"Dasar gak tahu diri! Sudah numpang, gengsi pula."Fahri, Nazwa, dan ibunya sontak memandang ke arah sumber suara. "Fiona? Ngapain kamu balik lagi? Bukannya kamu tadi sudah pergi?!" cibir bu Yuni pada Fiona. Sedangkan Nazwa hanya mencebikkan bibirnya. "Kenapa memangnya? Aku ke sini nyamperin suamiku, takut kalau suamiku kelepasan dan gak bisa nahan keinginan kalian yang banyak maunya itu.""Lho Fahri kan anakku dan dia juga Kakaknya Nazwa, jadi wajar dong kalau kami minta sama dia. Di mana salahnya?""Salahnya adalah uang itu bersumber dariku. Tidak puaskah kalian dengan semua uang gaji Mas Fahri yang diberikan seluruhnya untuk kalian?"Kali ini Fiona benar-benar kesal pada mertua dan adik iparnya itu. Dia bukan Ayra yang bisa ditindas oleh mertua dan ipar. Fiona perempuan masa kini yang menjunjung tinggi nilai harga diri. Sedangkan Fahri, mau marah pada Fiona pun seolah-olah dia tak mampu. Fiona adalah mesin atm nya. Seandainya ia tidak lagi bekerja pun masih bisa Fiona menopang hi
"Maksud kamu?""Ck! Masa gak paham sih! Mana sini ATM sama kartu kredit kepunyaanku yang kamu bawa.""Kok kamu minta?" Susah payah Fahri menelan salivanya. Sungguh ia tidak menyangka jika Fiona kini akan meminta apa yang sudah ia berikan pada Fahri. "Ya iya aku minta biar aku yang bayar soalnya kalau kamu yang bayar nanti menuruti keinginan keluargamu itu. Aku bukan Ayra yang bisa dijadikan jongos sama keluargamu. Cepat berikan!" Sekali lagi, mata Fiona melotot. Sungguh ia merasa kesal pada Fahri karena tidak bisa tegas pada ibu dan adiknya. Fahri akan luluh setiap kali sang ibu mengatakan durhaka jika tidak menuruti kemauan bu Yuni. "Buruan mana!" desak Fiona yang melihat Fahri tidak juga lekas mengambil apa yang ia minta. "Ck! Iya-iya sabar ini aku ambilin." Fahri pun memberikan apa yang Fiona minta, sedangkan bu Yuni yang sejak tadi memperhatikan apa yang dilakukan Fiona dan Fahri menunggu dengan resah. Dia dan juga Nazwa takut jika apa yang mereka inginkan tidak terkabul. "A
"Jelas repot karena yang dia pakai itu uangku. Sekali lagi uangku!" ucap Fiona penuh dengan penekanan. "Kamu itu istrinya Fahri, jadi uangmu juga uang Fahri. Sedangkan surganya Fahri itu ada padaku jadi, sudah kewajiban dia menuruti apa yang aku mau dan sudah kewajiban dia untuk membuat Ibunya ini bahagia.""Dan mengorbankan kebahagiaan orang lain?""Orang lain bagaimana? Kamu dan Fahri kan suami istri jadi aku juga Ibumu. Sudah sepatutnya seorang anak menyenangkan orang tuanya bukan?""Yah patut asalkan orang tuanya itu tahu diri!" "Fahri! Apa maksudnya ini! Kamu dan istrimu nggak lupa kan kalau dulu janji kalian itu bagaimana?" "Eits jangan lupa juga Ibu mertua yang terhormat. Yang berjanji itu anakmu bukan aku.""Alah sama saja. Fahri! Pokoknya Ibu mau motor yang itu! Awas saja kalau gak kamu belikan!" "Memangnya kamu ada uang untuk membeli motor yang itu, Mas?" Fahri menggeleng dengan cepat menjawab pertanyaan Fiona. Mata bu Yuni mendelik mendengar ucapan dan jawaban dari anak
"Lho gak bisa gitu dong. Antarkan kami pulang dulu kok malah mau nyelonong saja.""Apa lagi? Kan sudah aku turuti kemauan membeli motor impian kalian.""Impianmu bukan impian kami.""Ah sama saja, seharusnya kalian bersyukur karena itu pun harganya cukup mahal. Yaudah yuk, Mas, kita pergi aku mau ke suatu tempat soalnya.""Bu maaf ya, kali ini Ibu pulang naik taksi online saja.""Eh eh kamu mau kemana?! Gak mau! Antarkan dulu Ibu dan Nazwa pulang. Lho Fahri, Fiona jangan pergi!" pekik bu Yuni. Ia benar-benar definisi manusia gak punya malu sebab sejak tadi teriak-teriak dan dilihat banyak orang. Bahkan, petugas penjual motor itu saja sampai menggelengkan kepalanya melihat tingkah bu Yuni. "Udah deh, Bu, kita pesan taksi online saja. Malu tuh dilihatin banyak orang," tegur Nazwa dan akhirnya mampu membuat bu Yuni terdiam. ***"Kita mau kemana ini, Dek?""Mau ke rumah Papi.""Mau ngapain?" Fahri sesekali menoleh melihat ke arah Fiona dan arah jalan karena ia juga harus fokus menyetir.
"Ya sama suami kamu lah, kan kami sudah menikah jadi itu ya tanggungjawab suami kamu dong."Fiona mendelik mendengar perkataan papinya. Tidak ada angin maupun hujan, tetapi entah kenapa papinya itu berubah. Mengherankan."Kenapa harus sama Mas Fahri sih, Pi? Selama ini kan Papi selalu kasih aku jatah bulanan. Kenapa sekarang tiba-tiba suruh minta ke Mas Fahri sih?" protes Fiona tidak terima."Fiona, Fiona ... kamu kok lucu banget sih. Di mana-mana perempuan itu kalau sudah menikah tanggung jawabnya sudah beralih ke suaminya. Jadi, mulai sekarang kamu jangan minta uang jatah bulanan ke papi lagi, tapi ke suamimu itu," tunjuk Ibra mengecilkan jarinya dapatkah arah Fahri.Kedua sudut bibir Ayra tertarik sempurna meski meski telah berusaha sekuat tenaga ditahannya. Pilihannya untuk menikahi Ibra memanglah sangat tepat. Dia bisa menyaksikan setiap kejatuhan dan penderitaan dari pasangan tidak tahu malu, Fahri dan Fiona. Ya, sepertinya ungkapan jodoh adalah cerminan diri adalah benar adanya
"Papi jahat! Tega sama aku! Kenapa pein lebih sayang sama dia dibanding aku? Aku anak kandungmu, Pi. Kenapa kamu biarkan perempuan miskin itu menikmati semua hartamu sedangkan aku gak?"Ibra hanya geleng-geleng kepala mendengar penuturan putrinya itu. Matanya telah tertutup oleh uang. Segala sesuatu diukirnya dengan benda itu."Papi bukannya jahat, Fiona. Tapi, kamu bukan lagi tanggung jawab papi. Sekarang kamu tanggung jawab Fahri," ucap Ibra melirik sekilas ke arah Fahri yang masih berdiri mematung di tempatnya. "Dan soal siapa yang bisa menikmati harta papi, semua itu tergantung papi, dong," imbuh Ibra dengan begitu santainya.Fiona mengalihkan pandangan ke arah Fahri dan menatapnya dengan tajam. Mungkin dia tidak pernah mengira jika keputusannya untuk menikahi pria itu justru menutup salah satu pintu rezekinya. Memang akta orang, jika pintu satu tertutup maka pintu lain akan terbuka. Akan tetapi, di mana dia bisa menemukan yang seperti papinya?Ibra menatap Fahri. "Bukannya kamu
"Kamu mau bilang apa pun, keputusan papi gak akan berubah. Daripada teriak-teriak di sini dan habis energi, mending kamu putar otak biar kebutuhanmu dan Fahri bisa tercukupi."Ibra menggenggam tangan Ayra dan segera meninggalkan ruang keluarga. Langkahnya menyusuri anak tangga dengan cepat, setapak demi setapak. Tidak peduli meski Fiona tetap memanggilnya.Fiona yang masih tidak terima dengan keputusan Ibra akhirnya menyusul menaiki tangga. Namun, entah dari mana seorang security tiba-tiba saja menghalangi jalannya bersamaan dengan Ibra yang menjentikkan jari."Maaf, non. Tuan bilang tidak ingin diganggu," ucap security itu dengan sopan. Meski takut akan kemarahan Fiona, tetapi perintah Ibra jauh lebih penting bagi mereka. Ya, secara papinya Fiona yang menggaji mereka dan bukan anaknya."Lepaskan! Berani betul kau menyentuh istriku!" sentak Fahri menarik segitu itu menjauh dari Fiona. Hampir saja security itu jatuh dari tangga.Ibra berdecak sembari menampilkan seringai. Memandang mir
"Halah! Gitu aja takut. Tapi kamu berani selingkuh. Kamu pikir dosanya gedean yang mana, ha?!"Fahri jadi serba salah jadinya. Mengiyakan atau tidak tetap saja dia salah di mata Fiona."Justru itu. Kamu gak perlu mempertanyakan gimana besarnya cintaku ke kamu. Aku rela ngelakuin dosa besar demi dapetin kamu, loh, Sayang."Seketika amarah Fiona luruh. Ya, meski tidak sepenuhnya menghilang. Akan tetapi perkataan manis yang tiba-tiba dilontarkan oleh Fahri membuatnya merasa sangat spesial dan merasa sangat dicintai.Fiona tampak tersipu malu dengan wajah yang bersemu kemerahan yang segera menjalari seluruh wajahnya."Ih, kamu kok malah ngegombalin aku sih, Mas." Fiona melayangkan pukulan lembut ke arah lengan Fahri dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan yang lain menutupi wajahnya yang malu.Ah, tidak ada ruginya Fahri belajar menggombal dari Juki teman tongkrongannya dulu. Meski garing, bolehlah ya. Untuk membuat Fiona senang, bahkan kegaringan akan dibuatnya krenyes.Setidaknya gomba
Ayra beranjak dari tempat duduknya, menghampiri wanita itu, lalu memeluknya. Ia berusaha penuh untuk membuat Fiona nyaman saat berada di keluarga ini. Ibra yang melihat pemandangan itu pun ikut bahagia. Ia senang karena Fiona sudah menyadari kekeliruannya dan berjanji untuk memperbaiki diri. “Fiona.” Panggil Ibra. “Iya?” “Kamu boleh tinggal di sini lagi jika berkenan,” tukas Ibra tulus. “Benarkah?” Fiona menatap tak percaya. Ini seperti sebuah kemustahilan. “Tentu saja. Karena kamu masih anak angkatku,” sahut Ibra seraya menganggukkan kepala. “Terima kasih, Papi.” Keesokan paginya, mereka semua bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Sakit jiwa di mana bapak kandung Fiona berada. Sesampainya di sana, Fiona terlihat sedih melihat kondisi bapaknya yang masih dalam proses penyembuhan. Ibra menepuk pundak Fiona. “Sudah, jangan menangis lagi. Doakan yang terbaik untuk bapakmu.” “Iya, Papi. Aku hanya ingin bapakku sembuh. Itu saja.” Fiona menghapus air matanya. Di lain sisi, saat Fiona
Kini Fiona berada di depan rumah Ayra dan Ibra. Wanita itu terlihat sangat gugup dan juga malu. Cemas jika permintaan maafnya tidak diterima. Ya, memang kesalahannya begitu besar. Jadi, wajar saja bila nantinya Ayra dan Ibra tidak memberikan pintu maaf tersebut kepada dirinya. Fiona juga hanya bisa pasrah jika hal demikian sampai terjadi. Dia tak akan marah apalagi sakit hati untuk respons yang akan diterima. Fiona mencoba menghilangkan rasa gugup dan cemasnya sebelum mengetuk pintu rumah Ayra dan Ibra. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Fiona lakukan berulang kali sampai sudah merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Walaupun permintaan maafnya diterima relatif kecil, ia tetap berusaha. Lagi pula, tidak ada salahnya bila Fiona mencoba. Karena bila tidak berusaha, dia tak akan tahu hasilnya.Fiona mengetuk pintu itu dengan dua ketukan. Selang beberapa menit, pintu segera terbuka. Pandangan pertama yang ia lihat adalah wajah cantik Ayra. Secara bersamaan, pasang
"Ah! Tolong katakan itu di kantor, sekarang mari ikut kami untuk memenuhi prosedur," jelas polisi tersebut dengan lantas menarik tangan Fahri dan mulai memborgolnya.Fahri tentu meronta, ia berusaha menjelaskan semuanya namun kedua polisi itu tak mendengar dan seakan-akan menutup kedua telinganya.Sementara itu, Hilwa mulai meraung-raung memohon untuk tidak membawa anaknya ke kantor polisi."Tolong lepaskan anak saya! Kalian tidak pantas membawanya atas tuduhan tidak dilakukannya!" titah Hilwa dengan berteriak tak karuan, bahkan wanita itu sampai tak segan-segan untuk mencaci petugas polisi tersebut.Keributan itu jelas terdengar sampai ke dalam kamar pribadi milik Nazwa. Gadis yang tengah asyik memainkan gadgetnya merasa terganggu dengan kebisingan yang terjadi di rumahnya.Nazwa pun bangkit dari tempat tidurnya dan berdecih, "Ada apa sih!? Kenapa ribut sekali!?"Tanpa berpikir panjang Nazwa pun lekas beranjak dan keluar dari kamar untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.Hingga
"Apa-apaan ini!?" pekik Fahri saat ia mengetahui bahwa dirinya telah mendapat surat pemecatan dari HRD.Ya! Ketika Fahri tengah sibuk di ruang kerjanya ia tiba-tiba dikejutkan oleh sosok sekretaris yang mendatangi ruangannya dan menyerahkan secarik kertas yang berisikan sebuah surat pemecatan.Hal itu lantas membuat Fahri naik pitam, ia sama sekali tak terima diperlakukan seperti itu oleh Ibra, yang merupakan ayah mertuanya sendiri."M-maaf, Pak. Saya hanya menyampaikannya saja, selebihnya saya tidak tahu pasti," ucap sekretaris itu dengan menundukkan kepalanya. Wanita itu terlihat takut dengan temperamen atasannya yang tiba-tiba naik.Fahri pun berdecih kesal, lalu kembali membaca isi surat tersebut. Hingga ia kembali terkejut saat membaca pernyataan yang menyatakan bahwa Ibra tidak hanya akan memecatnya, namun lelaki itu juga akan melaporkan Fahri kepada pihak berwajib atas tindakan penggelapan dana yang ia lakukan pada perusahaan.Mengetahui hal itu, Fahri semakin geram, amarahnya
“Fahri pulang! Dia akhirnya pulang setelah berhari-hari,” sorak Fiona yang merasa memiliki secercah harapan dengan kepulangan pria itu.Beberapa hari belakangan, Fiona sama sekali tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas. Hari-harinya dipenuhi oleh fisik lesu dan perasaan lelah dan tekanan batin.Namun, begitu mendapati bahwa Fahri akhirnya kembali pulang membuat Fiona merasa bersemangat dan berharap-harap cemas. Akankah lelaki itu pulang karena sadar dan ingin meminta maaf, ataukah jangan-jangan ingin melakukan hal lain yang membuat Fiona semakin terpuruk? Itu lah pertanyaan yang memenuhi benak Fiona sekarang ini.Wanita itu langsung bangkit dari sofa dan berjalan beberapa langkah untuk membukakan pintu. Sebelum muncul di ambang pintu, Fiona sedikit merapikan rambut dan kondisi pakaiannya agar terlihat lebih layak untuk menyambut kepulangan suaminya.Fahri pun turun dari mobilnya begitu mesin mobil sudah dia matikan. Wajah pria itu tampak datar dan bahkan tanpa ekspresi. Dari sudu
Fiona masih tak kuasa menahan dadanya yang justru semakin sesak. Dia terus memukul-mukulnya dengan kepalan tangan saking sakit dan perih hatinya saat ini.“Fahri, kamu benar-benar kejam!” isaknya yang sejak ditinggal Fahri tadi sudah menangis dengan lelehan air mata berurai di kedua pipinya yang bening. Fiona bahkan tidak peduli bila saat ini dirinya hanya terduduk di lantai saking gontai dan lemas kedua lututnya mendengar untaian kalimat demi kalimat yang dilontarkan Fahri.Lantai keramik di ruang tengah yang dingin itu menjadi saksi pertengkaran keduanya beberapa saat yang lalu serta menjadi saksi pula betapa hancurnya perasaan Fiona saat ini.“Bisa-bisanya kamu bilang bahwa selama ini kamu hanya memanfaatkanku saja, Fahri!” Fiona masih tidak menyangka. “Padahal, waktu itu wajah kamu begitu tulus saat menyatakan perasaanmu. Kita bahkan harus menghadapi berbagai lika-liku sampai-sampai kau bercerai dengan Ayra.”“Perjuangan kita begitu panjang dan berat. Tapi kenapa … kamu malah ber
Fahri masih diam saja. Dia asik memilih pakaian apa yang akan dirinya kemas. Fahri terdiam karena dia malas meladeni Fiona. Sampai pada akhirnya telinganya muak mendengar pekikan Fiona.Brak!Saat itu juga Fahri menggebrak meja."Brisik! Kamu gak lihat aku lagi ngapain?!" bentak Fahri yang kini sudah menatap Fiona tajam."Ya makanya kalau ada orang tanya itu dijawab!" balas Fiona tak mau kalah."Kalau aku diam saja itu tandanya aku tidak mau menjawab pertanyaan kamu. Sadar diri dong dari tadi, berisik tau gak!" marah Fahri yang kini sudah mengepalkan kedua tangannya.Ditatap seperti itu sukses membuat Fiona sedih. Fiona hampir saja meneteskan air matanya, tetapi dia cegah dengan mendongak cepat-cepat.Sedangkan Fahri sudah mengalihkan pandangannya ke lain arah. Setelah itu Fahri kembali membereskan pakaian yang sejak tadi menjadi tujuan utamanya datang ke rumah ini."Jahat kamu Mas. Berani-beraninya kamu bentak aku seperti itu," lirih Fiona merasa sedih.Tidak ingin ambil pusing, Fahr
Saat ini Fahri dan Alina meminta waktu berduaan. Mereka memilih untuk tidak diam rumah. Mereka berjalan-jalan sejenak mencari angin. Hubungan yang baru pertama kali terjalin itu benar-benar sangat menyenangkan bagi Alina. Begitupun dengan Fahri yang tidak bisa tidak tersenyum ketika menatap wanita di sebelahnya itu.Orangtua Fahri sangat menyukai Alina juga. Jadi, sudah tidak ada batasan bagi keduanya untuk tidak dekat. Fahri benar-benar merasa bahagia. Bahkan untuk menjalin hubungan ini mereka tidak perlu pikir panjang lagi."Aku benar-benar bahagia bisa mengenalmu, aku bahkan ingin mengenalmu lebih dalam lagi. Seiring berjalannya waktu aku pasti tau semua tentangmu," celetuk Fahri begitu serius.Alina yang malu-malu hanya bisa tersenyum manis. Entah mengapa hatinya juga terasa hangat bisa berduaan dengan Fahri."Jangan ditahan kalau mau senyum atau ketawa," ujar Fahri ketika melihat Alina yang entah mengapa menahan semua itu."Kapan kita jalan?" "Ini kan sekarang lagi jalan," ledek
"Benar-benar menyebalkan. Sepertinya aku tak bisa kalau harus terus-menerus bertahan dengannya. Bukannya jadi kaya, yang ada lama-lama aku malah jadi Jatuh Miskin karena Fiona sendiri sekarang selalu minta uang denganku gara-gara tua bangka itu sudah tak ingin memberikan banyak uang untuknya. Masa Fiona hanya dijatah satu bulan tiga juta saja. Dapat apa uang segitu? Untuk keperluan sehari-hari saja pasti tidak akan cukup!" Fahri kian merasa kesal kita kembali mengingat perdebatannya dengan Ibra beberapa hari lalu.Sejenak terdengar ibu Fahri berdecak. "Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi. Kalau memang sudah tidak berguna ya sudah, buang saja. Dan kita bisa langsung segera mencari yang baru, yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan wanita itu," papar ibu Fahri dengan santainya."Iya, Bu. Aku tahu. Tetapi memangnya siapa yang harus aku kejar? Kemarin-kemarin aku terlalu fokus dan menikmati waktuku dengan Fiona sampai-sampai aku lupa untuk mencari target yang baru saat Fiona s