“Naira? Kamu Naira kan?“Aku mengerutkan dahi seketika. Dengan mata menyipit, kutatap lekat pemuda berkulit putih terawat itu.“Benarkan, kamu Naira Khairana?“ tanyanya memastikan dengan senyuman lebar. Mau tak mau aku mengangguk, walau bingung juga karna memang tak mengenalnya.“Kamu lupa sama aku?“ tanyanya sambil terkekeh ringan. Seolah kami pernah ....Lelaki itu mengikis jarak di antara kami. Masih dengan senyuman manisnya, dia mengulurkan tangannya. Kini giliranku yang memindai penampilannya. Mengingat-ingat, barangkali dia saudara atau kerabat Mas Hangga, meski rasanya tidak mungkin. Namun hingga beberapa menit berlalu, aku tak berhasil mengenalinya.“Jadi, kamu nggak beneran nggak ingat sama aku?“ Dia kembali melempar tanya. Lalu mendesah, saat aku menganggukkan kepala.“Aku Aric,“ lanjutnya. Aku masih diam, mengingat nama Aric yang pernah hadir di hidupku. Hingga akhirnya terbelalak saat sebuah bayangan melintas di kepala.“Aric? Alaric Daniyal Mahaprana?“ tanyaku memastikan
“Darimana saja kamu?““Mas?“ Aku menatapnya bingung sambil masuk melewati tubuhnya.“Darimana saja kamu?“ tanyanya lagi. Aku buru-buru menaruh belanjaan di atas meja makan. Lalu menatap wajahnya yang masih memerah, dan tiba-tiba saja teringat Aric. Apa mungkin Mas Hangga melihatku turun dari mobil Aric?“Aku kan sudah bilang, mau cari rumah sewaan,“ jawabku setenang mungkin.“Oh ya?“ Suaranya terdengar meremehkan. Membuatku dilanda keraguan.“Mas nggak percaya?“ tanyaku sambil menyentuh dagunya, tapi dia langsung menepisnya. Lalu mengembuskan napas kasar.“Tadi ada yang bilang, kamu turun dari mobil mewah,“ katanya dengan tangan mengepal. Aku tersenyum sinis. Apa mungkin dia cemburu?“Itu grabcar, Mas. Orang kaya gabut, nge-grab pake mobil mewah,“ sahutku sekenanya.“Kamu nggak bohong kan?“ tanyanya dengan mata memicing. Aku terkekeh sinis.“Kenapa bertanya seperti itu, sementara kamulah yang banyak berbohong padaku?“ balasku santai. Tubuhnya tampak menegang dan tangannya pun mengepal
“Dodol!“ Aku mengumpat kesal dan langsung membeku saat pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Kamu lagi apa?“ Mas Hangga merangsek masuk dengan mata tertuju pada tangan ini. Buru-buru kusembunyi ponsel di bawah karpet dan tersenyum paksa.“Kamu nggak macam-macam kan?“Aku langsung mengernyit mendengar pertanyaannya. Macam-macam apa maksudnya? Aku hendak berdiri, tapi Mas Hangga langsung menahan pundakku. Lalu dengan cepat berjalan ke sofa. Membuka bed sofa dengan tergesa.“Apa itu, Mas?“ tanyaku pura-pura tak tahu saat tangannya menggenggam sebuah map berwarna hitam.“Sertifikat toserba di Jalan Maleber,“ jawabnya disertai senyuman menyeringai. Membuat wajahku memanas.“Kamu tidak sedang mencari ini kan?“ tanyanya. Aku menggeleng ragu.“Benarkah?“ Dia tersenyum menyeringai. Aku mengembuskan napas kesal.“Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Apa kamu takut aku mencuri aset-asetmu?“ tanyaku kesal. Dia langsung terdiam.“Kalau benar begitu, kamu keterlaluan, Mas. Selama ini aku tak pernah m
Saat sibuk membuka lemari rusak berisi perabotan bekas, tanpa sengaja mataku menangkap sebuah koper kecil berwarna hitam. Dengan ragu, aku membuka koper yang ternyata tak dikunci dan tersenyum lebar saat melihat isi di dalamnya. Sesuatu yang dicari ada di sana. Bahkan ada juga perhiasan yang sepertinya milik Ibu.[Aku nemu ini.] Aku segera mengarahkan ponsel pada tumpukan map dengan nama-nama berbeda.[Kereeen. Ambil semua, Nai.] balas Cantika.[Jangan!] balas Adila.[Kenapa?] balas Meera. Aku sendiri tak sempat membalas karena Adila langsung memanggil. Panggilan konferensi, dimana Meera dan Cantika sudah terhubung.“Coba pastikan satu persatu, Nai. Milik siapa saja sertifikat itu,“ katanya.“Kenapa harus dipastikan, Dil? Mending ambil saja langsung.“ Cantika menimpali.“Enggak, Can ... kita nggak boleh gegabah. Nanti bukannya untung, Naira malah buntung,“ sahut Adila.
Kuembuskan napas kasar. Lalu iseng membuka akun facebook di laptop. Berharap bisa menemukan hiburan di sana. Tapi lagi-lagi, hati yang sudah patah, dihancurkan tanpa ampun saat melihat foto yang diunggah Mas Hangga.Menikah lagi dengan restu dari istri pertama.Alhamdulillah, berkah.#poligamisyari#satuistribelumcukup#poligamiberkah#poligamijalansurga.Begitulah caption yang diberikannya pada sebuah fotonya yang tengah memeluk Mbak Medina. Melihat itu air mata lagi-lagi luruh dan aku kembali tergugu saat menulusuri isi akunnya. Begitu banyak hal yang tak kuketahui. Di akun facebooknya, Mas Hangga mengekspresikan perasaannya yang jelas bukan untukku melainkan untuk Mbak Medina. Begitu banyak foto kebersamaannya dengan maduku itu yang diunggah dari beberapa bulan lalu. Salahsatunya saat lamaran. Aku memejamkan mata, mengingat hal-hal yang terjadi di beberapa bulan ke belakang. Hingga satu hal langsung membayang di ingatan. Waktu dimana Mbak Medina mengunggah cincin emas putih di
“Naira! Naira!“Aku mengernyit mendengar lengkingan Mas Hangga yang semakin terdengarnya. Tak mengindahkannya, aku masih berkutat membenarkan letak hijab. Hari ini ada janji interview dengan pemilik toko tekstil—temannya Adila. Jadi, aku tidak boleh telat.“Naira!“Kali ini lengkingan itu disertai suara pintu terbuka. Lalu disusul Mas Hangga yang masuk dengan langkah tergesa dan mata memerah.“Kamu apakan Ibuku, Naira?“ teriaknya. Aku yang tak menduga hal itu, masih diam dan berusaha tenang.“Naira!“ Mas Hasan menarik lenganku, kasar. Hingga tubuhku terhuyung padanya.“Ada apa sih, Mas?“ tanyaku datar. Bola matanya tampak membulat sempurna, seakan ingin meloncat dari kelopaknya.“Ada apa kamu bilang?“ Dia tertawa menyeringai.“Kamu apakan Ibuku?“ tanyanya lagi sambil mencengkram lenganku kuat-kuat. Aku mengangkat wajah, menahan sakit yang menjalar di sekitar lengan.
“Siapa yang melakukannya, Khai?““Me-lakukan apa?“ tanyaku gugup. Aric tersenyum miring.“Siapa yang melukaimu?“Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Setelah menelan saliva kasar, aku menggeleng dan menutup sudut bibir dengan telapak tangan.“Tadi aku jatuh di kamar dan bibirku kepentok sudut meja rias,“ jawabku tanpa menatapnya.“Oh ya?“ Dia mendekatkan wajahnya membuatku sontak memundurkan kepala.“Bukan bekas tamparan kan, Khai?“ tanyanya, terdengar curiga. Aku menggeleng cepat. Tak berani menceritakan perlakuan kasar Mas Hangga, kecuali pada Meera, Adila dan Cantika.“Kalau dilihat lebih dekat, pipimu juga agak merah, Khai. Mirip bekas ... tamparan,“ lanjutnya. Tubuhku langsung menegang, tapi dengan cepat kualihkan pembicaraannya.“Aku ada janji interview, Ric.“ Aku beranjak berdiri tapi Aric langsung menahan tanganku.“Kita sarapan dulu, ya?“Aku menggigit bibir. Sebenarnya memang terlalu pagi untuk temu janji interview. Tapi berdua dengannya, hanya membuat perasaan tak karuan.
“Kita mau kemana? Aku harus masuk lagi,“ ujarku berteriak.“Masuknya kan nanti jam satu lebih, Khai. Ini baru jam dua belas lewat lima belas menit,“ jawabnya.“Ta-pi—““Aku nggak terima penolakan, Khairana!“ serunya sambil menambah kecepatan, membuatku reflek memeluk pinggangnya dan menempelkan pipi pada punggung kokohnya.“Sampai.“ Dia berujar saat mobil berhenti tepat di depan rumah makan padang. “Ayo!“ katanya saat aku belum turun, masih menatap bangunan besar di hadapanku. Melihat bangunan yang berlapiskan cat kuning itu, membuatku teringat pada Mas Hangga. Dulu, di awal pernikahan, dia sering mengajakku ke tempat ini. Hampir tiap minggu, dia membawaku keluar hanya untuk makan siang atau makan malam. Tapi di tahun kedua pernikahan, semua itu tak lagi dilakukannya. Karena Ibu memprotes, katanya makan di luar hanya menghamburkan uang saja.“Hei, kok malah melamun sih? Ayo masuk.“ Ar
Naira mengeratkan rahangnya. Ketika ingin menyanggah, dengan cepat Sean menggandeng tangannya. Membawanya menghampiri si kembar. “Hai, Jagoan!“ Sean menyapa si kembar. Membuat kedua bocah itu langsung membalikkan badan. “Om Sean!“ Razka langsung memekik kaget bercampur senang. “Hai, Razka.“ Sean menyahut tersenyum. Lalu mengulurkan tangan. Melakukan kebiasaan setiap kali bertemu. Berjabat tangan dan ber-tos ria. Sementara Shaka hanya mendelik dengan wajah datarnya. Dibanding Razka, dia memang tak begitu dekat dengan Sean. Bahkan seringkali memasang wajah masam saat bertemu. “Hai, Shaka.“ Sean beralih menatap Shaka sambil mengulurkan tangan. Shaka menyambutnya singkat tanpa senyuman. “Om mau ngapain ke sini? Jangan ganggu momen kami dulu, Om. Hari ini harinya Mommy sam
“Oke.“ Naira menyahut lesu. Lalu mematikan panggilan lebih dulu dan mengembalikan ponsel itu pada Bu Anya. “Kenapa? Ribut lagi?“ tanya Rio sambil melirik Naira dari kaca depan. Naira tak menjawab, hanya tersenyum nyengir. “Udahlah putus aja, Nai. Belum jadi suami aja udah begitu. Apalagi kalau nanti udah jadi suami,“ sambung Rio. Dia ikut kesal dengan sikap Sean yang menurutnya lebay. “Nggak usah ngompor-ngomporin. Wajar Sean begitu. Itu tandanya dia cinta sama Naira.“ Naira tersentak kaget mendengar ucapan Bu Anya. Begitupun dengan Alisa dan Rio. Namun ketiganya hanya bergeming, tak berani menyanggah. “Kamu itu harusnya mendukung hubungan Naira dan Sean. Nggak usah mengharapkan Aric yang nggak pasti. Masalah protektif gitu, ya wajar. Namanya juga orang udah tunangan,“ ujar Bu Anya. Naira seketika menunduk sambil mencengkram tab
Naira tersenyum kecut mendengar ucapan Bu Anya. Batinnya meronta. Ingin dia mengatakan kalau hubungannya dengan Sean tak seperti hubungan sepasang kekasih pada umumnya. Dimulai dari Bu Annisa yang memintanya menemani Sean di acara pernikahan sepupunya. Awalnya Naira menolak. Tapi melihat Bu Annisa yang memohon-mohon, Naira pun terpaksa menyanggupinya. Siapa sangka, setelah acara selesai, Sean malah menyatakan perasaannya pada Naira di depan keluarga besarnya. Tak tanggung-tanggung, lelaki itu juga mempersiapkan cincin berlian untuknya. Naira tentu saja ingin menolak, tapi lagi-lagi tatapan memelas Bu Annisa membuatnya tak tega. Terlebih melihat wanita paruh baya itu menangkupkan tangan di dada. Akhirnya Naira terpaksa menerika Sean. Hubungan mereka pun mengalir seperti air. Tapi tidak dengan perasaan Naira. Satu tahun berlalu, perasaannya untuk Sean masih belum kunjung tumbuh. Bahkan Naira bern
Masuk ke butik, aku mendapati pemandangan yang membuat bibir ini melengkung tipis. Apa lagi kalau bukan kelakuan Mega dan teman-temannya yang berbisik-bisik sambil meliriknya. Namun aku menghiraukannya. Biarlah mereka mau menilaiku seperti apa. Aku tak peduli. Baru saja menghempaskan bobot di kursi, ponselku berdering. Bu Annisa menelepon. “Nai, tolong kamu temui calon klien kita dari Bali. Katanya sebentar lagi dia nyampe. Kamu ajakin dia ngobrol sambil nunggu saya datang,“ katanya. “Baik, Bu.“ Setelah panggilan terputus, aku menghela napas panjang seraya menyandarkan punggung yang terasa pegal. Tak lama tamu yang dimaksud Bu Annisa pun datang. Dia datang bersama suaminya. Aku bergegas menyambutnya seramah mungkin. Sembari menunggu Bu Annisa, aku pun mencoba menanyakan pakaian apa yang diinginkannya. Ternyata dia ingi
Kami pun melanjutkan aktifitas yang sempat tertunda tadi. Hingga tak terasa, tiga jam berlalu. Calon pengantin pun pamit undur diri, setelah menemukan kain yang cocok juga desain yang dibuat ala kadarnya oleh Bu Annisa. ** Setelah itu, aku dan Bu Annisa, memilih mampir dulu ke kafe. Selain ingin membasahi tenggorokan yang terasa kering. “Kalau ada yang ganti model seperti mereka, Ibu suka bete nggak?“ tanyaku saat kami sedang menunggu pesanan datang. “Bete sih ada, Nai. Tapi masih mending sih daripada gaunnya udah jadi, terus dicancel. Kalau gaunnya udah jadi, nyesek minta ampun,“ jawabnya. Aku menatap dengan mata membulat. “Emangnya pernah kejadian seperti itu, Bu?“ tanyaku. Bu Annisa mengangguk. “Pernah dong. Ya, walaupun mereka udah bayar uang muka, tetep saja ibu rugi, Nai. Soalnya gaun pengantin kan sizenya khusus,“ tuturnya. Aku mengangguk membenarkan. Tak lama
Linata Sulcha. Iseng, aku membuka profilnya. Melihatnya sekilas saja, aku sudah bisa menyimpulkan kalau dia bukan dari kalangan biasa. Selain wajahnya glowing, dia juga mengenakan barang-barang kenamaan dunia. Namun sayang, tak kutemui satu pun fotonya bersama kekasihnya. Hingga jemari ini tertuju pada feed berjudul ‘Love bird’. Dengan rasa penasaran yang cukup tinggi, aku membukanya. Jantung rasanya seperti berhenti saat melihat sosok Aric-lah yang dimaksud dia sebagai kekasih. Bukan hanya satu foto, tapi ada banyak foto Aric di dalamnya. Dengan gaya berbeda tentunya. Tak lama masuk lagi DM dari gadis itu. [Ada banyak foto Mbak di hp kekasihku, dan aku merasa sangat terganggu.] Tak kubalas pesannya, tapi langsung memblokirnya. Tak hanya dia, aku juga langsung mencari akun milik Aric. Lalu memblokirnya juga. ** Gegara DM dari gadis bernama Linata Sulcha
Aku mendengus pelan. Lalu pura-pura berdehem. Seketika, mereka pun menoleh padaku dengan wajah memerah. “Terimakasih, ya,“ ucapku. Mereka lantas saling lirik. “Terimakasih sudah mentransfer pahala buat aku,“ jelasku seraya melewati mereka begitu saja. ** Setelah waktu istirahat habis, aku kembali disibukkan dengan kegiatan baruku. Menerima beberapa panggilan dan mengatur jadwal pertemuan para klien baru dengan Bu Annisa. Ternyata begini rasanya jadi asisten. Lumayan repot. “Nai, sini, Sayang!“ Aku beranjak dari mejaku kala mendengar panggilan dari Bu Annisa. “Sini, duduk!“ titahnya. Aku pun lantas mengempaskan bobot di sampingnya. “Menurut kamu, kira-kira apa ya kurangnya desain ini?“ tanyanya sambil memperlihat hasil desain ballgown. “Apa ya?“ tanyaku seraya memperhatikannya lebih dekat. “Ini calon pengantinnya n
“Ya, kamu benar. Kira-kira pakai apa?“ tanya Bu Annisa. Aku mendekat padanya. “Bisa ditutup dengan kain tile berwarna senada, Bu. Lalu diberi hiasan payet untuk mempercantik bagian tilenya,“ jawabku. Bu Annisa tersenyum. Lalu menyuruhku mengambil sampel tile yang ada di kotak di sudut ruangan. Dia memintaku langsung memprakteknya. Sementara si calon pengantin dan ibunya hanya mengamati saja. Jujur, aku nervous. rasanya seperti sedang ujian saja. Setelah memotong tile berwarna senada, aku pun coba mengaplikasikannya ke gaun itu. Tak lupa dengan payet-payet. “Bagaimana, Rat? Nau?“ tanya Bu Annisa pada calon pengantin dan ibunya. “Oke banget, Tan. Menutup belahan dada, tapi tetap cantik,“ jawab si calon pengantin. Aku tersenyum lega mendengarnya. Setelahnya, Bu Annisa pun memanggil dua orang dari bagian jahit dan payet. ** Hari ini cukup melelahkan. Selep
Setelah perkenalan dengan beberapa pegawai, sekarang di sinilah aku ditempatkan. Di salah satu sudut di ruangan Bu Annisa. Ternyata Bu Annisa bukan hanya memperkenalkanku sebagai desain baru, tapi juga asistennya. Sebuah kejutan luar biasa bagiku yang tak mempunyai basic di bidang ini. “Nai, ini job desk kamu. Dipelajari baik-baik, ya.“ Aku yang tengah membereskan meja tempatku bekerja lekas menerima sebuah diktat yang diberikan Bu Annisa. “Baik, Bu,“ sahutku. “Kalau ada yang nggak kamu pahami, tanyakan saja,“ katanya. “Baik, Bu.“ Aku mengangguk pelan. Bu Annisa pun kembali ke mejanya. Setelah sosoknya berjibaku dengan buku sketsa, aku pun lekas mempelajari job desk. Tadi setelah berkenalan dengan karyawan lain, Bu Annisa bilang, asisten dia sebelumnya resign mendadak karena hamil muda yang mengharuskan bed rest. Sedangkan Bu Annisa butuh asisten dalam waktu cepat. Oleh kar