“Bicara apa kamu?“ teriaknya nyalang.
“Aku bicara sesuai dengan apa yang kamu bicarakan kamu tadi siang, Mas! Kamu melarangku mengaku sebagai istrimu. Itu berarti—““Naira!“ teriaknya lagi, memotong ucapanku.“Aku melarangmu karena aku tak mau Medina malu dan sedih lalu depresi. Dia sedang mengandung darah dagingku dan aku tak mau hal itu terjadi,“ sambungnya.Aku tersenyum sinis. Aku memang sengaja memakai gaun yang tadi dibeli. Dengan tujuan supaya dia tersiksa dan meminta maaf karena sikapnya tadi siang. Tapi Mas Hangga malah bertingkah seperti orang amnesia. Gilak memang!“Kamu selalu memikirkan perasaannya. Tapi kenapa tak pernah memikirkan perasaanku? Apa kamu pikir aku ini robot? Boneka? Aku juga punya hati, Mas! Aku juga istrimu, yang masih wajib kamu jaga perasaannya. Aku mandul, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya, Mas!“ teriakku menyahuti diiringi lelehan air mata.“Kamu bilang, kamu akan berusaha adi“Sebelum pindah, kita ke rumah Ibu dulu, Ra,“ kata Mas Hangga saat aku tengah menyapukan bedak pada wajah.“Ngapain?“ tanyaku ketus.“Kamu nanya ngapain? Ya kita minta restu dan doanya lah. Dia Ibuku, aku takkan jadi seperti ini kalau bukan karena jasanya. Kalau aku nggak ada uang, kamu nggak akan bisa beli rumah,“ katanya.Aku hanya membulatkan bibir. Malas meladeninya. Lagian apa hubungannya rumah yang kubeli dengan Ibu? Toh rumah itu dibeli dengan uang warisan Ayah, uang setara mahar, uang untuk sewa rumah dan ... Hasil penjualan cincin mereka.“Kenapa cuma oh?“ tanyanya terdengar geram.“Terus aku harus jawab apa?“ tanyaku balik. Dia langsung menggeram. “Kamu ini benar-benar mengujiku, Naira. Makin ke sini bukan hanya penampilanmu yang berubah, tapi sifatmu juga. Kamu jadi kasar dan urakan.““Oh ya?“ Aku memutar bola mata. Dia hanya diam, hanya dadanya saja yang naik turun.“Cepatlah! Mau atau tidak, pokoknya kita harus ke rumah Ibu dulu,“ katanya, kali ini dengan suara lembut.“
Aku tiba di rumah baru tepat di saat azan magrib berkumandang. Dibantu pemilik mobil, aku memasukkan semua barang dan perabot ke ruang tamu. Setelah itu gegas menunaikan shalat dan membuka ponsel yang sedari pagi tak tersentuh. Ada banyak pesan dari grup. Membahas pernikahan Cantika yang akan digelar sekitar dua minggu lagi dan aku hanya meringis membaca pesan terbaru dari Meera.[Gue bakal datang sama Ken.] pesannya.[Aku insya Allah sama Mahesa.] balas Adila.[Kok Lo pada tega amat sih?][kalau Lo pada bawa pasangan, kasihan Naira dong. Si Hangga mana mau dibawa ke kondangan gue.] balas Cantika.[Hehehe, iya sih. Tapi Ken posesif. Dia gak ngizinin gue sendirian ke kondangan. Takut digoda cowok lain katanya.] Meera membalas.[Mahesa juga gitu. Makin dekat ke lamaran, tingkahnya makin nyebelin.] balas Adila.Aku tersenyum membaca semuany
“Bajumu ...“ ucapnya menggantung dan membuatku sontak menutup bagian dada dengan tangan. Aric pun terkekeh. Lalu melangkah, mengikis jarak di antara kami sambil membuka kancing kemejanya.“Kamu mau ngapain?“ tanyaku sambil meliarkan pandangan ke sekeliling yang masih sepi. Karena memang toko dibuka sekitar satu jam lagi.“Aric ...“ ucapku saat dia melepas kemejanya, sambil melangkah mundur hingga akhirnya terhenti karena mentok di rak kain. “Aric!“ teriakku. Dia pun terkekeh ringan, lalu menyerahkan kemejanya padaku.“Apa yang kamu pikirkan, Khai? Apa kamu pikir, aku akan ...“ katanya sambil memainkan alis. Aku sontak mendelik tajam. Dia pun tergelak.“Ganti bajumu dengan kemejaku, Khai,“ ujarnya.Hah? Aku mengerjap tak percaya. Hendak menggeleng, tapi Aric segera menyela.“Pakailah, Khai. Itu bajumu basah dan bikin orang sala
“Selingkuh yuk, Khai.“Aku terbelalak tak percaya mendengarnya.“Kamu waras kan, Ric?“ ujarku geli sambil menarik tangan yang masih dipegangnya. Lalu menyebrang jalan lebih dulu.“Hei, tunggu!“ Aku tersenyum mendengar seruannya sambil buru-buru melangkah.“Jalanmu cepat banget, Khai,“ keluhnya saat kami sudah di depan tukang bakso.“Pak, komplit satu, ya!“ Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri tukang bakso yang tersenyum ramah.“Dua dong, Khai. Kamu kok tega sama aku,“ sahut Aric. Membuat tukang bakso mengulum senyum.“Iya deh iya. Dua ya, Pak,“ ralatku.“Siap, Neng. Sebentar biar Bapak siapkan kurs—“"Nggak usah, Pak. Saya mau lesehan saja.“ Aku menyela sambil melangkah ke teras toko. Duduk di sana beralaskan dus bekas.“Nggak di bangku, Khai?“ tanya Aric.“Enggaklah. Kalau kamu mau, silahkan,“ jawabku. Tapi Aric malah menggeleng dan duduk di hadapanku.“Gimana kabarmu, Khai? Terakhir ketemu kan kamu lagi galau,“ katanya sambil mengangguk pada tukang bakso yang memberikan g
“Ada apa?“ tanyanya. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku tidak apa-apa. Hanya ucapanmu tadi membuatku tersentil. Mungkin benar apa yang kamu katakan, Mas Hangga menyukai—““Sssttt! Jangan bicara seperti itu, Khai. Maaf kalau ucapanku tadi menyinggungmu. Tadi aku hanya bercanda, tak ada maksud lain,“ potongnya.“Kalaupun bukan bercanda, aku terima, Ric. Memang benar kok, Mbak Medina punya banyak kelebihan yang tidak kumiliki. Wajar saja kalau suamiku sampai tergila-gila padanya,“ sahutku sambil mengerjap dan lekas melepaskan cekalannya. Lalu berlari menghampiri Mbak Tetty yang sedari tadi seperti mengamati kami.“Ada apa?“ Benar saja dugaanku. Begitu masuk, dia langsung bertanya. Aku hanya menggeleng pelan dan buru-buru mengambil pouch kosmetik.“Mbak, kalau ada tukang kue cubit nganterin pesananku, tolong terima ya. Aku mau ke toilet dulu,“ ujarku.“Siap.“ Dia menjawab
“Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya. “Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mau
Aric menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia datang dengan wajah sumringah. Aku yang sedari tadi menunggu pun segera menghampirinya. Lalu membiarkannya merangkul bahu ini.“Kita belanja dulu atau makan dulu?“ tanya sambil membukakan pintu mobil. Aku terdiam sejenak. “Makan dulu deh. Tapi makannya di luar saja, jangan di rumahku. Capek banget ini badan,“ jawabku.Sudah tiga hari ini, Aric selalu makan di rumahku. Walau dengan menu sederhana, tapi tetap saja butuh tenaga untuk mengolahnya. Sementara hari ini, tubuh terasa sangat lelah. Pengunjung siang tadi membludak, membuat kami kewalahan melayani.“Oke, kita makan di luar saja. Kita cari resto dekat supermarket,“ sahutnya sambil menoleh dan tersenyum padaku..Setelah mengantarku untuk shalat magrib, Aric membawaku ke restoran cepat saji dekat supermarket. Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mata sontak terbelalak melihat Mas Hangga ada di meja yang tak begitu jauh dari kami.“
“Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau cerailah, Ric. Tapi dia tidak mau, alasannya dia yakin bisa berlaku adil,“ jawabku sebal. Dia terkekeh geli.“Emang dasar buaya. Nggak cukup di satu tempat,“ cetusnya.“Dan kamu juga sama saja, Ric.“ Aku menyahut datar.“Sama gimana?“ tanyanya.“Ya sama. Kamu juga suka godain dan php-in pegawai toko sebelah kan?“ balasnya membuatnya tergelak.“Godain aja kok, nggak pake hati. Cuma mereka saja yang geer dan baperan,“ sahutnya santai. Membuatku bergidik.“lagian aku belum nikah, Khai. Jadi wajar saja,“ sambungnya. Aku memutar bola mata malas. “Sama saja. Dasar Playboy!“ umpatku. Dia pun langsung terbahak.“Aku tuh sebenarnya setia, Khai. Hanya saja, perempuan yang kucintai sulit kujangkau, jadi aku cari pelarian ke yang lain,“ katanya. Aku mengerjap tak percaya mendengarnya.“Gila! Benar-benar buaya kamu, Ric.“ Aku bergumam pelan, tapi lagi-lagi reaksi
Jakarta. Aku memang merindukannya. Merindukan rumah yang sekarang kusewakan juga. Tapi belum terbesit sedikit pun dalam benakku untuk kembali kesana. Buka karena luka yang ditorehkan Mas Hangga. Tapi aku juga belum siap bertemu Aric. “Kebiasaan nih si Naira. Lagi ngobrol malah melamun.“ Meera menyenggol pelan lenganku. Aku terkekeh ringan. “Sorry,“ ucapku. “Lo berdua harus tau satu hal. Sejak pindah ke sini, si Naira itu agak-agak anu,“ kata Meera. Adila dan Cantika saling melempar pandang. “Dia sering banget ngelamun, padahal lagi posisi ngobrol,“ sambung Meera. “Kenapa jadi gitu kamu, Nai? Apa jangan-jangan kamu kepikiran Aric ya?“ ledek Adila seraya cengengesan. Aku tersenyum tipis. “Eh beneran, Dil. Tuh si Naira senyum, berarti beneran dia kangen si Aric,“ sambut Cantika sambil memainkan alisnya. Aku tertawa pelan. Biarlah mereka berasumsi s
Waktu begitu cepat bergulir. Tak terasa, enam bulan sudah aku menyandang status sebagai ibu dari dua anak kembar. Selama itu juga kuhabiskan waktu dengan mereka. Sebelum besok meninggalkan mereka untuk mengais rezeki. Ya, kuputuskan menerima tawaran Bu Annisa. Selain karena memang butuh, aku juga ingin mengembangkan kemampuanku di bidang desain pakaian. “Nai, ini Razka pup keknya.“ Aku yang tengah melipat pakaian, menoleh pada Meera yang tengah menggendong si adik. “Oke, bentar,“ sahutku seraya mencabut kabel setrika. Lalu beranjak menghampiri Meera. “Besok lo jadi kerja di Bu Annisa?“ tanya Meera. Aku mengangguk. “Insya Allah.“ “Kenapa harus kerja sih? Duit lo kan masih banyak,“ celetuk Meera. Selalu saja dia berkata seperti itu. “Enggak sebanyak kamu,“ balasku. Meera mencebik. “Oh iya, gue punya surprise buat
“Nah bener itu. Kapan lo merit, Meer? Nggak takut si Ken digondol ani-ani?“ Cantika menimpali sambil mengerlingkan mata pada Meera. Meera memutar bola mata. “Ya takut sih. Tapi gue lebih takut pernikahan gue gagal.““Harusnya lo lebih takut bobok berdua, Meer. Lo harusnya takut diazab sama Allah,“ celetuk Ivan—suami Cantika.Aku, Adila dan Cantik sontak mengulum senyum mendengarnya. Mahesa tertawa tanpa suara, sedangkan Meera tampak memerah pipinya.“Si*lan lo, Van. Untung bunda nginep di rumah Bang Rio,“ kata Meera sambil menatap tajam pada Ivan yang tampak mengangkat bahu.“Terserah deh. Tapi sebagai cowok yang bertanggung jawab, gue sangat menyayangkan, Meer. Kalau cuma bobok berdua, yang rugi itu cuma lo,“ cetus Ivan.Aku terdiam mendengarnya. Mendadak teringat dosa yang kulakukan dengan Aric. Andai waktu bisa diputar kembali, tentu aku tak ingin melakukan kebodohan itu.“Bene
Menjelang siang, kami kedatangan tamu spesial. Dia Bu Annisa, pemilik butik sekaligus sahabat Bunda saat SMA. Ini kali pertamanya kami bertemu. Karena selama ini memang bahan jahitan dan yang sudah selesai dijahit, diantar jemput oleh pegawai. Dia datang tak seorang diri. Ditemani sang anak yang menunggu di luar. “Jadi ini yang namanya Naira?“ tanyanya saat aku menyalaminya. “Iya, Nis.“ Bukan aku yang menjawab, tapi Bunda. “Masya Allah … Kamu cantik banget, Sayang. Kamu juga masih muda,“ ucapnya. Aku tersenyum tipis “Kamu ada anak secantik ini kenapa diam-diam saja, Any? Tau gini, dari kemarin aku ke sini,“ sambungnya sambil menatap Bunda yang tengah menata cemilan. “Kemarin kan Naira masih dalam masa iddah. Mana bisa aku main kenalin-kenalin aja. Bisa ngantri nanti yang mau jadi jodohnya Naira,“ sahut
“Kalian ngapain di sini?“ Pertanyaan itu kembali mengalun dari mulut Teh Alisa. Aku lantas melirik Meera yang menatap iparnya itu datar. “Kita mau ke dapur. Lapar,“ jawab Meera. Lalu dia menarik tanganku. “Ayo, Nai!“ Aku pun lantas mengikuti langkah Meera. Masuk ke dapur, aku dan Meera sama-sama menghela napas lega. “Tadi lo mau ngomong apa?“ tanya Meera. Aku hendak membuka suara, tapi urung karena Teh Alisa ternyata mengikuti kami. Dia bahkan berdiri seperti mengamati kami berdua. “Bukannya di depan masih banyak tamu, ya? Kenapa kamu malah makan?“ tanya Teh Alisa. Dia menatapku seakan ingin mengulitiku saja. “Ya namanya juga lapar. Lagian emak-emak di sana lagi ngobrol sama Bunda, kok. Yaudah, mending kita makan aja.“ Lagi-lagi Meera yang menjawab. Teh Alisa terdengar mendengkus. Lalu meninggalkan kami begitu saja.
“Ah … congrat, Nai. Akhirnya lo jadi ibu,“ ucap Meera sambil memelukku. Gadis itu benar-benar tak ada capeknya. Padahal dia baru tiba, tapi langsung datang ke sini untuk menemaniku. “Thanks, Meer. Akhirnya kamu juga jadi Aunty,“ sahutku. Meera mengangguk. Lalu terdiam sejenak sambil menatap ke arah perutku. “Eh, perut lo nggak papa kan, Nai?“ tanyanya. “Its oke, Meer. Im fine.“ Aku menjawab sambil tersenyum. “Syukurlah,“ sahut Meera sambil mengambil cemilan yang entah sejak kapan ada di lemari. “Gue penasaran, kira-kira siapa yang nyelekain lo? Apa jangan-jangan si Alisa ya?“ ujarnya sambil memberikan sebungkus cemilan padaku. “Jangan suuzan!“ sahutku. Meera langsung mengerucutkan bibir. “Bukan suuzan, tapi kan emang cuma dia yang nggak suka sama lo. Kalau sampai dia yang ngelakuin itu, gue nggak bakalan segan laporin dia ke polisi,“
”Assalamualaikum.” Naira dan Bu Anya yang sedang menikmati sarapan lantas menoleh mendengar suara salam dibarengi kedatangan Rio. ”Waalaikumsalam,” jawab keduanya kompak. ”Aku numpang sarapan di sini, Bun.” Tanpa basa-basi, Rio menaruh tas kerjanya di kursi yang kosong. Lalu duduk di samping Bu Anya. ”Alisa nggak masak?” tanya Bu Anya. Tentu saja hanya basa-basi semata. Karena dia tahu, menantunya itu jarang memasak dan lebih sering membeli makanan siap santap. Rio tak menjawab. Dia langsung mengambil dua roti goreng. Lalu menuangkan susu ke gelas yang kosong. ”Kalian bertengkar ya?” Bu Anya menatap putranya intens. Rio masih bungkam. Lebih memilih menggigit roti yang isinya selai kacang coklat. Bu Anya menghela napas panjang. ”Kalau dipikir-pikir kalian itu lebih banyak bertengkarnya daripada akurnya,” celetuknya
"Nai, makan dulu!” Naira yang tengah menjahit menghentikan aktifitasnya sejenak, dan lantas menoleh pada Bu Anya. "Bentar, Bun. Tanggung," sahutnya sambil tersenyum nyengir. Bu Anya langsung mencibir. "Tanggung … tanggung. Inget Ada dua janin di perut kamu, Nai," katanya. "lya, Bun. Aku inget, kok." Naira tersenyum nyengir. Bu Anya menghela napas panjang. Malas mendebat, wanita paruh baya berhijab hijau pupus itu lantas mendaratkan bobotnya di kursi depan mesin obras. Lalu menatap perut Naira yang semakin besar. ”Jangan capek-capek, Nai. Kasihan fisik sama dua janin kamu,” cetusnya. Naira tersenyum tipis. "Insya Allah, enggak capek kok, Bun." "Ah, kamu mah ngebales terus. Udah ah, bunda tunggu di ruang makan, ya!” Bu Anya berujar seraya beranjak berdiri. "Iya, Bun." Naira berge
”Loh Medina, wajahmu kenapa?” Mamah Tanti—mertuaku, tampak heran melihat wajah sembab Medina. Medina tak menjawab, dia langsung masuk begitu. Mamah Tanti beralih menatapku. ”Kamu apakan Medina, Hangga?” ”Bapak mana, Mah?” Aku bertanya balik seraya mencium punggung tangannya. Tak lama Bapak mertuaku keluar dari kamarnya. ”Hangga?” Bapak mengerutkan dahi melihat kehadiranku. Aku pun beranjak menghampirinya dan meraih tangannya. ”Ada yang mau Hangga bicarakan sama Mamah sama Bapak,” ujarku sambil menatap ke duanya bergantian. ”Masalah apa?” tanya Mamah Tanti. ”Suruh Hangga duduk dulu, Mah. Ayo, Hangga!” Bapak merangkul bahuku. Aku mengangguk. ”Ada masalah serius?” tanya Bapak. Aku mengangguk pelan. ”Masalah apa?” Bapak kembali bertanya dengan tenang. ”Hangga menalak Medina.”