"Mainan baru, Tan?" tanya Fabio cengengesan."Gitu deh. Kalian ada apa nih ke sini tanpa kabar-kabar dulu? Tumben." tanya Magdalena sembari melakukan peregangan. Beberapa bagian tubuhnya terasa pegal.Melissa menatap datar ke sekeliling Magdalena kemudian berucap, "Kita ngobrol di luar saja."Melissa segera melangkah ke luar kamar dan menuju ke sofa yang tersedia di balkon lantai dua. Fabio mengekorinya dan berdiri di sisi balkon. Dari sana ia memperhatikan sekeliling rumah Magdalena yang terlihat asri dan terawat. Tentu saja para karyawannya yang merawat, bukan Magdalena.Fabio dan Melissa menoleh saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata Sania yang datang dengan membawakan minuman yang mereka minta. Sania meletakkan dengan hati-hati dua cangkir teh hangat dan kopi hitam di atas meja."Ada hal lain yang bisa saya bantu?" tanya Sania dengan sopan."Rapikan kamarku dong, Sania!" perintah Magdalena yang baru saja keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ke arah balkon. Ia kini s
"Silakan Tuan, ini coklat hangatnya." ucap Dian sembari meletakkan secangkir coklat hangat di hadapan Ronald."Terima kasih, ya!" jawab Ronald dengan senyum simpul. Ia mengambil cangkir hitam tersebut dan mulai menyesap minumannya.Dian tersenyum sembari memperhatikan Ronald. Setelah kepulangan Ronald, Dian bisa merasakan perubahan yang sangat kentara pada Ronald. Sebelumnya, Ronald yang sangat terpukul atas kecelakaan yang merenggut nyawa putranya, Jonathan, menghabiskan banyak waktunya dengan berdiam diri dan termenung.Terlebih semenjak Ronald bertengkar hebat dengan Magdalena, Ronald menjadi semakin murung dan menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar. Ia bahkan sering melewatkan jam makannya dan nyaris tidak keluar kamar sama sekali.Tetapi setelah kepergian Ronald selama sepekan, Ronald terlihat jauh lebih baik dan mudah tersenyum. Bahkan Dian beberapa kali mendengar Ronald bersenandung menyanyikan lagu-lagu lawas kesukaannya."Sama-sama, Tuan. Apakah tidak terlalu ma
"Aku tidak akan bercerai. Titik.""Kita lihat saja nanti." jawab Ronald dengan ekspresi menantang.Ronald bergegas meninggalkan Magdalena yang masih berdiri mematung. Ia melambaikan tangan ke arah Ferdy yang berdiri tidak jauh darinya."Ada apa, Tuan?" tanya Ferdy yang kini telah berada di hadapan Ronald."Aku tidak jadi pergi. Tiba-tiba tubuhku terasa lelah.""Baik, Tuan.""Pastikan Magdalena segera pergi dari sini. Setelah itu kau temui aku di ruang kerja.""Saya mengerti, Tuan."Ronald melangkah dengan sedikit gontai menuju ke lantai dua rumahnya. Ia menuju ke ruang kerja pribadinya yang terletak persis di samping kamar utama.Ia lalu terduduk dengan lemas di kursi andalannya. Perasaannya campur aduk atas apa yang baru saja ia ucapkan pada Magdalena.Mereka akhirnya akan bercerai. Lagi.Ini bukanlah hal baru bagi Ronald, toh sebelumnya ia sudah pernah menceraikan Magdalena. Hanya saja kini sudah tidak ada lagi Jane di dunia ini. Tidak ada lagi harapan baginya untuk bisa meyanding
Seorang lelaki berusia lanjut duduk termangu di dekat kolam renang indoor yang ada di rumah mewahnya.Tatapannya kosong.Pikirannya entah kemana.Lelaki itu sedang berduka. Putra pertamanya baru beberapa hari ini meninggal dunia.Suara langkah mendekat membuyarkan lamunannya. Seorang pria yang mengenakan jas hitam berjalan mendekat ke arahnya. Dia adalah Ferdy, orang kepercayaan lelaki itu.Ferdy kemudian membungkuk di hadapannya."Selamat pagi, Tuan." ucap lelaki itu dengan hormat."Ferdy, saya ada tugas penting untukmu." jawab lelaki itu tanpa berbasa basi."Baik, Tuan.""Dua tugas yang harus kamu lakukan. Pertama, selidiki kecelakaan Jonathan. Temukan apa ini murni kecelakaan atau ada campur tangan seseorang," lelaki itu berhenti sejenak, ia beberapa kali terbatuk. Kesehatannya sudah menurun, kondisinya sudah tidak lagi prima."Dan yang kedua. Segera temukan Allen. Bawa dia ke sini. Kembalikan dia ke tempat yang seharusnya.""Temukan siapa katamu?" teriak seorang wanita yang menyela
Seorang pria jatuh tersungkur di atas tanah. "Dasar brengsek! Kau pikir kau siapa, hah? Berani-beraninya kau melaporkan aku ke atasan! Kau pikir kau siapa, hah!" ucap seorang lelaki yang sedang menendangi tubuh pria yang tersungkur itu. Wajah lelaki itu merah padam penuh kemarahan."Sekali lagi kau bertingkah akan kuhabisi kau! Ingat itu!" Lelaki itu kembali melayangkan beberapa tendangan sebelum akhirnya pergi bersama dua orang lainnya. Napasnya terlihat masih tersengal-sengal karena emosinya yang membara.Pria yang tersungkur tersebut terdiam cukup lama di posisinya. Terdapat bercak darah di beberapa bagian kemeja putih yang sedang dipakainya. Pria itu terbatuk-batuk beberapa kali lalu mengubah posisinya menjadi terlentang. Ia menatap langit malam yang gelap di hadapannya. Ia mengatur napasnya yang berat. Dadanya terasa sedikit sesak setelah benturan berkali-kali yang ia terima.Matanya yang berat hampir terpejam ketika suara sepatu heels terdengar dari kejauhan. Mendengar suara ke
Seorang pria terbaring di atas ranjang rumah sakit. Ranjang tersebut berada di sebuah kamar rawat inap yang luas.VVIP 01.Begitulah yang tertulis di bagian depan pintu utama kamar tersebut.Terdapat beberapa buah sofa di sudut ruangannya untuk tamu atau keluarga yang menunggu. Sedangkan di sisi lain terdapat sebuah pintu yang menuju ke kamar mandi. Di dalam ruangan bernuansa putih itu pria yang sedang terbaring tersebut tidak sendirian. Di sampingnya terdapat seorang wanita dan dua orang lelaki yang setia menunggunya.Dua hari.Sudah dua hari berlalu tapi Allen belum sadarkan diri. Tubuhnya masih dipasang infus. Perban masih membebat di kepalanya. Dokter mengatakan bahwa Allen sedang dalam masa pemulihan."Kenapa belum sadar juga?" Alessia bertanya lirih kepada Allen. Tangannya menggenggam erat jemari Allen. Allen yang ditanya hanya terdiam. Wajah tampannya terlihat begitu damai.Ronald hanya mengamati dalam diam interaksi antara Alessia dan Allen."Ferdy, tolong belikan makanan untu
Alessia membeku di depan kamar rawat inap Allen. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding sebelah pintu."Hmm, yaudah aku bakal pindah ke ibukota sama Papa."Kata-kata Allen tersebut terus terngiang di telinga Alessia. Allen sudah menerima Om Ronald dan kini akan pindah mengikuti papanya.Allen akan meninggalkan kota ini.Allen akan meninggalkan kota ini.Allen akan ... meninggalkannya.Alessia merasakan dadanya berdesir. Ada perasaan takut dan kecewa mendengar keputusan Allen tersebut.Bagaimana pun Allen telah menjelma menjadi sosok yang begitu penting bagi Alessia. Ia adalah 'sahabat' terbaiknya. Allen yang tidak lagi berada di dekatnya pasti akan memberi pengaruh besar bagi hidupnya. Alessia sadar betul saat ini ia sangat egois bila menginginkan Allen tetap tinggal di sisinya.Alessia sudah diberitahu oleh Ronald mengenai latar belakangnya dan juga rencananya untuk masa depan Allen.Allen adalah calon pewaris tunggal dari AW Group, perusahaan milik Ronald.Kepergian Jonathan, putra per
Telepon Ferdy dan Ronald baru saja terputus."Siapa yang dihabisi, Pa?" Allen yang turut mendengarkan percakapan Ronald dan Ferdy bertanya dengan penasaran. Ia penasaran kenapa wajah Ronald terlihat sangat marah."Hmm, jadi Papa sudah mencari berbagai informasi mengenai kamu, lalu Ferdy menemukan tentang apa yang dilakukan orang yang bernama Anggoro kepadamu. Orang-orang yang menabrak kamu dalam kecelakaan ini juga ternyata suruhan Anggoro. Jadi, Papa meminta Ferdy untuk mengurusnya. Dia harus diberi hukuman yang setimpal!" Ronald kembali mengepalkan kedua tangannya. Darahnya kembali mendidih mengetahui anaknya hampir terbunuh karena ulah lelaki brengsek tersebut."Serius, Pa? Yang bikin aku kecelakaan Anggoro?" tanya Allen dengan ekspresi terkejut. Ini fakta yang baru saja ia ketahui. Ia berpikir ini hanya kecelakaan biasa tanpa ada unsur kesengajaan."Betul. Papa akan jebloskan dia ke penjara! Beraninya dia menyentuhmu!"Mendengar penuturan Ronald, tanpa disadari Allen menyunggingka