Saat sibuk membuka lemari rusak berisi perabotan bekas, tanpa sengaja mataku menangkap sebuah koper kecil berwarna hitam. Dengan ragu, aku membuka koper yang ternyata tak dikunci dan tersenyum lebar saat melihat isi di dalamnya. Sesuatu yang dicari ada di sana. Bahkan ada juga perhiasan yang sepertinya milik Ibu.
[Aku nemu ini.] Aku segera mengarahkan ponsel pada tumpukan map dengan nama-nama berbeda.[Kereeen. Ambil semua, Nai.] balas Cantika.[Jangan!] balas Adila.[Kenapa?] balas Meera.Aku sendiri tak sempat membalas karena Adila langsung memanggil. Panggilan konferensi, dimana Meera dan Cantika sudah terhubung.“Coba pastikan satu persatu, Nai. Milik siapa saja sertifikat itu,“ katanya.“Kenapa harus dipastikan, Dil? Mending ambil saja langsung.“ Cantika menimpali.“Enggak, Can ... kita nggak boleh gegabah. Nanti bukannya untung, Naira malah buntung,“ sahut Adila.Kuembuskan napas kasar. Lalu iseng membuka akun facebook di laptop. Berharap bisa menemukan hiburan di sana. Tapi lagi-lagi, hati yang sudah patah, dihancurkan tanpa ampun saat melihat foto yang diunggah Mas Hangga.Menikah lagi dengan restu dari istri pertama.Alhamdulillah, berkah.#poligamisyari#satuistribelumcukup#poligamiberkah#poligamijalansurga.Begitulah caption yang diberikannya pada sebuah fotonya yang tengah memeluk Mbak Medina. Melihat itu air mata lagi-lagi luruh dan aku kembali tergugu saat menulusuri isi akunnya. Begitu banyak hal yang tak kuketahui. Di akun facebooknya, Mas Hangga mengekspresikan perasaannya yang jelas bukan untukku melainkan untuk Mbak Medina. Begitu banyak foto kebersamaannya dengan maduku itu yang diunggah dari beberapa bulan lalu. Salahsatunya saat lamaran. Aku memejamkan mata, mengingat hal-hal yang terjadi di beberapa bulan ke belakang. Hingga satu hal langsung membayang di ingatan. Waktu dimana Mbak Medina mengunggah cincin emas putih di
“Naira! Naira!“Aku mengernyit mendengar lengkingan Mas Hangga yang semakin terdengarnya. Tak mengindahkannya, aku masih berkutat membenarkan letak hijab. Hari ini ada janji interview dengan pemilik toko tekstil—temannya Adila. Jadi, aku tidak boleh telat.“Naira!“Kali ini lengkingan itu disertai suara pintu terbuka. Lalu disusul Mas Hangga yang masuk dengan langkah tergesa dan mata memerah.“Kamu apakan Ibuku, Naira?“ teriaknya. Aku yang tak menduga hal itu, masih diam dan berusaha tenang.“Naira!“ Mas Hasan menarik lenganku, kasar. Hingga tubuhku terhuyung padanya.“Ada apa sih, Mas?“ tanyaku datar. Bola matanya tampak membulat sempurna, seakan ingin meloncat dari kelopaknya.“Ada apa kamu bilang?“ Dia tertawa menyeringai.“Kamu apakan Ibuku?“ tanyanya lagi sambil mencengkram lenganku kuat-kuat. Aku mengangkat wajah, menahan sakit yang menjalar di sekitar lengan.
“Siapa yang melakukannya, Khai?““Me-lakukan apa?“ tanyaku gugup. Aric tersenyum miring.“Siapa yang melukaimu?“Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Setelah menelan saliva kasar, aku menggeleng dan menutup sudut bibir dengan telapak tangan.“Tadi aku jatuh di kamar dan bibirku kepentok sudut meja rias,“ jawabku tanpa menatapnya.“Oh ya?“ Dia mendekatkan wajahnya membuatku sontak memundurkan kepala.“Bukan bekas tamparan kan, Khai?“ tanyanya, terdengar curiga. Aku menggeleng cepat. Tak berani menceritakan perlakuan kasar Mas Hangga, kecuali pada Meera, Adila dan Cantika.“Kalau dilihat lebih dekat, pipimu juga agak merah, Khai. Mirip bekas ... tamparan,“ lanjutnya. Tubuhku langsung menegang, tapi dengan cepat kualihkan pembicaraannya.“Aku ada janji interview, Ric.“ Aku beranjak berdiri tapi Aric langsung menahan tanganku.“Kita sarapan dulu, ya?“Aku menggigit bibir. Sebenarnya memang terlalu pagi untuk temu janji interview. Tapi berdua dengannya, hanya membuat perasaan tak karuan.
“Kita mau kemana? Aku harus masuk lagi,“ ujarku berteriak.“Masuknya kan nanti jam satu lebih, Khai. Ini baru jam dua belas lewat lima belas menit,“ jawabnya.“Ta-pi—““Aku nggak terima penolakan, Khairana!“ serunya sambil menambah kecepatan, membuatku reflek memeluk pinggangnya dan menempelkan pipi pada punggung kokohnya.“Sampai.“ Dia berujar saat mobil berhenti tepat di depan rumah makan padang. “Ayo!“ katanya saat aku belum turun, masih menatap bangunan besar di hadapanku. Melihat bangunan yang berlapiskan cat kuning itu, membuatku teringat pada Mas Hangga. Dulu, di awal pernikahan, dia sering mengajakku ke tempat ini. Hampir tiap minggu, dia membawaku keluar hanya untuk makan siang atau makan malam. Tapi di tahun kedua pernikahan, semua itu tak lagi dilakukannya. Karena Ibu memprotes, katanya makan di luar hanya menghamburkan uang saja.“Hei, kok malah melamun sih? Ayo masuk.“ Ar
Aku berjalan dengan pelan menuju kamar, tapi kemudian tubuh membeku saat kurasakan sebuah tangan melingkar di pinggang ini.“Maafkan aku, Ra ...“Buru-buru kulepas tangannya, tapi Mas Hangga tak menyerah dan kembali memeluk dengan erat. Lalu menjatuhkan tubuh ini di ranjang.“Lepaskan aku!“ seruku dengan suara tertahan. Dia menggeleng dan kepalanya malah merangsek ke dalam hijabku. Mengecup leher ini, membuat tangisku kembali pecah. Terlalu banyak luka yang dia torehkan, membuatku enggan dicumbunya.“Kenapa? Kenapa kamu menangis?“ tanyanya sambil beranjak dari tubuhku.“Kamu masih tanya aku kenapa, setelah apa yang tadi pagi kamu lakukan padaku?“ tanyaku miris. “Lihat ini, Mas. Gara-gara ulahmu ini, aku harus merasakan perih tiap membuka dan menggerakan bibir,“ lanjutku sambil memegang sudut bibir dengan jemari. Dia langsung menangkap tanganku, matanya menyorot sudut bibir yang kini sudah kering. Tapi masih menyisakan sedikit perih.“Maaf, Ra. Tadi aku kelepasan,“ ucapnya.“Andai saj
Aku tersenyum sinis. Merebut kembali ponselku yang kini tengah dipandanginya.“Di matamu, aku ini memang tak pernah ada benarnya kan? Aku selalu salah dan mereka selalu benar,“ ujarku dengan suara bergetar.“Bu-kan begitu, Ra. Aku hanya ...“ sahutnya rancu.“Sudahlah, Mas. Aku ngantuk, besok aku kerja,“ ucapku sambil menutupi badan dengan selimut. Tapi Mas Hangga kembali menahan pergerakanku. Dalam satu sentakan, dia menarik selimut itu dan melemparnya sembarang.“Aku kangen kamu, Ra. Kangen Nairaku yang dulu, yang lembut, penurut,“ ucapnya sambil menyentuh pipiku.“Kemana perginya Nairaku? Kenapa kamu berubah?“ tanyanya. Aku memalingkan wajah, menahan kelopak mata yang tiba-tiba memanas. Apa dia sedang mengingau? Seharusnya aku yang bertanya demikian. Kemana perginya Mas Hanggaku yang dulu? Mas Hangga yang tak romantis tapi tak ringan tangan. Mas Hangga yang selalu menenangkanku dengan ucapan bijaknya,
“Kamu tidak bohong kan? Ingat loh, Mas ... tadi kamu sendiri yang bilang kita mulai lagi dari awal. Jadi kuharap jangan ada lagi dusta diantara kita,“ ucapku tegas. Dia langsung menunduk dan meraih kedua tangan ini.“Maafkan aku, Ra ... Maafkan aku ...“ katanya dengan suara bergetar.“Jangan bilang kalau yang hilang itu sertifikat rumah untuk Mbak Medina?“ ujarku dengan mata membulat. Mas Hangga mengangguk dan aku yang pura-pura kaget, menutup mulut dengan telapak tangan.“Serius?“ tanyaku memastikan.Mas Hangga kembali mengangguk.“Jawab, Mas!““Iya, Ra. Yang hilang sertifikat rumah untuk Medina,“ jelasnya. Aku menghela napas dalam dan berat.“Hal sebesar itu kamu sembunyikan dari aku, Mas?“ Aku meninju pelan dadanya.“Kamu anggap aku apa ini, Mas? Kenapa tak pernah melibatkanku atau minimal memberitahuku?“ lanjutku. Mas Hangga kembali menunduk dan kembali meminta maaf.“Maafmu tidak berguna, Mas. Dan mungkin hilangnya sertifikat itu juga teguran buat kamu supaya sadar diri, kalau ak
Meera menghentikan mobil di pelataran Vallery Textille. Aku terdiam sejenak, menilik penampilan hari ini. Tadi setelah sarapan, Meera dan Cantika memaksaku mengganti pakaian yang menurut mereka ndeso. Hingga akhirnya kemeja pink dan celana bahan warna hitam yang kukenakan, terpaksa diganti dengan blouse vintage mocca dan celana jeans hitam milik Meera. Hijab langsungan yang menutup kepala pun, mereka ganti dengan pashmina plisket. Tak lupa make up tipis sebagai penyempurna penampilan. Membuatku agak risih, karena merasa style hari ini bukanlah diriku.“Lo masih betah di mobil, Nai?“ Pertanyaan Meera membuatku tersentak kaget. Aku tersenyum kaku dan gegas keluar dari mobilnya.“Nanti pulang kerja, jangan lupa nyempetin beli baju-baju cantik. Jangan pelit sama diri sendiri,“ kata Meera saat aku melambaikan tangan.“Iya, Bawel.“ Aku menyahut ketus. Membuatnya terkekeh geli.“Gue berangkat, ya. Jangan
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme
Naira memutar bola matanya, tak ingin memperpanjang obrolan. Dia tahu betul, kalau Aric sudah punya rencana, sulit baginya untuk mengubah keputusan lelaki itu. “Taksinya sudah datang. Ayo, Babe!“ seru Aric sambil mengambil alih koper Naira. Naira pun mengikutinya dengan bibir mengerucut. Sejujurnya dia ingin pulang ke rumahnya. Lalu bertemu si kembar. “Kenapa cemberut terus?“ tanya Aric saat di perjalanan menuju hotel. “Aku kangen si kembar,“ jawab Naira sendu. “Maaf, ya. Tapi ini juga demi kelancaran segalanya. Setelah dari acara Hilma, kita langsung ke rumahmu. Aku akan meminta izin langsung sama si kembar,“ sahut Aric. Naira menghela napas panjang. “Oke deh.“ Pagi cukup cerah saat Naira sibuk mematut dirinya di cermin. Jika biasanya dia mengenakan gaun buatannya sendiri, kali ini Naira mengenakan gaun berwarna pastel yang dua hari lalu dibeli Aric. Gaun itu tampak elegan, menawan tapi tak mencolok. Ukurannya pun begitu pas di tubuh Naira. “Kok deg-degan ya?“ gu
“Ric, kenapa?“ Naira kembali bertanya. Aric kembali mengusap wajahnya. “Malam ini dan seminggu ke depan, kamu tidur di sini ya?“ katanya. “Sama kamu?“ tanya Naira. “Maunya sih begitu,“ jawab Aric sambil membuang napas “Tapi no! Aku mau nginep di apartemen temanku saja, Babe. Aku nggak yakin bisa menahan diri kalau dekat-dekat terus sama kamu,“ jawab Aric. Seketika hati Naira dipenuhi haru. “Kamu …“ “Aku nggak yakin bisa menjaga diri kalau berada di dekatmu, Khai. Sekarang hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum kita halal,“ ujar Aric. Seketika air mata Naira mengalir. Bukan air mata sedih, tapi haru. “Kok nangis? Sedih nggak aku sentuh?“ kelakar Aric. Naira langsung mengerucutkan bibirnya. “Baru aja aku terharu, eh kamu malah bikin kesel,“ katanya. Aric pun tertawa lepas. “Udah masuk jam makan siang. Kita cari makan dulu, yuk!“ ajak Aric. “Boleh. Tapi shalat dulu, ya!“ balas Naira. “Oke.“ ** Aric membawa Naira ke sebuah restoran halal langganannya. Sebe
“Nggak! Aku nggak mau!“ seru Aric dengan mata melotot.Mendengar penolakan Aric, dunia Naira seolah runtuh. Naira menghela napas sejenak, lalu berbalik hendak meninggalkan Aric. Tapi sedetik kemudian, Aric menarik tangannya dengan kencang hingga Naira jatuh ke pelukannya.Naira mengerjap pelan. Dahinya sedikit mengerut, mencerna apa yang sebenarnya diinginkan Aric.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Khai? Tadi kamu bilang membutuhkanku, mencintaiku, tapi kenapa tiba-tiba tiba-tiba kamu bilang ingin bersahabat denganku? Jangan main-main dengan hatiku, Khaira!“ serunya tegas dengan suara tertahan.“Aku nggak main-main, Ric. Aku hanya ….“ Naira tak mampu menyelesaikan perkataannya.“Aku nggak mau kalau hanya jadi sahabatmu, Khai. Aku bosan jadi sahabatmu. Dari SMP sampai setua ini, tak bisakah aku menjadi pendamping hidupmu, Khai? Memilikimu seutuhnya?“ Aric menatap Naira lekat-lekat. Naira menelan salivanya susah payah. Lidahnya terasa kelu, tak tahu harus berkata apa lagi setelah men
“Jadi gimana, Nai? Lo masih belum ketemu Aric?“ tanya Meera. Malam itu, sepulang dari rumah sakit, Naira melakukan video call dengan ketiga sahabatnya. “Belum, Meer.“ Naira menjawab lesu dengan mata berkaca-kaca. “Si Erlangga nggak ngerjain Lo kan, Nai?“ sahut Cantika. Naira mengangkat bahu. “Keknya sih enggak. Cuma emang kebijakan rumah sakitnya ketat. Andai punya nomor Aric, pasti nggak bakalan sesusah ini,“ keluhnya. Ke tiga sahabatnya saling melirik. Merasa iba pada Naira. Melihat seberapa besar effort perempuan itu mengejar cintanya. “Lo nggak punya nomor Erlangga juga?“ tanya Meera. “Enggak, Meer.“ Naira menghela napas berat. “Terus gimana? Kamu masih mau di situ atau gimana?“ tanya Adila. Naira terdiam sejenak. “Aku … belum tahu.“ Naira tak mau mengatakan kalau tabungannya menipis. Dia takut ke tiga sahabatnya itu turun tangan membantunya. Setelah panggilan video call berakhir, Naira berbaring miring sambil memeluk guling. Memikirkan apa kiranya langkah yang harus di
Naira duduk di tepi ranjang hotelnya, menatap ke luar jendela yang berembun. Udara terasa menusuk, meski penghangat ruangan menyala. Langit di luar tampak kelabu, menandai musim gugur yang nyaris berakhir. Dia menarik nafas panjang, menyentuh kaca jendela dengan ujung jarinya, menyeka embun tipis yang menghalangi pandangannya. Trotoar di bawah sudah mulai ramai. Orang-orang berjalan terburu-buru, membungkus diri dengan mantel tebal, seolah tak sabar ingin menghindari dingin. Dari kejauhan, Naira melihat sekelompok burung kecil berterbangan, mencari tempat berlindung. Pemandangan itu membuatnya termenung. “Musim salju hampir tiba,” gumamnya pelan, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Pagi itu terasa berbeda, bukan hanya karena udara yang dingin, tetapi juga karena hatinya yang masih bertahan dalam kegelisahan. Ada harapan kecil yang terus dia jaga, meski perlahan mulai meredup. Setelah mengisi perut, Naira kembali ke rumah sakit dengan semangat baru. Dia yakin, hari kedua akan berbe
Waktu berlalu, Naira sibuk menyiapkan keberangkatannya. Dia sudah memesan tiket pesawat, hotel selama di sana, mencari tahu tentang rumah sakit tempat Aric bekerja, dan memastikan semua kebutuhan si kembar terpenuhi.“Mommy nggak bakalan lama kan ke luar negerinya?“ tanya Razka saat Naira meminta izin sebelum menidurkan mereka.Naira mengangguk sambil membelai rambut putra Razka dan Shaka bergantian.“Insya Allah, paling lama seminggu, Sayang. Selama mommy pergi, kalian jangan bertengkar, harus saling mengayomi,“ kata Naira.“Kalau aku sih oke, Mom. Tapi entah tuh Razka. Selama ini dia kan yang suka bikin ulah lebih dulu,“ sahut Shaka.Naira tertawa kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. Sedih sebenarnya harus meninggalkan si kembar. Andai punya tabungan lebih banyak, pasti dia akan mengajak mereka serta.“Pokoknya kalian jangan bertengkar. Abang harus mengayomi Adek, dan Adek harus hormat sama Abang.”“Siap, Mommy.“**Hari keberangkatan pun akhirnya telah tiba. Naira berdiri di ba
Naira menatap mantan suaminya. Dia sama sekali tak marah. Setelah melihat tanggung jawab Hangga pada si kembar, rasa sakit lagi di hati seolah enyah entah kemana. Dia justru mendoakan yang terbaik untuk lelaki itu. “Selamat ya, Mas. Semoga kali ini Mas Hangga benar-benar bahagia. Aku harap dia juga jadi pelabuhan terakhir buat Mas.” “Aamiin,” jawab Hangga sambil tersenyum. “Terima kasih, Nai. Doa kamu berarti banget.” Hangga pun menyuruh si kembar meminta izin pada Bu Anya. Tanpa membantah, Shaka dan Razka langsung masuk menghampiri Bu Anya yang sedang memasak di dapur. Sedangkan Hangga memandang Naira dengan tatapan serius. Ada sesuatu yang sangat ingin dia tanyakan pada Naira. “Ngomong-ngomong, gimana hubungan kamu sama Aric? Aku dengar kalian dekat lagi?” Naira balas menatap Hangga dengan satu alis terangkat. Lalu tertawa kecil sebelum akhirnya menghela napas dan menggelengkan kepala. “Nggak, Mas. Jangankan dekat … yang ada Aric malah pindah ke luar negeri. Aku ngga