“Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya.
“Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mauAric menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia datang dengan wajah sumringah. Aku yang sedari tadi menunggu pun segera menghampirinya. Lalu membiarkannya merangkul bahu ini.“Kita belanja dulu atau makan dulu?“ tanya sambil membukakan pintu mobil. Aku terdiam sejenak. “Makan dulu deh. Tapi makannya di luar saja, jangan di rumahku. Capek banget ini badan,“ jawabku.Sudah tiga hari ini, Aric selalu makan di rumahku. Walau dengan menu sederhana, tapi tetap saja butuh tenaga untuk mengolahnya. Sementara hari ini, tubuh terasa sangat lelah. Pengunjung siang tadi membludak, membuat kami kewalahan melayani.“Oke, kita makan di luar saja. Kita cari resto dekat supermarket,“ sahutnya sambil menoleh dan tersenyum padaku..Setelah mengantarku untuk shalat magrib, Aric membawaku ke restoran cepat saji dekat supermarket. Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mata sontak terbelalak melihat Mas Hangga ada di meja yang tak begitu jauh dari kami.“
“Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau cerailah, Ric. Tapi dia tidak mau, alasannya dia yakin bisa berlaku adil,“ jawabku sebal. Dia terkekeh geli.“Emang dasar buaya. Nggak cukup di satu tempat,“ cetusnya.“Dan kamu juga sama saja, Ric.“ Aku menyahut datar.“Sama gimana?“ tanyanya.“Ya sama. Kamu juga suka godain dan php-in pegawai toko sebelah kan?“ balasnya membuatnya tergelak.“Godain aja kok, nggak pake hati. Cuma mereka saja yang geer dan baperan,“ sahutnya santai. Membuatku bergidik.“lagian aku belum nikah, Khai. Jadi wajar saja,“ sambungnya. Aku memutar bola mata malas. “Sama saja. Dasar Playboy!“ umpatku. Dia pun langsung terbahak.“Aku tuh sebenarnya setia, Khai. Hanya saja, perempuan yang kucintai sulit kujangkau, jadi aku cari pelarian ke yang lain,“ katanya. Aku mengerjap tak percaya mendengarnya.“Gila! Benar-benar buaya kamu, Ric.“ Aku bergumam pelan, tapi lagi-lagi reaksi
“Maaf, Naira. Aku sungguh minta maaf,“ ucapnya. Tapi entah, tak kudengar ketulusan dari suara maupun sorot matanya. “Simpan saja maafmu, Mas! Bosan aku mendengarnya. Sekarang katakan ... Apa lagi yang harus kulakukan?“ sindirku. Mas Hangga langsung menunduk, di menit selanjutnya, tangannya membuka map yang sedari tadi tergeletak di sampingnya.“Ada beberapa berkas yang membutuhkan tanda tandangmu,“ katanya.“Berkas apa?“ tanyaku dengan mata memicing. Netra pun sontak meliar.“Mas!“ “Aku akan menjual grosir di Jalan Haji Saleh,“ jawabnya. “Serius?“ Aku membulatkan mata tak percaya. Karena selama ini, perkembangan toserba cabang pertama itu cukup pesat.“Untuk apa kamu menjualnya? Jangan bilang kalau kamu terus merugi,“ tudingku. Dia langsung menggeleng.“Aku butuh uang untuk resepsi dan renovasi rumah Ibu, Ra,“ jawabnya.“Wow ...“ Aku bertepuk tangan p
“Ada apa, Mas?“ Mbak Medina bertanya penasaran.“Enggak, Sayang. Cuma Mas heran, kenapa ada surat yang belum kita tanda tangani?“ Mas Hangga menatap Mbak Medina dengan sorot ragu. Membuatku menelan saliva dengan susah dan keringat dingin yang mulai menitik di dahi.Dengan mata meliar gusar, kupikirkan cara supaya Mas Hangga tak membaca surat itu, tapi nihil. Otak seakan buntu, tak menemukan satu pun yang bisa kujadikan alibi.“Coba sini aku lihat, Mas.“Mbak Medina mengambil alih surat. Lalu dahinya pun mengerut.“Iya juga ya, Mas. Ini surat apa ya? Kok nggak ada nama Naira di sini?“ tanyanya. Sebuah ide sontak yang muncul di kepala.“Surat apa itu? Apa jangan-jangan kalian menipuku?“ tanyaku setenang mungkin.“Jangan su'uzan!“ Mas Hangga langsung melotot murka.“Terus, kenapa suratnya belum ditanda tangani? Apa jangan-jangan ...“ ucapku sengaja digantung.“Naira!“ Mas Hangga langsung berseru, tampak tak terima. Lalu menatap Mbak Medina.“Tanda tangan, Sayang. Biar Naira nggak su'uza
“Oh ... Jadi ini yang namanya Naira? Naira ... Kha—khairana?“Aku mengangguk pelan dan ragu. Dalam hati ketar-ketir, mengkhawatirkan sesuatu yang entah apa. Tapi perasaan itu perlahan sirna, saat Ibu bos yang entah siapa namanya itu tersenyum lebar hingga terlihat lesung pipinya.“Kenalkan, saya ...“ ucapnya tapi menggantung karena ponselnya berdering.“Iya, Al, ada apa?“ Dia berujar sambil melangkah. Kemudian menyuruh kami bekerja kembali melalui isyarat tangan.“Kamu kenal dia, Nai?“ Pertanyaan Mbak Tetty membuatku tersentak. Lalu menggeleng pelan.“Jelas enggak, Mbak,“ jawabku.“Tapi kok dia tahu nama panjangmu?“ tanyanya lagi. Aku mengangkat bahu. Terdengar helaan napasnya pelan.“Kirain kamu kenal dia,“ cetusnya.“Kalau kenal, pasti langsung ngajak ngobrol, Mbak. Bukan malah nanyain namaku,“ balasku. Mbak Tetty tersenyum.“Iya juga sih. Yaudah, ayo kerja lagi,“ katanya. Aku pun mengangguk dan kembali merapihkan kain sambil menunggu pengunjung datang..Jam istirahat tiba. Sepert
Setelah shalat subuh, aku langsung bertolak ke hotel dilangsungkannya pernikahan Cantika. Begitu sampai di parkiran, Meera dan Adila yang sudah datang lebih dulu, langsung memelukku.“gue kangen banget. Gimana kabar Lo? Baik kan?“ tanya Meera saat kami cipika-cipiki.“Alhamdulillah, Meer. Baik banget,“ jawabku.“Terus gimana si Hangga?“ tanyanya lagi.“Udah aman, Meer. Rumah Medina juga sudah resmi jadi milik Naira.“ Adila menjawab. Netra Meera langsung berbinar.“Hebat.“ Meera mengacungkan jempolnya.“Selamat ya, Nai. Kukira bakalan lama prosesnya,“ lanjutnya.“Aku pikir juga bakalan lama. Udah rezekinya istri yang didzalimi,“ sahut Adila. Sementara aku hanya tersenyum.“Yaudah ayo masuk. Pengantin pasti udah nungguin kita,“ ucap Adila. Kami pun berjalan beriringan ke ruang rias.Sesampainya di ruangan berwarna broken white itu, kami langsung menghampiri Cantika yang tengah dirias.“Hai,
“Nikmati saja, Khai. Aku juga yakin, kamu menyukainya,“ balasnya berbisik. Membuatku sontak menggigit bibir bawah.“Rilex, Khai.“Aku membuka mata saat hangat napasnya menerpa pipi. Jarak kami yang sangat dekat, membuatku menahan napas gugup sekaligus malu.“Senyum sedikit.“ Suara fotografer membuatku terpaksa tersenyum. Membiarkan mata kami bertemu untuk beberapa saat.“Oke, tahan.““Ganti pose.““Berapa lama lagi?“ bisikku sambil menatap wajahnya yang benar-benar tampan. Hidung mancung, rahang tegas, bibir merah dan mata agak sipit tapi tajam, membuat dadaku semakin bergelora.“Sampai aku bosan.“ Jawabannya yang terdengar santai membuatku mendelik.“Selesai, Bos.“Aku menghela napas lega saat sesi tak terduga ini telah usai. Terdiam sejenak, melihat Aric yang mengobrol dengan fotografer. Lalu kembali dengan senyum sumringah dan membiarkan tangan ini digenggamnya saat berjalan menuju ballroom hotel.Begitu memasuki ballroom, Meera melambaikan tangan. Kami pun gegas menghampirinya. Me
Acara berlangsung sakral dan meriah. Tak ada yang tak terharu saat prosesi sungkeman berlangsung. Termasuk aku. Apapun hal yang menyangkut orangtua, selalu berhasil membuatku menitikan air mata. Aku rindu Ayah. Rindu juga pada Ibu, walau ... tak pernah merasakan kasih sayangnya, karena beliau meninggal setelah melahirkanku.“Jangan nangis dong.“Suara Aric disertai sentuhan jemarinya di sudut mata ini membuat tubuhku membeku sejenak. Lalu buru-buru kutepis tangannya, saat Meera mengarahkan ponselnya pada kami. Aric yang tahu itu, bukannya marah tapi justru menggenggam tanganku.“Kan tadi sudah,“ kataku kesal.“Beda lagi.“ Meera melotot sambil terus memotret kami. Hingga akhirnya, aku pun pasrah saat Aric menyandarkan kepalaku di bahunya..Satu persatu acara inti sudah selesai digelar. Kini giliran pemotretan, yang dimulai dari keluarga masing-masing pengantin. Sembari menunggu giliran, kami menikmati hidangan yang beragam.
Waktu begitu cepat bergulir. Tak terasa, enam bulan sudah aku menyandang status sebagai ibu dari dua anak kembar. Selama itu juga kuhabiskan waktu dengan mereka. Sebelum besok meninggalkan mereka untuk mengais rezeki. Ya, kuputuskan menerima tawaran Bu Annisa. Selain karena memang butuh, aku juga ingin mengembangkan kemampuanku di bidang desain pakaian. “Nai, ini Razka pup keknya.“ Aku yang tengah melipat pakaian, menoleh pada Meera yang tengah menggendong si adik. “Oke, bentar,“ sahutku seraya mencabut kabel setrika. Lalu beranjak menghampiri Meera. “Besok lo jadi kerja di Bu Annisa?“ tanya Meera. Aku mengangguk. “Insya Allah.“ “Kenapa harus kerja sih? Duit lo kan masih banyak,“ celetuk Meera. Selalu saja dia berkata seperti itu. “Enggak sebanyak kamu,“ balasku. Meera mencebik. “Oh iya, gue punya surprise buat
“Nah bener itu. Kapan lo merit, Meer? Nggak takut si Ken digondol ani-ani?“ Cantika menimpali sambil mengerlingkan mata pada Meera. Meera memutar bola mata. “Ya takut sih. Tapi gue lebih takut pernikahan gue gagal.““Harusnya lo lebih takut bobok berdua, Meer. Lo harusnya takut diazab sama Allah,“ celetuk Ivan—suami Cantika.Aku, Adila dan Cantik sontak mengulum senyum mendengarnya. Mahesa tertawa tanpa suara, sedangkan Meera tampak memerah pipinya.“Si*lan lo, Van. Untung bunda nginep di rumah Bang Rio,“ kata Meera sambil menatap tajam pada Ivan yang tampak mengangkat bahu.“Terserah deh. Tapi sebagai cowok yang bertanggung jawab, gue sangat menyayangkan, Meer. Kalau cuma bobok berdua, yang rugi itu cuma lo,“ cetus Ivan.Aku terdiam mendengarnya. Mendadak teringat dosa yang kulakukan dengan Aric. Andai waktu bisa diputar kembali, tentu aku tak ingin melakukan kebodohan itu.“Bene
Menjelang siang, kami kedatangan tamu spesial. Dia Bu Annisa, pemilik butik sekaligus sahabat Bunda saat SMA. Ini kali pertamanya kami bertemu. Karena selama ini memang bahan jahitan dan yang sudah selesai dijahit, diantar jemput oleh pegawai. Dia datang tak seorang diri. Ditemani sang anak yang menunggu di luar. “Jadi ini yang namanya Naira?“ tanyanya saat aku menyalaminya. “Iya, Nis.“ Bukan aku yang menjawab, tapi Bunda. “Masya Allah … Kamu cantik banget, Sayang. Kamu juga masih muda,“ ucapnya. Aku tersenyum tipis “Kamu ada anak secantik ini kenapa diam-diam saja, Any? Tau gini, dari kemarin aku ke sini,“ sambungnya sambil menatap Bunda yang tengah menata cemilan. “Kemarin kan Naira masih dalam masa iddah. Mana bisa aku main kenalin-kenalin aja. Bisa ngantri nanti yang mau jadi jodohnya Naira,“ sahut
“Kalian ngapain di sini?“ Pertanyaan itu kembali mengalun dari mulut Teh Alisa. Aku lantas melirik Meera yang menatap iparnya itu datar. “Kita mau ke dapur. Lapar,“ jawab Meera. Lalu dia menarik tanganku. “Ayo, Nai!“ Aku pun lantas mengikuti langkah Meera. Masuk ke dapur, aku dan Meera sama-sama menghela napas lega. “Tadi lo mau ngomong apa?“ tanya Meera. Aku hendak membuka suara, tapi urung karena Teh Alisa ternyata mengikuti kami. Dia bahkan berdiri seperti mengamati kami berdua. “Bukannya di depan masih banyak tamu, ya? Kenapa kamu malah makan?“ tanya Teh Alisa. Dia menatapku seakan ingin mengulitiku saja. “Ya namanya juga lapar. Lagian emak-emak di sana lagi ngobrol sama Bunda, kok. Yaudah, mending kita makan aja.“ Lagi-lagi Meera yang menjawab. Teh Alisa terdengar mendengkus. Lalu meninggalkan kami begitu saja.
“Ah … congrat, Nai. Akhirnya lo jadi ibu,“ ucap Meera sambil memelukku. Gadis itu benar-benar tak ada capeknya. Padahal dia baru tiba, tapi langsung datang ke sini untuk menemaniku. “Thanks, Meer. Akhirnya kamu juga jadi Aunty,“ sahutku. Meera mengangguk. Lalu terdiam sejenak sambil menatap ke arah perutku. “Eh, perut lo nggak papa kan, Nai?“ tanyanya. “Its oke, Meer. Im fine.“ Aku menjawab sambil tersenyum. “Syukurlah,“ sahut Meera sambil mengambil cemilan yang entah sejak kapan ada di lemari. “Gue penasaran, kira-kira siapa yang nyelekain lo? Apa jangan-jangan si Alisa ya?“ ujarnya sambil memberikan sebungkus cemilan padaku. “Jangan suuzan!“ sahutku. Meera langsung mengerucutkan bibir. “Bukan suuzan, tapi kan emang cuma dia yang nggak suka sama lo. Kalau sampai dia yang ngelakuin itu, gue nggak bakalan segan laporin dia ke polisi,“
”Assalamualaikum.” Naira dan Bu Anya yang sedang menikmati sarapan lantas menoleh mendengar suara salam dibarengi kedatangan Rio. ”Waalaikumsalam,” jawab keduanya kompak. ”Aku numpang sarapan di sini, Bun.” Tanpa basa-basi, Rio menaruh tas kerjanya di kursi yang kosong. Lalu duduk di samping Bu Anya. ”Alisa nggak masak?” tanya Bu Anya. Tentu saja hanya basa-basi semata. Karena dia tahu, menantunya itu jarang memasak dan lebih sering membeli makanan siap santap. Rio tak menjawab. Dia langsung mengambil dua roti goreng. Lalu menuangkan susu ke gelas yang kosong. ”Kalian bertengkar ya?” Bu Anya menatap putranya intens. Rio masih bungkam. Lebih memilih menggigit roti yang isinya selai kacang coklat. Bu Anya menghela napas panjang. ”Kalau dipikir-pikir kalian itu lebih banyak bertengkarnya daripada akurnya,” celetuknya
"Nai, makan dulu!” Naira yang tengah menjahit menghentikan aktifitasnya sejenak, dan lantas menoleh pada Bu Anya. "Bentar, Bun. Tanggung," sahutnya sambil tersenyum nyengir. Bu Anya langsung mencibir. "Tanggung … tanggung. Inget Ada dua janin di perut kamu, Nai," katanya. "lya, Bun. Aku inget, kok." Naira tersenyum nyengir. Bu Anya menghela napas panjang. Malas mendebat, wanita paruh baya berhijab hijau pupus itu lantas mendaratkan bobotnya di kursi depan mesin obras. Lalu menatap perut Naira yang semakin besar. ”Jangan capek-capek, Nai. Kasihan fisik sama dua janin kamu,” cetusnya. Naira tersenyum tipis. "Insya Allah, enggak capek kok, Bun." "Ah, kamu mah ngebales terus. Udah ah, bunda tunggu di ruang makan, ya!” Bu Anya berujar seraya beranjak berdiri. "Iya, Bun." Naira berge
”Loh Medina, wajahmu kenapa?” Mamah Tanti—mertuaku, tampak heran melihat wajah sembab Medina. Medina tak menjawab, dia langsung masuk begitu. Mamah Tanti beralih menatapku. ”Kamu apakan Medina, Hangga?” ”Bapak mana, Mah?” Aku bertanya balik seraya mencium punggung tangannya. Tak lama Bapak mertuaku keluar dari kamarnya. ”Hangga?” Bapak mengerutkan dahi melihat kehadiranku. Aku pun beranjak menghampirinya dan meraih tangannya. ”Ada yang mau Hangga bicarakan sama Mamah sama Bapak,” ujarku sambil menatap ke duanya bergantian. ”Masalah apa?” tanya Mamah Tanti. ”Suruh Hangga duduk dulu, Mah. Ayo, Hangga!” Bapak merangkul bahuku. Aku mengangguk. ”Ada masalah serius?” tanya Bapak. Aku mengangguk pelan. ”Masalah apa?” Bapak kembali bertanya dengan tenang. ”Hangga menalak Medina.”
”Enggak, Mas. Aku nggak setuju. Mas ini keterlaluan! Masalah segitu aja dibesar-besarkan,” ujar Hasna dengan napas memburu cepat. ”Bukan dibesar-besarkan, Hasna. Tapi memang masalahnya besar, kok. Suamimu dan iparmu itu sudah merugikan Masmu. Masa kamu masih mau membelanya,” sahut Ibu. Hasna memalingkan wajah. Seketika air matanya mengaliri pipi. Dia selalu saja begitu. Akan menangis untuk menarik simpati. ”Nggak usah menangis, Hasna. Air matamu tak akan mengubah keputusan mas,” ujarku. ”Mas, pikirkan nasibku dong. Nasib ponakan-ponakanmu,” balas Hasna. ”Iya betul, Hangga. Jangan mengedepankan emosi,” timpal Mas Haris. Aku berdecak pelan. Lucu sekali Mas Haris. Padahal selama ini dia lah yang sering mengedepankan emosi dan ego. ”Maafkan mas, Hangga. Mas melakukan ini juga karena tuntutan Mbakmu. Dia terlalu banyak permintaan. Sementara cicilan kami masih bany