Mereka tampak akrab. Bahkan gadis muda itu tak sungkan mencubit lengan Aric. Membuat hatiku seperti diremas pelan. Mengabaikan mereka berdua, aku lanjut melangkah dengan dada yang berdegup kencang. Beruntung, Pak Hafiz berdiri stand kain katun jepang. Memudahkan aku yang kini dilanda kesal.
“Naira?“ Pak Hafiz menatapku dengan alis bertaut.“Saya disuruh Pak Adi menyerahkan ini,“ ujarku.“Oh iya. Ikut saya, biar saya periksa,“ katanya.Aku mengangguk dan mengekori lelaki yang kini mengenakan kemeja biru langit itu dengan mata yang tiba-tiba menghangat.“Sempurna. semuanya ballance,“ kata Pak Hafiz. Aku yang berdiri di hadapannya hanya menganggukan kepala.“Kalau begitu saya pamit—““Tunggu dulu, Naira.“ Pak Hafiz menyela cepat.“Ada apa, Pak?““Apa kamu sudah resmi menjanda?“Sebelah alisku langsung terangkat mendengar pertanyaan yang menurutku pMelihat sorot mata Mas Hangga yang tajam, membuatku menyusulnya dengan tergesa. Lalu tersentak saat tubuhnya tiba-tiba mematung.“Kamu bawa motor?“ tanyanya. Aku mengangguk.“Yaudah, aku duluan,“ katanya sambil meninggalkanku begitu saja. Mataku membulat tak percaya. Ingin mengumpatnya, tapi urung mengingat tujuan yang ingin tercapai. Akhirnya aku hanya mengembuskan napas kasar dan melangkah kembali ke parkiran motor.Tiba di rumah, Mas Hangga menyambut dengan senyuman kecut. Aku yang kesal pun, terpaksa mengesampingkan ego. Menghampirinya yang melambaikan tangan.“Aku nggak suka kamu kelayapan seperti itu,“ katanya. Aku memutar bola mata.“Kenapa?“ tanyaku datar.“Kamu bukan anak remaja lagi, Naira. Seharusnya kamu jaga pergaulan,“ jawabnya.“Tapi kan mereka ...“ Ucapanku menggantung seketika, melihat matanya yang menatapku datar.“Aku bukan kelayapan kok. Kami ketemu buat bahas acara nikahannya Adila,“ ralatku.“Kan bisa lewat telepon,“ sahutnya sinis.“Iya, maaf,“ ucapku ketus.
“Aku juga mau dong, Ra.“ Mbak Nena menimpali. “Aku juga dong.“ Kali ini Hasna yang menambahi. “Oh, oke. Bentar, ya. Aku lihat dulu. Masih ada nggak uang cashnya,“ kataku. Mereka langsung mengangguk kompak. Aku mendengkus kasar saat melihat sisa uang cash di dompet. Hanya tiga lembar uang biru. “Uangnya cuma seratus lima puluh. Emm, kalau aku ambil dulu ke atm. Gimana?“ tanyaku. “Boleh.“ Mereka menjawab kompak. “Tapi nggak sekarang. Kan sebentar lagi acaranya mau dimulai. Iya kan, Mbak Madu?“ tanyaku sambil menatap Mbak Medina yang tampak tersentak. Sepupuku itu langsung mengangguk, tapi tak menyahut apapun. Hanya saja netranya tampak berembun, seakan menahan tangis. “Oh iya, Mbak, aku sudah belikan gamis yang sama buat kita. Nanti dipake, ya! Biar kita terlihat kompak,“ lanjutku. Mbak Medina mengangguk pelan. “I-iya, Ra,“ sahutnya terbata. ** Sekitar setengah jam lagi, acara akan digelar. Setelah memoles wajah dengan make up tipis, aku menghampiri Paman Ismail dan Bibi Tan
Acara tak berjalan sesuai rencana. Mbak Medina tak mau keluar lagi. Begitupun dengan Bibi Tanti. Sementara Mas Hangga tampak gelisah, berkali-kali kupergoki dia menatap ke pintu rumah yang terbuka.Setelah memakan waktu selama hampir tiga jam, acara yang diisi dengan tadarus dan santunan untuk anak yatim juga dhuafa pun selesai. Ibu dan ipar-ipar langsung masuk rumah. Sementara aku, pamit sebentar. Tarik tunai di atm. Lalu kembali saat terdengar keributan di ruang tamu. Saat langkah kaki tiba di ambang pintu, kulihat Mbak Medina mengadu sambil menangis dan meraung-raung dengan tangan yang digenggam Mas Hangga.“Dia ngatain aku tua, nggak laku, kegatelan, Mas. Aku nggak terima pokoknya. Aku sampai malas makan gara-gara si Naira,“ ujarnya di sela-sela tangisan lebaynya.“Iya, Hangga. Mamah juga ikut malu gegara kelakuan dia,“ sahut Bibi Tanti.“Pokoknya aku nggak mau tahu. Mas harus ngasih pelajaran ke dia.“ Mbak Medina kembali berujar.
“Tak salah keputusan Hangga mempertahankanmu, Naira. Kamu memang shalihah,“ ucap Ibu. Aku menoleh dan tersenyum padanya.“Bener banget. Naira juga nggak kekanakan. Aku nyesal banget, selalu memandang rendah kamu, Ra.“ Mbak Hanin menyahuti.“Iya. Maafin aku ya, Ra.“ Giliran Hasna yang menyahut. Aku hanya mengangguk dan kembali menikmati sarapan, meski agak risih juga. Karena sedari tadi Hilya menatapku tak bersahabat. **Selesai sarapan, aku pamit pulang. Ibu dan ipar-ipar mengantarku sampai pagar rumah, terkecuali Hilya. Perempuan yang sebentar lagi menyandang status janda itu hanya menatapku datar. Reaksinya jauh berbeda dengan kemarin saat aku tiba.“Sering-sering main ke sini ya, Ra.“ Ibu berteriak saat aku menyalakan mesin motor.“Siap, Bu. Nanti kalau aku ke sini, Ibu pengen dibelikan apa?“ sahutku tak kalah berteriak. Ibu pun langsung menghampiriku.“Cincin, Ra. Ibu pengen cincin. Kemarin cincin Ibu diju
POV Author.Naira mengacak pashmina yang membungkus rambutnya. Ia dibuat kesal oleh sang madu, yang meminta diperpanjang jatah. Tapi demi membuat Hangga jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, Naira pun mengizinkannya. Walau pada akhirnya, ia merasa sedih saat melihat status Medina. Dimana Hangga mencium perut buncitnya.Foto itu berhasil memporak-porandakan hatinya. Bukan cemburu karena Hangga, tapi karena kehamilan yang tak kunjung dialaminya.Kesedihan yang merundung diri, membuatnya tak semangat menjalani hari. Setelah shalat dzuhur, ia memilih berdiam di mejanya. Menekuri laptop yang menampilkan drama bergenre komedi, yang membuatnya tak henti menutup mulut. Karena tawa yang terus berderai.Sementara tak jauh darinya, Aric yang baru masuk, menatap dengan alis terangkat sebelah.“Nonton apa, Khai? Serius banget,“ ujarnya sambil memangkas jarak di antara mereka.Mendengar Aric yang menyapa dengan suara lembut dan ramah, membuat Naira
“Nak, ini Bunda. Nanti kamu bukan cuma punya Abi sama Ummi. Tapi kamu juga punya Bunda. Nanti kita main, ya,“ lanjutnya, tanpa melepaskan tangan dari perut buncit itu. Sambil menatap Hangga dan Medina bergantian.Hangga memalingkan wajah. Sementara Medina, tubuhnya sontak menegang. Hatinya mulai diliputi kekhawatiran. Membayangkan apa yang diucapkan Naira menjadi kenyataan. Ia tak mau, anaknya nanti akan mempunyai ibu selain dirinya. Sekalipun sosok itu Naira.“Oh iya, kalian mau ke mana?“ tanya Naira. Memecah keheningan di antara mereka.“Mau ke kafe,“ jawab Medina, asal. Membuat Hangga melotot seketika.“Kamu mau ikut?“ lanjut Medina. Naira menggelengkan kepala, “tidak, terima kasih, Mbak. Aku mau istirahat. Capek banget seharian kerja.““Kalau gitu kami pamit ya, Ra. Assalamualaikum.“ Medina mengulas senyuman lebar. Sementara Hangga hanya bergeming. Pikirannya berkecamuk luar biasa. Di satu sisi ia tak ingin kehilan
Naira mengerjap pelan sambil memegangi kepalanya. Lalu membuka mata dan tertegun sejenak, melihat tangannya digenggam Aric yang juga terpejam.“Aric ...“ gumamnya pelan.Lelaki dengan tinggi 183cm itu langsung mendongak. Membuat pandangan mereka bertautan.“Sudah sadar rupanya,“ ujar Aric sambil mengulas senyuman lebar.“A-ku di mana?“ tanya Naira gugup sambil menetralkan degup jantung yang menggila dan menarik tangannya. “Di klinik,“ jawab Aric disertai senyuman kecut.“Sekarang kamu tes urin dulu, ya,“ lanjutnya. Naira sontak beranjak duduk. Terdiam sejenak mencerna ucapan Aric, kemudian tertawa lepas saat memahami ucapan lelaki tampan itu.“Enggak mungkin!“ sanggahnya.“Di coba saja dulu,“ ujar Aric. Tapi Naira kembali menggeleng.“Tidak mau. Aku mau kembali ke toko saja,“ katanya sambil beranjak turun dari bed.“Kamu tidak boleh pulang kalau—““Ric, please!“ Naira menyel
Hari minggu telah tiba. Naira mematut dirinya di cermin sambil menggaruk kepalanya. Bingung harus mengenakan outfit apa. Hingga akhirnya tangannya terulur menarik blouse polos dipadukan rok umbrella dan hijab segi empat berwarna senada dengan blousenya, yang ternyata sama dengan kaos yang dikenakan Aric. Membuat mereka tampak serasi.Melihat outfit yang serasi, sebuah ide muncul begitu saja di benak Naira. Buru-buru ia mengeluarkan ponsel dan mengajak Aric berfoto.Aric tak bertanya ataupun menolak. Ia justru menarik pinggang Naira dengan mesra. Membuat dada perempuan semakin berdesir tak karuan.Naira membeku seketika saat Aric memperkenalkannya pada ke dua sahabatnya dan pasangan mereka masing-masing. Bukan karena penampilan mereka yang tampak casual dan tampak sek-si, tapi saat tahu kalau mereka itu bukan orang-orang biasa. Ke dua sahabat Aric, Nares dan Devan berprofesi sebagai dokter. Sementara pasangan masing-masing bekerja di bank. Membuat
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme
Naira memutar bola matanya, tak ingin memperpanjang obrolan. Dia tahu betul, kalau Aric sudah punya rencana, sulit baginya untuk mengubah keputusan lelaki itu. “Taksinya sudah datang. Ayo, Babe!“ seru Aric sambil mengambil alih koper Naira. Naira pun mengikutinya dengan bibir mengerucut. Sejujurnya dia ingin pulang ke rumahnya. Lalu bertemu si kembar. “Kenapa cemberut terus?“ tanya Aric saat di perjalanan menuju hotel. “Aku kangen si kembar,“ jawab Naira sendu. “Maaf, ya. Tapi ini juga demi kelancaran segalanya. Setelah dari acara Hilma, kita langsung ke rumahmu. Aku akan meminta izin langsung sama si kembar,“ sahut Aric. Naira menghela napas panjang. “Oke deh.“ Pagi cukup cerah saat Naira sibuk mematut dirinya di cermin. Jika biasanya dia mengenakan gaun buatannya sendiri, kali ini Naira mengenakan gaun berwarna pastel yang dua hari lalu dibeli Aric. Gaun itu tampak elegan, menawan tapi tak mencolok. Ukurannya pun begitu pas di tubuh Naira. “Kok deg-degan ya?“ gu
“Ric, kenapa?“ Naira kembali bertanya. Aric kembali mengusap wajahnya. “Malam ini dan seminggu ke depan, kamu tidur di sini ya?“ katanya. “Sama kamu?“ tanya Naira. “Maunya sih begitu,“ jawab Aric sambil membuang napas “Tapi no! Aku mau nginep di apartemen temanku saja, Babe. Aku nggak yakin bisa menahan diri kalau dekat-dekat terus sama kamu,“ jawab Aric. Seketika hati Naira dipenuhi haru. “Kamu …“ “Aku nggak yakin bisa menjaga diri kalau berada di dekatmu, Khai. Sekarang hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum kita halal,“ ujar Aric. Seketika air mata Naira mengalir. Bukan air mata sedih, tapi haru. “Kok nangis? Sedih nggak aku sentuh?“ kelakar Aric. Naira langsung mengerucutkan bibirnya. “Baru aja aku terharu, eh kamu malah bikin kesel,“ katanya. Aric pun tertawa lepas. “Udah masuk jam makan siang. Kita cari makan dulu, yuk!“ ajak Aric. “Boleh. Tapi shalat dulu, ya!“ balas Naira. “Oke.“ ** Aric membawa Naira ke sebuah restoran halal langganannya. Sebe
“Nggak! Aku nggak mau!“ seru Aric dengan mata melotot.Mendengar penolakan Aric, dunia Naira seolah runtuh. Naira menghela napas sejenak, lalu berbalik hendak meninggalkan Aric. Tapi sedetik kemudian, Aric menarik tangannya dengan kencang hingga Naira jatuh ke pelukannya.Naira mengerjap pelan. Dahinya sedikit mengerut, mencerna apa yang sebenarnya diinginkan Aric.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Khai? Tadi kamu bilang membutuhkanku, mencintaiku, tapi kenapa tiba-tiba tiba-tiba kamu bilang ingin bersahabat denganku? Jangan main-main dengan hatiku, Khaira!“ serunya tegas dengan suara tertahan.“Aku nggak main-main, Ric. Aku hanya ….“ Naira tak mampu menyelesaikan perkataannya.“Aku nggak mau kalau hanya jadi sahabatmu, Khai. Aku bosan jadi sahabatmu. Dari SMP sampai setua ini, tak bisakah aku menjadi pendamping hidupmu, Khai? Memilikimu seutuhnya?“ Aric menatap Naira lekat-lekat. Naira menelan salivanya susah payah. Lidahnya terasa kelu, tak tahu harus berkata apa lagi setelah men
“Jadi gimana, Nai? Lo masih belum ketemu Aric?“ tanya Meera. Malam itu, sepulang dari rumah sakit, Naira melakukan video call dengan ketiga sahabatnya. “Belum, Meer.“ Naira menjawab lesu dengan mata berkaca-kaca. “Si Erlangga nggak ngerjain Lo kan, Nai?“ sahut Cantika. Naira mengangkat bahu. “Keknya sih enggak. Cuma emang kebijakan rumah sakitnya ketat. Andai punya nomor Aric, pasti nggak bakalan sesusah ini,“ keluhnya. Ke tiga sahabatnya saling melirik. Merasa iba pada Naira. Melihat seberapa besar effort perempuan itu mengejar cintanya. “Lo nggak punya nomor Erlangga juga?“ tanya Meera. “Enggak, Meer.“ Naira menghela napas berat. “Terus gimana? Kamu masih mau di situ atau gimana?“ tanya Adila. Naira terdiam sejenak. “Aku … belum tahu.“ Naira tak mau mengatakan kalau tabungannya menipis. Dia takut ke tiga sahabatnya itu turun tangan membantunya. Setelah panggilan video call berakhir, Naira berbaring miring sambil memeluk guling. Memikirkan apa kiranya langkah yang harus di
Naira duduk di tepi ranjang hotelnya, menatap ke luar jendela yang berembun. Udara terasa menusuk, meski penghangat ruangan menyala. Langit di luar tampak kelabu, menandai musim gugur yang nyaris berakhir. Dia menarik nafas panjang, menyentuh kaca jendela dengan ujung jarinya, menyeka embun tipis yang menghalangi pandangannya. Trotoar di bawah sudah mulai ramai. Orang-orang berjalan terburu-buru, membungkus diri dengan mantel tebal, seolah tak sabar ingin menghindari dingin. Dari kejauhan, Naira melihat sekelompok burung kecil berterbangan, mencari tempat berlindung. Pemandangan itu membuatnya termenung. “Musim salju hampir tiba,” gumamnya pelan, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Pagi itu terasa berbeda, bukan hanya karena udara yang dingin, tetapi juga karena hatinya yang masih bertahan dalam kegelisahan. Ada harapan kecil yang terus dia jaga, meski perlahan mulai meredup. Setelah mengisi perut, Naira kembali ke rumah sakit dengan semangat baru. Dia yakin, hari kedua akan berbe
Waktu berlalu, Naira sibuk menyiapkan keberangkatannya. Dia sudah memesan tiket pesawat, hotel selama di sana, mencari tahu tentang rumah sakit tempat Aric bekerja, dan memastikan semua kebutuhan si kembar terpenuhi.“Mommy nggak bakalan lama kan ke luar negerinya?“ tanya Razka saat Naira meminta izin sebelum menidurkan mereka.Naira mengangguk sambil membelai rambut putra Razka dan Shaka bergantian.“Insya Allah, paling lama seminggu, Sayang. Selama mommy pergi, kalian jangan bertengkar, harus saling mengayomi,“ kata Naira.“Kalau aku sih oke, Mom. Tapi entah tuh Razka. Selama ini dia kan yang suka bikin ulah lebih dulu,“ sahut Shaka.Naira tertawa kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. Sedih sebenarnya harus meninggalkan si kembar. Andai punya tabungan lebih banyak, pasti dia akan mengajak mereka serta.“Pokoknya kalian jangan bertengkar. Abang harus mengayomi Adek, dan Adek harus hormat sama Abang.”“Siap, Mommy.“**Hari keberangkatan pun akhirnya telah tiba. Naira berdiri di ba
Naira menatap mantan suaminya. Dia sama sekali tak marah. Setelah melihat tanggung jawab Hangga pada si kembar, rasa sakit lagi di hati seolah enyah entah kemana. Dia justru mendoakan yang terbaik untuk lelaki itu. “Selamat ya, Mas. Semoga kali ini Mas Hangga benar-benar bahagia. Aku harap dia juga jadi pelabuhan terakhir buat Mas.” “Aamiin,” jawab Hangga sambil tersenyum. “Terima kasih, Nai. Doa kamu berarti banget.” Hangga pun menyuruh si kembar meminta izin pada Bu Anya. Tanpa membantah, Shaka dan Razka langsung masuk menghampiri Bu Anya yang sedang memasak di dapur. Sedangkan Hangga memandang Naira dengan tatapan serius. Ada sesuatu yang sangat ingin dia tanyakan pada Naira. “Ngomong-ngomong, gimana hubungan kamu sama Aric? Aku dengar kalian dekat lagi?” Naira balas menatap Hangga dengan satu alis terangkat. Lalu tertawa kecil sebelum akhirnya menghela napas dan menggelengkan kepala. “Nggak, Mas. Jangankan dekat … yang ada Aric malah pindah ke luar negeri. Aku ngga