“Oh ... Jadi ini yang namanya Naira? Naira ... Kha—khairana?“Aku mengangguk pelan dan ragu. Dalam hati ketar-ketir, mengkhawatirkan sesuatu yang entah apa. Tapi perasaan itu perlahan sirna, saat Ibu bos yang entah siapa namanya itu tersenyum lebar hingga terlihat lesung pipinya.“Kenalkan, saya ...“ ucapnya tapi menggantung karena ponselnya berdering.“Iya, Al, ada apa?“ Dia berujar sambil melangkah. Kemudian menyuruh kami bekerja kembali melalui isyarat tangan.“Kamu kenal dia, Nai?“ Pertanyaan Mbak Tetty membuatku tersentak. Lalu menggeleng pelan.“Jelas enggak, Mbak,“ jawabku.“Tapi kok dia tahu nama panjangmu?“ tanyanya lagi. Aku mengangkat bahu. Terdengar helaan napasnya pelan.“Kirain kamu kenal dia,“ cetusnya.“Kalau kenal, pasti langsung ngajak ngobrol, Mbak. Bukan malah nanyain namaku,“ balasku. Mbak Tetty tersenyum.“Iya juga sih. Yaudah, ayo kerja lagi,“ katanya. Aku pun mengangguk dan kembali merapihkan kain sambil menunggu pengunjung datang..Jam istirahat tiba. Sepert
Setelah shalat subuh, aku langsung bertolak ke hotel dilangsungkannya pernikahan Cantika. Begitu sampai di parkiran, Meera dan Adila yang sudah datang lebih dulu, langsung memelukku.“gue kangen banget. Gimana kabar Lo? Baik kan?“ tanya Meera saat kami cipika-cipiki.“Alhamdulillah, Meer. Baik banget,“ jawabku.“Terus gimana si Hangga?“ tanyanya lagi.“Udah aman, Meer. Rumah Medina juga sudah resmi jadi milik Naira.“ Adila menjawab. Netra Meera langsung berbinar.“Hebat.“ Meera mengacungkan jempolnya.“Selamat ya, Nai. Kukira bakalan lama prosesnya,“ lanjutnya.“Aku pikir juga bakalan lama. Udah rezekinya istri yang didzalimi,“ sahut Adila. Sementara aku hanya tersenyum.“Yaudah ayo masuk. Pengantin pasti udah nungguin kita,“ ucap Adila. Kami pun berjalan beriringan ke ruang rias.Sesampainya di ruangan berwarna broken white itu, kami langsung menghampiri Cantika yang tengah dirias.“Hai,
“Nikmati saja, Khai. Aku juga yakin, kamu menyukainya,“ balasnya berbisik. Membuatku sontak menggigit bibir bawah.“Rilex, Khai.“Aku membuka mata saat hangat napasnya menerpa pipi. Jarak kami yang sangat dekat, membuatku menahan napas gugup sekaligus malu.“Senyum sedikit.“ Suara fotografer membuatku terpaksa tersenyum. Membiarkan mata kami bertemu untuk beberapa saat.“Oke, tahan.““Ganti pose.““Berapa lama lagi?“ bisikku sambil menatap wajahnya yang benar-benar tampan. Hidung mancung, rahang tegas, bibir merah dan mata agak sipit tapi tajam, membuat dadaku semakin bergelora.“Sampai aku bosan.“ Jawabannya yang terdengar santai membuatku mendelik.“Selesai, Bos.“Aku menghela napas lega saat sesi tak terduga ini telah usai. Terdiam sejenak, melihat Aric yang mengobrol dengan fotografer. Lalu kembali dengan senyum sumringah dan membiarkan tangan ini digenggamnya saat berjalan menuju ballroom hotel.Begitu memasuki ballroom, Meera melambaikan tangan. Kami pun gegas menghampirinya. Me
Acara berlangsung sakral dan meriah. Tak ada yang tak terharu saat prosesi sungkeman berlangsung. Termasuk aku. Apapun hal yang menyangkut orangtua, selalu berhasil membuatku menitikan air mata. Aku rindu Ayah. Rindu juga pada Ibu, walau ... tak pernah merasakan kasih sayangnya, karena beliau meninggal setelah melahirkanku.“Jangan nangis dong.“Suara Aric disertai sentuhan jemarinya di sudut mata ini membuat tubuhku membeku sejenak. Lalu buru-buru kutepis tangannya, saat Meera mengarahkan ponselnya pada kami. Aric yang tahu itu, bukannya marah tapi justru menggenggam tanganku.“Kan tadi sudah,“ kataku kesal.“Beda lagi.“ Meera melotot sambil terus memotret kami. Hingga akhirnya, aku pun pasrah saat Aric menyandarkan kepalaku di bahunya..Satu persatu acara inti sudah selesai digelar. Kini giliran pemotretan, yang dimulai dari keluarga masing-masing pengantin. Sembari menunggu giliran, kami menikmati hidangan yang beragam.
**“Itu dress yang kupesan khusus malam ini,“ katanya seakan paham kebingungan yang melandaku.“Dress?“ Dia mengangguk.“Tapi aku kan sudah pake. Apa jangan-jangan dress ini jelek ya?“ tanyaku sambil menatap dress lawas yang melekat di tubuhku.“Tidak. Itu juga bagus, tapi aku mau kita tampak kompak dan serasi.“Jawabannya membuatku menelan saliva susah payah dan mengangguk pasrah, saat tubuh didorong masuk ke kamar yang sepertinya kamar tamu.Aku mematung menatap dress blue saphire yang melekat di tubuh. Dress yang terbuat dari bahan bridal silk membuat kepercayaan diriku bertambah. Meski agak syok juga saat melihat tag price-nya yang setara gajiku.“Cantik,“ gumam Aric saat aku menghampirinya. Lalu menerima uluran tangannya yang begitu hangat.**Pesta pernikahan temannya Aric, tak kalah meriah dari pesta Cantika tadi siang. Banyaknya karangan bunga ya
“Tentu saja. Aku bukan pernah tertarik padamu, tapi benar-benar mencintaimu Dari saat pertama kali bertemu, aku sudah jatuh hati padamu. Dan sampai saat ini, rasa itu masih bertahan di sini,“ katanya sambil menaril tanganku, menyentuh dadanya yang berdebar kencang.“You're joking, right?“ tanyaku garing, setelah cukup lama menetralkan segala perasaan yang berkecamuk di dada.“I mean what I'm saying,“ jawabnya. Membuat tubuhku membeku seketika.“Sejak kapan?“ tanyaku masih tak percaya.“Tadi sudah kujawab. Sejak pertama kali kita bertemu, lebih tepatnya hari pertama MOS SMP,“ jawabnya terdengar sungguh-sungguh. Jantung berdetak semakin cepat, seiring munculnya denyar tak biasa dan bayangan wajah muram Mas Hangga. Buru-buru, kutarik tangan dan memalingkan pandangan.“Kayaknya kamu kelelahan, Ric. Kita pulang yuk!“ ajakku seraya tersenyum kaku. Tapi dia malah tertawa renyah.“Kenapa wajahmu pucat begitu, Khai? Aku tidak kelelahan dan justru bahagia sekali. Oh iya, Khai ... Jangan khawat
Begitu masuk rumah, aku menahan napas sejenak sambil menyandarkan tubuh di balik pintu dan terlonjak kaget melihat Mas Hangga yang muncul dari pintu penghubung dapur dengan wajah bermuram durja. “Bagus ... Mentang-mentang jauh dari suami, keluyuran nggak kenal waktu.“ “M-mas,“ ucapku gugup. “Kamu dari mana? Kenapa pulang selarut ini?“ tanyanya. “Dari pernikahan Cantika. Perasaan ini belum larut. Baru jam sembilan,“ jawabku tanpa menatapnya. “Kamu memang suka menyanggah ucapanku,“ katanya ketus. “Sudahlah, Mas. Kalau ke sini hanya ingin bertengkar, lebih baik kamu pulang. Lelah rasanya, tiap ketemu kamu selalu marah-marah. Menyebalkan,“ sahutku tak kalah ketus sambil melangkah menuju kamar. “Gimana nggak marah, sudah dua jam aku menunggumu. Kamu ditelepon nggak dijawab, di WA juga nggak dibalas,“ gerutunya. “Nah gitu juga perasaanku saat kamu nggak jawab teleponku, nggak balas WA-ku,“ balasku. Membuatnya langsung terdiam. “Aku mau shalat,“ putusku. . Kupandangi pantulan waj
“Katanya, aku harus memperbaiki hubunganku denganmu, Ra. Dan malam ini, aku ingin melakukannya,“ ucapnya sebelum aku menutup mata dan membiarkannya memberikan nafkah batin yang sekian lama tertunda, walau sosok Aric tak hentinya membayangi pikiran..Aku menggeliat pelan saat mendengar dengkuran halus dari mulut Mas Hangga. Setelah memastikannya sudah benar-benar terlelap, kuraih pakaian yang berceceran di dekat ranjang dan mengenakannya. Lalu meraih ponsel yang sedari tadi kumatikan datanya.Begitu data dinyalakan, puluhan pesan dan panggilan tak terjawab langsung memenuhi panel notifikasi. Salah satunya dari Aric. Tak berniat membalas, kuabaikan lagi panggilan masuk darinya. Hingga akhirnya dia kembali mengirim pesan.[Please, angkat, Khai.][Khairana.][Aku menyesal, Khai. Maaf untuk kejadian tak terduga tadi.]Aku hanya membacanya dan tak berniat membalas pesan permintaan maafnya yang datang terus menerus. Rasa iba yang tiba-tiba menyeruak, akhirnya membuatku luluh dan menarikan j
Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“
Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa
Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me
“Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr
“Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol
“Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a
“Kalau Om mau melamar jadi Papi kalian … kira-kira bakalan kalian terima nggak?“ Mendengar pertanyaan Aric, Shaka dan Razka sontak saling pandang. Lalu keduanya menatap Aric lekat-lekat. “Om Dokter beneran mau jadi Papi kita?“ tanya Razka. “Ya.“ Aric tersenyum. “Aku sih setuju, Om. Yang penting Om nggak pisahkan kita dari Mommy,“ kata Shaka. Dalam benaknya masih tercetak jelas bagaimana upaya Sean memisahkan mereka dari Naira. “Mana bisa begitu. Kalau Om jadi Papi kalian, ya kita harus sama-sama. Dimanapun, kapanpun, dengan kondisi apapun, Om harus selalu sama kalian,“ jawab Aric. Shaka tersenyum samar. “Jadi gimana?“ lanjut Aric. “Aku setuju. Asalkan Om bisa bikin Mommy cantik setiap hari,” jawab Razka. Aric mengernyit tak paham. “Mommy itu cantik kalau tersenyum, Om. Jadi Om harus bisa bikin Mommy tersenyum setiap hari,“ ujar Shaka, seakan tahu arti kerutan di wajah Aric. “Oh … begitu ya?“ Aric mangut-mangut. “Kalau begitu, bantu Om bikin Mommy kalian selalu ter
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme