Alessia masih terduduk di sofa ruang tamunya. Handoyo dan gerombolan pria itu memang sudah pergi lebih dari satu jam yang lalu, tapi Alessia masih belum juga beranjak. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Handoyo diseret pergi.
Apa yang akan mereka lakukan pada Handoyo?Pikiran itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya. Alessia mulai merasa bimbang dengan keputusan awalnya untuk tidak memedulikan Handoyo lagi. Ia meremas-remas jemarinya dengan gelisah.Apa sebaiknya aku jual mobil dan bayar saja hutangnya?Pikiran itu sempat muncul di benaknya. Tapi jika Alessia melakukannya, Handoyo akan semakin seenaknya. Bahkan beberapa bulan yang lalu Alessia sampai menghabiskan uang tabungannya untuk melunasi hutang Handoyo yang begitu besar.Alessia menoleh saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumahnya. Tidak lama kemudian ia mendengar langkah kaki yang sepertinya berhenti di teras depan rumahnya. Alessia mengira itu adalah preman yang sebelumnya datang, jadi ia memutuskan untuk tidak memedulikannya.Terdengar suara ketukan di pintu, tetapi Alessia hanya bergeming.Beberapa saat kemudian terdengar suara handphone berbunyi. Nada dering yang digunakan sama dengan milik Alessia, tetapi saat ia mengecek, ternyata handphonenya dalam keadaan tidak aktif. Sepertinya suara ini berasal dari handphone milik preman yang sedang berada di teras."Iya, Tuan Muda. Ini saya sudah di rumah Nona Alessia. Mobilnya ada di sini, tetapi ini saya ketuk beberapa kali belum ada yang menjawab. Ini saya di teras tapi kondisinya berantakan, Tuan. Saya rasa telah terjadi sesuatu." Ferdy menjawab telepon dari Allen.Ferdy menoleh saat mendengar pintu di belakangnya terbuka."Maaf Pak Ferdy, saya kira siapa," ucap Alessia."Tuan Muda, ini ada Nona Alessia." Ferdy menunduk sedikit kepada Alessia lalu menyerahkan handphone miliknya."Nona Alessia, ini Tuan Muda Allen ingin bicara.""Halo?" Alessia membuka percakapan."Ale, teras kenapa?" Allen bertanya dengan penasaran."Kenapa apanya?""Kata Pak Ferdy berantakan. Jangan bilang lintah darat Handoyo balik lagi?"Alessia hanya diam tidak menanggapi. Percuma jika ia ingin membohongi Allen, tidak akan mempan. Toh selama ini Allen dan Mama Jane-lah yang membantu Alessia melewati semua masalah yang terjadi karena Handoyo. Allen juga yang selalu pasang badan jika Handoyo atau para lintah darat datang dan mengusiknya."Hmm," Alessia menjawab lirih."Terus gimana? Ada yang macam-macam ke kamu enggak?" tanya Allen khawatir. Ia tahu lintah darat yang biasanya mendatangi Alessia adalah segerombolan preman berwajah sangar. Ia terusik saat mengetahui Alessia menghadapi mereka sendirian."Enggak gimana-gimana, sudah pergi. Aku juga udah bilang enggak akan membayar hutang Handoyo lagi. Aku sudah putus hubungan dengannya ... ""Kamu ... enggak apa-apa?" Allen bertanya lirih."Enggak apa-apa. Baik-baik saja," jawab Alessia meyakinkan Allen."Oke. Kamu enggak bisa dihubungi jadi aku minta tolong Pak Ferdy ngecek di rumah.""Oh.""Ale ... ada sesuatu yang aku belum bilang ke kamu," Allen mengatakannya dengan ragu-ragu."Apa?""Aku ... ""Hmm?""Aku sudah boleh pulang besok pagi hehehe." Allen mengatakannya lalu tertawa ringan. Dugaan Alessia meleset, Allen tidak membahas tentang kepindahannya."Eh seriusan?" Alessia sedikit terkejut karena mengira Allen masih membutuhkan waktu untuk pemulihan di rumah sakit."Iya tadi dokter habis ngecek semuanya. Aku agak maksa sih, habisnya sudah enggak betah kalau harus di sini lama-lama.""Jadinya boleh?" tanya Alessia memastikan."Iya. Kamu istirahat di rumah saja enggak usah kesini.""Hmm ... ya sudah kalau begitu."***Wajah Alessia terlihat sedikit pucat. Keringat membanjiri wajah dan tubuhnya. Tubuhnya bergerak-gerak dengan gelisah."Ale, sudah bangun belum?" Suara ketukan dan panggilan Allen di pintu kamarnya berhasil membangunkannya. Alessia mengerjapkan kedua matanya. Ia melihat ke sekelilingnya dan kemudian bernapas lega karena apa yang dialaminya barusan hanyalah sebuah mimpi."Ale ... bukain pintunya dong!" ucap Allen dari balik pintu."Iya sebentar," jawab Alessia."Tumben banget jam segini belum bangun. Biasanya pagi buta sudah beres-beres rumah." Allen memperhatikan wajah Alessia yang terlihat pucat dan penuh keringat."Habis jogging di sini apa gimana kok keringat banyak begitu?" ucap Allen menggodanya."He eh," jawab Alessia sekenanya."Sarapan yuk. Aku tadi beli bubur ayam depan kompleks.""Tunggu di bawah gih, mau mandi sebentar.""Okaay boss."Allen bergegas menuju dapur. Dia memanaskan air dan berencana membuat kopi hitam untuk dirinya dan teh chamomile untuk Alessia. Allen lalu menyiapkan dua buah piring untuk bubur ayam mereka. Alessia turun saat minuman dan makanan mereka sudah terhidang di atas meja. Rambutnya masih sedikit basah karena habis keramas. Dia sudah terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya."Sambalnya mana?" tanya Alessia yang sudah mulai mengaduk bubur ayamnya."Nih, tadi aku sudah minta biar dibanyakin," ucap Allen sambil menyodorkan plastik berisi sambal ke hadapan Alessia.Alessia menuangkannya dengan banyak membuat wajah Allen mengernyit ngeri. Bubur yang tadinya putih sudah berubah menjadi merah, Allen geleng-geleng kepala."Oh iya. Ada hal penting yang mau aku omongin, kemarin belum bilang.""Apa?" Alessia yang sudah bersiap memasukkan bubur ke mulutnya berhenti."Jadi ... aku sudah mulai bisa menerima tentang ... papa.""Bagus dong, aku ikut senang.""Papa minta aku untuk mulai mempersiapkan diri buat meneruskan perusahaan, karena bagaimana pun saat ini aku anak papa satu-satunya."Walaupun Alessia sudah mempersiapkan diri untuk mendengar ini, dia tidak bisa menahan jantungnya yang berdebar kencang. Akhirnya tiba juga waktunya, Allen akan berpamitan kepadanya."Oh ya bagus dong! Kamu harus bersiap dari sekarang!" Alessia menjawab dengan sedikit canggung."Papa minta aku untuk pindah sama papa. Aku ... aku sudah menyetujuinya dengan dua syarat," kata Allen sedikit gugup."Dua syarat?" Alessia bertanya dengan penasaran. Ia belum mengetahui hal ini sama sekali."Syarat kedua, aku minta identitasku dirahasiakan. Aku minta papa untuk tidak memberi tahu siapa pun kalau papa sudah menemukanku.""Dengan karaktermu aku bisa mengerti kenapa kamu mengajukan syarat itu," ucap Alessia."Iya. Papa sudah menyetujuinya.""Oke. Terus syarat pertamanya apa?" tanya Alessia penasaran."Syarat pertama yang juga merupakan syarat mutlak ... dan sudah disetujui papa adalah.. hmm," Allen terlihat ragu untuk mengucapkannya."Apa?" Alessia menjadi semakin penasaran karena melihat ekspresi Allen."Aku ... aku cuma mau pindah kalau kamu juga ikut pindah. Jadi gimana? Mau ya?""Hah?" tanya Alessia tidak percaya."Hehehe kemasukan nyamuk tahu rasa tuh mulut." kata Allen mengomentari mulut Alessia yang terbuka karena terkejut. Ia sedikit geli melihat ekspresi Alessia yang baginya seperti anak kecil."Maksudnya gimana ya? Aku ikut pindah gitu?" tanya Alessia yang masih kebingungan."Yup. Mau ya?" tanya Allen lagi. Tatapannya sangat berharap saat menunggu jawaban Alessia. Allen tidak ingin meninggalkan Alessia di sini sendirian. Apalagi setelah tahu kemarin ia kembali diusik oleh Handoyo. Bagaimana pun Alessia adalah sahabat yang sangat ia sayangi. Selama ini ia sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri."Kenapa aku harus ikut?" Alessia masih bertanya lagi. Memang benar Alessia merasa sangat berat hati jika Allen pindah jauh, tapi ia juga tidak menyangka bahwa Allen akan membawanya."Kenapa harus enggak ikut?" Allen mengajukan pertanyaan retoris."Allen, aku nanya serius.""Lah, aku juga jawab serius." Allen menjawab sedikit ngeyel."Aku enggak tahu mau jaw
Seorang wanita turun dari kursi belakang mobil mewah di lobi sebuah mall kelas atas. Wanita itu mengenakan kacamata hitam. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah tas desainer terbaru berwarna putih yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.Beberapa karyawan mall yang mengenalinya menunduk dengan penuh hormat. Maklum saja, ia adalah salah satu pelanggan VVIP disini. Ia tidak memedulikan mereka dan terus berjalan dengan angkuh menuju toko perhiasan langganannya yang berada di lantai dasar."Selamat siang, Nyonya Magdalena." ucap seorang wanita yang sudah menunggunya di depan pintu. Tertera tulisan manajer di atasan yang ia kenakan."Hai Anna, ada yang baru?" Magdalena melepaskan kacamata hitamnya dan segera menuju ke sofa.Anna memberi kode pada para karyawan yang segera mengerti maksudnya. Mereka membawakan berbagai model kalung, gelang, anting-anting, dan cincin berlian keluaran terbaru mereka dan meletakkannya di hadapan Magdalena. Mereka hanya menunjukkan koleksi terbaik dan term
"Kar-kartu kreditnya tidak bisa, Nyonya. Ter-terblokir sepertinya. A-ada kar-kartu yang lain, Nyonya?" tanya Anna dengan terbata-bata. Tangannya mulai berkeringat karena gugup.Magdalena dan Rosa menatap Anna dengan tidak percaya."Ngomong apa kamu, hah? Kamu lupa siapa saya?!" ucap Magdalena yang seketika meninggikan suaranya. Matanya menatap nyalang ke arah Anna.Anna yang mendapatkan respon seperti itu semakin merasa gugup. Dia ketakutan bila salah mengambil langkah. Bagaimana pun Magdalena adalah salah satu pelanggan VVIP-nya, dia bisa kehilangan pendapatan dalam nominal fantastis jika sampai salah mengambil keputusan."Maaf, Nyonya. Ini tadi saya coba beberapa kali tapi tidak bisa. Ini akan saya coba lagi, Nyonya. Mohon tunggu sebentar." Anna bergegas mencobanya kembali. Magdalena yang sudah merasa tersinggung segera berdiri dan mengikutinya."Kamu ini bisa kerja enggak? Berani-beraninya bilang begitu! Asal kamu tahu, ya! Toko ini semua aku beli, sekalian kau kubeli pun aku sangg
Magdalena segera membanting tasnya begitu memasuki mobil. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, ia merasakan malu yang teramat sangat seperti ini. Harga dirinya yang sangat ia junjung tinggi hancur berkeping-keping."Argh!! Sialan!" jerit Magdalena di dalam mobil.Supirnya yang sudah paham betul dengan karakter Magdalena bersikap tenang saja dan terus melajukan mobilnya. Dia saat ini hanya menyetir pelan tanpa tujuan. Bertanya ke mana mereka akan pergi pada Magdalena saat ini sama saja dengan bunuh diri. Dia belajar dari pengalamannya dulu yang mendapat lemparan heels Magdalena saat suasana hatinya sedang buruk.Napas Magdalena masih memburu saat ia mengeluarkan gawai miliknya dari dalam tas. Ia menelepon seseorang. 'Ronald Suamiku', begitu nama yang tertera di layar. Magdalena membelalakkan matanya saat tahu panggilannya ditolak oleh Ronald. Belum pernah sekali pun Ronald menolak panggilannya seperti ini. Bahkan saat rapat kantor yang sangat penting pun ketika Magdalena menelepon,
Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang
"Papa, itu punya siapaa?!""Hehehe" Ronald hanya terkekeh dan tidak menjawab."Papa," Allen kembali memanggil Ronald."Selamat sore." ucap seorang pria yang berjalan menghampiri mereka."Yang hitam punya yang ini, yang merah punya yang ini!" sahut Ronald kepada pria tersebut. Ia menunjuk ke arah Allen lalu berganti ke arah Alessia. Mendengar penuturan Ronald, pria tersebut lalu tersenyum sopan dan menyapa keduanya. Dari seragam yang dikenakannya, bisa diketahui bahwa ia adalah seorang pegawai sebuah dealer mobil terkemuka."Dokumen sudah selesai diurus, tetapi kami masih membutuhkan tanda tangan Bapak Allen dan Ibu Alessia. Mohon kesediaannya," ucapnya sembari menyerahkan lembaran dokumen pembelian mobil beserta kelengkapan lainnya.Allen dan Alessia saling bertukar pandang."Maaf, Om. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Alessia yang bergegas menghampiri Ronald."Om tidak menerima penolakan, Alessia. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Sekarang kalian tanda tangan saja, kasihan mereka ya
Sebuah mobil hitam melaju cepat di jalanan sebuah perumahan. Dilihat dari jejeran rumah di sebelah kiri dan kanannya, bisa jelas diketahui bahwa itu adalah sebuah perumahan kelas atas. Tidak lama kemudian, mobil itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna coklat. Petugas keamanan yang berjaga di sisi pagar menelisik sejenak siapa yang datang, sebelum akhirnya mempersilakan mobil itu masuk.Petugas keamanan segera menghampiri mobil yang kini telah berhenti di pekarangan rumah yang luas. Ia bergegas membukakan pintu penumpang dan menunduk dengan hormat."Selamat pagi, Nyonya Melissa. Silakan masuk," ucap petugas keamanan tersebut dengan sopan. Wanita tersebut hanya mengangguk singkat tanpa berbicara.Tidak lama kemudian pintu bagian pengemudi terbuka. Seorang pemuda melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja hitam yang membalut sempurna tubuh atletisnya. Menilik kemiripan wajah keduanya, tidak salah lagi bahwa keduanya adalah ibu dan
"Mainan baru, Tan?" tanya Fabio cengengesan."Gitu deh. Kalian ada apa nih ke sini tanpa kabar-kabar dulu? Tumben." tanya Magdalena sembari melakukan peregangan. Beberapa bagian tubuhnya terasa pegal.Melissa menatap datar ke sekeliling Magdalena kemudian berucap, "Kita ngobrol di luar saja."Melissa segera melangkah ke luar kamar dan menuju ke sofa yang tersedia di balkon lantai dua. Fabio mengekorinya dan berdiri di sisi balkon. Dari sana ia memperhatikan sekeliling rumah Magdalena yang terlihat asri dan terawat. Tentu saja para karyawannya yang merawat, bukan Magdalena.Fabio dan Melissa menoleh saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata Sania yang datang dengan membawakan minuman yang mereka minta. Sania meletakkan dengan hati-hati dua cangkir teh hangat dan kopi hitam di atas meja."Ada hal lain yang bisa saya bantu?" tanya Sania dengan sopan."Rapikan kamarku dong, Sania!" perintah Magdalena yang baru saja keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ke arah balkon. Ia kini s