POV Author.
Naira mengacak pashmina yang membungkus rambutnya. Ia dibuat kesal oleh sang madu, yang meminta diperpanjang jatah. Tapi demi membuat Hangga jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, Naira pun mengizinkannya. Walau pada akhirnya, ia merasa sedih saat melihat status Medina. Dimana Hangga mencium perut buncitnya.Foto itu berhasil memporak-porandakan hatinya. Bukan cemburu karena Hangga, tapi karena kehamilan yang tak kunjung dialaminya.Kesedihan yang merundung diri, membuatnya tak semangat menjalani hari. Setelah shalat dzuhur, ia memilih berdiam di mejanya. Menekuri laptop yang menampilkan drama bergenre komedi, yang membuatnya tak henti menutup mulut. Karena tawa yang terus berderai.Sementara tak jauh darinya, Aric yang baru masuk, menatap dengan alis terangkat sebelah.“Nonton apa, Khai? Serius banget,“ ujarnya sambil memangkas jarak di antara mereka.Mendengar Aric yang menyapa dengan suara lembut dan ramah, membuat Naira“Nak, ini Bunda. Nanti kamu bukan cuma punya Abi sama Ummi. Tapi kamu juga punya Bunda. Nanti kita main, ya,“ lanjutnya, tanpa melepaskan tangan dari perut buncit itu. Sambil menatap Hangga dan Medina bergantian.Hangga memalingkan wajah. Sementara Medina, tubuhnya sontak menegang. Hatinya mulai diliputi kekhawatiran. Membayangkan apa yang diucapkan Naira menjadi kenyataan. Ia tak mau, anaknya nanti akan mempunyai ibu selain dirinya. Sekalipun sosok itu Naira.“Oh iya, kalian mau ke mana?“ tanya Naira. Memecah keheningan di antara mereka.“Mau ke kafe,“ jawab Medina, asal. Membuat Hangga melotot seketika.“Kamu mau ikut?“ lanjut Medina. Naira menggelengkan kepala, “tidak, terima kasih, Mbak. Aku mau istirahat. Capek banget seharian kerja.““Kalau gitu kami pamit ya, Ra. Assalamualaikum.“ Medina mengulas senyuman lebar. Sementara Hangga hanya bergeming. Pikirannya berkecamuk luar biasa. Di satu sisi ia tak ingin kehilan
Naira mengerjap pelan sambil memegangi kepalanya. Lalu membuka mata dan tertegun sejenak, melihat tangannya digenggam Aric yang juga terpejam.“Aric ...“ gumamnya pelan.Lelaki dengan tinggi 183cm itu langsung mendongak. Membuat pandangan mereka bertautan.“Sudah sadar rupanya,“ ujar Aric sambil mengulas senyuman lebar.“A-ku di mana?“ tanya Naira gugup sambil menetralkan degup jantung yang menggila dan menarik tangannya. “Di klinik,“ jawab Aric disertai senyuman kecut.“Sekarang kamu tes urin dulu, ya,“ lanjutnya. Naira sontak beranjak duduk. Terdiam sejenak mencerna ucapan Aric, kemudian tertawa lepas saat memahami ucapan lelaki tampan itu.“Enggak mungkin!“ sanggahnya.“Di coba saja dulu,“ ujar Aric. Tapi Naira kembali menggeleng.“Tidak mau. Aku mau kembali ke toko saja,“ katanya sambil beranjak turun dari bed.“Kamu tidak boleh pulang kalau—““Ric, please!“ Naira menyel
Hari minggu telah tiba. Naira mematut dirinya di cermin sambil menggaruk kepalanya. Bingung harus mengenakan outfit apa. Hingga akhirnya tangannya terulur menarik blouse polos dipadukan rok umbrella dan hijab segi empat berwarna senada dengan blousenya, yang ternyata sama dengan kaos yang dikenakan Aric. Membuat mereka tampak serasi.Melihat outfit yang serasi, sebuah ide muncul begitu saja di benak Naira. Buru-buru ia mengeluarkan ponsel dan mengajak Aric berfoto.Aric tak bertanya ataupun menolak. Ia justru menarik pinggang Naira dengan mesra. Membuat dada perempuan semakin berdesir tak karuan.Naira membeku seketika saat Aric memperkenalkannya pada ke dua sahabatnya dan pasangan mereka masing-masing. Bukan karena penampilan mereka yang tampak casual dan tampak sek-si, tapi saat tahu kalau mereka itu bukan orang-orang biasa. Ke dua sahabat Aric, Nares dan Devan berprofesi sebagai dokter. Sementara pasangan masing-masing bekerja di bank. Membuat
Di sisa perjalanan, Naira hanya diam. Sibuk merangkai rencana. Bukti kecurangan Medina sudah dikantongi. Kini gilirannya, menjatuhkan perasaan Hangga. Memikirkan hal itu, membuatnya mendengkus kasar. "Are you okey??"Suara Aric menginterupsi. Membuatnya lekas menoleh dan tersenyum tipis.“Hmm ... Iam fine, Ric. Hanya agak ngantuk saja,“ jawab Naira. Tapi Aric tak percaya begitu saja.“Kamu pasti mikirin Hangga kan? Takut ketahuan jalan sama aku, kan?“ tebaknya.Naira menggeleng pelan.“No, Ric. Kan aku udah bilang, dia lagi sibuk sama istrinya satu lagi ...“ Naira terdiam sejenak.“Lagian aku sama dia bakalan pisah,“ lanjutnya sambil menepuk mulut. Merutuki dirinya karena tak sadar sudah membuka sesuatu yang ingin dirahasiakannya dari lelaki itu. Mendengar itu, kedua sudut bibir Aric langsung melengkung ke atas. Tapi buru-buru ditarik kembali, takut Naira tersinggung. Padahal dalam hatinya bersorak riang dan b
Acara berlangsung dengan khidmat. Tak ada yang menitikan air mata saat Adila meminta izin pada kakak perempuannya yang dilangkahinya. Semakin khidmat saat akad dimulai dan adik Adila didapuk menjadi wali. Menggantikan ayahnya yang sudah meninggal dua tahun lalu.“Perlu tisu, Princess?“ tanya Aric sambil memberikan tisu pada Naira yang menyeka air mata dengan tangan.“Makasih, Ric.“Naira menerimanya sambil tersenyum. Melihat keharuan di depan mata, membuatnya tak mampu menahan air mata. Teringat pada sosok sang ayah yang telah tiada. “Sini, biar aku saja.“Aric mengambil kembali tisu yang tadi diberikannya. Kemudian menyeka ke dua sudut mata Naira dengan hati-hati. Membuat perempuan itu tertegun sejenak. Benaknya berkelana jauh. Membayangkan memiliki suami yang seperhatian Aric. Hingga tak sadar, tak jauh darinya, Meera dan Cantika mengabadikan momen manis itu.“Gue nggak yakin, Naira bisa menahan perasaannya. Aric itu selain ga
Setelah memastikan Aric sudah tertidur, pelan-pelan Naira melepaskan tangan kekar itu dari perutnya. Merogoh saku dressnya dan mengeluarkan ponsel yang terhimpit tubuh Aric. Kemudian membuka hijabnya, memotret dirinya dengan Aric.Bukan tanpa alasan, dia melakukan hal itu. Ia akan memperlihatkan foto itu saat waktunya tiba nanti.“Khai ...“ Suara serak Aric membuat Naira gegas meraih hijab. Tapi terlambat, karena Aric segera menahan tangannya.“Kamu cantik banget, Khai.“Aric mengatakannya sebelum menyatukan bibir mereka. Naira hendak mendorong dadanya, tapi Aric justru merapatkan tubuh mereka.“Aku mau shalat.“ Naira berkata saat bibir mereka terlepas. Aric mengangguk, lalu beranjak duduk. Menyerahkan kunci kamar tanpa melepaskan pandangan pada Naira. Membuat perempuan itu salah tingkah dan gegas meninggalkannya.*Hawa dingin yang berembus tak menyurutkan langkah Naira dan yang lainnya untuk barbequ
“Bro, Lo serius sama Naira?“Aric tersentak mendengar pertanyaan Mahesa yang menatapnya serius. Sejurus kemudian, ia pun mengangguk. Membuat Mahesa menarik napas dalam-dalam.“Perjuangkan dia. Dia layak dibahagiakan.““Iya, Ric. Dan satu ...“ sahut Adila sambil melirik pada Meera, Cantika dan suaminya.“Buat dia jatuh cinta. Buat dia melupakan Hangga, karena dia sedang melakukan misi balas dendam sama Hangga dan kamu sebagai alatnya,“ lanjutnya.Aric terbelalak tak percaya.“Alat? Maksud kalian ...“ “Naira sengaja deketin Lo supaya bisa bikin Hangga sakit hati. Dan ini kesempatan bagus buat Lo. Lo harus bikin dia benar-benar jatuh cinta sama Lo. Dan melabuhkan hatinya pada Lo. Karena kita yakin cuma Lo yang bisa bikin dia bahagia,“ terang Meera.Kedua sudut bibir Aric langsung melengkung lebar. Dengan mantap ia mengangguk dan membulatkan tekadnya untuk merebut Naira dari sisi Hangga.*
“Mau mampir dulu?“ tanya Naira basa-basi, saat mereka sudah sampai di depan pagar rumah Naira.Terdiam. Aric berpikir sejenak dan kemudian bergegas turun. Naira pun sontak menepuk kening, merutuki basa-basinya yang ternyata ditanggapi serius.“Ayo turun, Khai!“Mengembuskan napas kasar, Naira pun gegas turun dari mobil dan membiarkan lelaki itu berjalan lebih dulu. Lalu kepalanya sontak menoleh, merasakan ada seseorang di belakang mobil. Tapi perasaan itu segera ditepisnya, saat Aric yang duduk di kursi teras, menyerukan namanya.“Padahal aku cuma basa-basi lho, Ric.“Naira berujar sambil memutar anak kunci. Tapi lelaki itu malah tersenyum semakin lebar dan masuk mendahului Naira.“Khai, aku nginep di sini, ya?“Bola mata Naira seakan mau loncat mendengar ucapan Aric. Dengan cepat, ia menggeleng. Lalu duduk di samping Aric yang menyandarkan punggung.“Pulang sana!“ serunya. Aric yang baru terpejam pun
Jakarta. Aku memang merindukannya. Merindukan rumah yang sekarang kusewakan juga. Tapi belum terbesit sedikit pun dalam benakku untuk kembali kesana. Buka karena luka yang ditorehkan Mas Hangga. Tapi aku juga belum siap bertemu Aric. “Kebiasaan nih si Naira. Lagi ngobrol malah melamun.“ Meera menyenggol pelan lenganku. Aku terkekeh ringan. “Sorry,“ ucapku. “Lo berdua harus tau satu hal. Sejak pindah ke sini, si Naira itu agak-agak anu,“ kata Meera. Adila dan Cantika saling melempar pandang. “Dia sering banget ngelamun, padahal lagi posisi ngobrol,“ sambung Meera. “Kenapa jadi gitu kamu, Nai? Apa jangan-jangan kamu kepikiran Aric ya?“ ledek Adila seraya cengengesan. Aku tersenyum tipis. “Eh beneran, Dil. Tuh si Naira senyum, berarti beneran dia kangen si Aric,“ sambut Cantika sambil memainkan alisnya. Aku tertawa pelan. Biarlah mereka berasumsi s
Waktu begitu cepat bergulir. Tak terasa, enam bulan sudah aku menyandang status sebagai ibu dari dua anak kembar. Selama itu juga kuhabiskan waktu dengan mereka. Sebelum besok meninggalkan mereka untuk mengais rezeki. Ya, kuputuskan menerima tawaran Bu Annisa. Selain karena memang butuh, aku juga ingin mengembangkan kemampuanku di bidang desain pakaian. “Nai, ini Razka pup keknya.“ Aku yang tengah melipat pakaian, menoleh pada Meera yang tengah menggendong si adik. “Oke, bentar,“ sahutku seraya mencabut kabel setrika. Lalu beranjak menghampiri Meera. “Besok lo jadi kerja di Bu Annisa?“ tanya Meera. Aku mengangguk. “Insya Allah.“ “Kenapa harus kerja sih? Duit lo kan masih banyak,“ celetuk Meera. Selalu saja dia berkata seperti itu. “Enggak sebanyak kamu,“ balasku. Meera mencebik. “Oh iya, gue punya surprise buat
“Nah bener itu. Kapan lo merit, Meer? Nggak takut si Ken digondol ani-ani?“ Cantika menimpali sambil mengerlingkan mata pada Meera. Meera memutar bola mata. “Ya takut sih. Tapi gue lebih takut pernikahan gue gagal.““Harusnya lo lebih takut bobok berdua, Meer. Lo harusnya takut diazab sama Allah,“ celetuk Ivan—suami Cantika.Aku, Adila dan Cantik sontak mengulum senyum mendengarnya. Mahesa tertawa tanpa suara, sedangkan Meera tampak memerah pipinya.“Si*lan lo, Van. Untung bunda nginep di rumah Bang Rio,“ kata Meera sambil menatap tajam pada Ivan yang tampak mengangkat bahu.“Terserah deh. Tapi sebagai cowok yang bertanggung jawab, gue sangat menyayangkan, Meer. Kalau cuma bobok berdua, yang rugi itu cuma lo,“ cetus Ivan.Aku terdiam mendengarnya. Mendadak teringat dosa yang kulakukan dengan Aric. Andai waktu bisa diputar kembali, tentu aku tak ingin melakukan kebodohan itu.“Bene
Menjelang siang, kami kedatangan tamu spesial. Dia Bu Annisa, pemilik butik sekaligus sahabat Bunda saat SMA. Ini kali pertamanya kami bertemu. Karena selama ini memang bahan jahitan dan yang sudah selesai dijahit, diantar jemput oleh pegawai. Dia datang tak seorang diri. Ditemani sang anak yang menunggu di luar. “Jadi ini yang namanya Naira?“ tanyanya saat aku menyalaminya. “Iya, Nis.“ Bukan aku yang menjawab, tapi Bunda. “Masya Allah … Kamu cantik banget, Sayang. Kamu juga masih muda,“ ucapnya. Aku tersenyum tipis “Kamu ada anak secantik ini kenapa diam-diam saja, Any? Tau gini, dari kemarin aku ke sini,“ sambungnya sambil menatap Bunda yang tengah menata cemilan. “Kemarin kan Naira masih dalam masa iddah. Mana bisa aku main kenalin-kenalin aja. Bisa ngantri nanti yang mau jadi jodohnya Naira,“ sahut
“Kalian ngapain di sini?“ Pertanyaan itu kembali mengalun dari mulut Teh Alisa. Aku lantas melirik Meera yang menatap iparnya itu datar. “Kita mau ke dapur. Lapar,“ jawab Meera. Lalu dia menarik tanganku. “Ayo, Nai!“ Aku pun lantas mengikuti langkah Meera. Masuk ke dapur, aku dan Meera sama-sama menghela napas lega. “Tadi lo mau ngomong apa?“ tanya Meera. Aku hendak membuka suara, tapi urung karena Teh Alisa ternyata mengikuti kami. Dia bahkan berdiri seperti mengamati kami berdua. “Bukannya di depan masih banyak tamu, ya? Kenapa kamu malah makan?“ tanya Teh Alisa. Dia menatapku seakan ingin mengulitiku saja. “Ya namanya juga lapar. Lagian emak-emak di sana lagi ngobrol sama Bunda, kok. Yaudah, mending kita makan aja.“ Lagi-lagi Meera yang menjawab. Teh Alisa terdengar mendengkus. Lalu meninggalkan kami begitu saja.
“Ah … congrat, Nai. Akhirnya lo jadi ibu,“ ucap Meera sambil memelukku. Gadis itu benar-benar tak ada capeknya. Padahal dia baru tiba, tapi langsung datang ke sini untuk menemaniku. “Thanks, Meer. Akhirnya kamu juga jadi Aunty,“ sahutku. Meera mengangguk. Lalu terdiam sejenak sambil menatap ke arah perutku. “Eh, perut lo nggak papa kan, Nai?“ tanyanya. “Its oke, Meer. Im fine.“ Aku menjawab sambil tersenyum. “Syukurlah,“ sahut Meera sambil mengambil cemilan yang entah sejak kapan ada di lemari. “Gue penasaran, kira-kira siapa yang nyelekain lo? Apa jangan-jangan si Alisa ya?“ ujarnya sambil memberikan sebungkus cemilan padaku. “Jangan suuzan!“ sahutku. Meera langsung mengerucutkan bibir. “Bukan suuzan, tapi kan emang cuma dia yang nggak suka sama lo. Kalau sampai dia yang ngelakuin itu, gue nggak bakalan segan laporin dia ke polisi,“
”Assalamualaikum.” Naira dan Bu Anya yang sedang menikmati sarapan lantas menoleh mendengar suara salam dibarengi kedatangan Rio. ”Waalaikumsalam,” jawab keduanya kompak. ”Aku numpang sarapan di sini, Bun.” Tanpa basa-basi, Rio menaruh tas kerjanya di kursi yang kosong. Lalu duduk di samping Bu Anya. ”Alisa nggak masak?” tanya Bu Anya. Tentu saja hanya basa-basi semata. Karena dia tahu, menantunya itu jarang memasak dan lebih sering membeli makanan siap santap. Rio tak menjawab. Dia langsung mengambil dua roti goreng. Lalu menuangkan susu ke gelas yang kosong. ”Kalian bertengkar ya?” Bu Anya menatap putranya intens. Rio masih bungkam. Lebih memilih menggigit roti yang isinya selai kacang coklat. Bu Anya menghela napas panjang. ”Kalau dipikir-pikir kalian itu lebih banyak bertengkarnya daripada akurnya,” celetuknya
"Nai, makan dulu!” Naira yang tengah menjahit menghentikan aktifitasnya sejenak, dan lantas menoleh pada Bu Anya. "Bentar, Bun. Tanggung," sahutnya sambil tersenyum nyengir. Bu Anya langsung mencibir. "Tanggung … tanggung. Inget Ada dua janin di perut kamu, Nai," katanya. "lya, Bun. Aku inget, kok." Naira tersenyum nyengir. Bu Anya menghela napas panjang. Malas mendebat, wanita paruh baya berhijab hijau pupus itu lantas mendaratkan bobotnya di kursi depan mesin obras. Lalu menatap perut Naira yang semakin besar. ”Jangan capek-capek, Nai. Kasihan fisik sama dua janin kamu,” cetusnya. Naira tersenyum tipis. "Insya Allah, enggak capek kok, Bun." "Ah, kamu mah ngebales terus. Udah ah, bunda tunggu di ruang makan, ya!” Bu Anya berujar seraya beranjak berdiri. "Iya, Bun." Naira berge
”Loh Medina, wajahmu kenapa?” Mamah Tanti—mertuaku, tampak heran melihat wajah sembab Medina. Medina tak menjawab, dia langsung masuk begitu. Mamah Tanti beralih menatapku. ”Kamu apakan Medina, Hangga?” ”Bapak mana, Mah?” Aku bertanya balik seraya mencium punggung tangannya. Tak lama Bapak mertuaku keluar dari kamarnya. ”Hangga?” Bapak mengerutkan dahi melihat kehadiranku. Aku pun beranjak menghampirinya dan meraih tangannya. ”Ada yang mau Hangga bicarakan sama Mamah sama Bapak,” ujarku sambil menatap ke duanya bergantian. ”Masalah apa?” tanya Mamah Tanti. ”Suruh Hangga duduk dulu, Mah. Ayo, Hangga!” Bapak merangkul bahuku. Aku mengangguk. ”Ada masalah serius?” tanya Bapak. Aku mengangguk pelan. ”Masalah apa?” Bapak kembali bertanya dengan tenang. ”Hangga menalak Medina.”