Alessia membeku di depan kamar rawat inap Allen. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding sebelah pintu.
"Hmm, yaudah aku bakal pindah ke ibukota sama Papa."Kata-kata Allen tersebut terus terngiang di telinga Alessia. Allen sudah menerima Om Ronald dan kini akan pindah mengikuti papanya.Allen akan meninggalkan kota ini.Allen akan meninggalkan kota ini.Allen akan ... meninggalkannya.Alessia merasakan dadanya berdesir. Ada perasaan takut dan kecewa mendengar keputusan Allen tersebut.Bagaimana pun Allen telah menjelma menjadi sosok yang begitu penting bagi Alessia. Ia adalah 'sahabat' terbaiknya. Allen yang tidak lagi berada di dekatnya pasti akan memberi pengaruh besar bagi hidupnya. Alessia sadar betul saat ini ia sangat egois bila menginginkan Allen tetap tinggal di sisinya.Alessia sudah diberitahu oleh Ronald mengenai latar belakangnya dan juga rencananya untuk masa depan Allen.Allen adalah calon pewaris tunggal dari AW Group, perusahaan milik Ronald.Kepergian Jonathan, putra pertama Ronald membuat Allen menjadi harapan satu-satunya bagi Ronald. Dan sebagai masa depan AW Group, ada begitu banyak hal yang harus mulai dipersiapkan oleh Allen. Hal tersebut membuat keputusan Ronald untuk membawanya menjadi keputusan yang sangat masuk akal.Nggak boleh egois ini yang terbaik untuk Allen, Alessia terus berusaha meyakinkan dirinya."Nona Alessia?" tanya sebuah suara berat di dekat Alessia.Alessia mendongak untuk mengetahui siapa yang mengajaknya bicara tersebut. Ferdy berdiri di hadapannya dan menenteng dua buah paper bag di tangannya."Nona Alessia baik-baik saja?" Ferdy kembali bertanya setelah Alessia hanya terdiam menatapnya."Oh. Hm. Iya Pak. Saya baik-baik saja. Barusan mau masuk tapi kepala saya tiba-tiba sedikit pusing." Alessia berkilah."Oh maaf buburnya lama, barusan ada sesuatu yang genting terjadi. Saya baru kembali setelah menyelesaikannya. Ini silakan dimakan dulu Non, mari masuk." Ferdy membukakan pintu untuk Alessia. Alessia bergegas masuk dan berusaha tersenyum seperti tidak ada apa-apa."Oh Nak Alessia, ayo dimakan dulu. Buburnya sudah dapat kan, Ferdy?""Sudah Tuan, ini saya siapkan dahulu." jawab Ferdy yang bergegas menyiapkan makanan yang baru saja ia beli."Hmm, tidak perlu Pak Ferdy. Ini saya mau pulang dulu. Mau ngecek rumah. Mau ambil baju ganti untuk Allen juga." cegah Alessia."Oh begitu. Ya sudah biar diantar Ferdy saja ya. Ferdy, tolong antarkan Nak Alessia pulang ya.""Ti-tidak usah, Om. Saya bawa mobil, biar dipanasin sekalian hehe.""Kamu yakin, Nak?" Ronald kembali bertanya."Iya, Om." Alessia tersenyum kepadanya.Alessia segera menuju ke lemari dan mengambil tasnya. Dia juga membawa beberapa baju gantinya selama ini. Setelah selesai ia segera berpamitan kepada yang lain."Om Ronald, Pak Ferdy, saya permisi. Allen aku balik ya!"Sebelum mendapat jawaban, Alessia sudah berbalik dan menuju pintu. Allen terus memandangi Alessia. Ia merasa Alessia menunjukkan gelagat yang aneh. Ia masih terus memandangi pintu bahkan setelah beberapa menit kepergian Alessia."Ada apa, Allen?" Ronald bertanya keheranan."Tidak apa-apa." jawab Allen yang kini mengalihkan pandangannya ke televisi. Sebuah acara berita sedang ditayangkan di sana.Suasana menjadi hening. Hanya suara pembawa berita yang terdengar di ruangan itu hingga Ronald kembali memecah keheningan."Nak, mengenai keputusanmu, kapan kamu akan memberitahu Alessia?""Secepatnya." jawab Allen singkat.***Sekelompok pria dengan setelan jas memasuki kantor tempat Alessia dan Allen bekerja. Mereka menunjukkan tanda pengenal dan segera masuk. Mereka segera memasuki lift dan menekan tombol 4.Begitu lift berhenti di lantai 4 dan pintunya terbuka, mereka bergegas keluar dan menuju ke salah satu ruangan yang ada di ujung dan langsung memasukinya.Di dalam ruangan terlihat Anggoro yang sedang minum kopi di meja kerjanya."Siapa kalian? Berani-beraninya kalian masuk ke ruanganku seenaknya!" bentak Anggoro. Pria itu menatap mereka dengan nyalang. Ia bahkan menyenggol cangkir kopinya hingga jatuh dan pecah di lantai.Seorang pria lain memasuki ruangan tersebut. Pria itu adalah Ferdy, yang membuat para anak buahnya tersebut menunduk sejenak dan memberinya jalan."Jadi kau Anggoro." Ferdy mengucapkannya dengan dingin. Tatapannya yang begitu tajam membuat Anggoro yang sebelumnya berkacak pinggang tiba-tiba merasa sedikit gentar. Anggoro dapat merasakan aura membunuh yang begitu kental dari Ferdy."An-Anda siapa ha? Ada urusan apa kemari?" Anggoro terbata-bata saat mengucapkannya.Anggoro terlihat semakin bergetar saat Ferdy mengambil langkah demi langkah ke arahnya.Suara berdebam tiba-tiba terdengar.Anggoro sudah tersungkur di lantai. Belum sempat ia berdiri pukulan dan tendangan lain sudah mendarat di tubuhnya."Hen-hentikan! Kenapa kalian melakukan ini padaku?" teriak Anggoro sambil berusaha melindungi diri dari pukulan dan tendangan Ferdy."Hentikan! Atau aku akan memanggil polisi!" Terdengar suara wanita berteriak dari arah pintu. Ferdy menoleh dan menatap wanita tersebut dengan dingin."Panggillah. Toh si brengsek ini akan segera kujebloskan ke penjara." jawab Ferdy tak acuh."A-apa maksudmu! Larissa cepat panggil keamanan!" Anggoro berteriak dan sedang berusaha untuk bangun. Larissa, atasan Alessia yang juga merupakan salah satu 'mainan' Anggoro bersiap keluar saat beberapa orang polisi tiba di depan ruangan.Anggoro segera tersenyum penuh kemenangan. Ia merasa di atas angin."Mati kau, brengsek! Aku akan menuntutmu dan membuatmu membusuk di penjara!" Anggoro lalu tertawa.Tubuh Anggoro belum sepenuhnya bangkit saat tubuhnya kembali terjatuh di atas lantai. Ferdy menggunakan satu tangannya untuk mencengkeram kerah baju Anggoro dan menggunakan tangan lainnya untuk mengacungkan pecahan cangkir Anggoro yang tadi terjatuh di lantai. Ia mengacungkan pecahan itu ke leher Anggoro hingga lehernya mulai meneteskan darah."Kau yang mati brengsek! Kupastikan kau membusuk dan mati! Beraninya kau menyentuh Tuan Muda Allen!" Ferdy mendesis pelan di telinga Anggoro.Anggoro tersentak mendengar lelaki di hadapannya menyebut Allen dengan sebutan 'tuan muda'."A-apa maksudmu Tuan Muda Allen?" tanya Anggoro lirih. Wajahnya pucat karena ketakutan.Ferdy tidak menggubrisnya dan segera melepaskannya."Tangkaplah. Buat dia membayar apa yang telah ia lakukan kepada tuan muda!"Para polisi tersebut mengangguk dan mulai menangkapnya sesuai prosedur. Ia dituntut dengan penganiayaan dan percobaan pembunuhan kepada Allen. Sesaat sebelum para polisi dan Anggoro pergi, beberapa orang yang merupakan tim audit perusahaan datang memasuki ruangan Anggoro tersebut. Mereka menunduk sebentar kepada Ferdy lalu segera melaksanakan tugasnya. Ia menggeledah ruangan Anggoro dan membawa berkas-berkas yang ada di sana.Suasana kantor mulai menjadi gaduh. Mereka penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Ferdy melihat ke sekelilingnya."Aku akan membuat siapapun yang terlibat dengan korupsi yang dilakukan Anggoro menerima akibatnya. Pasti akan kuhancurkan kalian! Siapapun itu!" Ferdy berkata dan menatap wajah para karyawan satu per satu.Ferdy berhenti ketika ia melihat satu sosok pria dengan rambut yang mulai memutih menatapnya dengan ketakutan."Ingat itu Direktur Hadi! Si-a-pa-pun!" Ferdy mengatakannya dengan menatap lekat manik mata lelaki tersebut."To-tolong maafkan saya, Tuan Ferdy. Maafkan saya!" Hadi yang terbawa suasana semakin ketakutan dan berlutut di hadapan Ferdy.Pemandangan itu membuat para karyawan yang menyaksikannya merasa tercengang. Mereka tidak menyangka Direktur Hadi yang merupakan salah satu orang dengan jabatan tertinggi di kantor ini berlutut dan bergetar di hadapan sosok Ferdy. Hadi dikenal sangat arogan di mata para karyawannya.Mereka mulai bertanya-tanya siapakah gerangan pria yang dipanggil Ferdy ini?Siapakah sebenarnya sosok tuan muda yang telah membuat Anggoro diperlakukan seperti ini?Bisik-bisik para karyawan yang saling bertanya satu sama lain tersebut terus berlanjut hingga Ferdy dan para anak buahnya beranjak untuk meninggalkan kantor tersebut.Di dalam mobil, Ferdy segera menghubungi Ronald untuk melapor."Tuan Ronald, saya sudah membereskan Anggoro. Pengacara kita akan memastikan ia mendapat hukuman maksimal. Saya juga sudah memastikan tim audit untuk memeriksa penyelewengan dana perusahaan yang dilakukan Anggoro dan kroni-kroninya. Saya rasa Direktur Hadi terlibat. Bagaimana Tuan?""Bagus. Habisi mereka semua!" Ronald menjawabnya dengan tegas."Baik, Tuan. Saya akan urus semuanya."Telepon terputus.Telepon Ferdy dan Ronald baru saja terputus."Siapa yang dihabisi, Pa?" Allen yang turut mendengarkan percakapan Ronald dan Ferdy bertanya dengan penasaran. Ia penasaran kenapa wajah Ronald terlihat sangat marah."Hmm, jadi Papa sudah mencari berbagai informasi mengenai kamu, lalu Ferdy menemukan tentang apa yang dilakukan orang yang bernama Anggoro kepadamu. Orang-orang yang menabrak kamu dalam kecelakaan ini juga ternyata suruhan Anggoro. Jadi, Papa meminta Ferdy untuk mengurusnya. Dia harus diberi hukuman yang setimpal!" Ronald kembali mengepalkan kedua tangannya. Darahnya kembali mendidih mengetahui anaknya hampir terbunuh karena ulah lelaki brengsek tersebut."Serius, Pa? Yang bikin aku kecelakaan Anggoro?" tanya Allen dengan ekspresi terkejut. Ini fakta yang baru saja ia ketahui. Ia berpikir ini hanya kecelakaan biasa tanpa ada unsur kesengajaan."Betul. Papa akan jebloskan dia ke penjara! Beraninya dia menyentuhmu!"Mendengar penuturan Ronald, tanpa disadari Allen menyunggingka
Alessia masih bersandar di balik pintu utama rumahnya. Jantungnya berdebar tidak karuan setelah melihat kondisi di teras depan. Alessia sudah dapat menerka apa dan siapa yang menyebabkannya.Baru beberapa bulan berlalu dan Alessia harus kembali ke neraka itu lagi. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak.Terdengar suara ketukan pelan di pintunya. Ketukan yang tidak akan mungkin didengarnya jika saat ini dia tidak sedang bersandar di baliknya.Ketukan pelan itu terdengar lagi."Cepat buka! Aku tahu kau ada di balik pintu ini!" ucap sebuah suara berat yang terdengar di telinga Alessia. Suara berat yang dikenalinya dan berasal dari pria yang sangat Alessia benci. Pria yang telah menghancurkan hidupnya dan mamanya."Aku bilang buka! Atau kau ingin aku mendobraknya? Kau pikir aku tak mampu ha?" suara pria itu mulai meninggi karena amarah. Dia sungguh sudah tidak sabar. Dia beberapa kali menoleh ke sana ke sini untuk memastikan orang-orang itu belum kembali.Alessia berpiki
Alessia masih terduduk di sofa ruang tamunya. Handoyo dan gerombolan pria itu memang sudah pergi lebih dari satu jam yang lalu, tapi Alessia masih belum juga beranjak. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Handoyo diseret pergi.Apa yang akan mereka lakukan pada Handoyo?Pikiran itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya. Alessia mulai merasa bimbang dengan keputusan awalnya untuk tidak memedulikan Handoyo lagi. Ia meremas-remas jemarinya dengan gelisah.Apa sebaiknya aku jual mobil dan bayar saja hutangnya?Pikiran itu sempat muncul di benaknya. Tapi jika Alessia melakukannya, Handoyo akan semakin seenaknya. Bahkan beberapa bulan yang lalu Alessia sampai menghabiskan uang tabungannya untuk melunasi hutang Handoyo yang begitu besar.Alessia menoleh saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumahnya. Tidak lama kemudian ia mendengar langkah kaki yang sepertinya berhenti di teras depan rumahnya. Alessia mengira itu adalah preman yang s
"Hah?" tanya Alessia tidak percaya."Hehehe kemasukan nyamuk tahu rasa tuh mulut." kata Allen mengomentari mulut Alessia yang terbuka karena terkejut. Ia sedikit geli melihat ekspresi Alessia yang baginya seperti anak kecil."Maksudnya gimana ya? Aku ikut pindah gitu?" tanya Alessia yang masih kebingungan."Yup. Mau ya?" tanya Allen lagi. Tatapannya sangat berharap saat menunggu jawaban Alessia. Allen tidak ingin meninggalkan Alessia di sini sendirian. Apalagi setelah tahu kemarin ia kembali diusik oleh Handoyo. Bagaimana pun Alessia adalah sahabat yang sangat ia sayangi. Selama ini ia sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri."Kenapa aku harus ikut?" Alessia masih bertanya lagi. Memang benar Alessia merasa sangat berat hati jika Allen pindah jauh, tapi ia juga tidak menyangka bahwa Allen akan membawanya."Kenapa harus enggak ikut?" Allen mengajukan pertanyaan retoris."Allen, aku nanya serius.""Lah, aku juga jawab serius." Allen menjawab sedikit ngeyel."Aku enggak tahu mau jaw
Seorang wanita turun dari kursi belakang mobil mewah di lobi sebuah mall kelas atas. Wanita itu mengenakan kacamata hitam. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah tas desainer terbaru berwarna putih yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.Beberapa karyawan mall yang mengenalinya menunduk dengan penuh hormat. Maklum saja, ia adalah salah satu pelanggan VVIP disini. Ia tidak memedulikan mereka dan terus berjalan dengan angkuh menuju toko perhiasan langganannya yang berada di lantai dasar."Selamat siang, Nyonya Magdalena." ucap seorang wanita yang sudah menunggunya di depan pintu. Tertera tulisan manajer di atasan yang ia kenakan."Hai Anna, ada yang baru?" Magdalena melepaskan kacamata hitamnya dan segera menuju ke sofa.Anna memberi kode pada para karyawan yang segera mengerti maksudnya. Mereka membawakan berbagai model kalung, gelang, anting-anting, dan cincin berlian keluaran terbaru mereka dan meletakkannya di hadapan Magdalena. Mereka hanya menunjukkan koleksi terbaik dan term
"Kar-kartu kreditnya tidak bisa, Nyonya. Ter-terblokir sepertinya. A-ada kar-kartu yang lain, Nyonya?" tanya Anna dengan terbata-bata. Tangannya mulai berkeringat karena gugup.Magdalena dan Rosa menatap Anna dengan tidak percaya."Ngomong apa kamu, hah? Kamu lupa siapa saya?!" ucap Magdalena yang seketika meninggikan suaranya. Matanya menatap nyalang ke arah Anna.Anna yang mendapatkan respon seperti itu semakin merasa gugup. Dia ketakutan bila salah mengambil langkah. Bagaimana pun Magdalena adalah salah satu pelanggan VVIP-nya, dia bisa kehilangan pendapatan dalam nominal fantastis jika sampai salah mengambil keputusan."Maaf, Nyonya. Ini tadi saya coba beberapa kali tapi tidak bisa. Ini akan saya coba lagi, Nyonya. Mohon tunggu sebentar." Anna bergegas mencobanya kembali. Magdalena yang sudah merasa tersinggung segera berdiri dan mengikutinya."Kamu ini bisa kerja enggak? Berani-beraninya bilang begitu! Asal kamu tahu, ya! Toko ini semua aku beli, sekalian kau kubeli pun aku sangg
Magdalena segera membanting tasnya begitu memasuki mobil. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, ia merasakan malu yang teramat sangat seperti ini. Harga dirinya yang sangat ia junjung tinggi hancur berkeping-keping."Argh!! Sialan!" jerit Magdalena di dalam mobil.Supirnya yang sudah paham betul dengan karakter Magdalena bersikap tenang saja dan terus melajukan mobilnya. Dia saat ini hanya menyetir pelan tanpa tujuan. Bertanya ke mana mereka akan pergi pada Magdalena saat ini sama saja dengan bunuh diri. Dia belajar dari pengalamannya dulu yang mendapat lemparan heels Magdalena saat suasana hatinya sedang buruk.Napas Magdalena masih memburu saat ia mengeluarkan gawai miliknya dari dalam tas. Ia menelepon seseorang. 'Ronald Suamiku', begitu nama yang tertera di layar. Magdalena membelalakkan matanya saat tahu panggilannya ditolak oleh Ronald. Belum pernah sekali pun Ronald menolak panggilannya seperti ini. Bahkan saat rapat kantor yang sangat penting pun ketika Magdalena menelepon,
Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang
"Aku tidak akan bercerai. Titik.""Kita lihat saja nanti." jawab Ronald dengan ekspresi menantang.Ronald bergegas meninggalkan Magdalena yang masih berdiri mematung. Ia melambaikan tangan ke arah Ferdy yang berdiri tidak jauh darinya."Ada apa, Tuan?" tanya Ferdy yang kini telah berada di hadapan Ronald."Aku tidak jadi pergi. Tiba-tiba tubuhku terasa lelah.""Baik, Tuan.""Pastikan Magdalena segera pergi dari sini. Setelah itu kau temui aku di ruang kerja.""Saya mengerti, Tuan."Ronald melangkah dengan sedikit gontai menuju ke lantai dua rumahnya. Ia menuju ke ruang kerja pribadinya yang terletak persis di samping kamar utama.Ia lalu terduduk dengan lemas di kursi andalannya. Perasaannya campur aduk atas apa yang baru saja ia ucapkan pada Magdalena.Mereka akhirnya akan bercerai. Lagi.Ini bukanlah hal baru bagi Ronald, toh sebelumnya ia sudah pernah menceraikan Magdalena. Hanya saja kini sudah tidak ada lagi Jane di dunia ini. Tidak ada lagi harapan baginya untuk bisa meyanding
"Silakan Tuan, ini coklat hangatnya." ucap Dian sembari meletakkan secangkir coklat hangat di hadapan Ronald."Terima kasih, ya!" jawab Ronald dengan senyum simpul. Ia mengambil cangkir hitam tersebut dan mulai menyesap minumannya.Dian tersenyum sembari memperhatikan Ronald. Setelah kepulangan Ronald, Dian bisa merasakan perubahan yang sangat kentara pada Ronald. Sebelumnya, Ronald yang sangat terpukul atas kecelakaan yang merenggut nyawa putranya, Jonathan, menghabiskan banyak waktunya dengan berdiam diri dan termenung.Terlebih semenjak Ronald bertengkar hebat dengan Magdalena, Ronald menjadi semakin murung dan menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar. Ia bahkan sering melewatkan jam makannya dan nyaris tidak keluar kamar sama sekali.Tetapi setelah kepergian Ronald selama sepekan, Ronald terlihat jauh lebih baik dan mudah tersenyum. Bahkan Dian beberapa kali mendengar Ronald bersenandung menyanyikan lagu-lagu lawas kesukaannya."Sama-sama, Tuan. Apakah tidak terlalu ma
"Mainan baru, Tan?" tanya Fabio cengengesan."Gitu deh. Kalian ada apa nih ke sini tanpa kabar-kabar dulu? Tumben." tanya Magdalena sembari melakukan peregangan. Beberapa bagian tubuhnya terasa pegal.Melissa menatap datar ke sekeliling Magdalena kemudian berucap, "Kita ngobrol di luar saja."Melissa segera melangkah ke luar kamar dan menuju ke sofa yang tersedia di balkon lantai dua. Fabio mengekorinya dan berdiri di sisi balkon. Dari sana ia memperhatikan sekeliling rumah Magdalena yang terlihat asri dan terawat. Tentu saja para karyawannya yang merawat, bukan Magdalena.Fabio dan Melissa menoleh saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata Sania yang datang dengan membawakan minuman yang mereka minta. Sania meletakkan dengan hati-hati dua cangkir teh hangat dan kopi hitam di atas meja."Ada hal lain yang bisa saya bantu?" tanya Sania dengan sopan."Rapikan kamarku dong, Sania!" perintah Magdalena yang baru saja keluar dari kamar. Ia berjalan menuju ke arah balkon. Ia kini s
Sebuah mobil hitam melaju cepat di jalanan sebuah perumahan. Dilihat dari jejeran rumah di sebelah kiri dan kanannya, bisa jelas diketahui bahwa itu adalah sebuah perumahan kelas atas. Tidak lama kemudian, mobil itu menepi di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna coklat. Petugas keamanan yang berjaga di sisi pagar menelisik sejenak siapa yang datang, sebelum akhirnya mempersilakan mobil itu masuk.Petugas keamanan segera menghampiri mobil yang kini telah berhenti di pekarangan rumah yang luas. Ia bergegas membukakan pintu penumpang dan menunduk dengan hormat."Selamat pagi, Nyonya Melissa. Silakan masuk," ucap petugas keamanan tersebut dengan sopan. Wanita tersebut hanya mengangguk singkat tanpa berbicara.Tidak lama kemudian pintu bagian pengemudi terbuka. Seorang pemuda melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Ia mengenakan celana jeans dan kemeja hitam yang membalut sempurna tubuh atletisnya. Menilik kemiripan wajah keduanya, tidak salah lagi bahwa keduanya adalah ibu dan
"Papa, itu punya siapaa?!""Hehehe" Ronald hanya terkekeh dan tidak menjawab."Papa," Allen kembali memanggil Ronald."Selamat sore." ucap seorang pria yang berjalan menghampiri mereka."Yang hitam punya yang ini, yang merah punya yang ini!" sahut Ronald kepada pria tersebut. Ia menunjuk ke arah Allen lalu berganti ke arah Alessia. Mendengar penuturan Ronald, pria tersebut lalu tersenyum sopan dan menyapa keduanya. Dari seragam yang dikenakannya, bisa diketahui bahwa ia adalah seorang pegawai sebuah dealer mobil terkemuka."Dokumen sudah selesai diurus, tetapi kami masih membutuhkan tanda tangan Bapak Allen dan Ibu Alessia. Mohon kesediaannya," ucapnya sembari menyerahkan lembaran dokumen pembelian mobil beserta kelengkapan lainnya.Allen dan Alessia saling bertukar pandang."Maaf, Om. Saya tidak bisa menerimanya," ucap Alessia yang bergegas menghampiri Ronald."Om tidak menerima penolakan, Alessia. Lagi pula sudah terlanjur dibeli. Sekarang kalian tanda tangan saja, kasihan mereka ya
Mobil yang dikendarai oleh Allen dan Alessia perlahan memasuki sebuah perumahan yang tampak masih baru. Beberapa unit yang mereka lewati terlihat masih kosong dan belum berpenghuni. Tidak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah dua lantai dengan nuansa warna putih."Ini kita di mana, Pa?" tanya Allen memperhatikan sekelilingnya."Yang ini rumah Allen, yang ini rumah Alessia." sahut Ronald sembari menunjuk dua rumah di hadapan mereka yang letaknya persis bersebelahan."Ha?" tanya Allen kebingungan."Sudah ayo masuk dulu. Papa sudah suruh orang untuk mempersiapkan semuanya sebelum kedatangan kalian. Ayo, kita lihat dulu!" ujar Ronald. Ia melangkah masuk ke rumah yang tadi ia sebut sebagai rumah Allen.Begitu di dalam, Allen tahu bahwa rumah ini memang sudah siap untuk ditempati. Segala perabotan, peralatan dapur dan berbagai peralatan penunjang keseharian sudah tersedia dengan lengkap. Allen iseng membuka kulkas dan benar saja, di dalamnya sudah terdapat berbagai bahan yang
Magdalena segera membanting tasnya begitu memasuki mobil. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya, ia merasakan malu yang teramat sangat seperti ini. Harga dirinya yang sangat ia junjung tinggi hancur berkeping-keping."Argh!! Sialan!" jerit Magdalena di dalam mobil.Supirnya yang sudah paham betul dengan karakter Magdalena bersikap tenang saja dan terus melajukan mobilnya. Dia saat ini hanya menyetir pelan tanpa tujuan. Bertanya ke mana mereka akan pergi pada Magdalena saat ini sama saja dengan bunuh diri. Dia belajar dari pengalamannya dulu yang mendapat lemparan heels Magdalena saat suasana hatinya sedang buruk.Napas Magdalena masih memburu saat ia mengeluarkan gawai miliknya dari dalam tas. Ia menelepon seseorang. 'Ronald Suamiku', begitu nama yang tertera di layar. Magdalena membelalakkan matanya saat tahu panggilannya ditolak oleh Ronald. Belum pernah sekali pun Ronald menolak panggilannya seperti ini. Bahkan saat rapat kantor yang sangat penting pun ketika Magdalena menelepon,
"Kar-kartu kreditnya tidak bisa, Nyonya. Ter-terblokir sepertinya. A-ada kar-kartu yang lain, Nyonya?" tanya Anna dengan terbata-bata. Tangannya mulai berkeringat karena gugup.Magdalena dan Rosa menatap Anna dengan tidak percaya."Ngomong apa kamu, hah? Kamu lupa siapa saya?!" ucap Magdalena yang seketika meninggikan suaranya. Matanya menatap nyalang ke arah Anna.Anna yang mendapatkan respon seperti itu semakin merasa gugup. Dia ketakutan bila salah mengambil langkah. Bagaimana pun Magdalena adalah salah satu pelanggan VVIP-nya, dia bisa kehilangan pendapatan dalam nominal fantastis jika sampai salah mengambil keputusan."Maaf, Nyonya. Ini tadi saya coba beberapa kali tapi tidak bisa. Ini akan saya coba lagi, Nyonya. Mohon tunggu sebentar." Anna bergegas mencobanya kembali. Magdalena yang sudah merasa tersinggung segera berdiri dan mengikutinya."Kamu ini bisa kerja enggak? Berani-beraninya bilang begitu! Asal kamu tahu, ya! Toko ini semua aku beli, sekalian kau kubeli pun aku sangg
Seorang wanita turun dari kursi belakang mobil mewah di lobi sebuah mall kelas atas. Wanita itu mengenakan kacamata hitam. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah tas desainer terbaru berwarna putih yang harganya mencapai ratusan juta rupiah.Beberapa karyawan mall yang mengenalinya menunduk dengan penuh hormat. Maklum saja, ia adalah salah satu pelanggan VVIP disini. Ia tidak memedulikan mereka dan terus berjalan dengan angkuh menuju toko perhiasan langganannya yang berada di lantai dasar."Selamat siang, Nyonya Magdalena." ucap seorang wanita yang sudah menunggunya di depan pintu. Tertera tulisan manajer di atasan yang ia kenakan."Hai Anna, ada yang baru?" Magdalena melepaskan kacamata hitamnya dan segera menuju ke sofa.Anna memberi kode pada para karyawan yang segera mengerti maksudnya. Mereka membawakan berbagai model kalung, gelang, anting-anting, dan cincin berlian keluaran terbaru mereka dan meletakkannya di hadapan Magdalena. Mereka hanya menunjukkan koleksi terbaik dan term