuma sebatas suka. Belum ugal-ugalan. Kalau jatuh cinta debarannya beda," ujar Arson yang entah mengutip ilmu dari mana. "Ini tidak sama dengan saat aku jatuh cinta dengan Raline.""Hah? Yakin sama Raline dulu cinta?" sahut Junot yang sejak tadi terkesan malas mendengarkan cerita Samudra mengenai Nami."Cinta macam apa yang nyuekkin separah itu? Kalau beneran cinta, sesibuk apapun pasti bakalan meluangkan waktu untuk ketemu. Seperti apa yang kakak lakuin ke Nami sekarang." Perkataan Junot disetujui oleh Arson."Perhatian banget sama Nami. Kirain emang udah naksir dan coba pede
“So, do you miss her, Mas Dirga?” Umang menggoda Samudra yang sudah seminggu tidak menemui Nona Nami. Tiba-tiba saja hari ini, Samudra reflek menyebut kata Nona Nami saat Umang datang ke studionya dengan wangi parfum Nami yang melekat. Tanpa menoleh, Samudra menyebut Nona Nami dengan tanda tanya diujung kalimat. Wajahnya sumringah dan seketika melunturkan senyum dengan kecewa saat yang ia lihat di ambang pintu adalah Umang. “Hey, Bim. Sudah makan? Beli sarapan dulu kita.”“Dah, Mas. Mas mandi aja sekarang. Terus temuin Kak Nami.”Umang menghempaskan dirinya di sofa dan menyomot keripik kentang yang terabaikan di meja. “kamu ingin rekaman, Bim?”“Santai, lah, Mas Dirga.” Umang tampaknya ingin membuat Samudra semakin ingin kepikiran Nami. “Kata Kak Junot, Mas Dirga udah punya lagu baru sealbum, ya?”“Jangan memanggilku seperti itu, Bim.”“Kenapa? Yang boleh manggil begitu, si Kak Nami aja, ya?” Umang tertawa penuh kemenangan saat wajah Samudra memerah sampai ke telinganya. “Terim
“Mas?”“Maaf, Nona! Maksud saya setirnya cantik.”Samudra ingin menepuk mulutnya yang sudah menyeletuk tidak tahu diri. Memang yang ia katakan secara spontan tadi adalah kata pujian yang baik. Akan tetapi, tetap saja Samudra terlanjur malu sampai harus mengklarifikasi. Nami yang mendengar penjelasan lebih lanjut itu hanya tersenyum maklum. “Apa kabar, Mas Dirga? Seminggu nggak ada kabar. Oh, iya. Konser Squirrel Crush di New City International Studion udah dirilis infonya di semua sosial media resmi Squirrel Crush dan Ocean Entertainment.”“Tiketnya nona masih ada, bukan? Nona harus meluangkan waktu saat itu untuk melihat penampilan kami.”“Pasti, lah! Kabarnya mas gimana?” Nami mengulang pertanyaannya. Tanpa sadar senyum lebar Samudra semakin sumringah. “Baik. Nona Nami ada di kost?”“Ada.”“Boleh mampir?”Nami mengangguk. Dari wajahnya seperti menahan diri untuk tidak menarik kedua sudut bibir secara berlebihan. “Saya tunggu, Mas.”“Oke. Saya akan tiba dalam beberapa menit lagi
Nami tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa sepanjang jalan. Samudra sungguh diluar dugaan. Tidak ada rasa malu sama sekali saat menggenjot becak yang katanya ia sewa dari seorang bapak yang sedang menunggu penumpang."Mas, pasti paparazzi yang ngintipin mas, dapat foto estetik."Meski Nami juga was-was akan keberadaan dirinya di samping Samudra. Jarak dari Indo April dan indekost tidak terlalu jauh. Selepas menurunkan belanjaan, Samudra mengembalikan becak pada pemiliknya. Tak lupa ongkos sewa dan bingkisan kecil untuk bapak yang spontan berterima kasih banyak pada Samudra. Sekembalinya Samudra ke indekost Nami. Ia langsung berdiri di depan kulkas dan mulai menyusun satu per satu minuman, es krim, coklat, dan belanjaan lain yang sekiranya muat di kulkas kecil Nami. "Mas, kenapa ditaroh di kulkas?""Biar dingin." Samudra merapikan cemilan lain agar Nami lebih gampang memilih dan tidak makan tempat. "Saya minta kantongan plastik dulu sama Pak Sarkojin.""Untuk apa kantongan p