Setengah berlari, kususul kakek yang mengayuh sepeda berisi sapu dan tersenyum lega saat beliau menoleh saat dipanggil.“Mau beli sapu, Neng?“ Aku menatapnya yang cukup lama, hingga tak bisa menahan sendu saat wajah ayah tiba-tiba membayang di pelupuk mata. Dulu, saat ayah masih ada, beliau selalu menyuruhku membeli di pedagang kecil, baik butuh ataupun tidak. Karena kata Ayah, mereka berjualan untuk menyambung hidup, bukan menimbun harta. “Sapu yang ini, berapa?“ tanyaku sambil memegangi sapu yang cukup tebal dan berat.“Dua puluh lima ribu, Neng. Neng mau beli?“ tanyanya lagi. Aku mengangguk dan berpikir sejenak.“Beli sepuluh ya, Kek.“ Aku menjawab mantap.“Se-sepuluh?“ Aku mengangguk lagi.“Untuk apa beli sapu banyak-banyak, Neng? Kalau Neng beli karena kasihan, lebih baik jangan beli, Neng.“Aku tertegun me
Ada apa denganku? Kenapa aku labil seperti ini? Di saat bersama Aric, aku merasakan denyar tak biasa. Tapi di saat Mas Hangga melukai hati, aku pun masih menitikan air mata.Di saat benak sibuk memikirkan dua hal itu, ekor mataku menangkap seseorang membuka pintu dengan kasar. Belum sempat kuusap air mata, sosok itu masuk dengan langkah panjang.“Naira!“ teriaknya kencang. Siapa lagi kalau bukan Mas Hangga. Dia mengikis jarak di antara kami dengan wajah merah padam dan tatapan nyalang.Tanpa tende eling, dia mencengkram pergelangan tanganku. Menyeret tubuh ini masuk dengan kasar. Lalu menyentak dengan kasar hingga aku hampir tersungkur.“Kau apakan istriku, Naira?“ bentaknya. Aku masih diam, meredakan dada yang bergejolak luar biasa.“Naira!“ Kali ini lenganku yang dia cengkram. Tapi segera kulepas dengan cepat.“Bisakah kau tak berbuat kasar padaku, Hangga Bagaskara?“ d
“Apa maksudnya ini, Naira?“Aku yang tengah menonton tv, terlonjak kaget saat Mas Hangga tiba-tiba saja datang dan melempar map berwarna biru ke hadapanku.Aku pun mendongak. Menatapnya dengan alis bertaut.“Apa maksudnya semua ini, Naira? Kenapa kamu melaporkanku?“ tanyanya setengah berteriak. Aku mengerjap pelan. Memungut map itu lalu melemparnya balik ke dada Mas Hangga.“Karena kamu layak dihukum. Jangan mentang-mentang aku diam saja, kamu bisa seenaknya sama aku. Aku diam bukan karena takut padamu, tapi karena menunggu waktu yang pas!“ Aku berteriak membalasnya.“Sia lan!“ Mas Hangga mengumpat sambil mengayunkan tangan. Tapi buru-buru kutepis.“Kalau kamu memang jantan, penuhi panggilan itu, Mas Hangga Bagaskara. Karena menamparku lagi, hanya akan mempermudah langkah polisi,“ ujarku dingin.“Si al!“ Tangan Mas Hangga langsung mengepal. Lalu dengan cepat, dia meraih map merah itu kembali dan melenggang dengan tergesa
“Oh ya? Kamu bohong kan, Khai? Kalau memang ciu man itu tak ada artinya, kamu takkan menghindariku,“ sanggahnya.“Memangnya menurutmu ci uman itu ada artinya, Ric?“ cibirku.“Sejak kapan dua ci-uman ber-arti untukmu, Ric?“ lanjutku tajam. Dia menatap tak berkedip.“Kalau perempuan itu bukan kamu, sudah pasti ci-uman itu tak ada artinya. Tapi denganmu, semuanya ada artinya,“ katanya.Aku tertawa garing mendengarnya.“Kamu pasti berbohong kan? Seorang Aric yang tampan, digilai banyak wanita, yang flamboyan, pasti sudah sering melakukannya. Bahkan mungkin pernah melakukan yang lebih dari ci-uman. Tapi kenapa kamu tak bisa melupakan dua ci-uman denganku?“ ujarku sinis.“Karena kamu beda, Khai. Kamu berbeda dengan mereka.“ Aric menyahut tajam. Membuatku tertegun. Tak dipungkiri, ada perasaan hangat di hati ini. Tapi segera kutepis, mengingat dia seorang flamboyan yang wajib kujauhi. Tak ada keuntungan berteman dengan lelaki yang gemar memp
Pintu terbuka. Mas Hangga masuk dengan senyuman lebarnya dan tangan dimasukkan ke celana.“Gimana rasanya mempermalukan diri sendiri, Ra?“ ujarnya sambil tersenyum menyeringai.“Kamu sudah salah ambil langkah, Ra. Sudah salah memilih lawan,“ lanjutnya jumawa. “Kami akui, kami salah ambil lawan. Karena lawan kami ternyata hanya seorang pecundang yang bersembunyi di balik uang,“ sahut Mahesa sambil beranjak berdiri. Menatap Mas Hangga dengan senyum meremehkan.“Kali ini, kamu bisa bebas, Pak Hangga Bagaskara. Tapi di waktu lain, akan kupastikan, kamu akan menuai apa yang sekarang kamu tanam,“ lanjutnya.“Ayo, Honey! Naira, kami cari makan dulu,“ pungkasnya. Aku mengangguk. Sementara Adila, hanya mengerlingkan mata sambil menggoyangkan ponselnya dan kubalas dengan senyuman. “Gimana rasanya, Ra?“ Mas Hangga kembali bertanya sambil duduk di hadapanku dengan tatapan meremehkan.
Mereka tampak akrab. Bahkan gadis muda itu tak sungkan mencubit lengan Aric. Membuat hatiku seperti diremas pelan. Mengabaikan mereka berdua, aku lanjut melangkah dengan dada yang berdegup kencang. Beruntung, Pak Hafiz berdiri stand kain katun jepang. Memudahkan aku yang kini dilanda kesal.“Naira?“ Pak Hafiz menatapku dengan alis bertaut.“Saya disuruh Pak Adi menyerahkan ini,“ ujarku.“Oh iya. Ikut saya, biar saya periksa,“ katanya.Aku mengangguk dan mengekori lelaki yang kini mengenakan kemeja biru langit itu dengan mata yang tiba-tiba menghangat.“Sempurna. semuanya ballance,“ kata Pak Hafiz. Aku yang berdiri di hadapannya hanya menganggukan kepala.“Kalau begitu saya pamit—““Tunggu dulu, Naira.“ Pak Hafiz menyela cepat.“Ada apa, Pak?““Apa kamu sudah resmi menjanda?“Sebelah alisku langsung terangkat mendengar pertanyaan yang menurutku p
Melihat sorot mata Mas Hangga yang tajam, membuatku menyusulnya dengan tergesa. Lalu tersentak saat tubuhnya tiba-tiba mematung.“Kamu bawa motor?“ tanyanya. Aku mengangguk.“Yaudah, aku duluan,“ katanya sambil meninggalkanku begitu saja. Mataku membulat tak percaya. Ingin mengumpatnya, tapi urung mengingat tujuan yang ingin tercapai. Akhirnya aku hanya mengembuskan napas kasar dan melangkah kembali ke parkiran motor.Tiba di rumah, Mas Hangga menyambut dengan senyuman kecut. Aku yang kesal pun, terpaksa mengesampingkan ego. Menghampirinya yang melambaikan tangan.“Aku nggak suka kamu kelayapan seperti itu,“ katanya. Aku memutar bola mata.“Kenapa?“ tanyaku datar.“Kamu bukan anak remaja lagi, Naira. Seharusnya kamu jaga pergaulan,“ jawabnya.“Tapi kan mereka ...“ Ucapanku menggantung seketika, melihat matanya yang menatapku datar.“Aku bukan kelayapan kok. Kami ketemu buat bahas acara nikahannya Adila,“ ralatku.“Kan bisa lewat telepon,“ sahutnya sinis.“Iya, maaf,“ ucapku ketus.
“Aku juga mau dong, Ra.“ Mbak Nena menimpali. “Aku juga dong.“ Kali ini Hasna yang menambahi. “Oh, oke. Bentar, ya. Aku lihat dulu. Masih ada nggak uang cashnya,“ kataku. Mereka langsung mengangguk kompak. Aku mendengkus kasar saat melihat sisa uang cash di dompet. Hanya tiga lembar uang biru. “Uangnya cuma seratus lima puluh. Emm, kalau aku ambil dulu ke atm. Gimana?“ tanyaku. “Boleh.“ Mereka menjawab kompak. “Tapi nggak sekarang. Kan sebentar lagi acaranya mau dimulai. Iya kan, Mbak Madu?“ tanyaku sambil menatap Mbak Medina yang tampak tersentak. Sepupuku itu langsung mengangguk, tapi tak menyahut apapun. Hanya saja netranya tampak berembun, seakan menahan tangis. “Oh iya, Mbak, aku sudah belikan gamis yang sama buat kita. Nanti dipake, ya! Biar kita terlihat kompak,“ lanjutku. Mbak Medina mengangguk pelan. “I-iya, Ra,“ sahutnya terbata. ** Sekitar setengah jam lagi, acara akan digelar. Setelah memoles wajah dengan make up tipis, aku menghampiri Paman Ismail dan Bibi Tan
Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“
Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa
Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me
“Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr
“Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol
“Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a
“Kalau Om mau melamar jadi Papi kalian … kira-kira bakalan kalian terima nggak?“ Mendengar pertanyaan Aric, Shaka dan Razka sontak saling pandang. Lalu keduanya menatap Aric lekat-lekat. “Om Dokter beneran mau jadi Papi kita?“ tanya Razka. “Ya.“ Aric tersenyum. “Aku sih setuju, Om. Yang penting Om nggak pisahkan kita dari Mommy,“ kata Shaka. Dalam benaknya masih tercetak jelas bagaimana upaya Sean memisahkan mereka dari Naira. “Mana bisa begitu. Kalau Om jadi Papi kalian, ya kita harus sama-sama. Dimanapun, kapanpun, dengan kondisi apapun, Om harus selalu sama kalian,“ jawab Aric. Shaka tersenyum samar. “Jadi gimana?“ lanjut Aric. “Aku setuju. Asalkan Om bisa bikin Mommy cantik setiap hari,” jawab Razka. Aric mengernyit tak paham. “Mommy itu cantik kalau tersenyum, Om. Jadi Om harus bisa bikin Mommy tersenyum setiap hari,“ ujar Shaka, seakan tahu arti kerutan di wajah Aric. “Oh … begitu ya?“ Aric mangut-mangut. “Kalau begitu, bantu Om bikin Mommy kalian selalu ter
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme