“Ada apa?“ tanyanya. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pelan.
“Aku tidak apa-apa. Hanya ucapanmu tadi membuatku tersentil. Mungkin benar apa yang kamu katakan, Mas Hangga menyukai—““Sssttt! Jangan bicara seperti itu, Khai. Maaf kalau ucapanku tadi menyinggungmu. Tadi aku hanya bercanda, tak ada maksud lain,“ potongnya.“Kalaupun bukan bercanda, aku terima, Ric. Memang benar kok, Mbak Medina punya banyak kelebihan yang tidak kumiliki. Wajar saja kalau suamiku sampai tergila-gila padanya,“ sahutku sambil mengerjap dan lekas melepaskan cekalannya. Lalu berlari menghampiri Mbak Tetty yang sedari tadi seperti mengamati kami.“Ada apa?“Benar saja dugaanku. Begitu masuk, dia langsung bertanya. Aku hanya menggeleng pelan dan buru-buru mengambil pouch kosmetik.“Mbak, kalau ada tukang kue cubit nganterin pesananku, tolong terima ya. Aku mau ke toilet dulu,“ ujarku.“Siap.“ Dia menjawab“Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya. “Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mau
Aric menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia datang dengan wajah sumringah. Aku yang sedari tadi menunggu pun segera menghampirinya. Lalu membiarkannya merangkul bahu ini.“Kita belanja dulu atau makan dulu?“ tanya sambil membukakan pintu mobil. Aku terdiam sejenak. “Makan dulu deh. Tapi makannya di luar saja, jangan di rumahku. Capek banget ini badan,“ jawabku.Sudah tiga hari ini, Aric selalu makan di rumahku. Walau dengan menu sederhana, tapi tetap saja butuh tenaga untuk mengolahnya. Sementara hari ini, tubuh terasa sangat lelah. Pengunjung siang tadi membludak, membuat kami kewalahan melayani.“Oke, kita makan di luar saja. Kita cari resto dekat supermarket,“ sahutnya sambil menoleh dan tersenyum padaku..Setelah mengantarku untuk shalat magrib, Aric membawaku ke restoran cepat saji dekat supermarket. Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mata sontak terbelalak melihat Mas Hangga ada di meja yang tak begitu jauh dari kami.“
“Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau cerailah, Ric. Tapi dia tidak mau, alasannya dia yakin bisa berlaku adil,“ jawabku sebal. Dia terkekeh geli.“Emang dasar buaya. Nggak cukup di satu tempat,“ cetusnya.“Dan kamu juga sama saja, Ric.“ Aku menyahut datar.“Sama gimana?“ tanyanya.“Ya sama. Kamu juga suka godain dan php-in pegawai toko sebelah kan?“ balasnya membuatnya tergelak.“Godain aja kok, nggak pake hati. Cuma mereka saja yang geer dan baperan,“ sahutnya santai. Membuatku bergidik.“lagian aku belum nikah, Khai. Jadi wajar saja,“ sambungnya. Aku memutar bola mata malas. “Sama saja. Dasar Playboy!“ umpatku. Dia pun langsung terbahak.“Aku tuh sebenarnya setia, Khai. Hanya saja, perempuan yang kucintai sulit kujangkau, jadi aku cari pelarian ke yang lain,“ katanya. Aku mengerjap tak percaya mendengarnya.“Gila! Benar-benar buaya kamu, Ric.“ Aku bergumam pelan, tapi lagi-lagi reaksi
“Maaf, Naira. Aku sungguh minta maaf,“ ucapnya. Tapi entah, tak kudengar ketulusan dari suara maupun sorot matanya. “Simpan saja maafmu, Mas! Bosan aku mendengarnya. Sekarang katakan ... Apa lagi yang harus kulakukan?“ sindirku. Mas Hangga langsung menunduk, di menit selanjutnya, tangannya membuka map yang sedari tadi tergeletak di sampingnya.“Ada beberapa berkas yang membutuhkan tanda tandangmu,“ katanya.“Berkas apa?“ tanyaku dengan mata memicing. Netra pun sontak meliar.“Mas!“ “Aku akan menjual grosir di Jalan Haji Saleh,“ jawabnya. “Serius?“ Aku membulatkan mata tak percaya. Karena selama ini, perkembangan toserba cabang pertama itu cukup pesat.“Untuk apa kamu menjualnya? Jangan bilang kalau kamu terus merugi,“ tudingku. Dia langsung menggeleng.“Aku butuh uang untuk resepsi dan renovasi rumah Ibu, Ra,“ jawabnya.“Wow ...“ Aku bertepuk tangan p
“Ada apa, Mas?“ Mbak Medina bertanya penasaran.“Enggak, Sayang. Cuma Mas heran, kenapa ada surat yang belum kita tanda tangani?“ Mas Hangga menatap Mbak Medina dengan sorot ragu. Membuatku menelan saliva dengan susah dan keringat dingin yang mulai menitik di dahi.Dengan mata meliar gusar, kupikirkan cara supaya Mas Hangga tak membaca surat itu, tapi nihil. Otak seakan buntu, tak menemukan satu pun yang bisa kujadikan alibi.“Coba sini aku lihat, Mas.“Mbak Medina mengambil alih surat. Lalu dahinya pun mengerut.“Iya juga ya, Mas. Ini surat apa ya? Kok nggak ada nama Naira di sini?“ tanyanya. Sebuah ide sontak yang muncul di kepala.“Surat apa itu? Apa jangan-jangan kalian menipuku?“ tanyaku setenang mungkin.“Jangan su'uzan!“ Mas Hangga langsung melotot murka.“Terus, kenapa suratnya belum ditanda tangani? Apa jangan-jangan ...“ ucapku sengaja digantung.“Naira!“ Mas Hangga langsung berseru, tampak tak terima. Lalu menatap Mbak Medina.“Tanda tangan, Sayang. Biar Naira nggak su'uza
“Oh ... Jadi ini yang namanya Naira? Naira ... Kha—khairana?“Aku mengangguk pelan dan ragu. Dalam hati ketar-ketir, mengkhawatirkan sesuatu yang entah apa. Tapi perasaan itu perlahan sirna, saat Ibu bos yang entah siapa namanya itu tersenyum lebar hingga terlihat lesung pipinya.“Kenalkan, saya ...“ ucapnya tapi menggantung karena ponselnya berdering.“Iya, Al, ada apa?“ Dia berujar sambil melangkah. Kemudian menyuruh kami bekerja kembali melalui isyarat tangan.“Kamu kenal dia, Nai?“ Pertanyaan Mbak Tetty membuatku tersentak. Lalu menggeleng pelan.“Jelas enggak, Mbak,“ jawabku.“Tapi kok dia tahu nama panjangmu?“ tanyanya lagi. Aku mengangkat bahu. Terdengar helaan napasnya pelan.“Kirain kamu kenal dia,“ cetusnya.“Kalau kenal, pasti langsung ngajak ngobrol, Mbak. Bukan malah nanyain namaku,“ balasku. Mbak Tetty tersenyum.“Iya juga sih. Yaudah, ayo kerja lagi,“ katanya. Aku pun mengangguk dan kembali merapihkan kain sambil menunggu pengunjung datang..Jam istirahat tiba. Sepert
Setelah shalat subuh, aku langsung bertolak ke hotel dilangsungkannya pernikahan Cantika. Begitu sampai di parkiran, Meera dan Adila yang sudah datang lebih dulu, langsung memelukku.“gue kangen banget. Gimana kabar Lo? Baik kan?“ tanya Meera saat kami cipika-cipiki.“Alhamdulillah, Meer. Baik banget,“ jawabku.“Terus gimana si Hangga?“ tanyanya lagi.“Udah aman, Meer. Rumah Medina juga sudah resmi jadi milik Naira.“ Adila menjawab. Netra Meera langsung berbinar.“Hebat.“ Meera mengacungkan jempolnya.“Selamat ya, Nai. Kukira bakalan lama prosesnya,“ lanjutnya.“Aku pikir juga bakalan lama. Udah rezekinya istri yang didzalimi,“ sahut Adila. Sementara aku hanya tersenyum.“Yaudah ayo masuk. Pengantin pasti udah nungguin kita,“ ucap Adila. Kami pun berjalan beriringan ke ruang rias.Sesampainya di ruangan berwarna broken white itu, kami langsung menghampiri Cantika yang tengah dirias.“Hai,
“Nikmati saja, Khai. Aku juga yakin, kamu menyukainya,“ balasnya berbisik. Membuatku sontak menggigit bibir bawah.“Rilex, Khai.“Aku membuka mata saat hangat napasnya menerpa pipi. Jarak kami yang sangat dekat, membuatku menahan napas gugup sekaligus malu.“Senyum sedikit.“ Suara fotografer membuatku terpaksa tersenyum. Membiarkan mata kami bertemu untuk beberapa saat.“Oke, tahan.““Ganti pose.““Berapa lama lagi?“ bisikku sambil menatap wajahnya yang benar-benar tampan. Hidung mancung, rahang tegas, bibir merah dan mata agak sipit tapi tajam, membuat dadaku semakin bergelora.“Sampai aku bosan.“ Jawabannya yang terdengar santai membuatku mendelik.“Selesai, Bos.“Aku menghela napas lega saat sesi tak terduga ini telah usai. Terdiam sejenak, melihat Aric yang mengobrol dengan fotografer. Lalu kembali dengan senyum sumringah dan membiarkan tangan ini digenggamnya saat berjalan menuju ballroom hotel.Begitu memasuki ballroom, Meera melambaikan tangan. Kami pun gegas menghampirinya. Me
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme
Naira memutar bola matanya, tak ingin memperpanjang obrolan. Dia tahu betul, kalau Aric sudah punya rencana, sulit baginya untuk mengubah keputusan lelaki itu. “Taksinya sudah datang. Ayo, Babe!“ seru Aric sambil mengambil alih koper Naira. Naira pun mengikutinya dengan bibir mengerucut. Sejujurnya dia ingin pulang ke rumahnya. Lalu bertemu si kembar. “Kenapa cemberut terus?“ tanya Aric saat di perjalanan menuju hotel. “Aku kangen si kembar,“ jawab Naira sendu. “Maaf, ya. Tapi ini juga demi kelancaran segalanya. Setelah dari acara Hilma, kita langsung ke rumahmu. Aku akan meminta izin langsung sama si kembar,“ sahut Aric. Naira menghela napas panjang. “Oke deh.“ Pagi cukup cerah saat Naira sibuk mematut dirinya di cermin. Jika biasanya dia mengenakan gaun buatannya sendiri, kali ini Naira mengenakan gaun berwarna pastel yang dua hari lalu dibeli Aric. Gaun itu tampak elegan, menawan tapi tak mencolok. Ukurannya pun begitu pas di tubuh Naira. “Kok deg-degan ya?“ gu
“Ric, kenapa?“ Naira kembali bertanya. Aric kembali mengusap wajahnya. “Malam ini dan seminggu ke depan, kamu tidur di sini ya?“ katanya. “Sama kamu?“ tanya Naira. “Maunya sih begitu,“ jawab Aric sambil membuang napas “Tapi no! Aku mau nginep di apartemen temanku saja, Babe. Aku nggak yakin bisa menahan diri kalau dekat-dekat terus sama kamu,“ jawab Aric. Seketika hati Naira dipenuhi haru. “Kamu …“ “Aku nggak yakin bisa menjaga diri kalau berada di dekatmu, Khai. Sekarang hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum kita halal,“ ujar Aric. Seketika air mata Naira mengalir. Bukan air mata sedih, tapi haru. “Kok nangis? Sedih nggak aku sentuh?“ kelakar Aric. Naira langsung mengerucutkan bibirnya. “Baru aja aku terharu, eh kamu malah bikin kesel,“ katanya. Aric pun tertawa lepas. “Udah masuk jam makan siang. Kita cari makan dulu, yuk!“ ajak Aric. “Boleh. Tapi shalat dulu, ya!“ balas Naira. “Oke.“ ** Aric membawa Naira ke sebuah restoran halal langganannya. Sebe
“Nggak! Aku nggak mau!“ seru Aric dengan mata melotot.Mendengar penolakan Aric, dunia Naira seolah runtuh. Naira menghela napas sejenak, lalu berbalik hendak meninggalkan Aric. Tapi sedetik kemudian, Aric menarik tangannya dengan kencang hingga Naira jatuh ke pelukannya.Naira mengerjap pelan. Dahinya sedikit mengerut, mencerna apa yang sebenarnya diinginkan Aric.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Khai? Tadi kamu bilang membutuhkanku, mencintaiku, tapi kenapa tiba-tiba tiba-tiba kamu bilang ingin bersahabat denganku? Jangan main-main dengan hatiku, Khaira!“ serunya tegas dengan suara tertahan.“Aku nggak main-main, Ric. Aku hanya ….“ Naira tak mampu menyelesaikan perkataannya.“Aku nggak mau kalau hanya jadi sahabatmu, Khai. Aku bosan jadi sahabatmu. Dari SMP sampai setua ini, tak bisakah aku menjadi pendamping hidupmu, Khai? Memilikimu seutuhnya?“ Aric menatap Naira lekat-lekat. Naira menelan salivanya susah payah. Lidahnya terasa kelu, tak tahu harus berkata apa lagi setelah men
“Jadi gimana, Nai? Lo masih belum ketemu Aric?“ tanya Meera. Malam itu, sepulang dari rumah sakit, Naira melakukan video call dengan ketiga sahabatnya. “Belum, Meer.“ Naira menjawab lesu dengan mata berkaca-kaca. “Si Erlangga nggak ngerjain Lo kan, Nai?“ sahut Cantika. Naira mengangkat bahu. “Keknya sih enggak. Cuma emang kebijakan rumah sakitnya ketat. Andai punya nomor Aric, pasti nggak bakalan sesusah ini,“ keluhnya. Ke tiga sahabatnya saling melirik. Merasa iba pada Naira. Melihat seberapa besar effort perempuan itu mengejar cintanya. “Lo nggak punya nomor Erlangga juga?“ tanya Meera. “Enggak, Meer.“ Naira menghela napas berat. “Terus gimana? Kamu masih mau di situ atau gimana?“ tanya Adila. Naira terdiam sejenak. “Aku … belum tahu.“ Naira tak mau mengatakan kalau tabungannya menipis. Dia takut ke tiga sahabatnya itu turun tangan membantunya. Setelah panggilan video call berakhir, Naira berbaring miring sambil memeluk guling. Memikirkan apa kiranya langkah yang harus di
Naira duduk di tepi ranjang hotelnya, menatap ke luar jendela yang berembun. Udara terasa menusuk, meski penghangat ruangan menyala. Langit di luar tampak kelabu, menandai musim gugur yang nyaris berakhir. Dia menarik nafas panjang, menyentuh kaca jendela dengan ujung jarinya, menyeka embun tipis yang menghalangi pandangannya. Trotoar di bawah sudah mulai ramai. Orang-orang berjalan terburu-buru, membungkus diri dengan mantel tebal, seolah tak sabar ingin menghindari dingin. Dari kejauhan, Naira melihat sekelompok burung kecil berterbangan, mencari tempat berlindung. Pemandangan itu membuatnya termenung. “Musim salju hampir tiba,” gumamnya pelan, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Pagi itu terasa berbeda, bukan hanya karena udara yang dingin, tetapi juga karena hatinya yang masih bertahan dalam kegelisahan. Ada harapan kecil yang terus dia jaga, meski perlahan mulai meredup. Setelah mengisi perut, Naira kembali ke rumah sakit dengan semangat baru. Dia yakin, hari kedua akan berbe
Waktu berlalu, Naira sibuk menyiapkan keberangkatannya. Dia sudah memesan tiket pesawat, hotel selama di sana, mencari tahu tentang rumah sakit tempat Aric bekerja, dan memastikan semua kebutuhan si kembar terpenuhi.“Mommy nggak bakalan lama kan ke luar negerinya?“ tanya Razka saat Naira meminta izin sebelum menidurkan mereka.Naira mengangguk sambil membelai rambut putra Razka dan Shaka bergantian.“Insya Allah, paling lama seminggu, Sayang. Selama mommy pergi, kalian jangan bertengkar, harus saling mengayomi,“ kata Naira.“Kalau aku sih oke, Mom. Tapi entah tuh Razka. Selama ini dia kan yang suka bikin ulah lebih dulu,“ sahut Shaka.Naira tertawa kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. Sedih sebenarnya harus meninggalkan si kembar. Andai punya tabungan lebih banyak, pasti dia akan mengajak mereka serta.“Pokoknya kalian jangan bertengkar. Abang harus mengayomi Adek, dan Adek harus hormat sama Abang.”“Siap, Mommy.“**Hari keberangkatan pun akhirnya telah tiba. Naira berdiri di ba
Naira menatap mantan suaminya. Dia sama sekali tak marah. Setelah melihat tanggung jawab Hangga pada si kembar, rasa sakit lagi di hati seolah enyah entah kemana. Dia justru mendoakan yang terbaik untuk lelaki itu. “Selamat ya, Mas. Semoga kali ini Mas Hangga benar-benar bahagia. Aku harap dia juga jadi pelabuhan terakhir buat Mas.” “Aamiin,” jawab Hangga sambil tersenyum. “Terima kasih, Nai. Doa kamu berarti banget.” Hangga pun menyuruh si kembar meminta izin pada Bu Anya. Tanpa membantah, Shaka dan Razka langsung masuk menghampiri Bu Anya yang sedang memasak di dapur. Sedangkan Hangga memandang Naira dengan tatapan serius. Ada sesuatu yang sangat ingin dia tanyakan pada Naira. “Ngomong-ngomong, gimana hubungan kamu sama Aric? Aku dengar kalian dekat lagi?” Naira balas menatap Hangga dengan satu alis terangkat. Lalu tertawa kecil sebelum akhirnya menghela napas dan menggelengkan kepala. “Nggak, Mas. Jangankan dekat … yang ada Aric malah pindah ke luar negeri. Aku ngga