Share

Bab 41

Author: Fatimah
last update Last Updated: 2025-01-22 09:23:06

“Tentu saja. Aku bukan pernah tertarik padamu, tapi benar-benar mencintaimu Dari saat pertama kali bertemu, aku sudah jatuh hati padamu. Dan sampai saat ini, rasa itu masih bertahan di sini,“ katanya sambil menaril tanganku, menyentuh dadanya yang berdebar kencang.

“You're joking, right?“ tanyaku garing, setelah cukup lama menetralkan segala perasaan yang berkecamuk di dada.

“I mean what I'm saying,“ jawabnya. Membuat tubuhku membeku seketika.

“Sejak kapan?“ tanyaku masih tak percaya.

“Tadi sudah kujawab. Sejak pertama kali kita bertemu, lebih tepatnya hari pertama MOS SMP,“ jawabnya terdengar sungguh-sungguh. Jantung berdetak semakin cepat, seiring munculnya denyar tak biasa dan bayangan wajah muram Mas Hangga. Buru-buru, kutarik tangan dan memalingkan pandangan.

“Kayaknya kamu kelelahan, Ric. Kita pulang yuk!“ ajakku seraya tersenyum kaku. Tapi dia malah tertawa renyah.

“Kenapa wajahmu pucat begitu, Khai? Aku tidak kelelahan dan justru bahagia sekali. Oh iya, Khai ... Jangan khawat
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (4)
goodnovel comment avatar
NurLinda BuaGa
yang slalu di tunggu akhirnya up jugaaa
goodnovel comment avatar
Happy Adriana
makasih thor...tambah lagi dong... penasaran soalnya
goodnovel comment avatar
Kaysha Shasha
menarik ,bikin penasaran,,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 42

    Begitu masuk rumah, aku menahan napas sejenak sambil menyandarkan tubuh di balik pintu dan terlonjak kaget melihat Mas Hangga yang muncul dari pintu penghubung dapur dengan wajah bermuram durja. “Bagus ... Mentang-mentang jauh dari suami, keluyuran nggak kenal waktu.“ “M-mas,“ ucapku gugup. “Kamu dari mana? Kenapa pulang selarut ini?“ tanyanya. “Dari pernikahan Cantika. Perasaan ini belum larut. Baru jam sembilan,“ jawabku tanpa menatapnya. “Kamu memang suka menyanggah ucapanku,“ katanya ketus. “Sudahlah, Mas. Kalau ke sini hanya ingin bertengkar, lebih baik kamu pulang. Lelah rasanya, tiap ketemu kamu selalu marah-marah. Menyebalkan,“ sahutku tak kalah ketus sambil melangkah menuju kamar. “Gimana nggak marah, sudah dua jam aku menunggumu. Kamu ditelepon nggak dijawab, di WA juga nggak dibalas,“ gerutunya. “Nah gitu juga perasaanku saat kamu nggak jawab teleponku, nggak balas WA-ku,“ balasku. Membuatnya langsung terdiam. “Aku mau shalat,“ putusku. . Kupandangi pantulan waj

    Last Updated : 2025-01-22
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 43

    “Katanya, aku harus memperbaiki hubunganku denganmu, Ra. Dan malam ini, aku ingin melakukannya,“ ucapnya sebelum aku menutup mata dan membiarkannya memberikan nafkah batin yang sekian lama tertunda, walau sosok Aric tak hentinya membayangi pikiran..Aku menggeliat pelan saat mendengar dengkuran halus dari mulut Mas Hangga. Setelah memastikannya sudah benar-benar terlelap, kuraih pakaian yang berceceran di dekat ranjang dan mengenakannya. Lalu meraih ponsel yang sedari tadi kumatikan datanya.Begitu data dinyalakan, puluhan pesan dan panggilan tak terjawab langsung memenuhi panel notifikasi. Salah satunya dari Aric. Tak berniat membalas, kuabaikan lagi panggilan masuk darinya. Hingga akhirnya dia kembali mengirim pesan.[Please, angkat, Khai.][Khairana.][Aku menyesal, Khai. Maaf untuk kejadian tak terduga tadi.]Aku hanya membacanya dan tak berniat membalas pesan permintaan maafnya yang datang terus menerus. Rasa iba yang tiba-tiba menyeruak, akhirnya membuatku luluh dan menarikan j

    Last Updated : 2025-01-23
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 44

    “Ya mau gimana lagi, Meer. Dia kan masih suamiku,“ sahutku sambil menunduk.“Bener-bener bucin Lo, Nai. Udahlah kata cerai aja. Ngapain lagi coba. Lo udah dapat rumahnya Si Medina, sekarang Lo udah kerja, makin cantik. Ada Aric juga yang bucin sama Lo,“ katanya. Aku langsung melemparnya dengan bantal sofa.“Bucin dari Hongkong!“ seruku ketus.“Beneran, Nai. Gue yakin Aric bucin sama Lo. Cara dia natap Lo, cara bicaranya, perhatiannya ... udah cukup jadi bukti kalau dia bucin sama Lo,“ katanya. Aku mencebikkan bibir.“Makin ngaco aja kamu, Meer. Udah ah, aku mau berangkat,“ kataku.“Bentar dulu lah. Tungguin gue, biar gue anterin Lo. Sekalian lihat Aric,“ sahutnya seperti menggodaku.“Dasar genit!“ umpatku.“Kalau Lo sama dia, gue setuju banget, Nai.“ “Tau ah.“ Aku buru-buru keluar dari rumahnya. Menunggu di kursi teras sambil mendengarkan lagu-lagu favorit melalui headset bluetooth.**Meera benar-benar membuatku malu. Setibanya di parkiran toko, dia langsung menghampiri Aric yang en

    Last Updated : 2025-01-23
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 45

    Aku menatap Mbak Medina, Mbak Hanin dan Hasna yang duduk di hadapanku dengan wajah terangkat. Tak tampak sedikit pun penyesalan dari raut wajah mereka. Sementara Mbak Tetty yang duduk di sampingku, mengelus punggung tangan ini. Seakan menyalurkan energi positif pada diri ini yang masih dikuasai amarah.“Baik, Ibu-ibu yang terhormat. Bisa tolong ceritakan duduk permasalahannya?“ tanya Pak Hafiz yang baru duduk, setelah menjawab telepon.“Baik, Pak Manager yang terhormat. Saya ke sini, supaya Si Naira ini ganti rugi. Karena dia sudah mengacaukan gaun ipar saya,“ jawab Mbak Hanin sambil melirik tajam padaku.“Mengacaukan bagaimana maksudnya?“ tanya Pak Hafiz.“Ya mengacaukan, Pak. Adik ipar saya ini pesan warna maroon, tapi ternyata merah cabe.“ Mbak Hanin menjawab ketus.“Kenapa Anda langsung komplen ke sini? Kenapa tak ke desainernya dulu?“Pertanyaan Pak Hafiz, berhasil membuat mereka

    Last Updated : 2025-01-24
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 46

    “Di fitting pertama, tak ada masalah. Tidak ada koreksi, selain tambahan payet. Begitu fitting kedua dan terakhir pun, tidak ada masalah. Tapi kemarin saat pelunasan, dia bilang nggak cocok sama warnanya. Dia menuding kalau Nak Naira salah setor warna, padahal saya sendiri saksinya saat Nak Naira menyetorkan barcode pada Mbak Tetty,“ sambungnya menggebu, dengan mata memerah.“Saya jelas kesal, Pak. Tapi berusaha mengambil opsi jalan tengah.  Gaun itu disewa saja, tapi Bu Medina dan Pak Hangga menolak. Dengan alasan ingin gaun dan beskapnya nanti bisa dipakai keturunan mereka. Akhirnya saya kasih opsi lain, yaitu potongan harga dua puluh persen, dengan syarat tak diperpanjang.Karena jujur ... saya cukup pusing menghadapi klien seperti mereka. Saya kira permasalahan ini sudah selesai, makanya kaget dan merasa bersalah saat tadi ada yang nelepon, ngasih tau ada keributan di sini. Setelah tahu kebenarannya, saya bisa menyim

    Last Updated : 2025-01-24
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 47

    Setengah berlari, kususul kakek yang mengayuh sepeda berisi sapu dan tersenyum lega saat beliau menoleh saat dipanggil.“Mau beli sapu, Neng?“ Aku menatapnya yang cukup lama, hingga tak bisa menahan sendu saat wajah ayah tiba-tiba membayang di pelupuk mata. Dulu, saat ayah masih ada, beliau selalu menyuruhku membeli di pedagang kecil, baik butuh ataupun tidak. Karena kata Ayah, mereka berjualan untuk menyambung hidup, bukan menimbun harta. “Sapu yang ini, berapa?“ tanyaku sambil memegangi sapu yang cukup tebal dan berat.“Dua puluh lima ribu, Neng. Neng mau beli?“ tanyanya lagi. Aku mengangguk dan berpikir sejenak.“Beli sepuluh ya, Kek.“ Aku menjawab mantap.“Se-sepuluh?“ Aku mengangguk lagi.“Untuk apa beli sapu banyak-banyak, Neng? Kalau Neng beli karena kasihan, lebih baik jangan beli, Neng.“Aku tertegun me

    Last Updated : 2025-01-25
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 48

    Ada apa denganku? Kenapa aku labil seperti ini? Di saat bersama Aric, aku merasakan denyar tak biasa. Tapi di saat Mas Hangga melukai hati, aku pun masih menitikan air mata.Di saat benak sibuk memikirkan dua hal itu, ekor mataku menangkap seseorang membuka pintu dengan kasar. Belum sempat kuusap air mata, sosok itu masuk dengan langkah panjang.“Naira!“ teriaknya kencang. Siapa lagi kalau bukan Mas Hangga. Dia mengikis jarak di antara kami dengan wajah merah padam dan tatapan nyalang.Tanpa tende eling, dia mencengkram pergelangan tanganku. Menyeret tubuh ini masuk dengan kasar. Lalu menyentak dengan kasar hingga aku hampir tersungkur.“Kau apakan istriku, Naira?“ bentaknya. Aku masih diam, meredakan dada yang bergejolak luar biasa.“Naira!“ Kali ini lenganku yang dia cengkram. Tapi segera kulepas dengan cepat.“Bisakah kau tak berbuat kasar padaku, Hangga Bagaskara?“ d

    Last Updated : 2025-01-25
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 49

    “Apa maksudnya ini, Naira?“Aku yang tengah menonton tv, terlonjak kaget saat Mas Hangga tiba-tiba saja datang dan melempar map berwarna biru ke hadapanku.Aku pun mendongak. Menatapnya dengan alis bertaut.“Apa maksudnya semua ini, Naira? Kenapa kamu melaporkanku?“ tanyanya setengah berteriak. Aku mengerjap pelan. Memungut map itu lalu melemparnya balik ke dada Mas Hangga.“Karena kamu layak dihukum. Jangan mentang-mentang aku diam saja, kamu bisa seenaknya sama aku. Aku diam bukan karena takut padamu, tapi karena menunggu waktu yang pas!“ Aku berteriak membalasnya.“Sia lan!“ Mas Hangga mengumpat sambil mengayunkan tangan. Tapi buru-buru kutepis.“Kalau kamu memang jantan, penuhi panggilan itu, Mas Hangga Bagaskara. Karena menamparku lagi, hanya akan mempermudah langkah polisi,“ ujarku dingin.“Si al!“ Tangan Mas Hangga langsung mengepal. Lalu dengan cepat, dia meraih map merah itu kembali dan melenggang dengan tergesa

    Last Updated : 2025-01-26

Latest chapter

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 154

    Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 153

    “Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 152

    Naira memutar bola matanya, tak ingin memperpanjang obrolan. Dia tahu betul, kalau Aric sudah punya rencana, sulit baginya untuk mengubah keputusan lelaki itu. “Taksinya sudah datang. Ayo, Babe!“ seru Aric sambil mengambil alih koper Naira. Naira pun mengikutinya dengan bibir mengerucut. Sejujurnya dia ingin pulang ke rumahnya. Lalu bertemu si kembar. “Kenapa cemberut terus?“ tanya Aric saat di perjalanan menuju hotel. “Aku kangen si kembar,“ jawab Naira sendu. “Maaf, ya. Tapi ini juga demi kelancaran segalanya. Setelah dari acara Hilma, kita langsung ke rumahmu. Aku akan meminta izin langsung sama si kembar,“ sahut Aric. Naira menghela napas panjang. “Oke deh.“ Pagi cukup cerah saat Naira sibuk mematut dirinya di cermin. Jika biasanya dia mengenakan gaun buatannya sendiri, kali ini Naira mengenakan gaun berwarna pastel yang dua hari lalu dibeli Aric. Gaun itu tampak elegan, menawan tapi tak mencolok. Ukurannya pun begitu pas di tubuh Naira. “Kok deg-degan ya?“ gu

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 151

    “Ric, kenapa?“ Naira kembali bertanya. Aric kembali mengusap wajahnya. “Malam ini dan seminggu ke depan, kamu tidur di sini ya?“ katanya. “Sama kamu?“ tanya Naira. “Maunya sih begitu,“ jawab Aric sambil membuang napas “Tapi no! Aku mau nginep di apartemen temanku saja, Babe. Aku nggak yakin bisa menahan diri kalau dekat-dekat terus sama kamu,“ jawab Aric. Seketika hati Naira dipenuhi haru. “Kamu …“ “Aku nggak yakin bisa menjaga diri kalau berada di dekatmu, Khai. Sekarang hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum kita halal,“ ujar Aric. Seketika air mata Naira mengalir. Bukan air mata sedih, tapi haru. “Kok nangis? Sedih nggak aku sentuh?“ kelakar Aric. Naira langsung mengerucutkan bibirnya. “Baru aja aku terharu, eh kamu malah bikin kesel,“ katanya. Aric pun tertawa lepas. “Udah masuk jam makan siang. Kita cari makan dulu, yuk!“ ajak Aric. “Boleh. Tapi shalat dulu, ya!“ balas Naira. “Oke.“ ** Aric membawa Naira ke sebuah restoran halal langganannya. Sebe

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 150

    “Nggak! Aku nggak mau!“ seru Aric dengan mata melotot.Mendengar penolakan Aric, dunia Naira seolah runtuh. Naira menghela napas sejenak, lalu berbalik hendak meninggalkan Aric. Tapi sedetik kemudian, Aric menarik tangannya dengan kencang hingga Naira jatuh ke pelukannya.Naira mengerjap pelan. Dahinya sedikit mengerut, mencerna apa yang sebenarnya diinginkan Aric.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Khai? Tadi kamu bilang membutuhkanku, mencintaiku, tapi kenapa tiba-tiba tiba-tiba kamu bilang ingin bersahabat denganku? Jangan main-main dengan hatiku, Khaira!“ serunya tegas dengan suara tertahan.“Aku nggak main-main, Ric. Aku hanya ….“ Naira tak mampu menyelesaikan perkataannya.“Aku nggak mau kalau hanya jadi sahabatmu, Khai. Aku bosan jadi sahabatmu. Dari SMP sampai setua ini, tak bisakah aku menjadi pendamping hidupmu, Khai? Memilikimu seutuhnya?“ Aric menatap Naira lekat-lekat. Naira menelan salivanya susah payah. Lidahnya terasa kelu, tak tahu harus berkata apa lagi setelah men

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 149

    “Jadi gimana, Nai? Lo masih belum ketemu Aric?“ tanya Meera. Malam itu, sepulang dari rumah sakit, Naira melakukan video call dengan ketiga sahabatnya. “Belum, Meer.“ Naira menjawab lesu dengan mata berkaca-kaca. “Si Erlangga nggak ngerjain Lo kan, Nai?“ sahut Cantika. Naira mengangkat bahu. “Keknya sih enggak. Cuma emang kebijakan rumah sakitnya ketat. Andai punya nomor Aric, pasti nggak bakalan sesusah ini,“ keluhnya. Ke tiga sahabatnya saling melirik. Merasa iba pada Naira. Melihat seberapa besar effort perempuan itu mengejar cintanya. “Lo nggak punya nomor Erlangga juga?“ tanya Meera. “Enggak, Meer.“ Naira menghela napas berat. “Terus gimana? Kamu masih mau di situ atau gimana?“ tanya Adila. Naira terdiam sejenak. “Aku … belum tahu.“ Naira tak mau mengatakan kalau tabungannya menipis. Dia takut ke tiga sahabatnya itu turun tangan membantunya. Setelah panggilan video call berakhir, Naira berbaring miring sambil memeluk guling. Memikirkan apa kiranya langkah yang harus di

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 148

    Naira duduk di tepi ranjang hotelnya, menatap ke luar jendela yang berembun. Udara terasa menusuk, meski penghangat ruangan menyala. Langit di luar tampak kelabu, menandai musim gugur yang nyaris berakhir. Dia menarik nafas panjang, menyentuh kaca jendela dengan ujung jarinya, menyeka embun tipis yang menghalangi pandangannya. Trotoar di bawah sudah mulai ramai. Orang-orang berjalan terburu-buru, membungkus diri dengan mantel tebal, seolah tak sabar ingin menghindari dingin. Dari kejauhan, Naira melihat sekelompok burung kecil berterbangan, mencari tempat berlindung. Pemandangan itu membuatnya termenung. “Musim salju hampir tiba,” gumamnya pelan, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Pagi itu terasa berbeda, bukan hanya karena udara yang dingin, tetapi juga karena hatinya yang masih bertahan dalam kegelisahan. Ada harapan kecil yang terus dia jaga, meski perlahan mulai meredup. Setelah mengisi perut, Naira kembali ke rumah sakit dengan semangat baru. Dia yakin, hari kedua akan berbe

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 147

    Waktu berlalu, Naira sibuk menyiapkan keberangkatannya. Dia sudah memesan tiket pesawat, hotel selama di sana, mencari tahu tentang rumah sakit tempat Aric bekerja, dan memastikan semua kebutuhan si kembar terpenuhi.“Mommy nggak bakalan lama kan ke luar negerinya?“ tanya Razka saat Naira meminta izin sebelum menidurkan mereka.Naira mengangguk sambil membelai rambut putra Razka dan Shaka bergantian.“Insya Allah, paling lama seminggu, Sayang. Selama mommy pergi, kalian jangan bertengkar, harus saling mengayomi,“ kata Naira.“Kalau aku sih oke, Mom. Tapi entah tuh Razka. Selama ini dia kan yang suka bikin ulah lebih dulu,“ sahut Shaka.Naira tertawa kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. Sedih sebenarnya harus meninggalkan si kembar. Andai punya tabungan lebih banyak, pasti dia akan mengajak mereka serta.“Pokoknya kalian jangan bertengkar. Abang harus mengayomi Adek, dan Adek harus hormat sama Abang.”“Siap, Mommy.“**Hari keberangkatan pun akhirnya telah tiba. Naira berdiri di ba

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 146

    Naira menatap mantan suaminya. Dia sama sekali tak marah. Setelah melihat tanggung jawab Hangga pada si kembar, rasa sakit lagi di hati seolah enyah entah kemana. Dia justru mendoakan yang terbaik untuk lelaki itu. “Selamat ya, Mas. Semoga kali ini Mas Hangga benar-benar bahagia. Aku harap dia juga jadi pelabuhan terakhir buat Mas.” “Aamiin,” jawab Hangga sambil tersenyum. “Terima kasih, Nai. Doa kamu berarti banget.” Hangga pun menyuruh si kembar meminta izin pada Bu Anya. Tanpa membantah, Shaka dan Razka langsung masuk menghampiri Bu Anya yang sedang memasak di dapur. Sedangkan Hangga memandang Naira dengan tatapan serius. Ada sesuatu yang sangat ingin dia tanyakan pada Naira. “Ngomong-ngomong, gimana hubungan kamu sama Aric? Aku dengar kalian dekat lagi?” Naira balas menatap Hangga dengan satu alis terangkat. Lalu tertawa kecil sebelum akhirnya menghela napas dan menggelengkan kepala. “Nggak, Mas. Jangankan dekat … yang ada Aric malah pindah ke luar negeri. Aku ngga

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status