“Kita mau kemana? Aku harus masuk lagi,“ ujarku berteriak.
“Masuknya kan nanti jam satu lebih, Khai. Ini baru jam dua belas lewat lima belas menit,“ jawabnya.“Ta-pi—““Aku nggak terima penolakan, Khairana!“ serunya sambil menambah kecepatan, membuatku reflek memeluk pinggangnya dan menempelkan pipi pada punggung kokohnya.“Sampai.“ Dia berujar saat mobil berhenti tepat di depan rumah makan padang.“Ayo!“ katanya saat aku belum turun, masih menatap bangunan besar di hadapanku. Melihat bangunan yang berlapiskan cat kuning itu, membuatku teringat pada Mas Hangga.Dulu, di awal pernikahan, dia sering mengajakku ke tempat ini. Hampir tiap minggu, dia membawaku keluar hanya untuk makan siang atau makan malam. Tapi di tahun kedua pernikahan, semua itu tak lagi dilakukannya. Karena Ibu memprotes, katanya makan di luar hanya menghamburkan uang saja.“Hei, kok malah melamun sih? Ayo masuk.“ ArAku berjalan dengan pelan menuju kamar, tapi kemudian tubuh membeku saat kurasakan sebuah tangan melingkar di pinggang ini.“Maafkan aku, Ra ...“Buru-buru kulepas tangannya, tapi Mas Hangga tak menyerah dan kembali memeluk dengan erat. Lalu menjatuhkan tubuh ini di ranjang.“Lepaskan aku!“ seruku dengan suara tertahan. Dia menggeleng dan kepalanya malah merangsek ke dalam hijabku. Mengecup leher ini, membuat tangisku kembali pecah. Terlalu banyak luka yang dia torehkan, membuatku enggan dicumbunya.“Kenapa? Kenapa kamu menangis?“ tanyanya sambil beranjak dari tubuhku.“Kamu masih tanya aku kenapa, setelah apa yang tadi pagi kamu lakukan padaku?“ tanyaku miris. “Lihat ini, Mas. Gara-gara ulahmu ini, aku harus merasakan perih tiap membuka dan menggerakan bibir,“ lanjutku sambil memegang sudut bibir dengan jemari. Dia langsung menangkap tanganku, matanya menyorot sudut bibir yang kini sudah kering. Tapi masih menyisakan sedikit perih.“Maaf, Ra. Tadi aku kelepasan,“ ucapnya.“Andai saj
Aku tersenyum sinis. Merebut kembali ponselku yang kini tengah dipandanginya.“Di matamu, aku ini memang tak pernah ada benarnya kan? Aku selalu salah dan mereka selalu benar,“ ujarku dengan suara bergetar.“Bu-kan begitu, Ra. Aku hanya ...“ sahutnya rancu.“Sudahlah, Mas. Aku ngantuk, besok aku kerja,“ ucapku sambil menutupi badan dengan selimut. Tapi Mas Hangga kembali menahan pergerakanku. Dalam satu sentakan, dia menarik selimut itu dan melemparnya sembarang.“Aku kangen kamu, Ra. Kangen Nairaku yang dulu, yang lembut, penurut,“ ucapnya sambil menyentuh pipiku.“Kemana perginya Nairaku? Kenapa kamu berubah?“ tanyanya. Aku memalingkan wajah, menahan kelopak mata yang tiba-tiba memanas. Apa dia sedang mengingau? Seharusnya aku yang bertanya demikian. Kemana perginya Mas Hanggaku yang dulu? Mas Hangga yang tak romantis tapi tak ringan tangan. Mas Hangga yang selalu menenangkanku dengan ucapan bijaknya,
“Kamu tidak bohong kan? Ingat loh, Mas ... tadi kamu sendiri yang bilang kita mulai lagi dari awal. Jadi kuharap jangan ada lagi dusta diantara kita,“ ucapku tegas. Dia langsung menunduk dan meraih kedua tangan ini.“Maafkan aku, Ra ... Maafkan aku ...“ katanya dengan suara bergetar.“Jangan bilang kalau yang hilang itu sertifikat rumah untuk Mbak Medina?“ ujarku dengan mata membulat. Mas Hangga mengangguk dan aku yang pura-pura kaget, menutup mulut dengan telapak tangan.“Serius?“ tanyaku memastikan.Mas Hangga kembali mengangguk.“Jawab, Mas!““Iya, Ra. Yang hilang sertifikat rumah untuk Medina,“ jelasnya. Aku menghela napas dalam dan berat.“Hal sebesar itu kamu sembunyikan dari aku, Mas?“ Aku meninju pelan dadanya.“Kamu anggap aku apa ini, Mas? Kenapa tak pernah melibatkanku atau minimal memberitahuku?“ lanjutku. Mas Hangga kembali menunduk dan kembali meminta maaf.“Maafmu tidak berguna, Mas. Dan mungkin hilangnya sertifikat itu juga teguran buat kamu supaya sadar diri, kalau ak
Meera menghentikan mobil di pelataran Vallery Textille. Aku terdiam sejenak, menilik penampilan hari ini. Tadi setelah sarapan, Meera dan Cantika memaksaku mengganti pakaian yang menurut mereka ndeso. Hingga akhirnya kemeja pink dan celana bahan warna hitam yang kukenakan, terpaksa diganti dengan blouse vintage mocca dan celana jeans hitam milik Meera. Hijab langsungan yang menutup kepala pun, mereka ganti dengan pashmina plisket. Tak lupa make up tipis sebagai penyempurna penampilan. Membuatku agak risih, karena merasa style hari ini bukanlah diriku.“Lo masih betah di mobil, Nai?“ Pertanyaan Meera membuatku tersentak kaget. Aku tersenyum kaku dan gegas keluar dari mobilnya.“Nanti pulang kerja, jangan lupa nyempetin beli baju-baju cantik. Jangan pelit sama diri sendiri,“ kata Meera saat aku melambaikan tangan.“Iya, Bawel.“ Aku menyahut ketus. Membuatnya terkekeh geli.“Gue berangkat, ya. Jangan
“Nah itu klien saya,“ katanya. Aku pun segera mendongak dan seketika cangkir yang kupegang terlepas saat melihat siapa yang berjalan ke arah kami. “Kamu tidak apa-apa, Nak?“ tanya Bu Elisa. Aku yang masih tertegun melihat Mas Hangga dan Mbak Medina, hanya menggelengkan kepala. Beruntungnya, cangkir jatuh ke sofa. Meski tetap saja terasa panas dan perih karena teh hangat menimpa paha. “Nak Naira ...“ “Saya tidak apa-apa, Bu. Maaf mengotori sofanya,“ ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Mbak Medina yang tak melepaskan tangannya dari lengan Mas Hangga. Rasa panas dan perih yang kurasakan, tidak ada apa-apanya dibandingkan sakit melihat kemesraan yang seperti sengaja diperlihatkannya. Saking sakitnya, mulutku hanya terbungkam dengan kelopak mata memanas. “Tidak apa-apa, Nak. Santai saja.“ Bu Elisa tersenyum ramah. “Nah, mereka ini pengantinnya, Naira. Mbak Medina ini yang memesan gaun warna maroon. Mungkin ada baiknya kenalan dulu, biar nanti Nak Naira nggak canggung jela
Aku buru-buru menggeret koper. Mengabaikan Aric yang dahinya mengernyit.“Sudah selesai?“ tanyanya. Aku mengangguk dan berjalan mendahuluinya.“Khai, tunggu!“Aku tak berhenti dan terus melangkah ke tempat parkir. Lalu terdiam sejenak sambil menahan napas, melihat Mbak Medina dan Mas Hangga yang tampak berdebat.“Khai ...!“Suara Aric yang cukup keras, membuat pasangan calon orangtua itu sontak menoleh ke arahku. Untuk sekian detik, pandanganku dan Mas Hangga bertemu. Tapi kemudian dia melangkah ke arahku saat Aric menepuk pundak ini.“Khai—““Siapa dia, Naira?“ potong Mas Hangga yang kini menatapku tajam.“Anda siapa?“ tanya Aric dengan suara datar.“Aku suaminya Naira. Kamu siapa?“ Mas Hangga menjawab dengan suara yang terdengar kesal.“Naira, benarkah dia suamimu?“ tanya Aric. Aku mengangguk pelan.“Lalu, siapa perempuan itu?“
“Bicara apa kamu?“ teriaknya nyalang.“Aku bicara sesuai dengan apa yang kamu bicarakan kamu tadi siang, Mas! Kamu melarangku mengaku sebagai istrimu. Itu berarti—““Naira!“ teriaknya lagi, memotong ucapanku.“Aku melarangmu karena aku tak mau Medina malu dan sedih lalu depresi. Dia sedang mengandung darah dagingku dan aku tak mau hal itu terjadi,“ sambungnya.Aku tersenyum sinis. Aku memang sengaja memakai gaun yang tadi dibeli. Dengan tujuan supaya dia tersiksa dan meminta maaf karena sikapnya tadi siang. Tapi Mas Hangga malah bertingkah seperti orang amnesia. Gilak memang!“Kamu selalu memikirkan perasaannya. Tapi kenapa tak pernah memikirkan perasaanku? Apa kamu pikir aku ini robot? Boneka? Aku juga punya hati, Mas! Aku juga istrimu, yang masih wajib kamu jaga perasaannya. Aku mandul, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya, Mas!“ teriakku menyahuti diiringi lelehan air mata.“Kamu bilang, kamu akan berusaha adi
“Sebelum pindah, kita ke rumah Ibu dulu, Ra,“ kata Mas Hangga saat aku tengah menyapukan bedak pada wajah.“Ngapain?“ tanyaku ketus.“Kamu nanya ngapain? Ya kita minta restu dan doanya lah. Dia Ibuku, aku takkan jadi seperti ini kalau bukan karena jasanya. Kalau aku nggak ada uang, kamu nggak akan bisa beli rumah,“ katanya.Aku hanya membulatkan bibir. Malas meladeninya. Lagian apa hubungannya rumah yang kubeli dengan Ibu? Toh rumah itu dibeli dengan uang warisan Ayah, uang setara mahar, uang untuk sewa rumah dan ... Hasil penjualan cincin mereka.“Kenapa cuma oh?“ tanyanya terdengar geram.“Terus aku harus jawab apa?“ tanyaku balik. Dia langsung menggeram. “Kamu ini benar-benar mengujiku, Naira. Makin ke sini bukan hanya penampilanmu yang berubah, tapi sifatmu juga. Kamu jadi kasar dan urakan.““Oh ya?“ Aku memutar bola mata. Dia hanya diam, hanya dadanya saja yang naik turun.“Cepatlah! Mau atau tidak, pokoknya kita harus ke rumah Ibu dulu,“ katanya, kali ini dengan suara lembut.“
“Maaf, Naira. Aku sungguh minta maaf,“ ucapnya. Tapi entah, tak kudengar ketulusan dari suara maupun sorot matanya. “Simpan saja maafmu, Mas! Bosan aku mendengarnya. Sekarang katakan ... Apa lagi yang harus kulakukan?“ sindirku. Mas Hangga langsung menunduk, di menit selanjutnya, tangannya membuka map yang sedari tadi tergeletak di sampingnya.“Ada beberapa berkas yang membutuhkan tanda tandangmu,“ katanya.“Berkas apa?“ tanyaku dengan mata memicing. Netra pun sontak meliar.“Mas!“ “Aku akan menjual grosir di Jalan Haji Saleh,“ jawabnya. “Serius?“ Aku membulatkan mata tak percaya. Karena selama ini, perkembangan toserba cabang pertama itu cukup pesat.“Untuk apa kamu menjualnya? Jangan bilang kalau kamu terus merugi,“ tudingku. Dia langsung menggeleng.“Aku butuh uang untuk resepsi dan renovasi rumah Ibu, Ra,“ jawabnya.“Wow ...“ Aku bertepuk tangan p
“Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau cerailah, Ric. Tapi dia tidak mau, alasannya dia yakin bisa berlaku adil,“ jawabku sebal. Dia terkekeh geli.“Emang dasar buaya. Nggak cukup di satu tempat,“ cetusnya.“Dan kamu juga sama saja, Ric.“ Aku menyahut datar.“Sama gimana?“ tanyanya.“Ya sama. Kamu juga suka godain dan php-in pegawai toko sebelah kan?“ balasnya membuatnya tergelak.“Godain aja kok, nggak pake hati. Cuma mereka saja yang geer dan baperan,“ sahutnya santai. Membuatku bergidik.“lagian aku belum nikah, Khai. Jadi wajar saja,“ sambungnya. Aku memutar bola mata malas. “Sama saja. Dasar Playboy!“ umpatku. Dia pun langsung terbahak.“Aku tuh sebenarnya setia, Khai. Hanya saja, perempuan yang kucintai sulit kujangkau, jadi aku cari pelarian ke yang lain,“ katanya. Aku mengerjap tak percaya mendengarnya.“Gila! Benar-benar buaya kamu, Ric.“ Aku bergumam pelan, tapi lagi-lagi reaksi
Aric menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia datang dengan wajah sumringah. Aku yang sedari tadi menunggu pun segera menghampirinya. Lalu membiarkannya merangkul bahu ini.“Kita belanja dulu atau makan dulu?“ tanya sambil membukakan pintu mobil. Aku terdiam sejenak. “Makan dulu deh. Tapi makannya di luar saja, jangan di rumahku. Capek banget ini badan,“ jawabku.Sudah tiga hari ini, Aric selalu makan di rumahku. Walau dengan menu sederhana, tapi tetap saja butuh tenaga untuk mengolahnya. Sementara hari ini, tubuh terasa sangat lelah. Pengunjung siang tadi membludak, membuat kami kewalahan melayani.“Oke, kita makan di luar saja. Kita cari resto dekat supermarket,“ sahutnya sambil menoleh dan tersenyum padaku..Setelah mengantarku untuk shalat magrib, Aric membawaku ke restoran cepat saji dekat supermarket. Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mata sontak terbelalak melihat Mas Hangga ada di meja yang tak begitu jauh dari kami.“
“Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya. “Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mau
“Ada apa?“ tanyanya. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku tidak apa-apa. Hanya ucapanmu tadi membuatku tersentil. Mungkin benar apa yang kamu katakan, Mas Hangga menyukai—““Sssttt! Jangan bicara seperti itu, Khai. Maaf kalau ucapanku tadi menyinggungmu. Tadi aku hanya bercanda, tak ada maksud lain,“ potongnya.“Kalaupun bukan bercanda, aku terima, Ric. Memang benar kok, Mbak Medina punya banyak kelebihan yang tidak kumiliki. Wajar saja kalau suamiku sampai tergila-gila padanya,“ sahutku sambil mengerjap dan lekas melepaskan cekalannya. Lalu berlari menghampiri Mbak Tetty yang sedari tadi seperti mengamati kami.“Ada apa?“ Benar saja dugaanku. Begitu masuk, dia langsung bertanya. Aku hanya menggeleng pelan dan buru-buru mengambil pouch kosmetik.“Mbak, kalau ada tukang kue cubit nganterin pesananku, tolong terima ya. Aku mau ke toilet dulu,“ ujarku.“Siap.“ Dia menjawab
“Selingkuh yuk, Khai.“Aku terbelalak tak percaya mendengarnya.“Kamu waras kan, Ric?“ ujarku geli sambil menarik tangan yang masih dipegangnya. Lalu menyebrang jalan lebih dulu.“Hei, tunggu!“ Aku tersenyum mendengar seruannya sambil buru-buru melangkah.“Jalanmu cepat banget, Khai,“ keluhnya saat kami sudah di depan tukang bakso.“Pak, komplit satu, ya!“ Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri tukang bakso yang tersenyum ramah.“Dua dong, Khai. Kamu kok tega sama aku,“ sahut Aric. Membuat tukang bakso mengulum senyum.“Iya deh iya. Dua ya, Pak,“ ralatku.“Siap, Neng. Sebentar biar Bapak siapkan kurs—“"Nggak usah, Pak. Saya mau lesehan saja.“ Aku menyela sambil melangkah ke teras toko. Duduk di sana beralaskan dus bekas.“Nggak di bangku, Khai?“ tanya Aric.“Enggaklah. Kalau kamu mau, silahkan,“ jawabku. Tapi Aric malah menggeleng dan duduk di hadapanku.“Gimana kabarmu, Khai? Terakhir ketemu kan kamu lagi galau,“ katanya sambil mengangguk pada tukang bakso yang memberikan g
“Bajumu ...“ ucapnya menggantung dan membuatku sontak menutup bagian dada dengan tangan. Aric pun terkekeh. Lalu melangkah, mengikis jarak di antara kami sambil membuka kancing kemejanya.“Kamu mau ngapain?“ tanyaku sambil meliarkan pandangan ke sekeliling yang masih sepi. Karena memang toko dibuka sekitar satu jam lagi.“Aric ...“ ucapku saat dia melepas kemejanya, sambil melangkah mundur hingga akhirnya terhenti karena mentok di rak kain. “Aric!“ teriakku. Dia pun terkekeh ringan, lalu menyerahkan kemejanya padaku.“Apa yang kamu pikirkan, Khai? Apa kamu pikir, aku akan ...“ katanya sambil memainkan alis. Aku sontak mendelik tajam. Dia pun tergelak.“Ganti bajumu dengan kemejaku, Khai,“ ujarnya.Hah? Aku mengerjap tak percaya. Hendak menggeleng, tapi Aric segera menyela.“Pakailah, Khai. Itu bajumu basah dan bikin orang sala
Aku tiba di rumah baru tepat di saat azan magrib berkumandang. Dibantu pemilik mobil, aku memasukkan semua barang dan perabot ke ruang tamu. Setelah itu gegas menunaikan shalat dan membuka ponsel yang sedari pagi tak tersentuh. Ada banyak pesan dari grup. Membahas pernikahan Cantika yang akan digelar sekitar dua minggu lagi dan aku hanya meringis membaca pesan terbaru dari Meera.[Gue bakal datang sama Ken.] pesannya.[Aku insya Allah sama Mahesa.] balas Adila.[Kok Lo pada tega amat sih?][kalau Lo pada bawa pasangan, kasihan Naira dong. Si Hangga mana mau dibawa ke kondangan gue.] balas Cantika.[Hehehe, iya sih. Tapi Ken posesif. Dia gak ngizinin gue sendirian ke kondangan. Takut digoda cowok lain katanya.] Meera membalas.[Mahesa juga gitu. Makin dekat ke lamaran, tingkahnya makin nyebelin.] balas Adila.Aku tersenyum membaca semuany
“Sebelum pindah, kita ke rumah Ibu dulu, Ra,“ kata Mas Hangga saat aku tengah menyapukan bedak pada wajah.“Ngapain?“ tanyaku ketus.“Kamu nanya ngapain? Ya kita minta restu dan doanya lah. Dia Ibuku, aku takkan jadi seperti ini kalau bukan karena jasanya. Kalau aku nggak ada uang, kamu nggak akan bisa beli rumah,“ katanya.Aku hanya membulatkan bibir. Malas meladeninya. Lagian apa hubungannya rumah yang kubeli dengan Ibu? Toh rumah itu dibeli dengan uang warisan Ayah, uang setara mahar, uang untuk sewa rumah dan ... Hasil penjualan cincin mereka.“Kenapa cuma oh?“ tanyanya terdengar geram.“Terus aku harus jawab apa?“ tanyaku balik. Dia langsung menggeram. “Kamu ini benar-benar mengujiku, Naira. Makin ke sini bukan hanya penampilanmu yang berubah, tapi sifatmu juga. Kamu jadi kasar dan urakan.““Oh ya?“ Aku memutar bola mata. Dia hanya diam, hanya dadanya saja yang naik turun.“Cepatlah! Mau atau tidak, pokoknya kita harus ke rumah Ibu dulu,“ katanya, kali ini dengan suara lembut.“