Bagaskara menatap putrinya tanpa ekspresi. Laki-laki tua itu kemudian mengibaskan tangannya di depan wajah.
"Hah, terserah kamu!" ucap Bagaskara sebelum meninggalkan Aruna dan Isma yang masih termangu.Sepeninggal ayahnya, Aruna menatap Isma. Isma menggeleng samar sembari mengangkat bahu tak acuh. Dia menarik tangan Aruna untuk kembali memasuki kamar."Heran aku sama Papa, Neng. Sudah tahu nyawa anaknya dalam bahaya malah nggak setuju lapor polisi." Aruna menggerutu.Isma mengangguk sembari mencebikkan bibir. "Ya, barangkali Om Bagas mau nebus sepuluh em, Mbak!" sahutnya.Aruna mendengus. Gadis itu duduk di tepi tempat tidur. Tatapan matanya tertuju ke arah jendela kamar. Aruna beranjak dan mendekati jendela. Dengan gerakan pelan, dia menyingkap gorden.Di luar, suasana terlihat sepi. Wajar saja karena waktu telah merangkak lewat tengah malam. Di tempat tidur, Isma menatap Aruna."Sudahlah, Mbak. Cepat tidur. Besok jam sebelas kita ada undangan ke stasiun televisi!" ucap gadis itu.Aruna kembali menutup gorden dan melangkah malas ke tempat tidur. "Neng, uang sepuluh M itu banyak. Aku kerja dua tahun saja nggak punya tabungan sebanyak itu. Menurut kamu, apa yang membuat Papa nggak suka aku lapor polisi?" tanyanya pelan."Ya, menurut aku sih, nggak ada gunanya lapor polisi, Mbak. Gini, ya. Ini kan belum tentu ulah orang penting..." Isma menekan kata "penting" sambil menggerakkan jarinya membentuk tanda kutip. "Kalau ini ulah fans iseng, ya percuma juga lapor polisi. Yang ada pas ketangkap, nangis-nangis dan cukup minta maaf. Nah, akhirnya kamu Mbak, yang dapat imej nggak bagus!" pungkas gadis itu berapi-api.Mendengar ucapan sang asisten, Aruna terdiam beberapa saat. Gadis itu kembali menarik napas panjang kemudian mengangguk. Meskipun masih penasaran dengan ulah orang-orang yang berkepentingan dengan keselamatannya."Sudahlah, ayo tidur. Sambil menjemput mimpi bertemu bodyguard ganteng!" seloroh Isma.Aruna menggelengkan kepala sebal mendengar khayalan asistennya itu.*"Jadi, gosip tentang pemain bola itu, nggak bener, Run?" tanya seorang host acara reality show.Aruna menyipitkan mata sembari menggaruk pelipis. Gadis dengan rambut sebahu itu tersenyum lebar kemudian mengangguk pelan."Jelasin dong, jelasin, Run. Biar fans kamu mendapatkan jawaban langsung dari idolanya!" sahut seorang host pria."Semua tidak benar. Dia itu teman kuliah aku sebenarnya. Kami saling support saja!" jawab Aruna jujur."Waah, masih terbuka kesempatan nih, gue!" canda host pria itu lagi yang langsung disoraki penonton yang hadir di studio."Mimpimu, ketinggian! Ingat anak bini, woi!"Mendengar candaan dua host tersebut, lagi-lagi Aruna hanya tersenyum. Wajar jika banyak laki-laki menyukai Aruna. Gadis itu memiliki tubuh yang proporsional. Tinggi semampai dengan kulit kuning langsat.Dengan otak yang cerdas, wawasan luas, dan kemampuan bahasa Inggrisnya yang bagus, membuat Aruna dinobatkan sebagai ratu kecantikan di Indonesia. Namun, langkah Aruna terhenti di 15 besar ajang ratu kecantikan Miss World. Meskipun begitu, dia tetap menjadi kebanggaan keluarga, terutama sang ayah. Orang tua satu-satunya yang dia miliki.Ayah. Iya, hanya ayahnya yang dia punya. Aruna bahkan tidak ingat seperti apa rupa kakak dan ibunya. Karena semenjak perceraian itu, sang ayah menutup rapat akses komunikasi dengan mantan istrinya tersebut.Terlebih, setelah Aruna mendengar dari berbagai sumber jika sang ibu pergi bersama laki-laki lain. Membawa serta anak hasil hubungan gelapnya dengan lelaki tersebut. Hati Aruna semakin hancur. Dia merasa tidak diinginkan oleh ibunya lagi. Jadi, Aruna memilih tidak ingin mencari tahu apa pun mengenai ibunya.Aruna berusaha membuat bangga sang ayah. Aruna ingin berbakti pada ayahnya itu. Meskipun ketenaran telah dia genggam, dia tetaplah putri kecil bagi Bagaskara."Mbak Runa, minta tanda tangan, boleh?" tanya seorang ibu yang berdiri menunggu di luar studio.Aruna tersentak dari lamunan. Dia menatap seorang ibu yang tengah menggendong anak balita. Aruna mengangguk kaku dan meminta waktu pada beberapa petugas keamanan yang berjaga.Dengan ramah, Aruna melayani permintaan penggemarnya. Tidak hanya tanda tangan, namun juga foto bersama. Aruna tersenyum dan mengusap kepala bocah dalam gendongan ibunya. Aruna menelan salivanya berat setiap kali mengingat sosok ibu yang tidak pernah dia ketahui."Mbak Runa, foto Mbak, foto!""Saya belum, Mbak!"Aruna menoleh ke arah kerumunan yang sudah dihadang petugas keamanan. Dengan tatapan tak tega, terpaksa Aruna mengikuti instruksi petugas untuk segera meninggalkan tempat."Jangan semua diladeni, Mbak. Ingat, nggak semua fans bermaksud baik," ucap Isma sembari menggandeng tangan Aruna menuju ke mobil.Aruna mengangguk samar. Inilah konsekuensi dari popularitas. Dia tidak bisa lagi bergerak bebas seperti dahulu. Mungkin Aruna masih bisa bersikap santai sambil makan bakso di warung pinggir jalan, seandainya tidak ada orang-orang yang mengancam keselamatan nyawanya."Sampai kapan semua ini berlangsung?" tanya Aruna pada dirinya sendiri."Kita tunggu sampai kondisi aman. Semua ada masanya. Mereka bersikap begitu karena Mbak Runa tengah membintangi film box office dan dekat dengan Mas Diego. Nanti mereka juga akan bersikap biasa sama Mbak," jawab Isma."Iya, semoga saja. Dan saat itu tiba, aku nggak butuh bodyguard!" sahut Aruna."Ya, ya, ya!"*Aruna masih malas-malasan di tempat tidur. Hari ini memang dirinya tidak punya jadwal. Dia ingin menikmati waktu santai di kamarnya yang mewah.Bersyukur, beberapa shooting iklan dan pemotretan untuk majalah fashion sudah selesai. Aruna merentangkan kedua tangan di tempat tidur. Kedua matanya terpejam menikmati hari kebebasannya.Baru saja hendak terbang ke alam mimpi. Pintu kamar diketuk dari luar, disusul suara Isma. Aruna berdecak malas mendengar suara asistennya itu. Dia sudah menutup telinganya dengan bantal. Tapi, justru handphonenya yang menjerit-jerit."Eneeng! Apa kamu lupa kalau aku hari ini libur? Kamu pulang saja!" usir Aruna gemas.Handphone dan ketukan pintu masih saling bersahutan. Benar-benar mengganggu acara bermalas-malasan Aruna. Dengan malas, Aruna melangkah menuju pintu."Bangun, Mbak. Mandi dan turun. Ada tamu!" titah Isma.Aruna berdecak. "Ck, ya kali tamu aku. Tamunya Papa, kali!" sahutnya malas.Isma menatapnya jahil. Gadis itu menaikkan turunkan alisnya. "Om di bawah. Ada Mas Bule ganteng. Kata Om, itu bodyguard untuk Mbak Runa," katanya sembari senyum-senyum menggoda."Bodyguard aku?" ulang Aruna."He'em, bodyguard ganteng banget. Ya Allah, tolong!"* * *"Auuuh! Sakit, Neng!"Aruna memekik ketika Isma mengikat rambutnya sedikit kencang. Gadis itu memberengut menatap Isma dari pantulan cermin. Sedangkan Isma, hanya cengengesan tanpa dosa. Setelah selesai mengikat rambut Aruna, Isma membantu sang artis menyapukan alat make-up ala kadarnya."Sudah cantik. Setidaknya berilah kesan pertama yang bagus, Mbak. Eh, sudah mandi belum, sih?"Aruna mendelik gemas dan mencubit paha Isma. "Enak saja. Sudah lah, memangnya kamu, pemalas? Tadi sebelum shalat Ashar mandi dulu!" jawabnya ketus."Ooh, kirain. Tumben shalat!" goda Isma lagi."Diam lho, Neng. Aku tuh sebisa mungkin shalat ya, Neng. Sudah, ayo turun," ajak Aruna sembari menyingkirkan tangan Isma yang masih memegang lipstik.Isma menatap miris pada lipstik itu dan mengembalikan ke tempat semula. Aruna mengamati penampilannya sekali lagi di depan cermin. Dress selutut menjadi pilihan gadis itu."Ck, cantik Mbak. Berilah kesan pertama yang menggoda!" ledek Isma.Aruna memutar bola mata malas. "
"Em, kalau begitu, saya permisi dulu!" pamit Isma karena Alexei justru tertarik menatap luar sana.Alexei mengangguk samar. Itu pun tanpa menoleh. Benar-benar tipikal pria sombong dan dingin. Sambil melangkah keluar dari kamar, Isma menggerutu seperti lebah boyongan.Aruna menarik napas lelah mendengar dengungan tanpa henti dari mulut mungil Isma. Gadis itu merebahkan tubuh di tempat tidur sembari menatap langit-langit kamar."Sungguh, selama dua puluh lima tahun hidupku, baru kali ini aku bertemu makhluk seangkuh Alexei!"Aruna menoleh sekilas pada Isma yang ikut merebah di sampingnya. "Memangnya dulu waktu kamu umur lima tahun, belum pernah bertemu orang seperti itu, Neng?" tanyanya malas.Isma berdecak sebal. "Ya, nggak gitu juga kali, Mbak. Tapi benar lho, si Alexei ini benar-benar bodyguard sombong!" sahutnya gemas. Namun, sejurus kemudian, Isma nyengir kecil. "Tapi ganteng, wangi, dan maskulin banget," imbuhnya."Yeee, mata kalau lihat cowok bening. Khilaf!" ejek Aruna.Isma cen
"Lindungi Aruna meskipun nyawamu taruhannya!"Alexei memejamkan mata rapat. Ingatan demi ingatan tentang permintaan untuk melindungi Aruna berdengung di kepala. Tanpa sadar, laki-laki itu mendengus kasar."Apa kamu nggak suka dengan masakan Indonesia?" tanya Aruna melunak.Alexei langsung mendongak dan menjawab dengan gelengan kepala samar. Laki-laki itu kembali menunduk. Fokus pada makanan di piringnya. Di depannya, Aruna sesekali melirik Alexei. Selain dingin dan kaku, Alexei juga misterius. Aruna heran, apa begitu sikap sebenarnya orang-orang bule? Aruna juga memiliki beberapa teman dari luar Indonesia. Mereka bersikap ramah, tidak seperti Alexei. Entahlah. Sepertinya hanya Alexei yang berbeda. Pandangan Aruna beralih pada handphonenya yang bergetar.Alexei mengikuti arah pandangan Aruna. Aruna segera menyambar benda itu kemudian beranjak dari meja makan. Tentu saja masih diikuti oleh tatapan Alexei. Aruna benar-benar kehilangan kebebasan. Alexei selalu mengikuti dan mengawasinya
Aruna menatap punggung tegap Alexei. Gadis itu kembali mendengus kasar. Dia tidak menyangka, mata laki-laki itu teramat jeli. Aruna tidak habis pikir, kamera sebesar kelereng berwarna hitam itu bisa dilihat Alexei dari jarak lebih dari 10 meter. Sedangkan ART dan tukang kebun yang setiap hari membersihkan taman tidak melihatnya.Ayahnya benar. Insting laki-laki lebih peka daripada insting perempuan mengenai hal keselamatan. Aruna semakin penasaran dengan latar belakang Alexei Yevgeny. Apakah seseorang yang ditempa mental dan fisiknya menjadi bodyguard itu harus memiliki insting setajam itu? Aruna memang sering berinteraksi dengan beberapa pengawal profesional. Pembawaan mereka kebanyakan selalu tenang, dingin, dan fokus. Seolah mata dan telinga mereka dilengkapi dengan sensor yang bisa menjangkau gerak-gerik mencurigakan dari jarak puluhan meter.Aruna bergerak mendekat. Gadis itu berdiri di samping Alexei. Aruna mendongak menatap wajah Alexei sekilas, kemudian mengikuti arah pandang
Alexei menyelonong masuk ke kamar Aruna tanpa permisi. Dia tidak memperdulikan tatapan protes dari si pemilik kamar. Alexei tampak mengecek semua jendela. Memastikan jendela telah tertutup rapat."Jangan lupa, setiap malam kunci jendela dan pintu kamarmu, Aruna. Kalau ada apa-apa, panggil saya!" ucapnya datar."Apa harus seperti ini, di dalam rumah juga?" tanya Aruna. Alexei menatap gadis itu dengan tatapan kesal. Dia tidak menyukai orang yang terlalu banyak protes. Keselamatan Aruna bukan hanya sekadar tanggung jawab demi uang. Namun, juga tentang janjinya."Apa kamu tidak bisa bersikap waspada, Aruna?""Tapi kamu berlebihan, Alex. Ini rumahku. Aku mengenal setiap jengkal rumah ini beserta isinya. Kenapa kamu berlebihan begini?" protes Aruna dengan suara bergetar.Alexei menarik napas panjang. Laki-laki itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap dalam manik hitam milik Aruna. Aruna mendongakkan dagu, menantang tatapan laki-laki itu."Tolong kerjasamanya, Nona Aruna. Menurut apa kata s
Alexei tersenyum miring melihat wajah pasrah dan ketakutan milik Aruna. Laki-laki itu menahan posisi wajahnya yang hanya berjarak beberapa inci dari Aruna.Beberapa detik tidak ada tindakan apa pun, Aruna membuka mata. Saat itulah, Alexei tertawa lirih sembari mengangkat wajahnya."Ha ha ha, ternyata kamu yang berharap aku cium!" ejek Alexei sembari melepaskan kedua lengannya dari sisi tubuh Aruna.Aruna melotot tidak terima dengan tuduhan itu. Dengan gerakan cepat dia mencubit pinggang Alexei yang terbalut kemeja panjang."Aauh, apa ini, Aruna?"Alexei mengusap-usap pinggangnya yang panas. Aruna meliriknya sekilas sembari tersenyum mengejek. Gadis itu segera membuka pintu kamarnya."Itu peringatan supaya kamu nggak semena-mena sama aku, Alex! Aku hanya nurut karena aku nggak ingin berdebat. Tapi aku nggak suka kamu bilang kalau aku berharap dicium sama kamu. Nggak ada dalam mimpiku!" Alexei tidak terpengaruh dengan ucapan Aruna. Kembali laki-laki itu tersenyum penuh arti. Aruna tert
"Alenadra?" Aruna melepaskan diri dari pelukan Alexei. Gadis itu mendongak, menatap mata Alexei yang berembun. Menyadari kesalahannya, Alexei buru-buru memalingkan wajah."Alenadra, apa dia kekasihmu?" tanya Aruna pelan.Alexei kembali menatap Aruna dengan tatapan penuh arti. "Em, sebaiknya kamu tidur, Aruna. Maaf sudah lancang," ucapnya lirih. Aruna mengangguk. Dia melangkah meninggalkan Alexei. Gadis itu menghentikan langkah di ambang pintu dan menoleh, menatap Alexei sembari tersenyum."Good night, Alex!""Ya, em, Aruna. Terima kasih, pelukannya," ucap Alexei sambil tersenyum tipis. Alexei segera menutup pintu setelah memastikan Aruna memasuki kamarnya. Laki-laki itu menyandarkan punggung di daun pintu. "Kamu benar-benar mengingatkan aku sama dia, Aruna. Sifat kalian begitu mirip. Apa ini cuma kebetulan, Tuhan?" ucapnya dengan mata kembali memanas.Pagi harinya...Aruna menggeser kursi meja makan sedikit kasar. Hal tersebut membuat Bagaskara langsung menatapnya heran. Di sebela
"Om semakin hari semakin hot, saja," goda seorang perempuan dengan bibir dipoles lipstik tebal.Kuku jarinya yang dicat berwarna merah, mengusap-usap dada Bagaskara. Bagaskara segera menyambar bibir perempuan muda tersebut. Keduanya larut dalam ciuman di sisi tempat tidur kamar hotel itu.Bagaskara yang sudah turn on, langsung mendorong tubuh perempuan muda itu sehingga jatuh terlentang di atas tempat tidur. Tangan laki-laki itu bergerak liar ke tubuh perempuan yang mengerang manja di bawahnya.Beberapa menit kemudian, kedua manusia itu sudah sama-sama mengarungi kenikmatan di atas tempat tidur bersprei putih itu."Aah, Om," bisik perempuan itu manja."Sebentar lagi, Dita," bisik Bagaskara dengan napas memburu.Brak!Keduanya langsung menoleh ke arah pintu yang dibuka, lalu ditutup kasar. Bagaskara menatap tajam pemuda yang berdiri di sana."Lancang sekali kamu, Gery!" bentak Bagaskara sambil mengenakan celananya.Dita segera menyambar selimut dan berlari ke kamar mandi. Di depan pintu