Share

Bab 3

Author: Fatimah
last update Last Updated: 2024-10-20 18:10:31

Malam semakin renta. Kutegakkan punggung yang terasa pegal karena terlalu lama duduk. Setelah kejutan bertubi-tubi yang diberikan Mas Hangga, aku kesulitan memejamkan mata. Hingga akhirnya menghabiskan berjam-jam lamanya di depan laptop, menonton drama Korea romantis. Berharap bisa membuatku agak lupa dengan kenyataan yang tengah dihadapi.

Mas Hangga sendiri sepertinya takkan pulang. Tadi aku sempat membuka ponsel, tapi tak ada satu pun pesan maupun panggilan darinya. Namun pemberitahuan status Mbak Madina, menguatkan pradugaku kalau Mas Hangga takkan pulang.

[Malam terindah bersamanya. Makasih Abi Sayang.]

Begitulah caption yang dibubuhkannya pada sebuah foto Mas Hangga yang tengah menunggu di dekat angkringan pecel lele. Melihatnya membuat dada seakan terbakar dan air mata kembali tumpah, hingga akhirnya kuputuskan mematikan ponsel dan menyimpannya di dalam laci.

Aku menghela napas dalam-dalam, saat samar terdengar suara azan awal. Kumatikan laptop dan menyeret langkah ke luar. Ke taman kecil di samping rumah. Memeluk diri, menikmati keheningan seraya memejamkan mata, membiarkan desau angin menusuk tubuh yang hanya dibalut home dress selutut tanpa lengan. Setelah cukup puas, aku pun kembali masuk dan mengambil wudhu.

*

Aku terbangun saat sinar matahari mendesak masuk melalui jendela yang entah sejak kapan  terbuka. Pelan, aku melangkah ke luar kamar, masih dengan mengenakan mukena. Lalu langkah kaki terhenti di pintu penghubung dapur saat melihat Mas Hangga berdiri di depan kompor sambil menggoreng yang entah apa.

“Kamu sudah bangun, Ra?“ tanyanya sambil membalikkan tubuh. Rupanya dia  menyadari kehadiranku.

“Naira ...“ Dia menghampiri, tapi aku buru-buru menjauh dari jangkauannya.

“Kenapa pulang?“ tanyaku ketus. Dahinya langsung berkerut seakan bingung. 

“Maksud kamu?“ tanyanya tampak seperti orang bodoh, “kamu kenapa?“ lanjutnya sambil menahan lenganku.

“Kenapa nggak aja sekalian pergi dari sini dan tinggal sama dia?“ tanyaku kesal.

“Ra ... kamu bicara apa sih? Semalam kan Mas ada di sini,“ jawabnya dengan mata bergerak gusar.

Aku tersenyum kecut. Ucapannya menyadarku dari kebodohan dan ketololan diri selama ini, yang selalu percaya saat dia meminta izin menginap di rumah Ibu. Sepertinya selama ini dia menggunakan waktu itu untuk Mbak Medina.

“Masa sih? Kamu pikir aku bodoh, Mas? Bukannya semalam kamu makan-makan sama Sayangmu itu? Sejak kapan sih, Mas? Sejak kapan kamu berbohong begini?“ tanyaku membuat tubuhnya menegang dan wajah memucat seketika.

“Ka-kamu tau dari mana?“ tanyanya terbata yang terdengar menggelikan.

“Dari status istri kesayanganmu itu,“ jawabku datar sambil bersidekap.

Mas Hangga membuang napas kasar, lalu mematikan kompor dan meninggalkanku begitu saja. Buru-buru aku mengekorinya yang ternyata tengah menelepon.

“Kenapa kamu posting-posting gitu sih, Sayang? Ini Naira marah. Kalau sampai dia marah, nanti pernikahan kita nggak bakalan bisa didaftarkan ke KUA,“ katanya.

“...“

“Iya ... tapi kamu harus menjaga hatinya dong, Sayang. Emosinya kan belum stabil.“

“...“

“Bukan begitu, Sayang. Yasudah, lupakan saja. Kamu jangan lupa sarapan dan minum susu sama vitaminnya.“

“...“

“Iya, Sayang. Sudah dulu, ya. Love you too.“

Aku mengepalkan tangan dengan bibir terkatup mendengar tutur katanya pada Mbak Medina yang begitu lembut. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya padaku. Selama ini Mas Hangga selalu bertutur kata datar dan lebih sering tegas. Seingatku hanya saat aku menjalani kuretase saja, dia memperlakukanku agak lembut.

“Loh, Na-naira ... se-sejak kapan kamu di situ?“

Pertanyaannya menyentakku dari lamunan. Aku menggeleng cepat dan buru-buru masuk kamar. Mengunci dan kembali menangis, meratapi nasib buruk yang kini membalut diri.

"Ra ... Naira ... buka pintunya. Aku mau bicara.“

Suara Mas Hangga disertai ketukan pintu membuatku semakin tergugu dalam tangis. Apa lagi yang dia inginkan? Tidakkah puas sudah membuat fisik dan psikisku terguncang?

“Ra ... Maafkan aku. Aku khilaf tadi.“

Kuusap air mata dengan kasar dan mengambil ponsel di dalam laci. Mengacuhkan  suaranya yang terus menyebut namaku. Aku butuh teman curhat supaya hati ini agak tenang.

“Naira ... Buka, Ra!“

Aku menggeleng cepat walau jelas takkan terlihat olehnya dan segera mengirim pesan  di WA grup true best friend.

[Help me, Please.]

Tulisku di kolom komentar dan tak lama Meera, Cantika dan Adila—ketiga sahabatku—tampak sedang mengetik.

[Whats wrong, Nai?] balas Adila diakhir emot terbelalak.

[Ada apa, Zheyeng?] Cantika juga membalas.

[Ada apa, Nairaku Cantik?] Meera ikut membalas.

Baru melihat pesan mereka saja, mata langsung memanas. Tiba-tiba aku merasa ragu. Bisakah menceritakan permasalahan ini dengan lancar? 

[Naira ... kamu baik-baik saja kan?] Pesan dari Adila membuatku lagi-lagi menangis.

[Gue yakin ada yang gak beres sama Naira. Kuy, kita ke rumahnya] tulis Meera.

[Janganlah. Kita ketemuan di luar saja, males gue ketemu wajah ketus suaminya.] balas Cantika.

[Iya sih. Tapi masalahnya, ini si Naira kemana? Kok nggak bales-bales? Bales dong, Nai! Jangan bikin kita panik.] Meera membalas.

Di saat aku kembali tergugu dalam tangis, tiba-tiba ponsel berdering. Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan mengembuskan napas kasar saat melihat nama yang terpampang di layar benda pipih itu.

“Ha-halo ...“ ucapku parau.

“Halo, Nai? Kamu baik-baik saja kan?“ Suara Adila yang terdengar khawatir langsung menyahut.

“I-iya, Dil. Aku baik, kok.“ Aku menjawab seraya menggigit bibir.

“Oh ya? Lalu kenapa ngirim pesan gitu di grup?“ Nada bicaranya terdengar tak percaya.

“Nai ... Kamu lagi ada masalah serius kan?“ tanyanya saat aku tak kunjung menjawab.

“En-nggak, Dil. A-aku hanya bercanda.“ Sekuat tenaga aku menjawab. Terdengar tawaan sinisnya dari jauh sana.

“Nggak usah bohong, Naira! Kita sudah bersahabat sangat lama. Bicaralah! Tak usah mengelak,“ ujarnya. Tubuhku berguncang seketika, menahan tangis yang bersiap kembali meledak.

“Kita ketemua saja, ya, di kafe Vanilla?“

“Atau kami ke rumahmu?“ lanjutnya.

Aku menggeleng cepat.

“Nanti sore sepulang kalian kerja, aku ke kafe Vanilla, Dil. Insya Allah,“ jawabku pelan, setelah cukup bisa mengontrol emosi.

"Baiklah, Nai. Sekarang sarapanlah dulu. Jangan sampai maag-mu kambuh,“ katanya.

“Oke, Dil. Makasih,“ ucapku.

“Sip. Aku kerja dulu, ya. Sampai ketemu nanti,“ katanya. Aku mengangguk dan merebahkan badan sesaat setelah panggilan berakhir.

.

Aku menyeduh coklat dan membawanya ke kamar. Lalu duduk di ranjang sambil menatap laptop yang tengah memutar adegan romantis sebuah drama Korea. Sudah jam sebelas siang, tapi sama sekali tak berminat mengisi perut. Padahal di meja sudah tersedia nasi goreng dan telur dadar yang dibuat Mas Hangga.

Setelah bosan terpekur menatap layar laptop, aku bergegas menghabiskan coklat yang tinggal setengah dan dingin. Lalu bergegas ke kamar mandi. Berendam di bath up sambil menikmati wangi aroma terapi. Tapi kegiatan yang menenangkan itu harus terganggu oleh ketukan di pintu. Mau tak mau aku beranjak dan membilas diri. Walaupun marah, tetap saja, aku harus meminta izinnya saat keluar nanti.

“Ada apa?“ tanyaku ketus setelah membuka pintu dan mendapatinya berdiri dengan tatapan penuh selidik.

“Kamu nggak apa-apa kan, Ra?“ Mas Hangga memindaiku dari atas hingga bawah.

“Kamu masih berani nanya begitu setelah menyakitiku?“ Aku terkekeh pelan. Mas Hangga langsung menarik tanganku.

“Maafkan aku, Ra. Aku mohon ... jangan seperti ini. Maafkan aku dan bersikaplah seperti biasanya,“ katanya.

 Aku tertawa menyeringai. Rasanya ingin sekali mengumpat kasar. Tak habis pikir dengan pemikirannya. Bisa-bisanya dia memintaku bersikap seperti biasanya, sementara keadaannya sudah sangat berubah.

“Aku mohon maafkan aku, Ra ...“

Mas Hangga meraih tanganku dan tiba-tiba percakapannya dengan Mbak Medina tadi di telepon, melintas di angan-angan. Membuat dada sontak terasa sesak, menyadari kalau permintaan maafnya hanya sebuah formalitas saja supaya bisa mendapatkan tanda tanganku.

“Kamu minta maaf karena mau tanda tanganku kan, Mas? Kalau benar begitu, maaf sekali ... aku takkan pernah memberikannya!“ seruku membuat matanya membulat sempurna.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Elma Sukmala
jangan izin kan nai jangan ada tanda tangan.
goodnovel comment avatar
Elios EliosBengkulu
udah bener itu jangan kasih persetujuan istri sah nya
goodnovel comment avatar
Elios EliosBengkulu
iyalah keputusan yg bagus ya...emang segampang itu minta persetujuan nikah lagi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 4

    “Kamu mendengarnya, Naira?“ tanyanya tampak terkejut.Aku hanya tersenyum tipis dan segera menghalau tubuhnya yang menghalangi langkahku. Lalu beranjak membuka lemari, memilih outfit yang cocok dikenakan sore nanti.“Apa yang kamu dengar, tak sesuai dengan apa yang kamu bayangkan, Ra.“Gerakan tanganku terhenti mendengar ucapannya yang sungguh menggelitik. Aku memang tak tahu isi hatinya tapi ucapannya sudah cukup membuatku mengerti.“Memangnya apa yang kubayangkan?“ tanyaku geli.Mas Hangga terdiam.“Tak usah berbohong untuk menutup kebohonganmu yang lain, Mas. Karena semua itu hanya membuatku semakin tak mempercayaimu dan membuat keadaan semakin rumit,“ sahutku sambil menarik tunik baby blue dan celana jeans navy.“Loh kamu mau kemana?“ tanyanya seakan mengalihkan pembicaraan sebelumnya.“Aku mau hang out sama Meera, Cantika dan Adila,“ jawabku sambil menoleh padanya.“Tidak, Ra. Aku tidak mengizinkan,“ katanya sambil menggelengkan kepala.“Kenapa memangnya? Karena mereka nggak ber

    Last Updated : 2024-10-20
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 5

    “M-mas ...““Nelepon siapa kamu?“ tanyanya sambil berjalan tergesa menghampiri. Lalu di detik berikutnya, dia merebut ponsel di tanganku.“Jangan pengaruhi istriku.“ Dia berkata tajam, membuat atmosfer kamar berubah mencekam. Aku menelan ludah dengan payah saat telepon diputus dan pandangan kami bersirobok.“Kamu bilang apa sama mereka?“ tanyanya. Aku menggeleng, “ti-dak. Aku tidak bilang apa—““Bohong!“ sentaknya membuatku spontan meremas sprei. Lalu memejamkan mata saat merasakan jemari panjangnya menyentuh daguku.“Jangan berani membohongiku, Naira,“ ujarnya dingin. Aku membuka mata dan sontak membeliak saat ponsel milikku dibanting dengan kasar.“Mas!“ teriakku tak terima. Kutepis tangannya dan buru-buru memunguti benda pipih yang layarnya sudah pecah. Gegas, kutekan tombol power, berharap masih menyala. Tapi hingga beberapa menit menunggu, layarnya tetap saja gelap.Aku pun bangkit berdiri. Menatapnya nyalang sambil meremas ponsel.“Puas kamu, Mas? Puas?“ teriakku. Mas Hangga han

    Last Updated : 2024-10-20
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 6

    “Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih.“Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna.Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang. “Benar begitu, Naira?“ “Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku.“Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman. Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya.“Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—““Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langs

    Last Updated : 2024-12-13
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 7

    “Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami. Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.Tak ada istilah pacaran untuk hubungan

    Last Updated : 2024-12-14
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 8

    “Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l

    Last Updated : 2024-12-15
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 9

    Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk

    Last Updated : 2024-12-16
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 10

    “Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku

    Last Updated : 2024-12-17
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 11

    “Naira? Kamu Naira kan?“Aku mengerutkan dahi seketika. Dengan mata menyipit, kutatap lekat pemuda berkulit putih terawat itu.“Benarkan, kamu Naira Khairana?“ tanyanya memastikan dengan senyuman lebar. Mau tak mau aku mengangguk, walau bingung juga karna memang tak mengenalnya.“Kamu lupa sama aku?“ tanyanya sambil terkekeh ringan. Seolah kami pernah ....Lelaki itu mengikis jarak di antara kami. Masih dengan senyuman manisnya, dia mengulurkan tangannya. Kini giliranku yang memindai penampilannya. Mengingat-ingat, barangkali dia saudara atau kerabat Mas Hangga, meski rasanya tidak mungkin. Namun hingga beberapa menit berlalu, aku tak berhasil mengenalinya.“Jadi, kamu nggak beneran nggak ingat sama aku?“ Dia kembali melempar tanya. Lalu mendesah, saat aku menganggukkan kepala.“Aku Aric,“ lanjutnya. Aku masih diam, mengingat nama Aric yang pernah hadir di hidupku. Hingga akhirnya terbelalak saat sebuah bayangan melintas di kepala.“Aric? Alaric Daniyal Mahaprana?“ tanyaku memastikan

    Last Updated : 2024-12-18

Latest chapter

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 87

    Menjelang siang, kami kedatangan tamu spesial. Dia Bu Annisa, pemilik butik sekaligus sahabat Bunda saat SMA. Ini kali pertamanya kami bertemu. Karena selama ini memang bahan jahitan dan yang sudah selesai dijahit, diantar jemput oleh pegawai. Dia datang tak seorang diri. Ditemani sang anak yang menunggu di luar. “Jadi ini yang namanya Naira?“ tanyanya saat aku menyalaminya. “Iya, Nis.“ Bukan aku yang menjawab, tapi Bunda. “Masya Allah … Kamu cantik banget, Sayang. Kamu juga masih muda,“ ucapnya. Aku tersenyum tipis “Kamu ada anak secantik ini kenapa diam-diam saja, Any? Tau gini, dari kemarin aku ke sini,“ sambungnya sambil menatap Bunda yang tengah menata cemilan. “Kemarin kan Naira masih dalam masa iddah. Mana bisa aku main kenalin-kenalin aja. Bisa ngantri nanti yang mau jadi jodohnya Naira,“ sahut

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 86

    “Kalian ngapain di sini?“ Pertanyaan itu kembali mengalun dari mulut Teh Alisa. Aku lantas melirik Meera yang menatap iparnya itu datar. “Kita mau ke dapur. Lapar,“ jawab Meera. Lalu dia menarik tanganku. “Ayo, Nai!“ Aku pun lantas mengikuti langkah Meera. Masuk ke dapur, aku dan Meera sama-sama menghela napas lega. “Tadi lo mau ngomong apa?“ tanya Meera. Aku hendak membuka suara, tapi urung karena Teh Alisa ternyata mengikuti kami. Dia bahkan berdiri seperti mengamati kami berdua. “Bukannya di depan masih banyak tamu, ya? Kenapa kamu malah makan?“ tanya Teh Alisa. Dia menatapku seakan ingin mengulitiku saja. “Ya namanya juga lapar. Lagian emak-emak di sana lagi ngobrol sama Bunda, kok. Yaudah, mending kita makan aja.“ Lagi-lagi Meera yang menjawab. Teh Alisa terdengar mendengkus. Lalu meninggalkan kami begitu saja.

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 85

    “Ah … congrat, Nai. Akhirnya lo jadi ibu,“ ucap Meera sambil memelukku. Gadis itu benar-benar tak ada capeknya. Padahal dia baru tiba, tapi langsung datang ke sini untuk menemaniku. “Thanks, Meer. Akhirnya kamu juga jadi Aunty,“ sahutku. Meera mengangguk. Lalu terdiam sejenak sambil menatap ke arah perutku. “Eh, perut lo nggak papa kan, Nai?“ tanyanya. “Its oke, Meer. Im fine.“ Aku menjawab sambil tersenyum. “Syukurlah,“ sahut Meera sambil mengambil cemilan yang entah sejak kapan ada di lemari. “Gue penasaran, kira-kira siapa yang nyelekain lo? Apa jangan-jangan si Alisa ya?“ ujarnya sambil memberikan sebungkus cemilan padaku. “Jangan suuzan!“ sahutku. Meera langsung mengerucutkan bibir. “Bukan suuzan, tapi kan emang cuma dia yang nggak suka sama lo. Kalau sampai dia yang ngelakuin itu, gue nggak bakalan segan laporin dia ke polisi,“

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 84

    ”Assalamualaikum.” Naira dan Bu Anya yang sedang menikmati sarapan lantas menoleh mendengar suara salam dibarengi kedatangan Rio. ”Waalaikumsalam,” jawab keduanya kompak. ”Aku numpang sarapan di sini, Bun.” Tanpa basa-basi, Rio menaruh tas kerjanya di kursi yang kosong. Lalu duduk di samping Bu Anya. ”Alisa nggak masak?” tanya Bu Anya. Tentu saja hanya basa-basi semata. Karena dia tahu, menantunya itu jarang memasak dan lebih sering membeli makanan siap santap. Rio tak menjawab. Dia langsung mengambil dua roti goreng. Lalu menuangkan susu ke gelas yang kosong. ”Kalian bertengkar ya?” Bu Anya menatap putranya intens. Rio masih bungkam. Lebih memilih menggigit roti yang isinya selai kacang coklat. Bu Anya menghela napas panjang. ”Kalau dipikir-pikir kalian itu lebih banyak bertengkarnya daripada akurnya,” celetuknya

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 83

    "Nai, makan dulu!” Naira yang tengah menjahit menghentikan aktifitasnya sejenak, dan lantas menoleh pada Bu Anya. "Bentar, Bun. Tanggung," sahutnya sambil tersenyum nyengir. Bu Anya langsung mencibir. "Tanggung … tanggung. Inget Ada dua janin di perut kamu, Nai," katanya. "lya, Bun. Aku inget, kok." Naira tersenyum nyengir. Bu Anya menghela napas panjang. Malas mendebat, wanita paruh baya berhijab hijau pupus itu lantas mendaratkan bobotnya di kursi depan mesin obras. Lalu menatap perut Naira yang semakin besar. ”Jangan capek-capek, Nai. Kasihan fisik sama dua janin kamu,” cetusnya. Naira tersenyum tipis. "Insya Allah, enggak capek kok, Bun." "Ah, kamu mah ngebales terus. Udah ah, bunda tunggu di ruang makan, ya!” Bu Anya berujar seraya beranjak berdiri. "Iya, Bun." Naira berge

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 82

    ”Loh Medina, wajahmu kenapa?” Mamah Tanti—mertuaku, tampak heran melihat wajah sembab Medina. Medina tak menjawab, dia langsung masuk begitu. Mamah Tanti beralih menatapku. ”Kamu apakan Medina, Hangga?” ”Bapak mana, Mah?” Aku bertanya balik seraya mencium punggung tangannya. Tak lama Bapak mertuaku keluar dari kamarnya. ”Hangga?” Bapak mengerutkan dahi melihat kehadiranku. Aku pun beranjak menghampirinya dan meraih tangannya. ”Ada yang mau Hangga bicarakan sama Mamah sama Bapak,” ujarku sambil menatap ke duanya bergantian. ”Masalah apa?” tanya Mamah Tanti. ”Suruh Hangga duduk dulu, Mah. Ayo, Hangga!” Bapak merangkul bahuku. Aku mengangguk. ”Ada masalah serius?” tanya Bapak. Aku mengangguk pelan. ”Masalah apa?” Bapak kembali bertanya dengan tenang. ”Hangga menalak Medina.”

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 81

    ”Enggak, Mas. Aku nggak setuju. Mas ini keterlaluan! Masalah segitu aja dibesar-besarkan,” ujar Hasna dengan napas memburu cepat. ”Bukan dibesar-besarkan, Hasna. Tapi memang masalahnya besar, kok. Suamimu dan iparmu itu sudah merugikan Masmu. Masa kamu masih mau membelanya,” sahut Ibu. Hasna memalingkan wajah. Seketika air matanya mengaliri pipi. Dia selalu saja begitu. Akan menangis untuk menarik simpati. ”Nggak usah menangis, Hasna. Air matamu tak akan mengubah keputusan mas,” ujarku. ”Mas, pikirkan nasibku dong. Nasib ponakan-ponakanmu,” balas Hasna. ”Iya betul, Hangga. Jangan mengedepankan emosi,” timpal Mas Haris. Aku berdecak pelan. Lucu sekali Mas Haris. Padahal selama ini dia lah yang sering mengedepankan emosi dan ego. ”Maafkan mas, Hangga. Mas melakukan ini juga karena tuntutan Mbakmu. Dia terlalu banyak permintaan. Sementara cicilan kami masih bany

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 80

    "Kamu...." Aku menatap sengit lelaki selingkuhan Naira itu. "Apa kabar, Pak Hangga?" ujarnya santai sambil mengulurkan tangan. "Baik." Aku menjawab tanpa menyambut uluran tangannya. Aric. Lelaki tampan bertubuh atletis itu lantas menarik tangannya. Lalu mengedarkan. pandangan ke sekeliling. "Kebetulan kita bertemu di sini, Pak Hangga. Ada yang mau saya bicarakan sama Anda. Bisa kita bicara sebentar, Pak Hangga?" tanyanya. Aku menatapnya penuh selidik. Mau membicarakan apa? Pamer perselingkuhannya dengan Naira? "Saya mau meluruskan kekeliruan selama ini, Pak. Tentang hubungan saya dengan Khaira," sambungnya. Aku tersenyum sinis. Lihat, dia bahkan mempunyai panggilan khusus untuk mantan istriku itu. "Saya yakin bapak akan menyesal kalau tahu yang sebenarnya." Dia benar-benar cerewet! Aku menghela napas panja

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 79

    Tampaknya, kali ini Medina benar-benar marah. Waktu isya sudah berlalu, dan belum ada tanda-tanda kepulangannya. Untung saja Meisya masih terlelap dalam tidurnya. Untung juga Meisya tak hanya meminum Asi saja. Jadi tak masalah jika tak ada Medina.Suara salam, membuatku beranjak dari sofa. Membukakan pintu dan mendapati Ibu berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang aneh.”Ada apa, Bu?” tanyaku. Ibu tak langsung menjawab, Hanya sedikit menggeser tubuhku. Lalu masuk dan duduk di sofa.”Mana Medina?” tanyanya sambil meliarkan pandangan ke sekeliling.”Nggak tau. Tadi dia merajuk gara-gara kusuruh masak,” jawabku. Ibu tampak tersenyum kecut.”Ibu lihat dia di kafe baru deket mini market. Sama laki-laki,” ujarnya membuat mataku terbelalak. Benarkah? Tapi sesaat setelah melahirkan, Medina sudah janji tak akan menduakanku. ”Coba kamu samperin sana!” serunya. Aku mengembuskan napas kasar.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status