“Tentu saja. Aku bukan pernah tertarik padamu, tapi benar-benar mencintaimu Dari saat pertama kali bertemu, aku sudah jatuh hati padamu. Dan sampai saat ini, rasa itu masih bertahan di sini,“ katanya sambil menaril tanganku, menyentuh dadanya yang berdebar kencang.“You're joking, right?“ tanyaku garing, setelah cukup lama menetralkan segala perasaan yang berkecamuk di dada.“I mean what I'm saying,“ jawabnya. Membuat tubuhku membeku seketika.“Sejak kapan?“ tanyaku masih tak percaya.“Tadi sudah kujawab. Sejak pertama kali kita bertemu, lebih tepatnya hari pertama MOS SMP,“ jawabnya terdengar sungguh-sungguh. Jantung berdetak semakin cepat, seiring munculnya denyar tak biasa dan bayangan wajah muram Mas Hangga. Buru-buru, kutarik tangan dan memalingkan pandangan.“Kayaknya kamu kelelahan, Ric. Kita pulang yuk!“ ajakku seraya tersenyum kaku. Tapi dia malah tertawa renyah.“Kenapa wajahmu pucat begitu, Khai? Aku tidak kelelahan dan justru bahagia sekali. Oh iya, Khai ... Jangan khawat
Begitu masuk rumah, aku menahan napas sejenak sambil menyandarkan tubuh di balik pintu dan terlonjak kaget melihat Mas Hangga yang muncul dari pintu penghubung dapur dengan wajah bermuram durja. “Bagus ... Mentang-mentang jauh dari suami, keluyuran nggak kenal waktu.“ “M-mas,“ ucapku gugup. “Kamu dari mana? Kenapa pulang selarut ini?“ tanyanya. “Dari pernikahan Cantika. Perasaan ini belum larut. Baru jam sembilan,“ jawabku tanpa menatapnya. “Kamu memang suka menyanggah ucapanku,“ katanya ketus. “Sudahlah, Mas. Kalau ke sini hanya ingin bertengkar, lebih baik kamu pulang. Lelah rasanya, tiap ketemu kamu selalu marah-marah. Menyebalkan,“ sahutku tak kalah ketus sambil melangkah menuju kamar. “Gimana nggak marah, sudah dua jam aku menunggumu. Kamu ditelepon nggak dijawab, di WA juga nggak dibalas,“ gerutunya. “Nah gitu juga perasaanku saat kamu nggak jawab teleponku, nggak balas WA-ku,“ balasku. Membuatnya langsung terdiam. “Aku mau shalat,“ putusku. . Kupandangi pantulan waj
“Katanya, aku harus memperbaiki hubunganku denganmu, Ra. Dan malam ini, aku ingin melakukannya,“ ucapnya sebelum aku menutup mata dan membiarkannya memberikan nafkah batin yang sekian lama tertunda, walau sosok Aric tak hentinya membayangi pikiran..Aku menggeliat pelan saat mendengar dengkuran halus dari mulut Mas Hangga. Setelah memastikannya sudah benar-benar terlelap, kuraih pakaian yang berceceran di dekat ranjang dan mengenakannya. Lalu meraih ponsel yang sedari tadi kumatikan datanya.Begitu data dinyalakan, puluhan pesan dan panggilan tak terjawab langsung memenuhi panel notifikasi. Salah satunya dari Aric. Tak berniat membalas, kuabaikan lagi panggilan masuk darinya. Hingga akhirnya dia kembali mengirim pesan.[Please, angkat, Khai.][Khairana.][Aku menyesal, Khai. Maaf untuk kejadian tak terduga tadi.]Aku hanya membacanya dan tak berniat membalas pesan permintaan maafnya yang datang terus menerus. Rasa iba yang tiba-tiba menyeruak, akhirnya membuatku luluh dan menarikan j
“Ya mau gimana lagi, Meer. Dia kan masih suamiku,“ sahutku sambil menunduk.“Bener-bener bucin Lo, Nai. Udahlah kata cerai aja. Ngapain lagi coba. Lo udah dapat rumahnya Si Medina, sekarang Lo udah kerja, makin cantik. Ada Aric juga yang bucin sama Lo,“ katanya. Aku langsung melemparnya dengan bantal sofa.“Bucin dari Hongkong!“ seruku ketus.“Beneran, Nai. Gue yakin Aric bucin sama Lo. Cara dia natap Lo, cara bicaranya, perhatiannya ... udah cukup jadi bukti kalau dia bucin sama Lo,“ katanya. Aku mencebikkan bibir.“Makin ngaco aja kamu, Meer. Udah ah, aku mau berangkat,“ kataku.“Bentar dulu lah. Tungguin gue, biar gue anterin Lo. Sekalian lihat Aric,“ sahutnya seperti menggodaku.“Dasar genit!“ umpatku.“Kalau Lo sama dia, gue setuju banget, Nai.“ “Tau ah.“ Aku buru-buru keluar dari rumahnya. Menunggu di kursi teras sambil mendengarkan lagu-lagu favorit melalui headset bluetooth.**Meera benar-benar membuatku malu. Setibanya di parkiran toko, dia langsung menghampiri Aric yang en
Aku menatap Mbak Medina, Mbak Hanin dan Hasna yang duduk di hadapanku dengan wajah terangkat. Tak tampak sedikit pun penyesalan dari raut wajah mereka. Sementara Mbak Tetty yang duduk di sampingku, mengelus punggung tangan ini. Seakan menyalurkan energi positif pada diri ini yang masih dikuasai amarah.“Baik, Ibu-ibu yang terhormat. Bisa tolong ceritakan duduk permasalahannya?“ tanya Pak Hafiz yang baru duduk, setelah menjawab telepon.“Baik, Pak Manager yang terhormat. Saya ke sini, supaya Si Naira ini ganti rugi. Karena dia sudah mengacaukan gaun ipar saya,“ jawab Mbak Hanin sambil melirik tajam padaku.“Mengacaukan bagaimana maksudnya?“ tanya Pak Hafiz.“Ya mengacaukan, Pak. Adik ipar saya ini pesan warna maroon, tapi ternyata merah cabe.“ Mbak Hanin menjawab ketus.“Kenapa Anda langsung komplen ke sini? Kenapa tak ke desainernya dulu?“Pertanyaan Pak Hafiz, berhasil membuat mereka
“Di fitting pertama, tak ada masalah. Tidak ada koreksi, selain tambahan payet. Begitu fitting kedua dan terakhir pun, tidak ada masalah. Tapi kemarin saat pelunasan, dia bilang nggak cocok sama warnanya. Dia menuding kalau Nak Naira salah setor warna, padahal saya sendiri saksinya saat Nak Naira menyetorkan barcode pada Mbak Tetty,“ sambungnya menggebu, dengan mata memerah.“Saya jelas kesal, Pak. Tapi berusaha mengambil opsi jalan tengah. Gaun itu disewa saja, tapi Bu Medina dan Pak Hangga menolak. Dengan alasan ingin gaun dan beskapnya nanti bisa dipakai keturunan mereka. Akhirnya saya kasih opsi lain, yaitu potongan harga dua puluh persen, dengan syarat tak diperpanjang.Karena jujur ... saya cukup pusing menghadapi klien seperti mereka. Saya kira permasalahan ini sudah selesai, makanya kaget dan merasa bersalah saat tadi ada yang nelepon, ngasih tau ada keributan di sini. Setelah tahu kebenarannya, saya bisa menyim
Setengah berlari, kususul kakek yang mengayuh sepeda berisi sapu dan tersenyum lega saat beliau menoleh saat dipanggil.“Mau beli sapu, Neng?“ Aku menatapnya yang cukup lama, hingga tak bisa menahan sendu saat wajah ayah tiba-tiba membayang di pelupuk mata. Dulu, saat ayah masih ada, beliau selalu menyuruhku membeli di pedagang kecil, baik butuh ataupun tidak. Karena kata Ayah, mereka berjualan untuk menyambung hidup, bukan menimbun harta. “Sapu yang ini, berapa?“ tanyaku sambil memegangi sapu yang cukup tebal dan berat.“Dua puluh lima ribu, Neng. Neng mau beli?“ tanyanya lagi. Aku mengangguk dan berpikir sejenak.“Beli sepuluh ya, Kek.“ Aku menjawab mantap.“Se-sepuluh?“ Aku mengangguk lagi.“Untuk apa beli sapu banyak-banyak, Neng? Kalau Neng beli karena kasihan, lebih baik jangan beli, Neng.“Aku tertegun me
Ada apa denganku? Kenapa aku labil seperti ini? Di saat bersama Aric, aku merasakan denyar tak biasa. Tapi di saat Mas Hangga melukai hati, aku pun masih menitikan air mata.Di saat benak sibuk memikirkan dua hal itu, ekor mataku menangkap seseorang membuka pintu dengan kasar. Belum sempat kuusap air mata, sosok itu masuk dengan langkah panjang.“Naira!“ teriaknya kencang. Siapa lagi kalau bukan Mas Hangga. Dia mengikis jarak di antara kami dengan wajah merah padam dan tatapan nyalang.Tanpa tende eling, dia mencengkram pergelangan tanganku. Menyeret tubuh ini masuk dengan kasar. Lalu menyentak dengan kasar hingga aku hampir tersungkur.“Kau apakan istriku, Naira?“ bentaknya. Aku masih diam, meredakan dada yang bergejolak luar biasa.“Naira!“ Kali ini lenganku yang dia cengkram. Tapi segera kulepas dengan cepat.“Bisakah kau tak berbuat kasar padaku, Hangga Bagaskara?“ d
Waktu begitu cepat bergulir. Tak terasa, enam bulan sudah aku menyandang status sebagai ibu dari dua anak kembar. Selama itu juga kuhabiskan waktu dengan mereka. Sebelum besok meninggalkan mereka untuk mengais rezeki. Ya, kuputuskan menerima tawaran Bu Annisa. Selain karena memang butuh, aku juga ingin mengembangkan kemampuanku di bidang desain pakaian. “Nai, ini Razka pup keknya.“ Aku yang tengah melipat pakaian, menoleh pada Meera yang tengah menggendong si adik. “Oke, bentar,“ sahutku seraya mencabut kabel setrika. Lalu beranjak menghampiri Meera. “Besok lo jadi kerja di Bu Annisa?“ tanya Meera. Aku mengangguk. “Insya Allah.“ “Kenapa harus kerja sih? Duit lo kan masih banyak,“ celetuk Meera. Selalu saja dia berkata seperti itu. “Enggak sebanyak kamu,“ balasku. Meera mencebik. “Oh iya, gue punya surprise buat
“Nah bener itu. Kapan lo merit, Meer? Nggak takut si Ken digondol ani-ani?“ Cantika menimpali sambil mengerlingkan mata pada Meera. Meera memutar bola mata. “Ya takut sih. Tapi gue lebih takut pernikahan gue gagal.““Harusnya lo lebih takut bobok berdua, Meer. Lo harusnya takut diazab sama Allah,“ celetuk Ivan—suami Cantika.Aku, Adila dan Cantik sontak mengulum senyum mendengarnya. Mahesa tertawa tanpa suara, sedangkan Meera tampak memerah pipinya.“Si*lan lo, Van. Untung bunda nginep di rumah Bang Rio,“ kata Meera sambil menatap tajam pada Ivan yang tampak mengangkat bahu.“Terserah deh. Tapi sebagai cowok yang bertanggung jawab, gue sangat menyayangkan, Meer. Kalau cuma bobok berdua, yang rugi itu cuma lo,“ cetus Ivan.Aku terdiam mendengarnya. Mendadak teringat dosa yang kulakukan dengan Aric. Andai waktu bisa diputar kembali, tentu aku tak ingin melakukan kebodohan itu.“Bene
Menjelang siang, kami kedatangan tamu spesial. Dia Bu Annisa, pemilik butik sekaligus sahabat Bunda saat SMA. Ini kali pertamanya kami bertemu. Karena selama ini memang bahan jahitan dan yang sudah selesai dijahit, diantar jemput oleh pegawai. Dia datang tak seorang diri. Ditemani sang anak yang menunggu di luar. “Jadi ini yang namanya Naira?“ tanyanya saat aku menyalaminya. “Iya, Nis.“ Bukan aku yang menjawab, tapi Bunda. “Masya Allah … Kamu cantik banget, Sayang. Kamu juga masih muda,“ ucapnya. Aku tersenyum tipis “Kamu ada anak secantik ini kenapa diam-diam saja, Any? Tau gini, dari kemarin aku ke sini,“ sambungnya sambil menatap Bunda yang tengah menata cemilan. “Kemarin kan Naira masih dalam masa iddah. Mana bisa aku main kenalin-kenalin aja. Bisa ngantri nanti yang mau jadi jodohnya Naira,“ sahut
“Kalian ngapain di sini?“ Pertanyaan itu kembali mengalun dari mulut Teh Alisa. Aku lantas melirik Meera yang menatap iparnya itu datar. “Kita mau ke dapur. Lapar,“ jawab Meera. Lalu dia menarik tanganku. “Ayo, Nai!“ Aku pun lantas mengikuti langkah Meera. Masuk ke dapur, aku dan Meera sama-sama menghela napas lega. “Tadi lo mau ngomong apa?“ tanya Meera. Aku hendak membuka suara, tapi urung karena Teh Alisa ternyata mengikuti kami. Dia bahkan berdiri seperti mengamati kami berdua. “Bukannya di depan masih banyak tamu, ya? Kenapa kamu malah makan?“ tanya Teh Alisa. Dia menatapku seakan ingin mengulitiku saja. “Ya namanya juga lapar. Lagian emak-emak di sana lagi ngobrol sama Bunda, kok. Yaudah, mending kita makan aja.“ Lagi-lagi Meera yang menjawab. Teh Alisa terdengar mendengkus. Lalu meninggalkan kami begitu saja.
“Ah … congrat, Nai. Akhirnya lo jadi ibu,“ ucap Meera sambil memelukku. Gadis itu benar-benar tak ada capeknya. Padahal dia baru tiba, tapi langsung datang ke sini untuk menemaniku. “Thanks, Meer. Akhirnya kamu juga jadi Aunty,“ sahutku. Meera mengangguk. Lalu terdiam sejenak sambil menatap ke arah perutku. “Eh, perut lo nggak papa kan, Nai?“ tanyanya. “Its oke, Meer. Im fine.“ Aku menjawab sambil tersenyum. “Syukurlah,“ sahut Meera sambil mengambil cemilan yang entah sejak kapan ada di lemari. “Gue penasaran, kira-kira siapa yang nyelekain lo? Apa jangan-jangan si Alisa ya?“ ujarnya sambil memberikan sebungkus cemilan padaku. “Jangan suuzan!“ sahutku. Meera langsung mengerucutkan bibir. “Bukan suuzan, tapi kan emang cuma dia yang nggak suka sama lo. Kalau sampai dia yang ngelakuin itu, gue nggak bakalan segan laporin dia ke polisi,“
”Assalamualaikum.” Naira dan Bu Anya yang sedang menikmati sarapan lantas menoleh mendengar suara salam dibarengi kedatangan Rio. ”Waalaikumsalam,” jawab keduanya kompak. ”Aku numpang sarapan di sini, Bun.” Tanpa basa-basi, Rio menaruh tas kerjanya di kursi yang kosong. Lalu duduk di samping Bu Anya. ”Alisa nggak masak?” tanya Bu Anya. Tentu saja hanya basa-basi semata. Karena dia tahu, menantunya itu jarang memasak dan lebih sering membeli makanan siap santap. Rio tak menjawab. Dia langsung mengambil dua roti goreng. Lalu menuangkan susu ke gelas yang kosong. ”Kalian bertengkar ya?” Bu Anya menatap putranya intens. Rio masih bungkam. Lebih memilih menggigit roti yang isinya selai kacang coklat. Bu Anya menghela napas panjang. ”Kalau dipikir-pikir kalian itu lebih banyak bertengkarnya daripada akurnya,” celetuknya
"Nai, makan dulu!” Naira yang tengah menjahit menghentikan aktifitasnya sejenak, dan lantas menoleh pada Bu Anya. "Bentar, Bun. Tanggung," sahutnya sambil tersenyum nyengir. Bu Anya langsung mencibir. "Tanggung … tanggung. Inget Ada dua janin di perut kamu, Nai," katanya. "lya, Bun. Aku inget, kok." Naira tersenyum nyengir. Bu Anya menghela napas panjang. Malas mendebat, wanita paruh baya berhijab hijau pupus itu lantas mendaratkan bobotnya di kursi depan mesin obras. Lalu menatap perut Naira yang semakin besar. ”Jangan capek-capek, Nai. Kasihan fisik sama dua janin kamu,” cetusnya. Naira tersenyum tipis. "Insya Allah, enggak capek kok, Bun." "Ah, kamu mah ngebales terus. Udah ah, bunda tunggu di ruang makan, ya!” Bu Anya berujar seraya beranjak berdiri. "Iya, Bun." Naira berge
”Loh Medina, wajahmu kenapa?” Mamah Tanti—mertuaku, tampak heran melihat wajah sembab Medina. Medina tak menjawab, dia langsung masuk begitu. Mamah Tanti beralih menatapku. ”Kamu apakan Medina, Hangga?” ”Bapak mana, Mah?” Aku bertanya balik seraya mencium punggung tangannya. Tak lama Bapak mertuaku keluar dari kamarnya. ”Hangga?” Bapak mengerutkan dahi melihat kehadiranku. Aku pun beranjak menghampirinya dan meraih tangannya. ”Ada yang mau Hangga bicarakan sama Mamah sama Bapak,” ujarku sambil menatap ke duanya bergantian. ”Masalah apa?” tanya Mamah Tanti. ”Suruh Hangga duduk dulu, Mah. Ayo, Hangga!” Bapak merangkul bahuku. Aku mengangguk. ”Ada masalah serius?” tanya Bapak. Aku mengangguk pelan. ”Masalah apa?” Bapak kembali bertanya dengan tenang. ”Hangga menalak Medina.”
”Enggak, Mas. Aku nggak setuju. Mas ini keterlaluan! Masalah segitu aja dibesar-besarkan,” ujar Hasna dengan napas memburu cepat. ”Bukan dibesar-besarkan, Hasna. Tapi memang masalahnya besar, kok. Suamimu dan iparmu itu sudah merugikan Masmu. Masa kamu masih mau membelanya,” sahut Ibu. Hasna memalingkan wajah. Seketika air matanya mengaliri pipi. Dia selalu saja begitu. Akan menangis untuk menarik simpati. ”Nggak usah menangis, Hasna. Air matamu tak akan mengubah keputusan mas,” ujarku. ”Mas, pikirkan nasibku dong. Nasib ponakan-ponakanmu,” balas Hasna. ”Iya betul, Hangga. Jangan mengedepankan emosi,” timpal Mas Haris. Aku berdecak pelan. Lucu sekali Mas Haris. Padahal selama ini dia lah yang sering mengedepankan emosi dan ego. ”Maafkan mas, Hangga. Mas melakukan ini juga karena tuntutan Mbakmu. Dia terlalu banyak permintaan. Sementara cicilan kami masih bany