Seorang pria terbaring di atas ranjang rumah sakit. Ranjang tersebut berada di sebuah kamar rawat inap yang luas.
VVIP 01.Begitulah yang tertulis di bagian depan pintu utama kamar tersebut.Terdapat beberapa buah sofa di sudut ruangannya untuk tamu atau keluarga yang menunggu. Sedangkan di sisi lain terdapat sebuah pintu yang menuju ke kamar mandi. Di dalam ruangan bernuansa putih itu pria yang sedang terbaring tersebut tidak sendirian. Di sampingnya terdapat seorang wanita dan dua orang lelaki yang setia menunggunya.Dua hari.Sudah dua hari berlalu tapi Allen belum sadarkan diri. Tubuhnya masih dipasang infus. Perban masih membebat di kepalanya. Dokter mengatakan bahwa Allen sedang dalam masa pemulihan."Kenapa belum sadar juga?" Alessia bertanya lirih kepada Allen. Tangannya menggenggam erat jemari Allen. Allen yang ditanya hanya terdiam. Wajah tampannya terlihat begitu damai.Ronald hanya mengamati dalam diam interaksi antara Alessia dan Allen."Ferdy, tolong belikan makanan untuk Nak Alessia." Ronald yang duduk di sofa di sudut ruangan kamar rawat inap tersebut mengeluarkan sebuah kartu kredit dan memberikannya pada Ferdy. Ferdy segera mengambil kartu kredit tersebut dan bersiap melaksanakan tugas dari tuannya."Nona Alessia ingin dibelikan makanan apa?" Ferdy bertanya dengan sopan kepada Alessia.Alessia mengalihkan pandangannya dari Allen. Ia perlahan-lahan mencerna apa yang ditanyakan oleh Ferdy kepadanya. Kondisinya yang lelah hati dan pikiran membuatnya menjadi kesulitan berpikir."Saya tidak lapar.""Tapi kamu belum makan dari tadi pagi. Setidaknya isilah perutmu meskipun sedikit Nak, jangan sampai kamu pun jatuh sakit." Ronald menimpali ucapannya. Ia merasa khawatir karena melihat kondisi Alessia yang terlihat pucat."Hm iya, Om. Kalau begitu terserah Pak Ferdy saja mau beli apa.""Baik Nona. Saya permisi dulu." Ferdy mengangguk singkat sebelum meninggalkan ruangan."Om Ronald, apa yang akan Om katakan pada Allen saat ia sudah sadar?" Alessia memulai percakapan saat Ferdy sudah pergi.Mendengar pertanyaan Alessia, Ronald terdiam cukup lama. Sebenarnya begitu banyak yang ingin ia sampaikan pada Allen, tapi permohonan maaf dan penyesalan-lah yang mendominasi. Ia bahkan merasa ketakutan jika Allen menolak kehadirannya. Hatinya pasti akan sangat hancur.Ronald ingin berusaha meyakinkan Allen untuk menerimanya. Tes DNA sudah Ronald lakukan. Laporan pengecekan latar belakang dan segalanya sudah ia terima. Itu semua membuktikan bahwa pria muda yang hampir kehilangan nyawa di hadapannya adalah Allen, putra kandungnya.Semenjak beberapa hari yang lalu, Ronald mengorek informasi dari Alessia tentang apa yang sebenarnya terjadi. Alessia yang awalnya tidak mau membuka diri pada Ronald yang baru pertama kali ia temui akhirnya mengalah. Ronald menunjukkan berbagai bukti yang ia miliki pada Alessia yang membuktikan bahwa ia adalah ayah kandung Allen.Alessia teringat pesan dari Jane sebelum ia wafat. Jane memintanya untuk membujuk Allen agar ia menerima kehadiran Ronald sebagai ayahnya apabila Ronald menemui Allen. Alessia juga melihat kesungguhan Ronald untuk melindungi putranya.Alessia pun akhirnya memilih untuk tidak lagi bungkam. Ronald mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya dengan seksama. Ronald pun mendapat informasi dari Alessia mengenai percakapan dua orang yang ia dengar saat Allen kecelakaan. Tangannya mengepal geram karena seseorang telah menyakiti putranya. Terlebih sebelumnya anak buahnya juga melaporkan kepadanya tentang kejadian Allen yang dihajar habis-habisan oleh atasannya yang bernama Anggoro.Beraninya dia menyentuh putraku, batin Ronald penuh kemarahan."Cari semua informasi mengenai orang yang telah melukai putraku! Segera laporkan padaku!" Ronald segera menitahkan Ferdy.Ferdy pada saat itu segera memerintahkan orang-orangnya untuk melakukannya. Tidak lama lagi informasi yang diminta akan segera Ronald dapatkan."Om Ronald?"Suara Alessia mengembalikannya ke saat ini. Ia mulai memfokuskan pikirannya kembali. Ia teringat bahwa ia belum menjawab pertanyaan Alessia sebelumnya."Yang jelas permohonan maaf dan penyesalan Om karena tidak ada di sampingnya selama ini Alessia. Om sangat ingin Allen memberikan Om kesempatan untuk menebus semua kesalahan Om padanya ... dan pada Jane." Ronald menyebut nama Jane dengan begitu lirih. Hatinya begitu nelangsa mengingat wanita yang masih dicintainya tersebut telah tiada."MUDAH SEKALI ANDA MENGUCAPKANNYA!" ucap sebuah suara yang menyela pembicaraan keduanya. Tidak keras memang suaranya, tetapi amarah terasa begitu kental di dalamnya."Allen!" Alessia yang begitu mengenal suara itu segera mendekati Allen."Kamu sudah sadar hm?" Alessia menatap wajah Allen yang masih sedikit pucat."Udah. Sekarang suruh orang itu pergi dari sini Ale!"Allen ternyata sudah sadar beberapa menit yang lalu. Ia mendengar pembicaraan singkat antara Ronald dan Alessia. Hal itu membuatnya dapat menerka siapa gerangan lelaki di hadapannya itu.Ronald yang mendengar apa yang dikatakan Allen tidak berkutik. Mulutnya membuka dan menutup beberapa kali. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari dalam mulutnya."Aku bilang pergi!" Allen mulai histeris. Ia bergerak-gerak mencoba bangun dari tempat tidurnya."Allen, tenang." Alessia menahan tubuh Allen."Pergi!" Allen masih mencoba memberontak."Allen!" Alessia sedikit meninggikan suaranya.Allen yang awalnya masih meronta-ronta perlahan mulai tenang. Ia terdiam."Allen tenang ... dengarkan penjelasannya dulu. Kamu nggak ingat pesan Mama Jane sebelum meninggal hm?" Alessia berusaha membujuk Allen."Setidaknya berikan Om Ronald kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Keputusan selanjutnya ada di tangan kamu. Oke?" Allen mendengus kesal tapi tidak mengatakan apa-apa.Alessia menoleh ke arah Ronald yang terlihat sangat gugup.Ronald akhirnya mengambil langkah. Ia mendekati ranjang dan menatap wajah putranya tersebut."Maafkan Papa, semua yang terjadi adalah salah papa. Tolong beri papa kesempatan untuk menebus segalanya." Ronald mengucapkannya dengan suara dan tangan yang bergetar.Alessia yang mendengar itu semua memilih untuk pergi ke luar ruangan. Dia ingin memberikan keduanya privasi agar bisa lebih leluasa mengungkapkan isi hatinya masing-masing. Alessia berharap keduanya bisa mendekatkan diri satu sama lain.Bagaimana pun Om Ronald adalah ayah kandung Allen, batin Alessia.Semua yang dilakukan ini tidak terlepas dari amanah yang diberikan oleh Jane pada Alessia sebelum Jane menghembuskan napas terakhirnya. Jane ingin Alessia membantu agar Allen dapat menerima ayah kandungnya.Kesalahan Ronald memang fatal tetapi mengingat Jane yang bersikukuh meminta Allen dapat memaafkan Ronald, Alessia akhirnya menyanggupinya. Tidak ada salahnya dicoba.Alessia memutuskan untuk mencari udara segar. Ia berjalan-jalan sampai akhirnya menuju ke salah satu Coffee Shop yang ada di lantai dasar rumah sakit ini."Selamat datang. Silakan mau pesan apa?""Satu hazelnut coffee hangat." Pesannya kepada seorang barista di hadapannya."Baik. Ada tambahan lain?""Hmm. Oreo cheesecake satu." Jawab Alessia yang sedang memandangi berbagai jenis cake yang ada di display. Tiba-tiba ia merasa lapar. Allen yang sudah bangun membuatnya merasa jauh lebih baik.Gawai milik Alessia berbunyi. Ia meletakkan makanan dan minumannya di atas meja sebelum menjawab panggilan tersebut."Di mana?" tanya Allen."Ada deh." jawab Alessia ringan."Seriusan ditanyain juga.""Lagi ngopi di bawah.""Lah belum makan udah ngopi aja. Asam lambung apa kabar?""Ini juga sama makan cheesecake kok." Alessia mulai memotong sebagian oreo cheesecake di hadapannya dan memasukkannya ke mulut.Hmmm enak juga, batin Alessia."Oh. Tapi habis ini tetep makan ya. Jangan cheesecake doang.""Hmm," jawab Alessia sekenanya sambil melumat cheesecake di dalam mulutnya."Eh iya aku habis ini sekalian balik dulu ya. Mau ngecek rumah dulu. Ntar aku ambilin baju gantimu sekalian. Titip apa gitu nggak?" kata Alessia."Hmmm apa ya. Yaudah naik ke kamar sini aja dulu. Emang bawa kunci rumahku?""Bawa kayaknya ... eh di tas ternyata. Yaudah aku naik dulu aja habis ini.""Hm, ya udah."Telepon terputus.Alessia merasa sedikit lebih baik setelah mengisi perutnya. Setelah selesai ia segera beranjak dan menuju ke lantai atas, kamar rawat inap Allen.Sesampainya di depan kamar, pintunya yang sedikit terbuka membuat Alessia bisa samar-samar mendengar percakapan Allen dan Ronald di dalam."Jadi bagaimana, Nak?" terdengar suara Ronald yang bertanya lembut kepada Allen."Kamu mau kan, Nak?" Ronald kembali membujuk Allen.Alessia yang sedang memegang gagang pintu dan hendak membukanya terhenti saat mendengar suara Allen."Hmm, ya sudah aku akan pindah ke ibukota sama Papa."Alessia membeku di depan kamar rawat inap Allen. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding sebelah pintu."Hmm, yaudah aku bakal pindah ke ibukota sama Papa."Kata-kata Allen tersebut terus terngiang di telinga Alessia. Allen sudah menerima Om Ronald dan kini akan pindah mengikuti papanya.Allen akan meninggalkan kota ini.Allen akan meninggalkan kota ini.Allen akan ... meninggalkannya.Alessia merasakan dadanya berdesir. Ada perasaan takut dan kecewa mendengar keputusan Allen tersebut.Bagaimana pun Allen telah menjelma menjadi sosok yang begitu penting bagi Alessia. Ia adalah 'sahabat' terbaiknya. Allen yang tidak lagi berada di dekatnya pasti akan memberi pengaruh besar bagi hidupnya. Alessia sadar betul saat ini ia sangat egois bila menginginkan Allen tetap tinggal di sisinya.Alessia sudah diberitahu oleh Ronald mengenai latar belakangnya dan juga rencananya untuk masa depan Allen.Allen adalah calon pewaris tunggal dari AW Group, perusahaan milik Ronald.Kepergian Jonathan, putra per
Telepon Ferdy dan Ronald baru saja terputus."Siapa yang dihabisi, Pa?" Allen yang turut mendengarkan percakapan Ronald dan Ferdy bertanya dengan penasaran. Ia penasaran kenapa wajah Ronald terlihat sangat marah."Hmm, jadi Papa sudah mencari berbagai informasi mengenai kamu, lalu Ferdy menemukan tentang apa yang dilakukan orang yang bernama Anggoro kepadamu. Orang-orang yang menabrak kamu dalam kecelakaan ini juga ternyata suruhan Anggoro. Jadi, Papa meminta Ferdy untuk mengurusnya. Dia harus diberi hukuman yang setimpal!" Ronald kembali mengepalkan kedua tangannya. Darahnya kembali mendidih mengetahui anaknya hampir terbunuh karena ulah lelaki brengsek tersebut."Serius, Pa? Yang bikin aku kecelakaan Anggoro?" tanya Allen dengan ekspresi terkejut. Ini fakta yang baru saja ia ketahui. Ia berpikir ini hanya kecelakaan biasa tanpa ada unsur kesengajaan."Betul. Papa akan jebloskan dia ke penjara! Beraninya dia menyentuhmu!"Mendengar penuturan Ronald, tanpa disadari Allen menyunggingka
Alessia masih bersandar di balik pintu utama rumahnya. Jantungnya berdebar tidak karuan setelah melihat kondisi di teras depan. Alessia sudah dapat menerka apa dan siapa yang menyebabkannya.Baru beberapa bulan berlalu dan Alessia harus kembali ke neraka itu lagi. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak.Terdengar suara ketukan pelan di pintunya. Ketukan yang tidak akan mungkin didengarnya jika saat ini dia tidak sedang bersandar di baliknya.Ketukan pelan itu terdengar lagi."Cepat buka! Aku tahu kau ada di balik pintu ini!" ucap sebuah suara berat yang terdengar di telinga Alessia. Suara berat yang dikenalinya dan berasal dari pria yang sangat Alessia benci. Pria yang telah menghancurkan hidupnya dan mamanya."Aku bilang buka! Atau kau ingin aku mendobraknya? Kau pikir aku tak mampu ha?" suara pria itu mulai meninggi karena amarah. Dia sungguh sudah tidak sabar. Dia beberapa kali menoleh ke sana ke sini untuk memastikan orang-orang itu belum kembali.Alessia berpiki
Alessia masih terduduk di sofa ruang tamunya. Handoyo dan gerombolan pria itu memang sudah pergi lebih dari satu jam yang lalu, tapi Alessia masih belum juga beranjak. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Handoyo diseret pergi.Apa yang akan mereka lakukan pada Handoyo?Pikiran itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya. Alessia mulai merasa bimbang dengan keputusan awalnya untuk tidak memedulikan Handoyo lagi. Ia meremas-remas jemarinya dengan gelisah.Apa sebaiknya aku jual mobil dan bayar saja hutangnya?Pikiran itu sempat muncul di benaknya. Tapi jika Alessia melakukannya, Handoyo akan semakin seenaknya. Bahkan beberapa bulan yang lalu Alessia sampai menghabiskan uang tabungannya untuk melunasi hutang Handoyo yang begitu besar.Alessia menoleh saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumahnya. Tidak lama kemudian ia mendengar langkah kaki yang sepertinya berhenti di teras depan rumahnya. Alessia mengira itu adalah preman yang s
"Hah?" tanya Alessia tidak percaya."Hehehe kemasukan nyamuk tahu rasa tuh mulut." kata Allen mengomentari mulut Alessia yang terbuka karena terkejut. Ia sedikit geli melihat ekspresi Alessia yang baginya seperti anak kecil."Maksudnya gimana ya? Aku ikut pindah gitu?" tanya Alessia yang masih kebingungan."Yup. Mau ya?" tanya Allen lagi. Tatapannya sangat berharap saat menunggu jawaban Alessia. Allen tidak ingin meninggalkan Alessia di sini sendirian. Apalagi setelah tahu kemarin ia kembali diusik oleh Handoyo. Bagaimana pun Alessia adalah sahabat yang sangat ia sayangi. Selama ini ia sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri."Kenapa aku harus ikut?" Alessia masih bertanya lagi. Memang benar Alessia merasa sangat berat hati jika Allen pindah jauh, tapi ia juga tidak menyangka bahwa Allen akan membawanya."Kenapa harus enggak ikut?" Allen mengajukan pertanyaan retoris."Allen, aku nanya serius.""Lah, aku juga jawab serius." Allen menjawab sedikit ngeyel."Aku enggak tahu mau jaw
Seorang wanita turun dari kursi belakang mobil mewah di lobi sebuah mall kelas atas. Wanita itu mengenakan kacamata hitam. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah tas desainer terbaru berwarna putih yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.Beberapa karyawan mall yang mengenalinya menunduk dengan penuh hormat. Maklum saja, ia adalah salah satu pelanggan VVIP disini. Ia tidak memedulikan mereka dan terus berjalan dengan angkuh menuju toko perhiasan langganannya yang berada di lantai dasar."Selamat siang, Nyonya Magdalena." ucap seorang wanita yang sudah menunggunya di depan pintu. Tertera tulisan manajer di atasan yang ia kenakan."Hai Anna, ada yang baru?" Magdalena melepaskan kacamata hitamnya dan segera menuju ke sofa.Anna memberi kode pada para karyawan yang segera mengerti maksudnya. Mereka membawakan berbagai model kalung, gelang, anting-anting, dan cincin berlian keluaran terbaru mereka dan meletakkannya di hadapan Magdalena. Mereka hanya menunjukkan koleksi terbaik dan term
"Kar-kartu kreditnya tidak bisa, Nyonya. Ter-terblokir sepertinya. A-ada kar-kartu yang lain, Nyonya?" tanya Anna dengan terbata-bata. Tangannya mulai berkeringat karena gugup.Magdalena dan Rosa menatap Anna dengan tidak percaya."Ngomong apa kamu, hah? Kamu lupa siapa saya?!" ucap Magdalena yang seketika meninggikan suaranya. Matanya menatap nyalang ke arah Anna.Anna yang mendapatkan respon seperti itu semakin merasa gugup. Dia ketakutan bila salah mengambil langkah. Bagaimana pun Magdalena adalah salah satu pelanggan VVIP-nya, dia bisa kehilangan pendapatan dalam nominal fantastis jika sampai salah mengambil keputusan."Maaf, Nyonya. Ini tadi saya coba beberapa kali tapi tidak bisa. Ini akan saya coba lagi, Nyonya. Mohon tunggu sebentar." Anna bergegas mencobanya kembali. Magdalena yang sudah merasa tersinggung segera berdiri dan mengikutinya."Kamu ini bisa kerja enggak? Berani-beraninya bilang begitu! Asal kamu tahu, ya! Toko ini semua aku beli, sekalian kau kubeli pun aku sangg
Magdalena segera membanting tasnya begitu memasuki mobil. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, ia merasakan malu yang teramat sangat seperti ini. Harga dirinya yang sangat ia junjung tinggi hancur berkeping-keping."Argh!! Sialan!" jerit Magdalena di dalam mobil.Supirnya yang sudah paham betul dengan karakter Magdalena bersikap tenang saja dan terus melajukan mobilnya. Dia saat ini hanya menyetir pelan tanpa tujuan. Bertanya ke mana mereka akan pergi pada Magdalena saat ini sama saja dengan bunuh diri. Dia belajar dari pengalamannya dulu yang mendapat lemparan heels Magdalena saat suasana hatinya sedang buruk.Napas Magdalena masih memburu saat ia mengeluarkan gawai miliknya dari dalam tas. Ia menelepon seseorang. 'Ronald Suamiku', begitu nama yang tertera di layar. Magdalena membelalakkan matanya saat tahu panggilannya ditolak oleh Ronald. Belum pernah sekali pun Ronald menolak panggilannya seperti ini. Bahkan saat rapat kantor yang sangat penting pun ketika Magdalena menelepon,
"Aku tidak akan bercerai. Titik.""Kita lihat saja nanti." jawab Ronald dengan ekspresi menantang.Ronald bergegas meninggalkan Magdalena yang masih berdiri mematung. Ia melambaikan tangan ke arah Ferdy yang berdiri tidak jauh darinya."Ada apa, Tuan?" tanya Ferdy yang kini telah berada di hadapan Ronald."Aku tidak jadi pergi. Tiba-tiba tubuhku terasa lelah.""Baik, Tuan.""Pastikan Magdalena segera pergi dari sini. Setelah itu kau temui aku di ruang kerja.""Saya mengerti, Tuan."Ronald melangkah dengan sedikit gontai menuju ke lantai dua rumahnya. Ia menuju ke ruang kerja pribadinya yang terletak persis di samping kamar utama.Ia lalu terduduk dengan lemas di kursi andalannya. Perasaannya campur aduk atas apa yang baru saja ia ucapkan pada Magdalena.Mereka akhirnya akan bercerai. Lagi.Ini bukanlah hal baru bagi Ronald, toh sebelumnya ia sudah pernah menceraikan Magdalena. Hanya saja kini sudah tidak ada lagi Jane di dunia ini. Tidak ada lagi harapan baginya untuk bisa meyanding
"Silakan Tuan, ini coklat hangatnya." ucap Dian sembari meletakkan secangkir coklat hangat di hadapan Ronald."Terima kasih, ya!" jawab Ronald dengan senyum simpul. Ia mengambil cangkir hitam tersebut dan mulai menyesap minumannya.Dian tersenyum sembari memperhatikan Ronald. Setelah kepulangan Ronald, Dian bisa merasakan perubahan yang sangat kentara pada Ronald. Sebelumnya, Ronald yang sangat terpukul atas kecelakaan yang merenggut nyawa putranya, Jonathan, menghabiskan banyak waktunya dengan berdiam diri dan termenung.Terlebih semenjak Ronald bertengkar hebat dengan Magdalena, Ronald menjadi semakin murung dan menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar. Ia bahkan sering melewatkan jam makannya dan nyaris tidak keluar kamar sama sekali.Tetapi setelah kepergian Ronald selama sepekan, Ronald terlihat jauh lebih baik dan mudah tersenyum. Bahkan Dian beberapa kali mendengar Ronald bersenandung menyanyikan lagu-lagu lawas kesukaannya."Sama-sama, Tuan. Apakah tidak terlalu ma
"Mainan baru, Tan?" tanya Fabio cengengesan."Gitu deh. Kalian ada apa nih ke sini tanpa kabar-kabar dulu? Tumben." tanya Magdalena sembari melakukan peregangan. Beberapa bagian tubuhnya terasa pegal.Melissa menatap datar ke sekeliling Magdalena kemudian berucap, "Kita ngobrol di luar saja."Melissa segera melangkah ke luar kamar dan menuju ke sofa yang tersedia di balkon lantai dua. Fabio mengekorinya dan berdiri di sisi balkon. Dari sana ia memperhatikan sekeliling rumah Magdalena yang terlihat asri dan terawat. Tentu saja para karyawannya yang merawat, bukan Magdalena.Fabio dan Melissa menoleh saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata Sania yang datang dengan membawakan minuman yang mereka minta. Sania meletakkan dengan hati-hati dua cangkir teh hangat dan kopi hitam di atas meja."Ada hal lain yang bisa saya bantu?" tanya Sania dengan sopan."Rapikan kamarku dong, Sania!" perintah Magdalena yang baru saja keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ke arah balkon. Ia kini s
Sebuah mobil hitam melaju cepat di jalanan sebuah perumahan. Dilihat dari jejeran rumah di sebelah kiri dan kanannya, bisa jelas diketahui bahwa itu adalah sebuah perumahan kelas atas. Tidak lama kemudian, mobil itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna coklat. Petugas keamanan yang berjaga di sisi pagar menelisik sejenak siapa yang datang, sebelum akhirnya mempersilakan mobil itu masuk.Petugas keamanan segera menghampiri mobil yang kini telah berhenti di pekarangan rumah yang luas. Ia bergegas membukakan pintu penumpang dan menunduk dengan hormat."Selamat pagi, Nyonya Melissa. Silakan masuk," ucap petugas keamanan tersebut dengan sopan. Wanita tersebut hanya mengangguk singkat tanpa berbicara.Tidak lama kemudian pintu bagian pengemudi terbuka. Seorang pemuda melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja hitam yang membalut sempurna tubuh atletisnya. Menilik kemiripan wajah keduanya, tidak salah lagi bahwa keduanya adalah ibu dan
"Papa, itu punya siapaa?!""Hehehe" Ronald hanya terkekeh dan tidak menjawab."Papa," Allen kembali memanggil Ronald."Selamat sore." ucap seorang pria yang berjalan menghampiri mereka."Yang hitam punya yang ini, yang merah punya yang ini!" sahut Ronald kepada pria tersebut. Ia menunjuk ke arah Allen lalu berganti ke arah Alessia. Mendengar penuturan Ronald, pria tersebut lalu tersenyum sopan dan menyapa keduanya. Dari seragam yang dikenakannya, bisa diketahui bahwa ia adalah seorang pegawai sebuah dealer mobil terkemuka."Dokumen sudah selesai diurus, tetapi kami masih membutuhkan tanda tangan Bapak Allen dan Ibu Alessia. Mohon kesediaannya," ucapnya sembari menyerahkan lembaran dokumen pembelian mobil beserta kelengkapan lainnya.Allen dan Alessia saling bertukar pandang."Maaf, Om. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Alessia yang bergegas menghampiri Ronald."Om tidak menerima penolakan, Alessia. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Sekarang kalian tanda tangan saja, kasihan mereka ya
Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang
Magdalena segera membanting tasnya begitu memasuki mobil. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, ia merasakan malu yang teramat sangat seperti ini. Harga dirinya yang sangat ia junjung tinggi hancur berkeping-keping."Argh!! Sialan!" jerit Magdalena di dalam mobil.Supirnya yang sudah paham betul dengan karakter Magdalena bersikap tenang saja dan terus melajukan mobilnya. Dia saat ini hanya menyetir pelan tanpa tujuan. Bertanya ke mana mereka akan pergi pada Magdalena saat ini sama saja dengan bunuh diri. Dia belajar dari pengalamannya dulu yang mendapat lemparan heels Magdalena saat suasana hatinya sedang buruk.Napas Magdalena masih memburu saat ia mengeluarkan gawai miliknya dari dalam tas. Ia menelepon seseorang. 'Ronald Suamiku', begitu nama yang tertera di layar. Magdalena membelalakkan matanya saat tahu panggilannya ditolak oleh Ronald. Belum pernah sekali pun Ronald menolak panggilannya seperti ini. Bahkan saat rapat kantor yang sangat penting pun ketika Magdalena menelepon,
"Kar-kartu kreditnya tidak bisa, Nyonya. Ter-terblokir sepertinya. A-ada kar-kartu yang lain, Nyonya?" tanya Anna dengan terbata-bata. Tangannya mulai berkeringat karena gugup.Magdalena dan Rosa menatap Anna dengan tidak percaya."Ngomong apa kamu, hah? Kamu lupa siapa saya?!" ucap Magdalena yang seketika meninggikan suaranya. Matanya menatap nyalang ke arah Anna.Anna yang mendapatkan respon seperti itu semakin merasa gugup. Dia ketakutan bila salah mengambil langkah. Bagaimana pun Magdalena adalah salah satu pelanggan VVIP-nya, dia bisa kehilangan pendapatan dalam nominal fantastis jika sampai salah mengambil keputusan."Maaf, Nyonya. Ini tadi saya coba beberapa kali tapi tidak bisa. Ini akan saya coba lagi, Nyonya. Mohon tunggu sebentar." Anna bergegas mencobanya kembali. Magdalena yang sudah merasa tersinggung segera berdiri dan mengikutinya."Kamu ini bisa kerja enggak? Berani-beraninya bilang begitu! Asal kamu tahu, ya! Toko ini semua aku beli, sekalian kau kubeli pun aku sangg
Seorang wanita turun dari kursi belakang mobil mewah di lobi sebuah mall kelas atas. Wanita itu mengenakan kacamata hitam. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah tas desainer terbaru berwarna putih yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.Beberapa karyawan mall yang mengenalinya menunduk dengan penuh hormat. Maklum saja, ia adalah salah satu pelanggan VVIP disini. Ia tidak memedulikan mereka dan terus berjalan dengan angkuh menuju toko perhiasan langganannya yang berada di lantai dasar."Selamat siang, Nyonya Magdalena." ucap seorang wanita yang sudah menunggunya di depan pintu. Tertera tulisan manajer di atasan yang ia kenakan."Hai Anna, ada yang baru?" Magdalena melepaskan kacamata hitamnya dan segera menuju ke sofa.Anna memberi kode pada para karyawan yang segera mengerti maksudnya. Mereka membawakan berbagai model kalung, gelang, anting-anting, dan cincin berlian keluaran terbaru mereka dan meletakkannya di hadapan Magdalena. Mereka hanya menunjukkan koleksi terbaik dan term