Alessia masih bersandar di balik pintu utama rumahnya. Jantungnya berdebar tidak karuan setelah melihat kondisi di teras depan. Alessia sudah dapat menerka apa dan siapa yang menyebabkannya.
Baru beberapa bulan berlalu dan Alessia harus kembali ke neraka itu lagi. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak.Terdengar suara ketukan pelan di pintunya. Ketukan yang tidak akan mungkin didengarnya jika saat ini dia tidak sedang bersandar di baliknya.Ketukan pelan itu terdengar lagi."Cepat buka! Aku tahu kau ada di balik pintu ini!" ucap sebuah suara berat yang terdengar di telinga Alessia. Suara berat yang dikenalinya dan berasal dari pria yang sangat Alessia benci. Pria yang telah menghancurkan hidupnya dan mamanya."Aku bilang buka! Atau kau ingin aku mendobraknya? Kau pikir aku tak mampu ha?" suara pria itu mulai meninggi karena amarah. Dia sungguh sudah tidak sabar. Dia beberapa kali menoleh ke sana ke sini untuk memastikan orang-orang itu belum kembali.Alessia berpikir sejenak, lalu mengeluarkan semprotan merica dari tasnya. Alessia ingat dia tertawa saat Allen memberikan itu padanya, tapi kini sepertinya benda ini akan berguna.Alessia berpikir kembali. Dia sebenarnya sangat enggan membukakan pintu untuk pria itu, tetapi Alessia juga tidak ingin dia nekat dan mendobrak pintunya. Ia menyembunyikan tangannya di punggung setelah akhirnya membuka kunci pintu dan melihat pria itu masuk."Alessia! Kenapa lama sekali hah?" teriak pria itu. Matanya merah dan tubuhnya sedikit terhuyung-huyung. Bau alkohol menguar di sekelilingnya."Mau apa kau? Sudah kubilang kita tidak ada hubungan apa-apa lagi!" ucap Alessia dengan penuh penekanan."Beraninya kau bicara seperti itu pada ayahmu! Dasar anak sialan!" kata pria itu semakin emosi."Pak Handoyo, segera angkat kaki dari rumah saya." Alessia berusaha menjawab dengan setenang mungkin. Ia tidak ingin tenaganya terbuang percuma untuk meladeni pria di hadapannya ini. Handoyo memang ayahnya, tapi Alessia sudah kehilangan rasa hormat untuknya semenjak pria itu menghancurkan hidupnya dan mamanya. Handoyo sudah membuat Alessia sangat muak."Sialan! Ini juga rumahku!""Rumahmu?" tanya Alessia dengan gusar.Alessia mulai kehilangan kesabarannya. Pria di hadapannya sangat tidak tahu diri. Bahkan setelah menghabiskan harta mamanya kemudian menceraikannya, sudah berkali-kali Alessia membayarkan hutang judinya karena para lintah darat itu terus datang ke rumah dan mengusik dirinya."Iya, rumahku!" Handoyo mengambil langkah mendekati Alessia."Sudah kubilang beberapa bulan lalu bahwa itu yang terakhir. Aku tidak akan sudi lagi membayar hutangmu. Aku hanya tinggal memiliki rumah dan mobil untuk kebutuhanku sehari-hari. Sekarang pergilah! Jangan pernah berani membawa para lintah darat itu kesini lagi!" Alessia sudah penuh dengan amarah saat ini. Napasnya mulai memburu."Kalau begitu jual mobilmu. Mudah, bukan?" Handoyo berkata ringan."Punya hak apa kau memintaku menjual hasil jerih payahku?""Kalau begitu jual saja rumah ini. Ini hasil jerih payah ibu kau, bukan kau. Mudah bukan?" Handoyo kini sudah berdiri tepat di hadapan Alessia. Ia mulai mencengkeram kedua lengannya berusaha mengintimidasi."Di mana sertifikat rumah ini ... Nak? Berikan pada Papa selagi aku memintanya dengan baik."Alessia yang menyadari bahwa keadaannya sudah semakin berbahaya segera mengarahkan tangan kanannya tepat di depan wajah Handoyo.Terdengar suara berdesis dari botol yang digenggamnya. Semprotan merica itu mendarat sempurna di kedua mata Handoyo yang tadi membelalak kepadanya."Dasar jalang! Apa yang kau lakukan?" Handoyo berteriak dengan histeris. Tubuhnya kelimpungan ke sana ke mari karena panik. Kedua tangannya mengusap matanya yang pastinya sedang kesakitan.Ampuh juga, batin Alessia sambil memandangi botol yang masih digenggamnya tersebut."Dasar sialan!" Handoyo bergerak tidak tentu arah berusaha untuk menyerang Alessia. Handoyo yang masih belum bisa membuka matanya mengarah ke luar rumah. Tepat setelah tubuhnya melewati pintu, Alessia segera menutup pintu dan menguncinya."Wah wah lihat ada siapa ini," ucap sebuah suara yang terdengar asing bagi Alessia. Alessia yang penasaran mengintip dari jendela yang ada di sampingnya.Terlihat segerombolan pria berbaju hitam. Mereka berjalan perlahan memasuki pekarangan rumahnya. Suara yang baru saja Alessia dengar berasal dari pria tinggi besar yang berjalan paling depan. Rokok beberapa kali dihisapnya selama berjalan mendekati Handoyo yang berada di teras. Tatapan pria itu sungguh tajam dan menakutkan bagi Alessia."Ternyata benar, kau kabur ke rumah anakmu. Tapi bagaimana ini, sepertinya anakmu pun sudah membuangmu," ucap pria itu lagi. Ia lalu tertawa kecil di wajah Handoyo yang sudah berada tepat di hadapannya. Alessia dapat melihat tubuh Handoyo yang mulai bergetar ketakutan.Alessia merasakan gejolak di hatinya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya, melihatnya dalam keadaan seperti itu tetap menyakitkan bagi Alessia. Tapi apa boleh buat, Handoyo tidak pernah jera. Handoyo bahkan tidak segan berkali-kali menyeret Alessia ke dalam situasi seperti ini. Alessia sudah tidak boleh mengalah lagi, Handoyo sudah jauh melewati batas.Keributan masih terjadi di luar. Beberapa pria memegangi tubuh Handoyo yang memberontak tidak mau diseret pergi."Alessia! Teganya kau melakukan ini pada ayahmu? Apa kau sungguh ingin aku mati?" teriak Handoyo dengan sedikit terisak.Handoyo meronta-ronta, ia semakin gelisah. Ini semua di luar ekspektasinya. Handoyo tidak pernah menyangka Alessia akan menolak untuk membayarkan hutangnya, toh selama ini setiap kondisinya mendesak Alessia selalu menyelamatkannya. Alessia adalah satu-satunya harapan yang dimilikinya."Alessia! Dasar brengsek kau!" Handoyo kembali berteriak saat tubuhnya mulai diseret pergi. Dia sangat marah pada Alessia yang telah membiarkannya diseret lintah darat seperti ini.Sebuah pukulan mendarat ke wajah Handoyo hingga tubuhnya terhuyung. Pukulan yang diberikan oleh pria yang sepertinya adalah pemimpin gerombolan itu."Kau yang brengsek. Kenapa bedebah sepertimu terus mengusik anakmu atas hal yang kau lakukan sendiri ha?" desisnya kepada Handoyo. Handoyo hanya terdiam tidak berani membantah, ia takut pukulan lain akan mendarat jika ia berucap meski hanya satu patah kata.Mereka kembali berjalan dan menyeret Handoyo pergi. Tepat sebelum mereka hilang dari pandangan Alessia, pria si pemimpin rombongan itu membalikkan tubuhnya. Ia tersenyum saat bertatapan mata dengan Alessia yang masih mengintip dari jendela. Pria itu melambaikan tangannya kepada Alessia."Sampai jumpa!" ucap pria itu pada Alessia.Bulu kuduk Alessia seketika merinding mendengar ucapannya.Pria itu melambaikan tangannya beberapa kali lagi sebelum membalikkan tubuhnya dan akhirnya pergi.Alessia masih terduduk di sofa ruang tamunya. Handoyo dan gerombolan pria itu memang sudah pergi lebih dari satu jam yang lalu, tapi Alessia masih belum juga beranjak. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Handoyo diseret pergi.Apa yang akan mereka lakukan pada Handoyo?Pikiran itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya. Alessia mulai merasa bimbang dengan keputusan awalnya untuk tidak memedulikan Handoyo lagi. Ia meremas-remas jemarinya dengan gelisah.Apa sebaiknya aku jual mobil dan bayar saja hutangnya?Pikiran itu sempat muncul di benaknya. Tapi jika Alessia melakukannya, Handoyo akan semakin seenaknya. Bahkan beberapa bulan yang lalu Alessia sampai menghabiskan uang tabungannya untuk melunasi hutang Handoyo yang begitu besar.Alessia menoleh saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumahnya. Tidak lama kemudian ia mendengar langkah kaki yang sepertinya berhenti di teras depan rumahnya. Alessia mengira itu adalah preman yang s
"Hah?" tanya Alessia tidak percaya."Hehehe kemasukan nyamuk tahu rasa tuh mulut." kata Allen mengomentari mulut Alessia yang terbuka karena terkejut. Ia sedikit geli melihat ekspresi Alessia yang baginya seperti anak kecil."Maksudnya gimana ya? Aku ikut pindah gitu?" tanya Alessia yang masih kebingungan."Yup. Mau ya?" tanya Allen lagi. Tatapannya sangat berharap saat menunggu jawaban Alessia. Allen tidak ingin meninggalkan Alessia di sini sendirian. Apalagi setelah tahu kemarin ia kembali diusik oleh Handoyo. Bagaimana pun Alessia adalah sahabat yang sangat ia sayangi. Selama ini ia sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri."Kenapa aku harus ikut?" Alessia masih bertanya lagi. Memang benar Alessia merasa sangat berat hati jika Allen pindah jauh, tapi ia juga tidak menyangka bahwa Allen akan membawanya."Kenapa harus enggak ikut?" Allen mengajukan pertanyaan retoris."Allen, aku nanya serius.""Lah, aku juga jawab serius." Allen menjawab sedikit ngeyel."Aku enggak tahu mau jaw
Seorang wanita turun dari kursi belakang mobil mewah di lobi sebuah mall kelas atas. Wanita itu mengenakan kacamata hitam. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah tas desainer terbaru berwarna putih yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.Beberapa karyawan mall yang mengenalinya menunduk dengan penuh hormat. Maklum saja, ia adalah salah satu pelanggan VVIP disini. Ia tidak memedulikan mereka dan terus berjalan dengan angkuh menuju toko perhiasan langganannya yang berada di lantai dasar."Selamat siang, Nyonya Magdalena." ucap seorang wanita yang sudah menunggunya di depan pintu. Tertera tulisan manajer di atasan yang ia kenakan."Hai Anna, ada yang baru?" Magdalena melepaskan kacamata hitamnya dan segera menuju ke sofa.Anna memberi kode pada para karyawan yang segera mengerti maksudnya. Mereka membawakan berbagai model kalung, gelang, anting-anting, dan cincin berlian keluaran terbaru mereka dan meletakkannya di hadapan Magdalena. Mereka hanya menunjukkan koleksi terbaik dan term
"Kar-kartu kreditnya tidak bisa, Nyonya. Ter-terblokir sepertinya. A-ada kar-kartu yang lain, Nyonya?" tanya Anna dengan terbata-bata. Tangannya mulai berkeringat karena gugup.Magdalena dan Rosa menatap Anna dengan tidak percaya."Ngomong apa kamu, hah? Kamu lupa siapa saya?!" ucap Magdalena yang seketika meninggikan suaranya. Matanya menatap nyalang ke arah Anna.Anna yang mendapatkan respon seperti itu semakin merasa gugup. Dia ketakutan bila salah mengambil langkah. Bagaimana pun Magdalena adalah salah satu pelanggan VVIP-nya, dia bisa kehilangan pendapatan dalam nominal fantastis jika sampai salah mengambil keputusan."Maaf, Nyonya. Ini tadi saya coba beberapa kali tapi tidak bisa. Ini akan saya coba lagi, Nyonya. Mohon tunggu sebentar." Anna bergegas mencobanya kembali. Magdalena yang sudah merasa tersinggung segera berdiri dan mengikutinya."Kamu ini bisa kerja enggak? Berani-beraninya bilang begitu! Asal kamu tahu, ya! Toko ini semua aku beli, sekalian kau kubeli pun aku sangg
Magdalena segera membanting tasnya begitu memasuki mobil. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, ia merasakan malu yang teramat sangat seperti ini. Harga dirinya yang sangat ia junjung tinggi hancur berkeping-keping."Argh!! Sialan!" jerit Magdalena di dalam mobil.Supirnya yang sudah paham betul dengan karakter Magdalena bersikap tenang saja dan terus melajukan mobilnya. Dia saat ini hanya menyetir pelan tanpa tujuan. Bertanya ke mana mereka akan pergi pada Magdalena saat ini sama saja dengan bunuh diri. Dia belajar dari pengalamannya dulu yang mendapat lemparan heels Magdalena saat suasana hatinya sedang buruk.Napas Magdalena masih memburu saat ia mengeluarkan gawai miliknya dari dalam tas. Ia menelepon seseorang. 'Ronald Suamiku', begitu nama yang tertera di layar. Magdalena membelalakkan matanya saat tahu panggilannya ditolak oleh Ronald. Belum pernah sekali pun Ronald menolak panggilannya seperti ini. Bahkan saat rapat kantor yang sangat penting pun ketika Magdalena menelepon,
Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang
"Papa, itu punya siapaa?!""Hehehe" Ronald hanya terkekeh dan tidak menjawab."Papa," Allen kembali memanggil Ronald."Selamat sore." ucap seorang pria yang berjalan menghampiri mereka."Yang hitam punya yang ini, yang merah punya yang ini!" sahut Ronald kepada pria tersebut. Ia menunjuk ke arah Allen lalu berganti ke arah Alessia. Mendengar penuturan Ronald, pria tersebut lalu tersenyum sopan dan menyapa keduanya. Dari seragam yang dikenakannya, bisa diketahui bahwa ia adalah seorang pegawai sebuah dealer mobil terkemuka."Dokumen sudah selesai diurus, tetapi kami masih membutuhkan tanda tangan Bapak Allen dan Ibu Alessia. Mohon kesediaannya," ucapnya sembari menyerahkan lembaran dokumen pembelian mobil beserta kelengkapan lainnya.Allen dan Alessia saling bertukar pandang."Maaf, Om. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Alessia yang bergegas menghampiri Ronald."Om tidak menerima penolakan, Alessia. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Sekarang kalian tanda tangan saja, kasihan mereka ya
Sebuah mobil hitam melaju cepat di jalanan sebuah perumahan. Dilihat dari jejeran rumah di sebelah kiri dan kanannya, bisa jelas diketahui bahwa itu adalah sebuah perumahan kelas atas. Tidak lama kemudian, mobil itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna coklat. Petugas keamanan yang berjaga di sisi pagar menelisik sejenak siapa yang datang, sebelum akhirnya mempersilakan mobil itu masuk.Petugas keamanan segera menghampiri mobil yang kini telah berhenti di pekarangan rumah yang luas. Ia bergegas membukakan pintu penumpang dan menunduk dengan hormat."Selamat pagi, Nyonya Melissa. Silakan masuk," ucap petugas keamanan tersebut dengan sopan. Wanita tersebut hanya mengangguk singkat tanpa berbicara.Tidak lama kemudian pintu bagian pengemudi terbuka. Seorang pemuda melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja hitam yang membalut sempurna tubuh atletisnya. Menilik kemiripan wajah keduanya, tidak salah lagi bahwa keduanya adalah ibu dan