"Auuuh! Sakit, Neng!"
Aruna memekik ketika Isma mengikat rambutnya sedikit kencang. Gadis itu memberengut menatap Isma dari pantulan cermin. Sedangkan Isma, hanya cengengesan tanpa dosa. Setelah selesai mengikat rambut Aruna, Isma membantu sang artis menyapukan alat make-up ala kadarnya."Sudah cantik. Setidaknya berilah kesan pertama yang bagus, Mbak. Eh, sudah mandi belum, sih?"Aruna mendelik gemas dan mencubit paha Isma. "Enak saja. Sudah lah, memangnya kamu, pemalas? Tadi sebelum shalat Ashar mandi dulu!" jawabnya ketus."Ooh, kirain. Tumben shalat!" goda Isma lagi."Diam lho, Neng. Aku tuh sebisa mungkin shalat ya, Neng. Sudah, ayo turun," ajak Aruna sembari menyingkirkan tangan Isma yang masih memegang lipstik.Isma menatap miris pada lipstik itu dan mengembalikan ke tempat semula. Aruna mengamati penampilannya sekali lagi di depan cermin. Dress selutut menjadi pilihan gadis itu."Ck, cantik Mbak. Berilah kesan pertama yang menggoda!" ledek Isma.Aruna memutar bola mata malas. "Dia itu cuma mau jadi pengawal aku, itu pun karena keinginan Papa. Bukan jadi pacarku, Neng!" sahutnya gemas.Isma kembali terkekeh sembari berkata lirih, "Belum tahu dia, kalau bodyguardnya lebih ganteng dari barisan mantan."Setelahnya, Isma menggaruk kepala salah tingkah ketika tatapan maut Aruna tertuju padanya.*Seorang pemuda bertubuh tinggi, berkulit putih dan rambut coklat gelap berdiri menatap foto keluarga. Dia hanya tersenyum samar ketika Bagaskara menjelaskan, itu adalah foto Aruna kecil bersama keluarga besar Bagaskara.Langkah Aruna terhenti di anak tangga terakhir. Dia menatap punggung tegap laki-laki yang masih fokus menghadap dinding itu.Bagaskara tersenyum menyadari kehadiran putrinya. "Oh, itu Aruna, anak saya!" ucapnya bangga.Laki-laki muda itu membalikkan badan. Dia bertemu pandang dengan Aruna sejenak. Isma menyenggol lengan Aruna yang membuat gadis itu menoleh."Kedip, Mbak. Gimana, ganteng kan?" bisiknya menggoda.Aruna meliriknya tajam dan mendengus kasar. Selanjutnya, dia mengulurkan tangan pada pemuda itu. Namun, pemuda tersebut hanya melirik sekilas dan mengangguk samar."My name is Alexei, did your father say that?" tanya pemuda itu dengan nada dingin.Aruna mengangguk samar. Dalam hati dia memaki sikap arogan Alexei. Melihat sikap Alexei yang kaku, runtuh sudah kekaguman Isma pada laki-laki berwajah tampan itu."Ganteng-ganteng, songong," cibir Isma lirih.Alexei langsung meliriknya dan kembali bersikap tidak peduli. Selanjutnya, Aruna sibuk menjelaskan rutinitas yang dia jalani dari pagi sampai malam hari. Yang tentunya akan melibatkan Alexei di setiap kegiatan gadis itu.Masih dengan sikap tak acuhnya, Alexei mengangguk mengerti. Juga tidak banyak bertanya. Aruna menggembungkan kedua pipinya sembari membuang napas. Baru pertama bertemu dengan laki-laki itu, dirinya sudah dibuat gregetan.Aruna memang sering berinteraksi dengan beberapa bodyguard. Namun, tidak pernah dia melihat orang sekaku dan sedingin Alexei. Menurut temannya sesama mantan ratu kecantikan dari Russia, Aruna menjadi sedikit tahu tentang karakter orang Russia.Orang Russia kebanyakan bersikap kaku, tak acuh, dan dingin. Tetapi dia akan sangat ramah jika kita ramah padanya. Akan tetapi, apa ini? Sebagai calon "bos" Aruna justru yang berusaha ramah. Sedangkan Alexei tetap bersikap dingin.Tanpa sadar, Aruna kembali menarik napas kasar. Alexei meliriknya sekilas, kemudian kembali fokus pada kertas di tangannya."Okay, I understand!" ucap Alexei dengan suara baritonenya.Aruna melirik Isma yang langsung mendekat. Isma duduk di dekat Alexei sembari menyodorkan ballpoint. Diam-diam, Isma memperhatikan Alexei yang membubuhkan beberapa tanda tangan sesuai arahan Isma.Arogan, dingin, kaku, untung ganteng dan wangi. Isma sibuk menilai laki-laki di sampingnya. Gadis itu berjingkat kaget ketika Bagaskara menepuk bahunya."Eh, Om. Bikin kaget saja!" sungut Isma kemudian berpindah tempat duduk."Apa ada yang ditanyakan atau Anda meminta sesuatu?" tanya Aruna menggunakan bahasa Inggris pada Alexei.Alexei mengeryitkan dahi tidak mengerti. "What's your mean?" tanyanya."I mean, you take once a year off day, is that enough?" tanya Aruna hati-hati.Alexei mengangguk. "Yes, enough!" jawabnya singkat.Padahal, bukan itu yang diinginkan Aruna. Dia berharap Alexei meminta waktu cuti setiap enam bulan sekali. Atau lebih cepat dari itu. Tentu, Aruna akan senang bukan main. Dengan begitu, dia bisa terbebas dari pria kaku seperti itu.Aruna memutar otak. Dia berharap kerjasama dengan Alexei tidak berlangsung lama. Tetapi bagaimana caranya? Memutuskan kontrak secara sepihak, jelas menyalahi aturan yang telah mereka sepakati. Dia harus tetap bersikap profesional meskipun tidak menyukai Alexei.Alexei menggeleng samar melihat kegelisahan di wajah Aruna. "Jangan coba-coba berbuat licik, Nona," ucapnya dalam hati sembari tersenyum satu sudut sekilas.Isma kembali goyah. Dengan antusias, gadis itu mengantarkan Alexei ke kamarnya yang berada di lantai atas. Kamar besar yang terletak bersebrangan dengan kamar Aruna, dipilih Bagaskara sebagai kamar pribadi Alexei. Hal itu dimaksudkan supaya keamanan Aruna lebih terjamin."Papa beri dia kamar di depan kamar aku?" protes Aruna sembari melirik ke lantai atas.Bagaskara mengangguk. "Iya, dia kan pengawal kamu, masa mau tidur di samping kamar tamu," jawabnya santai.Aruna mendengus kasar. Sekali lagi, ayahnya itu membuat keputusan sendiri tanpa bisa dibantah. Aruna mengerucutkan bibirnya maju. Gadis itu menghentakkan kaki dan meniti anak tangga menuju lantai dua. Dia sempat melirik ke arah kamar di mana Alexei akan tinggal."Hopefully you like this room!" ucap Isma ramah.Alexei mengangguk. Laki-laki itu meletakkan koper ukuran cabin di sisi tempat tidur. Lalu, dia melangkah menuju ke jendela, menyibak tirai jendela itu. Pemandangan lahan kosong yang luas di samping rumah, mengingatkan laki-laki itu akan rumahnya di Kota Astrakhan, Russia.Senyum penuh misteri tersungging di sudut bibir Alexei. "Ya, uzhe zdes' Papa," (I'm already here, Papa) gumamnya.* * *"Em, kalau begitu, saya permisi dulu!" pamit Isma karena Alexei justru tertarik menatap luar sana.Alexei mengangguk samar. Itu pun tanpa menoleh. Benar-benar tipikal pria sombong dan dingin. Sambil melangkah keluar dari kamar, Isma menggerutu seperti lebah boyongan.Aruna menarik napas lelah mendengar dengungan tanpa henti dari mulut mungil Isma. Gadis itu merebahkan tubuh di tempat tidur sembari menatap langit-langit kamar."Sungguh, selama dua puluh lima tahun hidupku, baru kali ini aku bertemu makhluk seangkuh Alexei!"Aruna menoleh sekilas pada Isma yang ikut merebah di sampingnya. "Memangnya dulu waktu kamu umur lima tahun, belum pernah bertemu orang seperti itu, Neng?" tanyanya malas.Isma berdecak sebal. "Ya, nggak gitu juga kali, Mbak. Tapi benar lho, si Alexei ini benar-benar bodyguard sombong!" sahutnya gemas. Namun, sejurus kemudian, Isma nyengir kecil. "Tapi ganteng, wangi, dan maskulin banget," imbuhnya."Yeee, mata kalau lihat cowok bening. Khilaf!" ejek Aruna.Isma cen
"Lindungi Aruna meskipun nyawamu taruhannya!"Alexei memejamkan mata rapat. Ingatan demi ingatan tentang permintaan untuk melindungi Aruna berdengung di kepala. Tanpa sadar, laki-laki itu mendengus kasar."Apa kamu nggak suka dengan masakan Indonesia?" tanya Aruna melunak.Alexei langsung mendongak dan menjawab dengan gelengan kepala samar. Laki-laki itu kembali menunduk. Fokus pada makanan di piringnya. Di depannya, Aruna sesekali melirik Alexei. Selain dingin dan kaku, Alexei juga misterius. Aruna heran, apa begitu sikap sebenarnya orang-orang bule? Aruna juga memiliki beberapa teman dari luar Indonesia. Mereka bersikap ramah, tidak seperti Alexei. Entahlah. Sepertinya hanya Alexei yang berbeda. Pandangan Aruna beralih pada handphonenya yang bergetar.Alexei mengikuti arah pandangan Aruna. Aruna segera menyambar benda itu kemudian beranjak dari meja makan. Tentu saja masih diikuti oleh tatapan Alexei. Aruna benar-benar kehilangan kebebasan. Alexei selalu mengikuti dan mengawasinya
Aruna menatap punggung tegap Alexei. Gadis itu kembali mendengus kasar. Dia tidak menyangka, mata laki-laki itu teramat jeli. Aruna tidak habis pikir, kamera sebesar kelereng berwarna hitam itu bisa dilihat Alexei dari jarak lebih dari 10 meter. Sedangkan ART dan tukang kebun yang setiap hari membersihkan taman tidak melihatnya.Ayahnya benar. Insting laki-laki lebih peka daripada insting perempuan mengenai hal keselamatan. Aruna semakin penasaran dengan latar belakang Alexei Yevgeny. Apakah seseorang yang ditempa mental dan fisiknya menjadi bodyguard itu harus memiliki insting setajam itu? Aruna memang sering berinteraksi dengan beberapa pengawal profesional. Pembawaan mereka kebanyakan selalu tenang, dingin, dan fokus. Seolah mata dan telinga mereka dilengkapi dengan sensor yang bisa menjangkau gerak-gerik mencurigakan dari jarak puluhan meter.Aruna bergerak mendekat. Gadis itu berdiri di samping Alexei. Aruna mendongak menatap wajah Alexei sekilas, kemudian mengikuti arah pandang
Alexei menyelonong masuk ke kamar Aruna tanpa permisi. Dia tidak memperdulikan tatapan protes dari si pemilik kamar. Alexei tampak mengecek semua jendela. Memastikan jendela telah tertutup rapat."Jangan lupa, setiap malam kunci jendela dan pintu kamarmu, Aruna. Kalau ada apa-apa, panggil saya!" ucapnya datar."Apa harus seperti ini, di dalam rumah juga?" tanya Aruna. Alexei menatap gadis itu dengan tatapan kesal. Dia tidak menyukai orang yang terlalu banyak protes. Keselamatan Aruna bukan hanya sekadar tanggung jawab demi uang. Namun, juga tentang janjinya."Apa kamu tidak bisa bersikap waspada, Aruna?""Tapi kamu berlebihan, Alex. Ini rumahku. Aku mengenal setiap jengkal rumah ini beserta isinya. Kenapa kamu berlebihan begini?" protes Aruna dengan suara bergetar.Alexei menarik napas panjang. Laki-laki itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap dalam manik hitam milik Aruna. Aruna mendongakkan dagu, menantang tatapan laki-laki itu."Tolong kerjasamanya, Nona Aruna. Menurut apa kata s
Alexei tersenyum miring melihat wajah pasrah dan ketakutan milik Aruna. Laki-laki itu menahan posisi wajahnya yang hanya berjarak beberapa inci dari Aruna.Beberapa detik tidak ada tindakan apa pun, Aruna membuka mata. Saat itulah, Alexei tertawa lirih sembari mengangkat wajahnya."Ha ha ha, ternyata kamu yang berharap aku cium!" ejek Alexei sembari melepaskan kedua lengannya dari sisi tubuh Aruna.Aruna melotot tidak terima dengan tuduhan itu. Dengan gerakan cepat dia mencubit pinggang Alexei yang terbalut kemeja panjang."Aauh, apa ini, Aruna?"Alexei mengusap-usap pinggangnya yang panas. Aruna meliriknya sekilas sembari tersenyum mengejek. Gadis itu segera membuka pintu kamarnya."Itu peringatan supaya kamu nggak semena-mena sama aku, Alex! Aku hanya nurut karena aku nggak ingin berdebat. Tapi aku nggak suka kamu bilang kalau aku berharap dicium sama kamu. Nggak ada dalam mimpiku!" Alexei tidak terpengaruh dengan ucapan Aruna. Kembali laki-laki itu tersenyum penuh arti. Aruna tert
"Alenadra?" Aruna melepaskan diri dari pelukan Alexei. Gadis itu mendongak, menatap mata Alexei yang berembun. Menyadari kesalahannya, Alexei buru-buru memalingkan wajah."Alenadra, apa dia kekasihmu?" tanya Aruna pelan.Alexei kembali menatap Aruna dengan tatapan penuh arti. "Em, sebaiknya kamu tidur, Aruna. Maaf sudah lancang," ucapnya lirih. Aruna mengangguk. Dia melangkah meninggalkan Alexei. Gadis itu menghentikan langkah di ambang pintu dan menoleh, menatap Alexei sembari tersenyum."Good night, Alex!""Ya, em, Aruna. Terima kasih, pelukannya," ucap Alexei sambil tersenyum tipis. Alexei segera menutup pintu setelah memastikan Aruna memasuki kamarnya. Laki-laki itu menyandarkan punggung di daun pintu. "Kamu benar-benar mengingatkan aku sama dia, Aruna. Sifat kalian begitu mirip. Apa ini cuma kebetulan, Tuhan?" ucapnya dengan mata kembali memanas.Pagi harinya...Aruna menggeser kursi meja makan sedikit kasar. Hal tersebut membuat Bagaskara langsung menatapnya heran. Di sebela
"Om semakin hari semakin hot, saja," goda seorang perempuan dengan bibir dipoles lipstik tebal.Kuku jarinya yang dicat berwarna merah, mengusap-usap dada Bagaskara. Bagaskara segera menyambar bibir perempuan muda tersebut. Keduanya larut dalam ciuman di sisi tempat tidur kamar hotel itu.Bagaskara yang sudah turn on, langsung mendorong tubuh perempuan muda itu sehingga jatuh terlentang di atas tempat tidur. Tangan laki-laki itu bergerak liar ke tubuh perempuan yang mengerang manja di bawahnya.Beberapa menit kemudian, kedua manusia itu sudah sama-sama mengarungi kenikmatan di atas tempat tidur bersprei putih itu."Aah, Om," bisik perempuan itu manja."Sebentar lagi, Dita," bisik Bagaskara dengan napas memburu.Brak!Keduanya langsung menoleh ke arah pintu yang dibuka, lalu ditutup kasar. Bagaskara menatap tajam pemuda yang berdiri di sana."Lancang sekali kamu, Gery!" bentak Bagaskara sambil mengenakan celananya.Dita segera menyambar selimut dan berlari ke kamar mandi. Di depan pintu
Aruna ternganga mendengar ucapan sinis Alexei. Gadis itu menunduk sekilas, lalu memalingkan wajah salah tingkah. Di depannya, Alexei menatap tajam gadis yang menurutnya sangatlah cerewet itu."Kenapa? Itu kan, yang kamu mau, Aruna?" tanya Alexei mengejek.Aruna langsung mendongak. Bibir gadis cantik itu mencebik meremehkan. "Nggak usah terlalu jauh mikirnya. Aku hanya ingin minta bantuan kamu, bukan mengaku sebagai pacarku!" balasnya.Terdengar kekehan kecil dari mulut Alexei. Dia menatap Aruna yang melewatinya begitu saja. Aruna menghentikan langkah ketika lengannya disambar bodyguard menyebalkan itu."Dengar, Nona Aruna!" Alexei berkata datar. "Aku hanya bertugas menjaga keselamatanmu, bukan bertugas menjadi juru bicaramu! Aku yakin, kalau aku merangkap pekerjaan itu, kamu tidak akan sanggup membayarku!" lanjutnya mengejek.Hhuuuuhh!Aruna mengerutkan bibirnya geram. Dia menghempaskan pegangan tangan kokoh Alexei. Alexei tersenyum sinis melihat Aruna kembali mati kutu di depannya."