Aruna menatap nanar ayahnya. Menyadari telah salah bicara, laki-laki tua itu menarik napas panjang. Dia menatap Aruna penuh arti.
"Ah, Runa, Isma, kalian cepat istirahat," ucap Bagas, ayah Aruna gugup. Aruna masih bergeming di tempatnya."Maksudnya Papa, apa?" tanya Aruna berusaha menyakinkan pendengaran. "Mereka menginginkan kematianku?" ulangnya lirih.Sang ayah mendekat dan mengusap kepala puterinya. Kembali terdengar tarikan napas panjang dari bibir laki-laki itu. Aruna menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca."Siapa mereka, Papa?" tanya Aruna parau."Papa nggak tahu, tapi demi keselamatan kamu, tolong menurut sama Papa, Runa. Papa nggak ingin kamu celaka, Nak!" ucap laki-laki itu tegas.Aruna berpikir sejenak kemudian melirik ke arah Isma meminta persetujuan. Isma mengangguk pelan. "Itu lebih baik, Mbak. Supaya Mbak Runa ada yang menjaga," ucapnya.Tidak ada pilihan bagi Aruna selain menurut. Meskipun dia tahu, memiliki bodyguard sama saja seperti memiliki suami. Selama 24 jam, dia harus berinteraksi dengan orang asing. Tepatnya laki-laki asing."Aku minta pengawal perempuan, Pa. Jangan laki-laki!" cetus Aruna sembari beranjak.Sang ayah mengeryit kemudian menggelengkan kepalanya. "Pengawal perempuan? Papa nggak setuju! Sejago-jagonya perempuan, dia nggak punya insting setajam laki-laki, Runa. Kamu jangan khawatir, bodyguard ini dari agensi internasional. Sudah pasti profesional!" tegas laki-laki itu kemudian melangkah cepat menuju ke kamarnya.Terdengar dengusan kasar dari bibir Aruna. Gadis itu memberengut sambil menatap Isma. Begitulah sifat Bagaskara, sang ayah. Laki-laki itu tegas dan tidak menerima bantahan.Semenjak sang ayah mempunyai ide mendatangkan bodyguard, Aruna semakin gelisah. Dia memindai penjuru kamarnya yang luas seperti kamar hotel berbintang. Kamar adalah tempat paling privasi bagi Aruna. Hanya ART khusus yang memasuki kamarnya. Juga Isma.Lalu...Bodyguard itu? Aruna semakin gusar. Tidak bisa dibayangkan jika tempat paling nyaman di dunia itu, akan diinjak-injak oleh laki-laki asing yang bernama bodyguard."Mbak, nggak usah banyak pikiran!" seru Isma sambil merebahkan tubuh di atas tempat tidur berukuran king size itu.Aruna melirik sekilas gadis tersebut. "Tetap banyak pikiran, Neng. Bagaimana kalau laki-laki kaku, bertatto, dan sangar itu mengawasi gerak-gerikku?" keluhnya.Aruna menatap wajahnya sendiri di pantulan cermin. Dia mengusapkan kapas yang sudah dibasahi dengan micellar water, ke wajahnya yang cantik.Isma tertawa geli mendengar ucapan Aruna. "Mbak Runa tahu dari mana kalau bodyguard itu seperti itu?" tanyanya masih dengan tawa geli.Aruna kembali melirik Isma sembari berdecak kesal. "Ya, memang seperti itu kan, Neng. Apalagi Papa bilang bodyguard itu dari international agency. Waktu aku ngikutin kontes Miss World kan pengawal yang disediakan rata-rata begitu, Neng. Wajahnya jutek, kaku, dan banyak tatto!" cerocosnya."Bedalah, Mbak! Itu kan bukan pengawal pribadi, Mbak. Bagaimana kalau pengawal untuk Mbak Runa nanti, ganteng, atletis, dan cool kayak Paspampres?'' balas Isma sembari senyum-senyum sendiri. "Boleh dong, aku daftar, terus jadi ibu Bhayangkari or ibu Persit," imbuhnya cengengesan.Tak!Aruna melemparkan lipbalm ke arah Isma. Gadis itu mendelik mendengar kehaluan teman sekaligus asisten pribadinya itu. Isma mengambil lipbalm itu dan mengantonginya."Asyik, dapat lemparan lipbalm dari artis. Lumayan, kalau beli kan seharga seekor kambing," ucap Isma."Balikin, enak saja, ngembat!" sahut Aruna. "Itu belinya di Paris, tahu!" lanjutnya cemberut."Walah, Mbak. Ini tinggal separuh juga. Mbak beli lagi, deh!" rayu Isma memelas.Aruna menggeleng samar. Dia kembali memikirkan tentang bentuk bodyguardnya nanti. Aruna tidak lagi menghiraukan lipbalmnya yang sudah beralih pemilik. Gadis itu benar-benar gusar."Semua ini gara-gara fans bar-bar," gerutu Aruna, namun masih didengar oleh Isma."Ya, kalau gitu, Mbak Runa pensiun saja jadi artis!""Neng, huuuh! Bukannya kasih solusi malah ngajak bunuh diri!" sentak Runa kesal.Kembali Isma terkekeh. Gadis itu menenggelamkan wajah di balik selimut milik Aruna. Tidak berapa lama, Aruna menyusul. Namun, sampai tengah malam, mata gadis itu tak juga terpejam.Pikiran Aruna berkelana. Berawal ketika dirinya memasuki dunia hiburan tanah air dua tahun lalu, pasca purna tugas sebagai ratu kecantikan. Awalnya semua berjalan lancar. Namun, lambat laun ada saja ulah yang mengatasnamakan fans bertindak di luar kendali.Tidak hanya sengaja mendorong Aruna sampai terjatuh ketika selesai pemotretan. Berbagai paket atas nama fans berisi ancaman seringkali Aruna terima. Puncaknya tadi, dua pemotor sengaja membuntutinya, bahkan salah satu dari mereka sempat menodongkan senjata api."Apa salahku? Lalu siapa mereka?" tanya Aruna gusar.Daarr!Aruna tersentak, begitu juga Isma. Isma yang baru saja terlelap langsung terlonjak dan menatap ke arah jendela besar kamar Aruna."Suara apa, Mbak?" tanya Isma ketakutan.Aruna menggeleng pelan. Dia hendak bangkit dari tempat tidur, namun tangannya ditarik oleh Isma. Kedua gadis itu kembali saling pandang."Jangan, Mbak. Bahaya. Sebaiknya telepon security saja!" ucap Isma.Aruna terdiam sebentar kemudian mengangguk. Aruna mengambil handphone di atas nakas. Tepat saat itu, pintu kamarnya diketuk dari luar. Isma semakin ketakutan dan meloncat memeluk Aruna."Runa, ini Papa. Apa kalian sudah tidur?" tanya laki-laki itu dari luar kamar."Papa dengar sesuatu?" tanya Aruna kemudian membuka pintu.Bagaskara menarik napas panjang kemudian mengangguk. Laki-laki itu menyodorkan botol berisi gulungan kertas. Dengan ketakutan, Aruna mengambil kertas tersebut dari dalam botol.["Berikan 10M atau kamu akan mati!"]"Ini nggak bisa dibiarkan!" ucap Bagaskara geram.Aruna menunduk dalam. Uang sepuluh milyar? Meskipun ayahnya seorang konglomerat, tidak mungkin dia mengeluarkan uang sebanyak itu."Aku harus lapor polisi, Pa. Ini sudah serius!" sahut Aruna.Bagaskara terdiam. Dia menatap putrinya tanpa ekspresi.* * *Bagaskara menatap putrinya tanpa ekspresi. Laki-laki tua itu kemudian mengibaskan tangannya di depan wajah. "Hah, terserah kamu!" ucap Bagaskara sebelum meninggalkan Aruna dan Isma yang masih termangu.Sepeninggal ayahnya, Aruna menatap Isma. Isma menggeleng samar sembari mengangkat bahu tak acuh. Dia menarik tangan Aruna untuk kembali memasuki kamar."Heran aku sama Papa, Neng. Sudah tahu nyawa anaknya dalam bahaya malah nggak setuju lapor polisi." Aruna menggerutu.Isma mengangguk sembari mencebikkan bibir. "Ya, barangkali Om Bagas mau nebus sepuluh em, Mbak!" sahutnya. Aruna mendengus. Gadis itu duduk di tepi tempat tidur. Tatapan matanya tertuju ke arah jendela kamar. Aruna beranjak dan mendekati jendela. Dengan gerakan pelan, dia menyingkap gorden. Di luar, suasana terlihat sepi. Wajar saja karena waktu telah merangkak lewat tengah malam. Di tempat tidur, Isma menatap Aruna."Sudahlah, Mbak. Cepat tidur. Besok jam sebelas kita ada undangan ke stasiun televisi!" ucap gadis itu.
"Auuuh! Sakit, Neng!"Aruna memekik ketika Isma mengikat rambutnya sedikit kencang. Gadis itu memberengut menatap Isma dari pantulan cermin. Sedangkan Isma, hanya cengengesan tanpa dosa. Setelah selesai mengikat rambut Aruna, Isma membantu sang artis menyapukan alat make-up ala kadarnya."Sudah cantik. Setidaknya berilah kesan pertama yang bagus, Mbak. Eh, sudah mandi belum, sih?"Aruna mendelik gemas dan mencubit paha Isma. "Enak saja. Sudah lah, memangnya kamu, pemalas? Tadi sebelum shalat Ashar mandi dulu!" jawabnya ketus."Ooh, kirain. Tumben shalat!" goda Isma lagi."Diam lho, Neng. Aku tuh sebisa mungkin shalat ya, Neng. Sudah, ayo turun," ajak Aruna sembari menyingkirkan tangan Isma yang masih memegang lipstik.Isma menatap miris pada lipstik itu dan mengembalikan ke tempat semula. Aruna mengamati penampilannya sekali lagi di depan cermin. Dress selutut menjadi pilihan gadis itu."Ck, cantik Mbak. Berilah kesan pertama yang menggoda!" ledek Isma.Aruna memutar bola mata malas. "
"Em, kalau begitu, saya permisi dulu!" pamit Isma karena Alexei justru tertarik menatap luar sana.Alexei mengangguk samar. Itu pun tanpa menoleh. Benar-benar tipikal pria sombong dan dingin. Sambil melangkah keluar dari kamar, Isma menggerutu seperti lebah boyongan.Aruna menarik napas lelah mendengar dengungan tanpa henti dari mulut mungil Isma. Gadis itu merebahkan tubuh di tempat tidur sembari menatap langit-langit kamar."Sungguh, selama dua puluh lima tahun hidupku, baru kali ini aku bertemu makhluk seangkuh Alexei!"Aruna menoleh sekilas pada Isma yang ikut merebah di sampingnya. "Memangnya dulu waktu kamu umur lima tahun, belum pernah bertemu orang seperti itu, Neng?" tanyanya malas.Isma berdecak sebal. "Ya, nggak gitu juga kali, Mbak. Tapi benar lho, si Alexei ini benar-benar bodyguard sombong!" sahutnya gemas. Namun, sejurus kemudian, Isma nyengir kecil. "Tapi ganteng, wangi, dan maskulin banget," imbuhnya."Yeee, mata kalau lihat cowok bening. Khilaf!" ejek Aruna.Isma cen
"Lindungi Aruna meskipun nyawamu taruhannya!"Alexei memejamkan mata rapat. Ingatan demi ingatan tentang permintaan untuk melindungi Aruna berdengung di kepala. Tanpa sadar, laki-laki itu mendengus kasar."Apa kamu nggak suka dengan masakan Indonesia?" tanya Aruna melunak.Alexei langsung mendongak dan menjawab dengan gelengan kepala samar. Laki-laki itu kembali menunduk. Fokus pada makanan di piringnya. Di depannya, Aruna sesekali melirik Alexei. Selain dingin dan kaku, Alexei juga misterius. Aruna heran, apa begitu sikap sebenarnya orang-orang bule? Aruna juga memiliki beberapa teman dari luar Indonesia. Mereka bersikap ramah, tidak seperti Alexei. Entahlah. Sepertinya hanya Alexei yang berbeda. Pandangan Aruna beralih pada handphonenya yang bergetar.Alexei mengikuti arah pandangan Aruna. Aruna segera menyambar benda itu kemudian beranjak dari meja makan. Tentu saja masih diikuti oleh tatapan Alexei. Aruna benar-benar kehilangan kebebasan. Alexei selalu mengikuti dan mengawasinya
Aruna menatap punggung tegap Alexei. Gadis itu kembali mendengus kasar. Dia tidak menyangka, mata laki-laki itu teramat jeli. Aruna tidak habis pikir, kamera sebesar kelereng berwarna hitam itu bisa dilihat Alexei dari jarak lebih dari 10 meter. Sedangkan ART dan tukang kebun yang setiap hari membersihkan taman tidak melihatnya.Ayahnya benar. Insting laki-laki lebih peka daripada insting perempuan mengenai hal keselamatan. Aruna semakin penasaran dengan latar belakang Alexei Yevgeny. Apakah seseorang yang ditempa mental dan fisiknya menjadi bodyguard itu harus memiliki insting setajam itu? Aruna memang sering berinteraksi dengan beberapa pengawal profesional. Pembawaan mereka kebanyakan selalu tenang, dingin, dan fokus. Seolah mata dan telinga mereka dilengkapi dengan sensor yang bisa menjangkau gerak-gerik mencurigakan dari jarak puluhan meter.Aruna bergerak mendekat. Gadis itu berdiri di samping Alexei. Aruna mendongak menatap wajah Alexei sekilas, kemudian mengikuti arah pandang
Alexei menyelonong masuk ke kamar Aruna tanpa permisi. Dia tidak memperdulikan tatapan protes dari si pemilik kamar. Alexei tampak mengecek semua jendela. Memastikan jendela telah tertutup rapat."Jangan lupa, setiap malam kunci jendela dan pintu kamarmu, Aruna. Kalau ada apa-apa, panggil saya!" ucapnya datar."Apa harus seperti ini, di dalam rumah juga?" tanya Aruna. Alexei menatap gadis itu dengan tatapan kesal. Dia tidak menyukai orang yang terlalu banyak protes. Keselamatan Aruna bukan hanya sekadar tanggung jawab demi uang. Namun, juga tentang janjinya."Apa kamu tidak bisa bersikap waspada, Aruna?""Tapi kamu berlebihan, Alex. Ini rumahku. Aku mengenal setiap jengkal rumah ini beserta isinya. Kenapa kamu berlebihan begini?" protes Aruna dengan suara bergetar.Alexei menarik napas panjang. Laki-laki itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap dalam manik hitam milik Aruna. Aruna mendongakkan dagu, menantang tatapan laki-laki itu."Tolong kerjasamanya, Nona Aruna. Menurut apa kata s
Alexei tersenyum miring melihat wajah pasrah dan ketakutan milik Aruna. Laki-laki itu menahan posisi wajahnya yang hanya berjarak beberapa inci dari Aruna.Beberapa detik tidak ada tindakan apa pun, Aruna membuka mata. Saat itulah, Alexei tertawa lirih sembari mengangkat wajahnya."Ha ha ha, ternyata kamu yang berharap aku cium!" ejek Alexei sembari melepaskan kedua lengannya dari sisi tubuh Aruna.Aruna melotot tidak terima dengan tuduhan itu. Dengan gerakan cepat dia mencubit pinggang Alexei yang terbalut kemeja panjang."Aauh, apa ini, Aruna?"Alexei mengusap-usap pinggangnya yang panas. Aruna meliriknya sekilas sembari tersenyum mengejek. Gadis itu segera membuka pintu kamarnya."Itu peringatan supaya kamu nggak semena-mena sama aku, Alex! Aku hanya nurut karena aku nggak ingin berdebat. Tapi aku nggak suka kamu bilang kalau aku berharap dicium sama kamu. Nggak ada dalam mimpiku!" Alexei tidak terpengaruh dengan ucapan Aruna. Kembali laki-laki itu tersenyum penuh arti. Aruna tert
"Alenadra?" Aruna melepaskan diri dari pelukan Alexei. Gadis itu mendongak, menatap mata Alexei yang berembun. Menyadari kesalahannya, Alexei buru-buru memalingkan wajah."Alenadra, apa dia kekasihmu?" tanya Aruna pelan.Alexei kembali menatap Aruna dengan tatapan penuh arti. "Em, sebaiknya kamu tidur, Aruna. Maaf sudah lancang," ucapnya lirih. Aruna mengangguk. Dia melangkah meninggalkan Alexei. Gadis itu menghentikan langkah di ambang pintu dan menoleh, menatap Alexei sembari tersenyum."Good night, Alex!""Ya, em, Aruna. Terima kasih, pelukannya," ucap Alexei sambil tersenyum tipis. Alexei segera menutup pintu setelah memastikan Aruna memasuki kamarnya. Laki-laki itu menyandarkan punggung di daun pintu. "Kamu benar-benar mengingatkan aku sama dia, Aruna. Sifat kalian begitu mirip. Apa ini cuma kebetulan, Tuhan?" ucapnya dengan mata kembali memanas.Pagi harinya...Aruna menggeser kursi meja makan sedikit kasar. Hal tersebut membuat Bagaskara langsung menatapnya heran. Di sebela