Telepon Ferdy dan Ronald baru saja terputus.
"Siapa yang dihabisi, Pa?" Allen yang turut mendengarkan percakapan Ronald dan Ferdy bertanya dengan penasaran. Ia penasaran kenapa wajah Ronald terlihat sangat marah.
"Hmm, jadi Papa sudah mencari berbagai informasi mengenai kamu, lalu Ferdy menemukan tentang apa yang dilakukan orang yang bernama Anggoro kepadamu. Orang-orang yang menabrak kamu dalam kecelakaan ini juga ternyata suruhan Anggoro. Jadi, Papa meminta Ferdy untuk mengurusnya. Dia harus diberi hukuman yang setimpal!" Ronald kembali mengepalkan kedua tangannya. Darahnya kembali mendidih mengetahui anaknya hampir terbunuh karena ulah lelaki brengsek tersebut."Serius, Pa? Yang bikin aku kecelakaan Anggoro?" tanya Allen dengan ekspresi terkejut. Ini fakta yang baru saja ia ketahui. Ia berpikir ini hanya kecelakaan biasa tanpa ada unsur kesengajaan."Betul. Papa akan jebloskan dia ke penjara! Beraninya dia menyentuhmu!"Mendengar penuturan Ronald, tanpa disadari Allen menyunggingkan senyumnya. Semenjak kematian mamanya, Alessia seorang yang mendukung dan melindunginya. Mendengar ada sosok lain yang tidak terima melihat ia disakiti nyatanya membuatnya merasakan sedikit kehangatan."Eh, tapi kalau diselesaikan diam-diam bisa tidak, Pa? Sebisa mungkin aku ingin merahasiakan identitasku sebagai anak Papa." Allen membuat permohonan kepada Ronald."Kenapa memangnya, Nak?" Ronald mengerutkan kedua alisnya tidak mengerti. Ia teringat Jonathan yang selalu membawa-bawa nama Ronald dan perusahaan mereka kemana pun Jonathan pergi. Jonathan ingin siapa pun mengetahui identitasnya yang merupakan putra salah satu orang terkaya di negeri ini."Papa ingin aku mulai belajar dan mempersiapkan diri untuk menjadi penerus perusahaan Papa bukan? Menurutku belajar dengan cara seperti ini akan jauh lebih efektif. Jika orang-orang tahu aku anak Papa, mereka akan berusaha menjilat kepadaku. Aku tidak suka hal-hal seperti itu." Allen panjang lebar menjelaskan alasannya kepada Ronald. Membayangkan orang-orang yang berusaha mendekatinya karena uang dan kekuasaan akan membuatnya merasa muak."Hm ...." Ronald masih berusaha mencerna alasan yang diutarakan oleh Allen."Aku juga ingin belajar di perusahaan pusat dari posisi yang memang aku mampu dahulu, Pa. Selain itu Papa tahu sendiri kan, kantorku yang ternyata salah satu anak perusahaan milik Papa banyak karyawan yang bermain busuk di belakang. Dengan bekerja dari posisi bawah tanpa karyawan lain mengetahui identitasku, akan lebih memudahkan untuk mengetahui pihak-pihak yang bermain kotor, Pa!" Allen kembali memberikan argumennya. Dia mengatakannya dengan semangat yang menggebu-gebu.Ronald tersenyum simpul melihat Allen yang begitu semangat mengutarakan keinginannya. Dia lalu berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh Allen benar adanya. Keberadaan Allen sebagai putranya bisa menimbulkan berbagai niatan jahat orang-orang yang dipenuhi keserakahan di sekelilingnya. Ia tiba-tiba teringat Magdalena yang kemungkinan akan berusaha menyingkirkan Allen jika tahu Allen sudah ditemukan. Alasan yang baru saja diutarakan Allen menjadi sangat masuk akal baginya.Ronald mengeluarkan gawai miliknya dan menghubungi seseorang."Ferdy, urus Anggoro diam-diam. Untuk saat ini rahasiakan dari siapapun jika Allen sudah ditemukan. Kau berkelitlah dari Anggoro jika kau sudah terlanjur mengatakan tentang Allen padanya.""Baik Tuan, saya mengerti."Sambungan telepon keduanya tertutup."Sudah. Semua beres." Ronald berkata ringan pada Allen."Jadi, Papa juga menyetujui syarat keduaku itu?""Syarat kedua? Ah ... benar juga. Syarat pertama sudah kamu ajukan tadi. Iya papa menyetujui kedua syaratmu. Begitu dokter bilang sudah sembuh dan boleh pulang, kita langsung berangkat!""Dokter tadi bilang besok kemungkinan sudah boleh pulang kan, Pa. Ya sudah, langsung saja." ucap Allen. Mata Allen mulai terasa berat sehingga ia memejamkannya."Bagaimana dengan Alessia? Kamu sudah tanya pendapatnya memangnya?" Ronald bertanya pada Allen."Belum." jawab Allen yang kembali teringat dengan ekspresi aneh Alessia tadi sebelum pulang. Baginya Alessia terlihat sangat gelisah, entah kenapa."Segera katakan kepadanya." Ronald kembali mengingatkannya."Hmm." ucap Allen yang sudah setengah tertidur.***Alessia melajukan mobilnya dengan perlahan. Kondisi hujan yang lebat membuatnya dan para pengendara lain menjadi jauh lebih waspada. Perjalanan yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu satu jam kini harus memakan waktu lebih dari dua jam. Alessia memijat tengkuknya sesaat setelah mobilnya terparkir sempurna di depan garasi rumahnya.Alessia masih terdiam di dalam mobilnya. Beberapa hari terakhir telah menguras hati dan pikirannya. Saat ini tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lelah. Pikirannya tidak menentu. Matanya menatap kosong ke arah pintu garasi di hadapannya.Suara petir yang menyambar dengan sangat kencang menyadarkan Alessia dari lamunannya. Jantungnya berdebar cepat karena terkejut. Ia yang sudah kembali tenang mengumpulkan barang-barang bawaannya dan bergegas turun. Alessia berlari kecil menuju ke pintu utama rumahnya.'Dingin banget,' batin Alessia yang mulai menggosokkan kedua telapak tangannya untuk menghangatkan diri.Begitu sampai di teras depan rumahnya, mata Alessia tertuju ke jejak sepatu yang cukup banyak di sana. Jejak tersebut meninggalkan bekas lumpur yang cukup jelas terlihat di atas lantai yang berwarna putih. Di beberapa titik juga terdapat bekas abu rokok dan puntungnya yang dibuang sembarangan. Puntung yang jumlahnya lebih dari sepuluh itu membuat jantung Alessia mulai berdebar tidak karuan.Alessia kembali menatap sekelilingnya. Beberapa kursi teras yang biasanya berjejer dengan rapi kini sudah berpindah tidak karuan. Alessia semakin merasa tidak nyaman dan segera membuka kunci pintu rumahnya. Ia bergegas masuk dan menguncinya kembali.Mereka kembali.Mereka kembali.Semuanya akan terulang lagi.Alessia masih bersandar di balik pintu utama rumahnya. Jantungnya berdebar tidak karuan setelah melihat kondisi di teras depan. Alessia sudah dapat menerka apa dan siapa yang menyebabkannya.Baru beberapa bulan berlalu dan Alessia harus kembali ke neraka itu lagi. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak.Terdengar suara ketukan pelan di pintunya. Ketukan yang tidak akan mungkin didengarnya jika saat ini dia tidak sedang bersandar di baliknya.Ketukan pelan itu terdengar lagi."Cepat buka! Aku tahu kau ada di balik pintu ini!" ucap sebuah suara berat yang terdengar di telinga Alessia. Suara berat yang dikenalinya dan berasal dari pria yang sangat Alessia benci. Pria yang telah menghancurkan hidupnya dan mamanya."Aku bilang buka! Atau kau ingin aku mendobraknya? Kau pikir aku tak mampu ha?" suara pria itu mulai meninggi karena amarah. Dia sungguh sudah tidak sabar. Dia beberapa kali menoleh ke sana ke sini untuk memastikan orang-orang itu belum kembali.Alessia berpiki
Alessia masih terduduk di sofa ruang tamunya. Handoyo dan gerombolan pria itu memang sudah pergi lebih dari satu jam yang lalu, tapi Alessia masih belum juga beranjak. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Handoyo diseret pergi.Apa yang akan mereka lakukan pada Handoyo?Pikiran itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya. Alessia mulai merasa bimbang dengan keputusan awalnya untuk tidak memedulikan Handoyo lagi. Ia meremas-remas jemarinya dengan gelisah.Apa sebaiknya aku jual mobil dan bayar saja hutangnya?Pikiran itu sempat muncul di benaknya. Tapi jika Alessia melakukannya, Handoyo akan semakin seenaknya. Bahkan beberapa bulan yang lalu Alessia sampai menghabiskan uang tabungannya untuk melunasi hutang Handoyo yang begitu besar.Alessia menoleh saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumahnya. Tidak lama kemudian ia mendengar langkah kaki yang sepertinya berhenti di teras depan rumahnya. Alessia mengira itu adalah preman yang s
"Hah?" tanya Alessia tidak percaya."Hehehe kemasukan nyamuk tahu rasa tuh mulut." kata Allen mengomentari mulut Alessia yang terbuka karena terkejut. Ia sedikit geli melihat ekspresi Alessia yang baginya seperti anak kecil."Maksudnya gimana ya? Aku ikut pindah gitu?" tanya Alessia yang masih kebingungan."Yup. Mau ya?" tanya Allen lagi. Tatapannya sangat berharap saat menunggu jawaban Alessia. Allen tidak ingin meninggalkan Alessia di sini sendirian. Apalagi setelah tahu kemarin ia kembali diusik oleh Handoyo. Bagaimana pun Alessia adalah sahabat yang sangat ia sayangi. Selama ini ia sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri."Kenapa aku harus ikut?" Alessia masih bertanya lagi. Memang benar Alessia merasa sangat berat hati jika Allen pindah jauh, tapi ia juga tidak menyangka bahwa Allen akan membawanya."Kenapa harus enggak ikut?" Allen mengajukan pertanyaan retoris."Allen, aku nanya serius.""Lah, aku juga jawab serius." Allen menjawab sedikit ngeyel."Aku enggak tahu mau jaw
Seorang wanita turun dari kursi belakang mobil mewah di lobi sebuah mall kelas atas. Wanita itu mengenakan kacamata hitam. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah tas desainer terbaru berwarna putih yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.Beberapa karyawan mall yang mengenalinya menunduk dengan penuh hormat. Maklum saja, ia adalah salah satu pelanggan VVIP disini. Ia tidak memedulikan mereka dan terus berjalan dengan angkuh menuju toko perhiasan langganannya yang berada di lantai dasar."Selamat siang, Nyonya Magdalena." ucap seorang wanita yang sudah menunggunya di depan pintu. Tertera tulisan manajer di atasan yang ia kenakan."Hai Anna, ada yang baru?" Magdalena melepaskan kacamata hitamnya dan segera menuju ke sofa.Anna memberi kode pada para karyawan yang segera mengerti maksudnya. Mereka membawakan berbagai model kalung, gelang, anting-anting, dan cincin berlian keluaran terbaru mereka dan meletakkannya di hadapan Magdalena. Mereka hanya menunjukkan koleksi terbaik dan term
"Kar-kartu kreditnya tidak bisa, Nyonya. Ter-terblokir sepertinya. A-ada kar-kartu yang lain, Nyonya?" tanya Anna dengan terbata-bata. Tangannya mulai berkeringat karena gugup.Magdalena dan Rosa menatap Anna dengan tidak percaya."Ngomong apa kamu, hah? Kamu lupa siapa saya?!" ucap Magdalena yang seketika meninggikan suaranya. Matanya menatap nyalang ke arah Anna.Anna yang mendapatkan respon seperti itu semakin merasa gugup. Dia ketakutan bila salah mengambil langkah. Bagaimana pun Magdalena adalah salah satu pelanggan VVIP-nya, dia bisa kehilangan pendapatan dalam nominal fantastis jika sampai salah mengambil keputusan."Maaf, Nyonya. Ini tadi saya coba beberapa kali tapi tidak bisa. Ini akan saya coba lagi, Nyonya. Mohon tunggu sebentar." Anna bergegas mencobanya kembali. Magdalena yang sudah merasa tersinggung segera berdiri dan mengikutinya."Kamu ini bisa kerja enggak? Berani-beraninya bilang begitu! Asal kamu tahu, ya! Toko ini semua aku beli, sekalian kau kubeli pun aku sangg
Magdalena segera membanting tasnya begitu memasuki mobil. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, ia merasakan malu yang teramat sangat seperti ini. Harga dirinya yang sangat ia junjung tinggi hancur berkeping-keping."Argh!! Sialan!" jerit Magdalena di dalam mobil.Supirnya yang sudah paham betul dengan karakter Magdalena bersikap tenang saja dan terus melajukan mobilnya. Dia saat ini hanya menyetir pelan tanpa tujuan. Bertanya ke mana mereka akan pergi pada Magdalena saat ini sama saja dengan bunuh diri. Dia belajar dari pengalamannya dulu yang mendapat lemparan heels Magdalena saat suasana hatinya sedang buruk.Napas Magdalena masih memburu saat ia mengeluarkan gawai miliknya dari dalam tas. Ia menelepon seseorang. 'Ronald Suamiku', begitu nama yang tertera di layar. Magdalena membelalakkan matanya saat tahu panggilannya ditolak oleh Ronald. Belum pernah sekali pun Ronald menolak panggilannya seperti ini. Bahkan saat rapat kantor yang sangat penting pun ketika Magdalena menelepon,
Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang
"Papa, itu punya siapaa?!""Hehehe" Ronald hanya terkekeh dan tidak menjawab."Papa," Allen kembali memanggil Ronald."Selamat sore." ucap seorang pria yang berjalan menghampiri mereka."Yang hitam punya yang ini, yang merah punya yang ini!" sahut Ronald kepada pria tersebut. Ia menunjuk ke arah Allen lalu berganti ke arah Alessia. Mendengar penuturan Ronald, pria tersebut lalu tersenyum sopan dan menyapa keduanya. Dari seragam yang dikenakannya, bisa diketahui bahwa ia adalah seorang pegawai sebuah dealer mobil terkemuka."Dokumen sudah selesai diurus, tetapi kami masih membutuhkan tanda tangan Bapak Allen dan Ibu Alessia. Mohon kesediaannya," ucapnya sembari menyerahkan lembaran dokumen pembelian mobil beserta kelengkapan lainnya.Allen dan Alessia saling bertukar pandang."Maaf, Om. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Alessia yang bergegas menghampiri Ronald."Om tidak menerima penolakan, Alessia. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Sekarang kalian tanda tangan saja, kasihan mereka ya