Aku buru-buru menggeret koper. Mengabaikan Aric yang dahinya mengernyit.“Sudah selesai?“ tanyanya. Aku mengangguk dan berjalan mendahuluinya.“Khai, tunggu!“Aku tak berhenti dan terus melangkah ke tempat parkir. Lalu terdiam sejenak sambil menahan napas, melihat Mbak Medina dan Mas Hangga yang tampak berdebat.“Khai ...!“Suara Aric yang cukup keras, membuat pasangan calon orangtua itu sontak menoleh ke arahku. Untuk sekian detik, pandanganku dan Mas Hangga bertemu. Tapi kemudian dia melangkah ke arahku saat Aric menepuk pundak ini.“Khai—““Siapa dia, Naira?“ potong Mas Hangga yang kini menatapku tajam.“Anda siapa?“ tanya Aric dengan suara datar.“Aku suaminya Naira. Kamu siapa?“ Mas Hangga menjawab dengan suara yang terdengar kesal.“Naira, benarkah dia suamimu?“ tanya Aric. Aku mengangguk pelan.“Lalu, siapa perempuan itu?“
“Bicara apa kamu?“ teriaknya nyalang.“Aku bicara sesuai dengan apa yang kamu bicarakan kamu tadi siang, Mas! Kamu melarangku mengaku sebagai istrimu. Itu berarti—““Naira!“ teriaknya lagi, memotong ucapanku.“Aku melarangmu karena aku tak mau Medina malu dan sedih lalu depresi. Dia sedang mengandung darah dagingku dan aku tak mau hal itu terjadi,“ sambungnya.Aku tersenyum sinis. Aku memang sengaja memakai gaun yang tadi dibeli. Dengan tujuan supaya dia tersiksa dan meminta maaf karena sikapnya tadi siang. Tapi Mas Hangga malah bertingkah seperti orang amnesia. Gilak memang!“Kamu selalu memikirkan perasaannya. Tapi kenapa tak pernah memikirkan perasaanku? Apa kamu pikir aku ini robot? Boneka? Aku juga punya hati, Mas! Aku juga istrimu, yang masih wajib kamu jaga perasaannya. Aku mandul, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya, Mas!“ teriakku menyahuti diiringi lelehan air mata.“Kamu bilang, kamu akan berusaha adi
“Sebelum pindah, kita ke rumah Ibu dulu, Ra,“ kata Mas Hangga saat aku tengah menyapukan bedak pada wajah.“Ngapain?“ tanyaku ketus.“Kamu nanya ngapain? Ya kita minta restu dan doanya lah. Dia Ibuku, aku takkan jadi seperti ini kalau bukan karena jasanya. Kalau aku nggak ada uang, kamu nggak akan bisa beli rumah,“ katanya.Aku hanya membulatkan bibir. Malas meladeninya. Lagian apa hubungannya rumah yang kubeli dengan Ibu? Toh rumah itu dibeli dengan uang warisan Ayah, uang setara mahar, uang untuk sewa rumah dan ... Hasil penjualan cincin mereka.“Kenapa cuma oh?“ tanyanya terdengar geram.“Terus aku harus jawab apa?“ tanyaku balik. Dia langsung menggeram. “Kamu ini benar-benar mengujiku, Naira. Makin ke sini bukan hanya penampilanmu yang berubah, tapi sifatmu juga. Kamu jadi kasar dan urakan.““Oh ya?“ Aku memutar bola mata. Dia hanya diam, hanya dadanya saja yang naik turun.“Cepatlah! Mau atau tidak, pokoknya kita harus ke rumah Ibu dulu,“ katanya, kali ini dengan suara lembut.“
Aku tiba di rumah baru tepat di saat azan magrib berkumandang. Dibantu pemilik mobil, aku memasukkan semua barang dan perabot ke ruang tamu. Setelah itu gegas menunaikan shalat dan membuka ponsel yang sedari pagi tak tersentuh. Ada banyak pesan dari grup. Membahas pernikahan Cantika yang akan digelar sekitar dua minggu lagi dan aku hanya meringis membaca pesan terbaru dari Meera.[Gue bakal datang sama Ken.] pesannya.[Aku insya Allah sama Mahesa.] balas Adila.[Kok Lo pada tega amat sih?][kalau Lo pada bawa pasangan, kasihan Naira dong. Si Hangga mana mau dibawa ke kondangan gue.] balas Cantika.[Hehehe, iya sih. Tapi Ken posesif. Dia gak ngizinin gue sendirian ke kondangan. Takut digoda cowok lain katanya.] Meera membalas.[Mahesa juga gitu. Makin dekat ke lamaran, tingkahnya makin nyebelin.] balas Adila.Aku tersenyum membaca semuany
“Bajumu ...“ ucapnya menggantung dan membuatku sontak menutup bagian dada dengan tangan. Aric pun terkekeh. Lalu melangkah, mengikis jarak di antara kami sambil membuka kancing kemejanya.“Kamu mau ngapain?“ tanyaku sambil meliarkan pandangan ke sekeliling yang masih sepi. Karena memang toko dibuka sekitar satu jam lagi.“Aric ...“ ucapku saat dia melepas kemejanya, sambil melangkah mundur hingga akhirnya terhenti karena mentok di rak kain. “Aric!“ teriakku. Dia pun terkekeh ringan, lalu menyerahkan kemejanya padaku.“Apa yang kamu pikirkan, Khai? Apa kamu pikir, aku akan ...“ katanya sambil memainkan alis. Aku sontak mendelik tajam. Dia pun tergelak.“Ganti bajumu dengan kemejaku, Khai,“ ujarnya.Hah? Aku mengerjap tak percaya. Hendak menggeleng, tapi Aric segera menyela.“Pakailah, Khai. Itu bajumu basah dan bikin orang sala
“Selingkuh yuk, Khai.“Aku terbelalak tak percaya mendengarnya.“Kamu waras kan, Ric?“ ujarku geli sambil menarik tangan yang masih dipegangnya. Lalu menyebrang jalan lebih dulu.“Hei, tunggu!“ Aku tersenyum mendengar seruannya sambil buru-buru melangkah.“Jalanmu cepat banget, Khai,“ keluhnya saat kami sudah di depan tukang bakso.“Pak, komplit satu, ya!“ Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri tukang bakso yang tersenyum ramah.“Dua dong, Khai. Kamu kok tega sama aku,“ sahut Aric. Membuat tukang bakso mengulum senyum.“Iya deh iya. Dua ya, Pak,“ ralatku.“Siap, Neng. Sebentar biar Bapak siapkan kurs—“"Nggak usah, Pak. Saya mau lesehan saja.“ Aku menyela sambil melangkah ke teras toko. Duduk di sana beralaskan dus bekas.“Nggak di bangku, Khai?“ tanya Aric.“Enggaklah. Kalau kamu mau, silahkan,“ jawabku. Tapi Aric malah menggeleng dan duduk di hadapanku.“Gimana kabarmu, Khai? Terakhir ketemu kan kamu lagi galau,“ katanya sambil mengangguk pada tukang bakso yang memberikan g
“Ada apa?“ tanyanya. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku tidak apa-apa. Hanya ucapanmu tadi membuatku tersentil. Mungkin benar apa yang kamu katakan, Mas Hangga menyukai—““Sssttt! Jangan bicara seperti itu, Khai. Maaf kalau ucapanku tadi menyinggungmu. Tadi aku hanya bercanda, tak ada maksud lain,“ potongnya.“Kalaupun bukan bercanda, aku terima, Ric. Memang benar kok, Mbak Medina punya banyak kelebihan yang tidak kumiliki. Wajar saja kalau suamiku sampai tergila-gila padanya,“ sahutku sambil mengerjap dan lekas melepaskan cekalannya. Lalu berlari menghampiri Mbak Tetty yang sedari tadi seperti mengamati kami.“Ada apa?“ Benar saja dugaanku. Begitu masuk, dia langsung bertanya. Aku hanya menggeleng pelan dan buru-buru mengambil pouch kosmetik.“Mbak, kalau ada tukang kue cubit nganterin pesananku, tolong terima ya. Aku mau ke toilet dulu,“ ujarku.“Siap.“ Dia menjawab
“Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya. “Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mau
“Maaf, Naira. Aku sungguh minta maaf,“ ucapnya. Tapi entah, tak kudengar ketulusan dari suara maupun sorot matanya. “Simpan saja maafmu, Mas! Bosan aku mendengarnya. Sekarang katakan ... Apa lagi yang harus kulakukan?“ sindirku. Mas Hangga langsung menunduk, di menit selanjutnya, tangannya membuka map yang sedari tadi tergeletak di sampingnya.“Ada beberapa berkas yang membutuhkan tanda tandangmu,“ katanya.“Berkas apa?“ tanyaku dengan mata memicing. Netra pun sontak meliar.“Mas!“ “Aku akan menjual grosir di Jalan Haji Saleh,“ jawabnya. “Serius?“ Aku membulatkan mata tak percaya. Karena selama ini, perkembangan toserba cabang pertama itu cukup pesat.“Untuk apa kamu menjualnya? Jangan bilang kalau kamu terus merugi,“ tudingku. Dia langsung menggeleng.“Aku butuh uang untuk resepsi dan renovasi rumah Ibu, Ra,“ jawabnya.“Wow ...“ Aku bertepuk tangan p
“Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau cerailah, Ric. Tapi dia tidak mau, alasannya dia yakin bisa berlaku adil,“ jawabku sebal. Dia terkekeh geli.“Emang dasar buaya. Nggak cukup di satu tempat,“ cetusnya.“Dan kamu juga sama saja, Ric.“ Aku menyahut datar.“Sama gimana?“ tanyanya.“Ya sama. Kamu juga suka godain dan php-in pegawai toko sebelah kan?“ balasnya membuatnya tergelak.“Godain aja kok, nggak pake hati. Cuma mereka saja yang geer dan baperan,“ sahutnya santai. Membuatku bergidik.“lagian aku belum nikah, Khai. Jadi wajar saja,“ sambungnya. Aku memutar bola mata malas. “Sama saja. Dasar Playboy!“ umpatku. Dia pun langsung terbahak.“Aku tuh sebenarnya setia, Khai. Hanya saja, perempuan yang kucintai sulit kujangkau, jadi aku cari pelarian ke yang lain,“ katanya. Aku mengerjap tak percaya mendengarnya.“Gila! Benar-benar buaya kamu, Ric.“ Aku bergumam pelan, tapi lagi-lagi reaksi
Aric menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia datang dengan wajah sumringah. Aku yang sedari tadi menunggu pun segera menghampirinya. Lalu membiarkannya merangkul bahu ini.“Kita belanja dulu atau makan dulu?“ tanya sambil membukakan pintu mobil. Aku terdiam sejenak. “Makan dulu deh. Tapi makannya di luar saja, jangan di rumahku. Capek banget ini badan,“ jawabku.Sudah tiga hari ini, Aric selalu makan di rumahku. Walau dengan menu sederhana, tapi tetap saja butuh tenaga untuk mengolahnya. Sementara hari ini, tubuh terasa sangat lelah. Pengunjung siang tadi membludak, membuat kami kewalahan melayani.“Oke, kita makan di luar saja. Kita cari resto dekat supermarket,“ sahutnya sambil menoleh dan tersenyum padaku..Setelah mengantarku untuk shalat magrib, Aric membawaku ke restoran cepat saji dekat supermarket. Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mata sontak terbelalak melihat Mas Hangga ada di meja yang tak begitu jauh dari kami.“
“Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya. “Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mau
“Ada apa?“ tanyanya. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku tidak apa-apa. Hanya ucapanmu tadi membuatku tersentil. Mungkin benar apa yang kamu katakan, Mas Hangga menyukai—““Sssttt! Jangan bicara seperti itu, Khai. Maaf kalau ucapanku tadi menyinggungmu. Tadi aku hanya bercanda, tak ada maksud lain,“ potongnya.“Kalaupun bukan bercanda, aku terima, Ric. Memang benar kok, Mbak Medina punya banyak kelebihan yang tidak kumiliki. Wajar saja kalau suamiku sampai tergila-gila padanya,“ sahutku sambil mengerjap dan lekas melepaskan cekalannya. Lalu berlari menghampiri Mbak Tetty yang sedari tadi seperti mengamati kami.“Ada apa?“ Benar saja dugaanku. Begitu masuk, dia langsung bertanya. Aku hanya menggeleng pelan dan buru-buru mengambil pouch kosmetik.“Mbak, kalau ada tukang kue cubit nganterin pesananku, tolong terima ya. Aku mau ke toilet dulu,“ ujarku.“Siap.“ Dia menjawab
“Selingkuh yuk, Khai.“Aku terbelalak tak percaya mendengarnya.“Kamu waras kan, Ric?“ ujarku geli sambil menarik tangan yang masih dipegangnya. Lalu menyebrang jalan lebih dulu.“Hei, tunggu!“ Aku tersenyum mendengar seruannya sambil buru-buru melangkah.“Jalanmu cepat banget, Khai,“ keluhnya saat kami sudah di depan tukang bakso.“Pak, komplit satu, ya!“ Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri tukang bakso yang tersenyum ramah.“Dua dong, Khai. Kamu kok tega sama aku,“ sahut Aric. Membuat tukang bakso mengulum senyum.“Iya deh iya. Dua ya, Pak,“ ralatku.“Siap, Neng. Sebentar biar Bapak siapkan kurs—“"Nggak usah, Pak. Saya mau lesehan saja.“ Aku menyela sambil melangkah ke teras toko. Duduk di sana beralaskan dus bekas.“Nggak di bangku, Khai?“ tanya Aric.“Enggaklah. Kalau kamu mau, silahkan,“ jawabku. Tapi Aric malah menggeleng dan duduk di hadapanku.“Gimana kabarmu, Khai? Terakhir ketemu kan kamu lagi galau,“ katanya sambil mengangguk pada tukang bakso yang memberikan g
“Bajumu ...“ ucapnya menggantung dan membuatku sontak menutup bagian dada dengan tangan. Aric pun terkekeh. Lalu melangkah, mengikis jarak di antara kami sambil membuka kancing kemejanya.“Kamu mau ngapain?“ tanyaku sambil meliarkan pandangan ke sekeliling yang masih sepi. Karena memang toko dibuka sekitar satu jam lagi.“Aric ...“ ucapku saat dia melepas kemejanya, sambil melangkah mundur hingga akhirnya terhenti karena mentok di rak kain. “Aric!“ teriakku. Dia pun terkekeh ringan, lalu menyerahkan kemejanya padaku.“Apa yang kamu pikirkan, Khai? Apa kamu pikir, aku akan ...“ katanya sambil memainkan alis. Aku sontak mendelik tajam. Dia pun tergelak.“Ganti bajumu dengan kemejaku, Khai,“ ujarnya.Hah? Aku mengerjap tak percaya. Hendak menggeleng, tapi Aric segera menyela.“Pakailah, Khai. Itu bajumu basah dan bikin orang sala
Aku tiba di rumah baru tepat di saat azan magrib berkumandang. Dibantu pemilik mobil, aku memasukkan semua barang dan perabot ke ruang tamu. Setelah itu gegas menunaikan shalat dan membuka ponsel yang sedari pagi tak tersentuh. Ada banyak pesan dari grup. Membahas pernikahan Cantika yang akan digelar sekitar dua minggu lagi dan aku hanya meringis membaca pesan terbaru dari Meera.[Gue bakal datang sama Ken.] pesannya.[Aku insya Allah sama Mahesa.] balas Adila.[Kok Lo pada tega amat sih?][kalau Lo pada bawa pasangan, kasihan Naira dong. Si Hangga mana mau dibawa ke kondangan gue.] balas Cantika.[Hehehe, iya sih. Tapi Ken posesif. Dia gak ngizinin gue sendirian ke kondangan. Takut digoda cowok lain katanya.] Meera membalas.[Mahesa juga gitu. Makin dekat ke lamaran, tingkahnya makin nyebelin.] balas Adila.Aku tersenyum membaca semuany
“Sebelum pindah, kita ke rumah Ibu dulu, Ra,“ kata Mas Hangga saat aku tengah menyapukan bedak pada wajah.“Ngapain?“ tanyaku ketus.“Kamu nanya ngapain? Ya kita minta restu dan doanya lah. Dia Ibuku, aku takkan jadi seperti ini kalau bukan karena jasanya. Kalau aku nggak ada uang, kamu nggak akan bisa beli rumah,“ katanya.Aku hanya membulatkan bibir. Malas meladeninya. Lagian apa hubungannya rumah yang kubeli dengan Ibu? Toh rumah itu dibeli dengan uang warisan Ayah, uang setara mahar, uang untuk sewa rumah dan ... Hasil penjualan cincin mereka.“Kenapa cuma oh?“ tanyanya terdengar geram.“Terus aku harus jawab apa?“ tanyaku balik. Dia langsung menggeram. “Kamu ini benar-benar mengujiku, Naira. Makin ke sini bukan hanya penampilanmu yang berubah, tapi sifatmu juga. Kamu jadi kasar dan urakan.““Oh ya?“ Aku memutar bola mata. Dia hanya diam, hanya dadanya saja yang naik turun.“Cepatlah! Mau atau tidak, pokoknya kita harus ke rumah Ibu dulu,“ katanya, kali ini dengan suara lembut.“