Share

Bab 4

Penulis: Fatimah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-20 18:10:58

“Kamu mendengarnya, Naira?“ tanyanya tampak terkejut.

Aku hanya tersenyum tipis dan segera menghalau tubuhnya yang menghalangi langkahku. Lalu beranjak membuka lemari, memilih outfit yang cocok dikenakan sore nanti.

“Apa yang kamu dengar, tak sesuai dengan apa yang kamu bayangkan, Ra.“

Gerakan tanganku terhenti mendengar ucapannya yang sungguh menggelitik. Aku memang tak tahu isi hatinya tapi ucapannya sudah cukup membuatku mengerti.

“Memangnya apa yang kubayangkan?“ tanyaku geli.

Mas Hangga terdiam.

“Tak usah berbohong untuk menutup kebohonganmu yang lain, Mas. Karena semua itu hanya membuatku semakin tak mempercayaimu dan membuat keadaan semakin rumit,“ sahutku sambil menarik tunik baby blue dan celana jeans navy.

“Loh kamu mau kemana?“ tanyanya seakan mengalihkan pembicaraan sebelumnya.

“Aku mau hang out sama Meera, Cantika dan Adila,“ jawabku sambil menoleh padanya.

“Tidak, Ra. Aku tidak mengizinkan,“ katanya sambil menggelengkan kepala.

“Kenapa memangnya? Karena mereka nggak berhijab dan hanya akan membawa pengaruh buruk?“ tanyaku dongkol, karena tiap aku ingin bertemu mereka, selalu saja Mas Hangga melarang dengan alasan itu. Meera, Cantika dan Adila memang belum berhijab, tapi mereka baik. Bahkan mungkin lebih baik dariku yang sudah lama berhijab.

Mas Hangga terdiam seketika, tapi tangannya mengepal.

“Jangan menilai orang hanya dari penampilannya saja, Mas. Karena apa yang kita lihat terkadang tak sama dengan kenyataan yang ada,“ lanjutku. Membuatnya mendelik tajam.

“Kamu menyindirku?“ semburnya.

Aku tersenyum miring dan menggeleng, “tidak ... Sama sekali tidak. Bukankah yang tadi kuucapkan itu sebuah pepatah? Dont judge the a book by its cover.“

“Apapun itu, aku tetap takkan mengizinkanmu,“ katanya. Aku mengembuskan napas kasar lalu menatapnya tajam.

“Kamu tidak mengizinkanku pergi bersama mereka, tapi kenapa kamu tidak meminta izinku dulu saat menikahi Mbak Medina?“ tanyaku datar.

“Kan sudah aku bilang, kamu pasti takkan mengizinkan. Makanya aku—“

“Nah ini juga yang akan kulakukan sekarang. Aku akan tetap pergi walau tanpa izinmu, seperti kamu yang menikah lagi tanpa izin dariku,“ potongku.

“Naira!“

Lengkingan suaranya disertai cengkraman eratnya di pergelangan tangan ini, membuatku meringis seketika. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa sikapnya berubah-ubah seperti ini? Delapan tahun menikah, dia memang datar lebih sering tegas, tapi tak pernah membentak atau berteriak seperti sekarang.

“Jangan berani-berani pergi tanpa izin dariku, Naira. Karena bagaimanapun aku ini suamimu, yang titahnya wajib kamu patuhi,“ desisnya dengan mata memerah. Setelah itu satu tangannya yang menganggur menarik tengkukku, menyatukan bibir kami.

Aku yang jelas tak terima, mencoba berontak mendorong dada tapi tubuh yang terasa lemah membuat pertahanan langsung tergerus habis. Lalu hanya bisa menatapnya nanar saat dia merebahkanku dan melepas jubah mandi yang membelit tubuh ini.

“Dengar aku, Naira! Aku nggak akan lepasin kamu apapun yang terjadi. Sekalipun Medina yang meminta,“ katanya sebelum menyatukan bibir kami berdua. Setelah itu aku hanya bisa pasrah, membiarkannya mengeksplor tubuh ini dan terpejam saat dia sudah mencapai puncaknya.

*

Suara azan terdengar begitu nyaring saat aku membuka mata. Rasa pusing yang belum enyah, membuatku memijit pelipis sambil mengingat potongan-potongan kejadian tadi siang.

Astagfirullah! Aku buru-buru bangun begitu ingat belum shalat zuhur dan akan bertemu Meera, Cantika dan Adila.

Pelan-pelan, aku turun dari ranjang dan mendapati jarum jam menunjuk ke angka tiga. Sudah azan asar rupanya dan Mas Hangga entah pergi kemana.

Buru-buru kubersihkan diri dan menunaikan shalat asar juga menqadha shalat zuhur. Lalu bersiap pergi ke kafe Vanilla. Tapi tepat di saat aku memoles liptint, pintu terbuka. Mas Hangga masuk dengan wajah keruh.

“Mau kemana kamu?“ tanyanya tajam.

“Kan aku sudah bilang, aku mau ketem—“

“Tidak! Aku tidak mengizinkanmu!“ potongnya dengan nada tinggi. Aku membalikkan badan, menatapnya kesal.

“Kenapa tidak? Aku sudah melayanimu, jadi—“

“Kalau aku bilang tidak, ya tidak, Naira. Diam saja di rumah atau kamu akan menyesal!“ bentaknya dengan napas memburu. Aku terbelalak tak percaya. Dia tidak sedang kesurupan kan? Aku menggigit bibir, menahan mata yang tiba-tiba memanas.

“M-mas ... Kamu ...“

Belum sempat aku bicara, Mas Hangga melenggang keluar. Lalu aku kembali terbelalak saat dia mencabut anak kunci.

“Mas!“ Aku memekik dan buru-buru menyusulnya. Tapi terlambat karena pintu sudah ditutup lalu terdengar suara anak kunci.

“Mas! Buka, Mas!“ Aku menggedor-gedor pintu tapi tak ada sahutan apapun, yang terdengar justru derap langkah menjauh.

Tubuhku merosot seketika dan air mata lagi-lagi mengalir. Ada apa dengannya? Setan apa yang merasukinya hingga membuatnya berubah drastis?

*

[Iya gpp, Nai. Gws, ya. Jangan lupa makan dan minum obat.]

[Iya, Nai. Syafakillah.]

[Gws ya, Nai.]

Aku membaca pesan dari Adila, Cantika dan Meera dengan perasaan tak karuan. Setelah dikunci dari luar, aku terpaksa mengirim pesan dusta pada mereka bertiga. Mengatakan kalau tiba-tiba tak enak badan dan dengan terpaksa membatalkan rencana bertemu sore ini.

[Aamiin. Makasih ya, Girls.]

Setelah mengembuskan napas kasar, aku membalasnya. Lalu memasukkan ponsel ke dalam nakas dan membuka laptop. Untuk saat ini hanya benda itulah yang bisa menghiburku.

Namun belum sempat kupilih drama terbaru, ponsel berdering nyaring. Nama Meera terpampang di layar dan sontak membuatku dilanda gelisah. Karena dari ketiga sahabat, dia sudah seperti detektif. Mampu membuat lawan bicara tak berkutik.

[Angkat, Nai. Ada yang mau gue bicarain]

Ragu, aku menggeser ikon telepon hijau. Lalu tubuh seakan membeku mendengar suaranya yang datar.

“Nggak usah bohong, Nai. Lo nggak ada bakat jadi tukang tipu. Gue tau, Lo lagi ada masalah kan sama si Hangga?“

Aku menelan ludah susah payah. Bingung harus menjawab apa. Berbohong pun percuma, karena dia selalu punya bukti atas ucapannya.

“Nai, Lu denger gue kan?“

Aku memejamkan mata. Lalu mengembuskan napas dalam-dalam.

“I-iya, Meer ...“ Hanya itu yang kuucapkan.

“Suami Lo selingkuh kan?“ tanyanya terdengar sinis. Akhirnya aku terisak karena sesak yang kembali menyerang dada.

“Nangis, Nai ... Nangis aja, nggak usah ditahan,“ katanya. Tak tahan, isakku pun semakin menjadi, lalu tak lama terdengar suara Adila dan Cantika.

“Kamu nggak apa-apa kan, Nai?“ tanya mereka berbarengan.

“Yang namanya diselingkuhi, nggak ada yang baik-baik saja, Woy.“ Meera menyahuti dengan suara kesal.

“Nai, kita ke rumah kamu, ya?“ Suara Adila membuatku tersentak.

“Ja-jangan ...“ tolakku.

“Kenapa?“ Mereka bertiga bertanya kompak. Aku menggaruk kepala.

“Si Hangga nggak kdrt kan, Nai?“ tanya Meera.

“Ah iya, si Hangga nggak kdrt kan?“ Cantika ikut bertanya.

Aku menggeleng walau jelas takkan terlihat, “nggak kok.“

“Tapi beneran selingkuh?“ sahut Adila. Lagi-lagi aku menangis.

“Ya Allah ...“ Cantika menyahut sendu.

“Tuh kan bener yang gue lihat seminggu lalu,“ timpal Meera. Dahiku langsung mengerut mendengarnya.

“Emang kamu lihat apa, Meer?“ tanyaku parau.

“Gue lihat si Hangga lagi jalan sama Mbak Lu ... Si Medina. Mereka jalan sambil pegangan tangan, beli perhiasan terus beli hape,“ jawabnya terdengar kesal dan sontak membuat tangisku kembali pecah.

“Nai ... Aduh, Nai ... So-sorry,“ kata Meera.

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Enggak apa-apa, Meer. Aku malah makasih banget udah dikasih tau,“ sahutku pilu di sela-sela tangis yang semakin deras.

“Ya Allah, Nai ... yang sabar, ya,“ ucap Cantika.

“Iya, Nai. Sabar, ya. Peluk jauh,“ timpal Adila.

“Sabar, Nai. Sabar dan balas mereka, Nai. Tuman!“ Meera menambahi.

“Balas ...“ ucapku lirih karena ternyata pintu terbuka dan Mas Hangga berdiri di sana dengan sorot mata tajam.

“Mas ...?“

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
lawan aja nai qm pasti bisa lepas dr Hangga nai
goodnovel comment avatar
Elma Sukmala
ayo nai kamu harus tegar juga tegas.balas mereka dengan yg lebih pedih dari yg kau rasakan.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 5

    “M-mas ...““Nelepon siapa kamu?“ tanyanya sambil berjalan tergesa menghampiri. Lalu di detik berikutnya, dia merebut ponsel di tanganku.“Jangan pengaruhi istriku.“ Dia berkata tajam, membuat atmosfer kamar berubah mencekam. Aku menelan ludah dengan payah saat telepon diputus dan pandangan kami bersirobok.“Kamu bilang apa sama mereka?“ tanyanya. Aku menggeleng, “ti-dak. Aku tidak bilang apa—““Bohong!“ sentaknya membuatku spontan meremas sprei. Lalu memejamkan mata saat merasakan jemari panjangnya menyentuh daguku.“Jangan berani membohongiku, Naira,“ ujarnya dingin. Aku membuka mata dan sontak membeliak saat ponsel milikku dibanting dengan kasar.“Mas!“ teriakku tak terima. Kutepis tangannya dan buru-buru memunguti benda pipih yang layarnya sudah pecah. Gegas, kutekan tombol power, berharap masih menyala. Tapi hingga beberapa menit menunggu, layarnya tetap saja gelap.Aku pun bangkit berdiri. Menatapnya nyalang sambil meremas ponsel.“Puas kamu, Mas? Puas?“ teriakku. Mas Hangga han

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 6

    “Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih.“Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna.Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang. “Benar begitu, Naira?“ “Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku.“Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman. Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya.“Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—““Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langs

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 7

    “Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami. Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.Tak ada istilah pacaran untuk hubungan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 8

    “Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 9

    Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 10

    “Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 11

    “Naira? Kamu Naira kan?“Aku mengerutkan dahi seketika. Dengan mata menyipit, kutatap lekat pemuda berkulit putih terawat itu.“Benarkan, kamu Naira Khairana?“ tanyanya memastikan dengan senyuman lebar. Mau tak mau aku mengangguk, walau bingung juga karna memang tak mengenalnya.“Kamu lupa sama aku?“ tanyanya sambil terkekeh ringan. Seolah kami pernah ....Lelaki itu mengikis jarak di antara kami. Masih dengan senyuman manisnya, dia mengulurkan tangannya. Kini giliranku yang memindai penampilannya. Mengingat-ingat, barangkali dia saudara atau kerabat Mas Hangga, meski rasanya tidak mungkin. Namun hingga beberapa menit berlalu, aku tak berhasil mengenalinya.“Jadi, kamu nggak beneran nggak ingat sama aku?“ Dia kembali melempar tanya. Lalu mendesah, saat aku menganggukkan kepala.“Aku Aric,“ lanjutnya. Aku masih diam, mengingat nama Aric yang pernah hadir di hidupku. Hingga akhirnya terbelalak saat sebuah bayangan melintas di kepala.“Aric? Alaric Daniyal Mahaprana?“ tanyaku memastikan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 12

    “Darimana saja kamu?““Mas?“ Aku menatapnya bingung sambil masuk melewati tubuhnya.“Darimana saja kamu?“ tanyanya lagi. Aku buru-buru menaruh belanjaan di atas meja makan. Lalu menatap wajahnya yang masih memerah, dan tiba-tiba saja teringat Aric. Apa mungkin Mas Hangga melihatku turun dari mobil Aric?“Aku kan sudah bilang, mau cari rumah sewaan,“ jawabku setenang mungkin.“Oh ya?“ Suaranya terdengar meremehkan. Membuatku dilanda keraguan.“Mas nggak percaya?“ tanyaku sambil menyentuh dagunya, tapi dia langsung menepisnya. Lalu mengembuskan napas kasar.“Tadi ada yang bilang, kamu turun dari mobil mewah,“ katanya dengan tangan mengepal. Aku tersenyum sinis. Apa mungkin dia cemburu?“Itu grabcar, Mas. Orang kaya gabut, nge-grab pake mobil mewah,“ sahutku sekenanya.“Kamu nggak bohong kan?“ tanyanya dengan mata memicing. Aku terkekeh sinis.“Kenapa bertanya seperti itu, sementara kamulah yang banyak berbohong padaku?“ balasku santai. Tubuhnya tampak menegang dan tangannya pun mengepal

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19

Bab terbaru

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 161

    Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 160

    Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 159

    Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 158

    “Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 157

    “Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 156

    “Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 155

    “Kalau Om mau melamar jadi Papi kalian … kira-kira bakalan kalian terima nggak?“ Mendengar pertanyaan Aric, Shaka dan Razka sontak saling pandang. Lalu keduanya menatap Aric lekat-lekat. “Om Dokter beneran mau jadi Papi kita?“ tanya Razka. “Ya.“ Aric tersenyum. “Aku sih setuju, Om. Yang penting Om nggak pisahkan kita dari Mommy,“ kata Shaka. Dalam benaknya masih tercetak jelas bagaimana upaya Sean memisahkan mereka dari Naira. “Mana bisa begitu. Kalau Om jadi Papi kalian, ya kita harus sama-sama. Dimanapun, kapanpun, dengan kondisi apapun, Om harus selalu sama kalian,“ jawab Aric. Shaka tersenyum samar. “Jadi gimana?“ lanjut Aric. “Aku setuju. Asalkan Om bisa bikin Mommy cantik setiap hari,” jawab Razka. Aric mengernyit tak paham. “Mommy itu cantik kalau tersenyum, Om. Jadi Om harus bisa bikin Mommy tersenyum setiap hari,“ ujar Shaka, seakan tahu arti kerutan di wajah Aric. “Oh … begitu ya?“ Aric mangut-mangut. “Kalau begitu, bantu Om bikin Mommy kalian selalu ter

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 154

    Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 153

    “Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status