Seorang lelaki berusia lanjut duduk termangu di dekat kolam renang indoor yang ada di rumah mewahnya.
Tatapannya kosong.Pikirannya entah kemana.Lelaki itu sedang berduka. Putra pertamanya baru beberapa hari ini meninggal dunia.Suara langkah mendekat membuyarkan lamunannya. Seorang pria yang mengenakan jas hitam berjalan mendekat ke arahnya. Dia adalah Ferdy, orang kepercayaan lelaki itu.Ferdy kemudian membungkuk di hadapannya."Selamat pagi, Tuan." ucap lelaki itu dengan hormat."Ferdy, saya ada tugas penting untukmu." jawab lelaki itu tanpa berbasa basi."Baik, Tuan.""Dua tugas yang harus kamu lakukan. Pertama, selidiki kecelakaan Jonathan. Temukan apa ini murni kecelakaan atau ada campur tangan seseorang," lelaki itu berhenti sejenak, ia beberapa kali terbatuk. Kesehatannya sudah menurun, kondisinya sudah tidak lagi prima."Dan yang kedua. Segera temukan Allen. Bawa dia ke sini. Kembalikan dia ke tempat yang seharusnya.""Temukan siapa katamu?" teriak seorang wanita yang menyela pembicaraan mereka."Dasar brengsek! Anakku baru saja mati dan kau sudah mau menggantikannya dengan anak sialanmu itu?" ucap wanita itu lagi.Tanpa melihat sosoknya pun lelaki itu sudah tahu suara siapa yang melengking-lengking itu.Magdalena. Istri pertamanya yang juga merupakan ibu kandung Jonathan, putranya.Benar saja, seorang wanita dengan penampilan yang terkesan berlebihan berjalan ke arahnya. Penampilan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan usianya yang sudah tidak muda lagi itu. Tidak luput berbagai perhiasan mahal menghiasi tubuhnya."Kau memang brengsek, Ronald! Bahkan tanah di makam Jonathan masih basah!" ucap wanita itu di hadapan Ronald Adiguna, suaminya.Ronald hanya mendesah, dia mengalihkan pandangan ke taman yang berada di sisi kolam renang."Cukup Magdalena. Aku sangat lelah mendengarmu selalu berteriak." jawab lelaki itu dengan suara lirih."Kau pikir hanya kau yang lelah ha? Aku juga lelah denganmu!" Magdalena merasa di atas angin. Ronald selama ini selalu mengalah kepadanya dan Jonathan, mendiang putranya.Alasan Ronald sebenarnya karena ia tidak ingin ribut. Itu saja. Tapi hal tersebut nyatanya membuat Magdalena dan Jonathan semasa hidupnya menjadi bersikap seenaknya. Ronald telah gagal mendidik anak istrinya.Magdalena yang melihat Ronald hanya terdiam terus melanjutkan makiannya. Dia yakin Ronald kali ini pun hanya akan mengalah kepadanya. Toh dia sedang berduka karena kepergian Jonathan."Awas saja kau ya! Awas saja kalau kau berani membawa anak sialanmu itu kemari! Aku akan ...."Suara sebuah teko yang dibanting menghentikan kata-kata wanita tersebut. Teko itu telah terpecah menjadi banyak bagian di atas lantai marmer di hadapannya. Mata Magdalena membulat terkejut saat mendapati Ronald sudah berdiri dan sedang menatapnya dengan nyalang."Satu patah kata lagi dan aku akan merobek mulutmu, Magdalena!" ucap lelaki itu penuh penekanan.Magdalena yang belum pernah melihat Ronald bertingkah seperti ini tidak mampu berkutik, dia merasa ketakutan."Kau dengar ya! Jangan pernah berani-beraninya menyebut Allen dengan panggilan-panggilan murahanmu itu. Dia adalah sah anakku! Dia lahir dari wanita yang aku cintai dan secara sah aku nikahi! Hanya saja cara licikmu dengan mempengaruhi ayahku telah membuatnya menceraikanku dan pergi bersama putraku. Kau dengar ya Magdalena, aku hanya rujuk denganmu karena perintah ayahku. Aku sesungguhnya sudah sangat muak denganmu!" Ronald menumpahkan amarahnya."Kau mengemis kepada ayahku untuk membuatku rujuk denganmu! Padahal kita bercerai karena kaulah yang melakukan kesalahan! Berapa kali kau meniduri selingkuhan-selingkuhanmu di rumahku hah?!"Ronald kembali meluapkan emosinya. Dia sudah tidak sanggup menahan diri lagi. Berpuluh-puluh tahun sudah dia diam dan mengalah, tapi kini dia tidak akan melakukannya lagi."Ron-Ronald ... apa yang kau bicarakan?" Magdalena terbata-bata menjawabnya. Kedua tangannya bergetar."Kau pikir aku tidak tahu ha? Itu adalah salah satu alasanku menceraikanmu. Tentu saja selain karena kau yang memang membuatku muak. Seharusnya aku tidak bercerai dengan Jane. Seharusnya aku tidak berpisah dengannya dan Allen." Ronald tergugu."Ron-Ronald ... Sayang, hentikanlah." Magdalena mengubah tak tik dan berusaha mengambil hati Ronald.Dia menyentuh lembut lengan Ronald."Jangan berani menyentuhku, Magdalena!" Ronald mengibas kasar tangan Magdalena."Ron-Ronald.""Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menutup mulut hah? Ferdy, segera laksanakan tugas yang aku berikan. Dan kau Magdalena, jika kau berani campur tangan dan menggangguku maupun putraku, aku tidak akan tinggal diam. Camkan itu!"Magdalena masih merasa asing dengan lelaki di hadapannya tersebut. Ronald yang selama ini ia kenal, selalu diam dan mengalah. Tidak pernah membentaknya, tidak pernah berkata kasar kepadanya meskipun wanita tersebut selalu bertingkah dan menyakiti Ronald. Baginya Ronald hanya lelaki kaya raya yang lemah dan bisa dia injak-injak semaunya.Tapi lelaki di hadapannya ini berbeda. Lelaki di hadapannya ini memiliki aura yang sangat menakutkan. Nyalinya seketika menciut."Magdalena, pergi kau dari sini! Aku tidak ingin melihatmu."Magdalena yang masih kebingungan membalikkan tubuhnya dan bersiap pergi. Mereka memang sudah sejak lama tinggal terpisah.Dia melangkah dengan cepat menuju pintu keluar rumah tiga lantai tersebut. Dia masih cukup waras untuk tidak menentang Ronald yang terlihat seperti sedang kesetanan tersebut.Oke aku akan mengalah untuk saat ini, tapi tunggu saja, aku tidak akan tinggal diam Ronald, batinnya.***Setelah kepergian Magdalena dan Ferdy, suasana rumah kembali sepi. Ronald memanggil salah satu asisten di rumahnya untuk membersihkan pecahan teko di hadapannya.Dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sebuah kamar utama bernuansa putih yang berada di lantai dua rumah tersebut. Dia membatalkan niat awalnya untuk tidur dan berjalan menuju ke balkon kamarnya. Dari situ dia bisa melihat keadaan di sekeliling rumahnya.Pekarangan rumahnya yang luas.Barisan mobil mewah miliknya yang berjejer dengan rapi.Sebuah motor gede hitam yang menjadi kendaraan kesayangannya saat muda.Beberapa pekerjanya yang terlihat lalu lalang.Semua kemewahan ini adalah hal yang diimpikan banyak orang. Kemewahan yang menurut orang-orang akan mendatangkan kebahagiaan.Tapi nyatanya hal itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun memiliki segalanya itu, saat ini Ronald merasa hatinya kosong. Dia merasa hampa.Ronald yang merasa sendu meninggalkan balkon dan segera duduk di salah satu sofa di kamarnya. Air matanya tiba-tiba bercucuran. Dia menangis tersedu. Dia merasakan penyesalan yang teramat dalam atas kebodohannya selama ini. Kebodohan karena melepaskan dua orang yang sangat dia cintai.Dia tidak tahu apa yang selama ini telah menutup mata dan hatinya untuk merelakan Jane dan Allen pergi begitu saja. Bahkan dia tidak membantah saat ayahnya dan juga Magdalena melarangnya untuk mencari mereka. Bahkan yang membuatnya lebih menyesal adalah karena dia juga tidak memberi nafkah pada putranya tersebut. Berbanding terbalik dengan kehidupan yang dia berikan pada Jonathan, mendiang putranya. Jonathan hidup bergelimang harta. Memikirkan Jane yang hidup sebatang kara banting tulang menghidupi putranya membuat tangisnya semakin menjadi."Maafkan aku, Jane ... Allen ... sungguh maafkan aku. Ijinkan aku menebus segalanya."***Tiga hari sudah berlalu. Tiga hari sejak Ronald memberikan tugas kepada Ferdy. Tugas untuk mencari tahu tentang kecelakaan yang merenggut nyawa Jonathan, dan tugas untuk menemukan putranya yang telah dua puluh tahun terpisah darinya.Ronald tahu betul kedua tugas itu tidak mudah. Dia tahu akan memakan waktu untuk berhasil melaksanakan keduanya. Tapi hatinya tidak memahami itu. Hatinya tidak bisa diajak berkompromi dan terus membuatnya gelisah. Terlebih kegelisahannya untuk menemukan Allen dan Jane.Puluhan tahun perpisahan belum mampu mengikis semua rasa yang dia miliki untuk Jane. Jane adalah sosok yang hangat dan penuh kasih sayang. Jane mengingatkan Ronald pada mendiang ibunya yang meninggal saat dia masih sekolah dasar. Ayahnya yang keras dan otoriter bukanlah sosok yang bisa mengisi peran ibunya selama ini.Suara ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunannya."Siapa?""Ini saya Tuan, Ferdy.""Masuk," titah Ronald pada Ferdy.Lelaki itu memasuki kamarnya dan membungkuk di hadapannya."Ada apa?""Maaf, Tuan. Untuk tugas pertama yang Tuan berikan masih membutuhkan waktu untuk dapat saya selesaikan ... "Ronald mendengus mendengar perkataan Ferdy. Ia mengalihkan pandangan ke arah televisi kamarnya yang sedang menampilkan acara berita siang. Ia merasa kecewa karena bukan itu yang saat ini ingin didengarnya.Melihat reaksi Ronald, Ferdy menjadi sedikit gelagapan."Ta-tapi, Tuan, untuk tugas kedua sudah berhasil saya selesaikan. Orang-orang saya berhasil menemukannya, Tuan."Apa yang dikatakan Ferdy membuat Ronald terkejut. Dia segera mematikan televisi dan fokus kepada lelaki yang telah puluhan tahun bekerja padanya tersebut."Mak-maksudmu?" Ronald bertanya dengan sedikit terbata. Jantungnya berdebar-debar. Matanya berbinar penuh dengan harapan."Kami sudah berhasil menemukan keberadaan Tuan Muda Allen."Mendengar itu Ronald tidak mampu berkata-kata.Sebutir air mata mengalir di pipi kanannya.Seorang pria jatuh tersungkur di atas tanah. "Dasar brengsek! Kau pikir kau siapa, hah? Berani-beraninya kau melaporkan aku ke atasan! Kau pikir kau siapa, hah!" ucap seorang lelaki yang sedang menendangi tubuh pria yang tersungkur itu. Wajah lelaki itu merah padam penuh kemarahan."Sekali lagi kau bertingkah akan kuhabisi kau! Ingat itu!" Lelaki itu kembali melayangkan beberapa tendangan sebelum akhirnya pergi bersama dua orang lainnya. Napasnya terlihat masih tersengal-sengal karena emosinya yang membara.Pria yang tersungkur tersebut terdiam cukup lama di posisinya. Terdapat bercak darah di beberapa bagian kemeja putih yang sedang dipakainya. Pria itu terbatuk-batuk beberapa kali lalu mengubah posisinya menjadi terlentang. Ia menatap langit malam yang gelap di hadapannya. Ia mengatur napasnya yang berat. Dadanya terasa sedikit sesak setelah benturan berkali-kali yang ia terima.Matanya yang berat hampir terpejam ketika suara sepatu heels terdengar dari kejauhan. Mendengar suara ke
Seorang pria terbaring di atas ranjang rumah sakit. Ranjang tersebut berada di sebuah kamar rawat inap yang luas.VVIP 01.Begitulah yang tertulis di bagian depan pintu utama kamar tersebut.Terdapat beberapa buah sofa di sudut ruangannya untuk tamu atau keluarga yang menunggu. Sedangkan di sisi lain terdapat sebuah pintu yang menuju ke kamar mandi. Di dalam ruangan bernuansa putih itu pria yang sedang terbaring tersebut tidak sendirian. Di sampingnya terdapat seorang wanita dan dua orang lelaki yang setia menunggunya.Dua hari.Sudah dua hari berlalu tapi Allen belum sadarkan diri. Tubuhnya masih dipasang infus. Perban masih membebat di kepalanya. Dokter mengatakan bahwa Allen sedang dalam masa pemulihan."Kenapa belum sadar juga?" Alessia bertanya lirih kepada Allen. Tangannya menggenggam erat jemari Allen. Allen yang ditanya hanya terdiam. Wajah tampannya terlihat begitu damai.Ronald hanya mengamati dalam diam interaksi antara Alessia dan Allen."Ferdy, tolong belikan makanan untu
Alessia membeku di depan kamar rawat inap Allen. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding sebelah pintu."Hmm, yaudah aku bakal pindah ke ibukota sama Papa."Kata-kata Allen tersebut terus terngiang di telinga Alessia. Allen sudah menerima Om Ronald dan kini akan pindah mengikuti papanya.Allen akan meninggalkan kota ini.Allen akan meninggalkan kota ini.Allen akan ... meninggalkannya.Alessia merasakan dadanya berdesir. Ada perasaan takut dan kecewa mendengar keputusan Allen tersebut.Bagaimana pun Allen telah menjelma menjadi sosok yang begitu penting bagi Alessia. Ia adalah 'sahabat' terbaiknya. Allen yang tidak lagi berada di dekatnya pasti akan memberi pengaruh besar bagi hidupnya. Alessia sadar betul saat ini ia sangat egois bila menginginkan Allen tetap tinggal di sisinya.Alessia sudah diberitahu oleh Ronald mengenai latar belakangnya dan juga rencananya untuk masa depan Allen.Allen adalah calon pewaris tunggal dari AW Group, perusahaan milik Ronald.Kepergian Jonathan, putra per
Telepon Ferdy dan Ronald baru saja terputus."Siapa yang dihabisi, Pa?" Allen yang turut mendengarkan percakapan Ronald dan Ferdy bertanya dengan penasaran. Ia penasaran kenapa wajah Ronald terlihat sangat marah."Hmm, jadi Papa sudah mencari berbagai informasi mengenai kamu, lalu Ferdy menemukan tentang apa yang dilakukan orang yang bernama Anggoro kepadamu. Orang-orang yang menabrak kamu dalam kecelakaan ini juga ternyata suruhan Anggoro. Jadi, Papa meminta Ferdy untuk mengurusnya. Dia harus diberi hukuman yang setimpal!" Ronald kembali mengepalkan kedua tangannya. Darahnya kembali mendidih mengetahui anaknya hampir terbunuh karena ulah lelaki brengsek tersebut."Serius, Pa? Yang bikin aku kecelakaan Anggoro?" tanya Allen dengan ekspresi terkejut. Ini fakta yang baru saja ia ketahui. Ia berpikir ini hanya kecelakaan biasa tanpa ada unsur kesengajaan."Betul. Papa akan jebloskan dia ke penjara! Beraninya dia menyentuhmu!"Mendengar penuturan Ronald, tanpa disadari Allen menyunggingka
Alessia masih bersandar di balik pintu utama rumahnya. Jantungnya berdebar tidak karuan setelah melihat kondisi di teras depan. Alessia sudah dapat menerka apa dan siapa yang menyebabkannya.Baru beberapa bulan berlalu dan Alessia harus kembali ke neraka itu lagi. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak.Terdengar suara ketukan pelan di pintunya. Ketukan yang tidak akan mungkin didengarnya jika saat ini dia tidak sedang bersandar di baliknya.Ketukan pelan itu terdengar lagi."Cepat buka! Aku tahu kau ada di balik pintu ini!" ucap sebuah suara berat yang terdengar di telinga Alessia. Suara berat yang dikenalinya dan berasal dari pria yang sangat Alessia benci. Pria yang telah menghancurkan hidupnya dan mamanya."Aku bilang buka! Atau kau ingin aku mendobraknya? Kau pikir aku tak mampu ha?" suara pria itu mulai meninggi karena amarah. Dia sungguh sudah tidak sabar. Dia beberapa kali menoleh ke sana ke sini untuk memastikan orang-orang itu belum kembali.Alessia berpiki
Alessia masih terduduk di sofa ruang tamunya. Handoyo dan gerombolan pria itu memang sudah pergi lebih dari satu jam yang lalu, tapi Alessia masih belum juga beranjak. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Handoyo diseret pergi.Apa yang akan mereka lakukan pada Handoyo?Pikiran itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya. Alessia mulai merasa bimbang dengan keputusan awalnya untuk tidak memedulikan Handoyo lagi. Ia meremas-remas jemarinya dengan gelisah.Apa sebaiknya aku jual mobil dan bayar saja hutangnya?Pikiran itu sempat muncul di benaknya. Tapi jika Alessia melakukannya, Handoyo akan semakin seenaknya. Bahkan beberapa bulan yang lalu Alessia sampai menghabiskan uang tabungannya untuk melunasi hutang Handoyo yang begitu besar.Alessia menoleh saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumahnya. Tidak lama kemudian ia mendengar langkah kaki yang sepertinya berhenti di teras depan rumahnya. Alessia mengira itu adalah preman yang s
"Hah?" tanya Alessia tidak percaya."Hehehe kemasukan nyamuk tahu rasa tuh mulut." kata Allen mengomentari mulut Alessia yang terbuka karena terkejut. Ia sedikit geli melihat ekspresi Alessia yang baginya seperti anak kecil."Maksudnya gimana ya? Aku ikut pindah gitu?" tanya Alessia yang masih kebingungan."Yup. Mau ya?" tanya Allen lagi. Tatapannya sangat berharap saat menunggu jawaban Alessia. Allen tidak ingin meninggalkan Alessia di sini sendirian. Apalagi setelah tahu kemarin ia kembali diusik oleh Handoyo. Bagaimana pun Alessia adalah sahabat yang sangat ia sayangi. Selama ini ia sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri."Kenapa aku harus ikut?" Alessia masih bertanya lagi. Memang benar Alessia merasa sangat berat hati jika Allen pindah jauh, tapi ia juga tidak menyangka bahwa Allen akan membawanya."Kenapa harus enggak ikut?" Allen mengajukan pertanyaan retoris."Allen, aku nanya serius.""Lah, aku juga jawab serius." Allen menjawab sedikit ngeyel."Aku enggak tahu mau jaw
Seorang wanita turun dari kursi belakang mobil mewah di lobi sebuah mall kelas atas. Wanita itu mengenakan kacamata hitam. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah tas desainer terbaru berwarna putih yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.Beberapa karyawan mall yang mengenalinya menunduk dengan penuh hormat. Maklum saja, ia adalah salah satu pelanggan VVIP disini. Ia tidak memedulikan mereka dan terus berjalan dengan angkuh menuju toko perhiasan langganannya yang berada di lantai dasar."Selamat siang, Nyonya Magdalena." ucap seorang wanita yang sudah menunggunya di depan pintu. Tertera tulisan manajer di atasan yang ia kenakan."Hai Anna, ada yang baru?" Magdalena melepaskan kacamata hitamnya dan segera menuju ke sofa.Anna memberi kode pada para karyawan yang segera mengerti maksudnya. Mereka membawakan berbagai model kalung, gelang, anting-anting, dan cincin berlian keluaran terbaru mereka dan meletakkannya di hadapan Magdalena. Mereka hanya menunjukkan koleksi terbaik dan term