“Kamu mendengarnya, Naira?“ tanyanya tampak terkejut.
Aku hanya tersenyum tipis dan segera menghalau tubuhnya yang menghalangi langkahku. Lalu beranjak membuka lemari, memilih outfit yang cocok dikenakan sore nanti. “Apa yang kamu dengar, tak sesuai dengan apa yang kamu bayangkan, Ra.“ Gerakan tanganku terhenti mendengar ucapannya yang sungguh menggelitik. Aku memang tak tahu isi hatinya tapi ucapannya sudah cukup membuatku mengerti. “Memangnya apa yang kubayangkan?“ tanyaku geli. Mas Hangga terdiam. “Tak usah berbohong untuk menutup kebohonganmu yang lain, Mas. Karena semua itu hanya membuatku semakin tak mempercayaimu dan membuat keadaan semakin rumit,“ sahutku sambil menarik tunik baby blue dan celana jeans navy. “Loh kamu mau kemana?“ tanyanya seakan mengalihkan pembicaraan sebelumnya. “Aku mau hang out sama Meera, Cantika dan Adila,“ jawabku sambil menoleh padanya. “Tidak, Ra. Aku tidak mengizinkan,“ katanya sambil menggelengkan kepala. “Kenapa memangnya? Karena mereka nggak berhijab dan hanya akan membawa pengaruh buruk?“ tanyaku dongkol, karena tiap aku ingin bertemu mereka, selalu saja Mas Hangga melarang dengan alasan itu. Meera, Cantika dan Adila memang belum berhijab, tapi mereka baik. Bahkan mungkin lebih baik dariku yang sudah lama berhijab. Mas Hangga terdiam seketika, tapi tangannya mengepal. “Jangan menilai orang hanya dari penampilannya saja, Mas. Karena apa yang kita lihat terkadang tak sama dengan kenyataan yang ada,“ lanjutku. Membuatnya mendelik tajam. “Kamu menyindirku?“ semburnya. Aku tersenyum miring dan menggeleng, “tidak ... Sama sekali tidak. Bukankah yang tadi kuucapkan itu sebuah pepatah? Dont judge the a book by its cover.“ “Apapun itu, aku tetap takkan mengizinkanmu,“ katanya. Aku mengembuskan napas kasar lalu menatapnya tajam. “Kamu tidak mengizinkanku pergi bersama mereka, tapi kenapa kamu tidak meminta izinku dulu saat menikahi Mbak Medina?“ tanyaku datar. “Kan sudah aku bilang, kamu pasti takkan mengizinkan. Makanya aku—“ “Nah ini juga yang akan kulakukan sekarang. Aku akan tetap pergi walau tanpa izinmu, seperti kamu yang menikah lagi tanpa izin dariku,“ potongku. “Naira!“ Lengkingan suaranya disertai cengkraman eratnya di pergelangan tangan ini, membuatku meringis seketika. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa sikapnya berubah-ubah seperti ini? Delapan tahun menikah, dia memang datar lebih sering tegas, tapi tak pernah membentak atau berteriak seperti sekarang. “Jangan berani-berani pergi tanpa izin dariku, Naira. Karena bagaimanapun aku ini suamimu, yang titahnya wajib kamu patuhi,“ desisnya dengan mata memerah. Setelah itu satu tangannya yang menganggur menarik tengkukku, menyatukan bibir kami. Aku yang jelas tak terima, mencoba berontak mendorong dada tapi tubuh yang terasa lemah membuat pertahanan langsung tergerus habis. Lalu hanya bisa menatapnya nanar saat dia merebahkanku dan melepas jubah mandi yang membelit tubuh ini. “Dengar aku, Naira! Aku nggak akan lepasin kamu apapun yang terjadi. Sekalipun Medina yang meminta,“ katanya sebelum menyatukan bibir kami berdua. Setelah itu aku hanya bisa pasrah, membiarkannya mengeksplor tubuh ini dan terpejam saat dia sudah mencapai puncaknya. * Suara azan terdengar begitu nyaring saat aku membuka mata. Rasa pusing yang belum enyah, membuatku memijit pelipis sambil mengingat potongan-potongan kejadian tadi siang. Astagfirullah! Aku buru-buru bangun begitu ingat belum shalat zuhur dan akan bertemu Meera, Cantika dan Adila. Pelan-pelan, aku turun dari ranjang dan mendapati jarum jam menunjuk ke angka tiga. Sudah azan asar rupanya dan Mas Hangga entah pergi kemana. Buru-buru kubersihkan diri dan menunaikan shalat asar juga menqadha shalat zuhur. Lalu bersiap pergi ke kafe Vanilla. Tapi tepat di saat aku memoles liptint, pintu terbuka. Mas Hangga masuk dengan wajah keruh. “Mau kemana kamu?“ tanyanya tajam. “Kan aku sudah bilang, aku mau ketem—“ “Tidak! Aku tidak mengizinkanmu!“ potongnya dengan nada tinggi. Aku membalikkan badan, menatapnya kesal. “Kenapa tidak? Aku sudah melayanimu, jadi—“ “Kalau aku bilang tidak, ya tidak, Naira. Diam saja di rumah atau kamu akan menyesal!“ bentaknya dengan napas memburu. Aku terbelalak tak percaya. Dia tidak sedang kesurupan kan? Aku menggigit bibir, menahan mata yang tiba-tiba memanas. “M-mas ... Kamu ...“ Belum sempat aku bicara, Mas Hangga melenggang keluar. Lalu aku kembali terbelalak saat dia mencabut anak kunci. “Mas!“ Aku memekik dan buru-buru menyusulnya. Tapi terlambat karena pintu sudah ditutup lalu terdengar suara anak kunci. “Mas! Buka, Mas!“ Aku menggedor-gedor pintu tapi tak ada sahutan apapun, yang terdengar justru derap langkah menjauh. Tubuhku merosot seketika dan air mata lagi-lagi mengalir. Ada apa dengannya? Setan apa yang merasukinya hingga membuatnya berubah drastis? * [Iya gpp, Nai. Gws, ya. Jangan lupa makan dan minum obat.] [Iya, Nai. Syafakillah.] [Gws ya, Nai.] Aku membaca pesan dari Adila, Cantika dan Meera dengan perasaan tak karuan. Setelah dikunci dari luar, aku terpaksa mengirim pesan dusta pada mereka bertiga. Mengatakan kalau tiba-tiba tak enak badan dan dengan terpaksa membatalkan rencana bertemu sore ini. [Aamiin. Makasih ya, Girls.] Setelah mengembuskan napas kasar, aku membalasnya. Lalu memasukkan ponsel ke dalam nakas dan membuka laptop. Untuk saat ini hanya benda itulah yang bisa menghiburku. Namun belum sempat kupilih drama terbaru, ponsel berdering nyaring. Nama Meera terpampang di layar dan sontak membuatku dilanda gelisah. Karena dari ketiga sahabat, dia sudah seperti detektif. Mampu membuat lawan bicara tak berkutik. [Angkat, Nai. Ada yang mau gue bicarain] Ragu, aku menggeser ikon telepon hijau. Lalu tubuh seakan membeku mendengar suaranya yang datar. “Nggak usah bohong, Nai. Lo nggak ada bakat jadi tukang tipu. Gue tau, Lo lagi ada masalah kan sama si Hangga?“ Aku menelan ludah susah payah. Bingung harus menjawab apa. Berbohong pun percuma, karena dia selalu punya bukti atas ucapannya. “Nai, Lu denger gue kan?“ Aku memejamkan mata. Lalu mengembuskan napas dalam-dalam. “I-iya, Meer ...“ Hanya itu yang kuucapkan. “Suami Lo selingkuh kan?“ tanyanya terdengar sinis. Akhirnya aku terisak karena sesak yang kembali menyerang dada. “Nangis, Nai ... Nangis aja, nggak usah ditahan,“ katanya. Tak tahan, isakku pun semakin menjadi, lalu tak lama terdengar suara Adila dan Cantika. “Kamu nggak apa-apa kan, Nai?“ tanya mereka berbarengan. “Yang namanya diselingkuhi, nggak ada yang baik-baik saja, Woy.“ Meera menyahuti dengan suara kesal. “Nai, kita ke rumah kamu, ya?“ Suara Adila membuatku tersentak. “Ja-jangan ...“ tolakku. “Kenapa?“ Mereka bertiga bertanya kompak. Aku menggaruk kepala. “Si Hangga nggak kdrt kan, Nai?“ tanya Meera. “Ah iya, si Hangga nggak kdrt kan?“ Cantika ikut bertanya. Aku menggeleng walau jelas takkan terlihat, “nggak kok.“ “Tapi beneran selingkuh?“ sahut Adila. Lagi-lagi aku menangis. “Ya Allah ...“ Cantika menyahut sendu. “Tuh kan bener yang gue lihat seminggu lalu,“ timpal Meera. Dahiku langsung mengerut mendengarnya. “Emang kamu lihat apa, Meer?“ tanyaku parau. “Gue lihat si Hangga lagi jalan sama Mbak Lu ... Si Medina. Mereka jalan sambil pegangan tangan, beli perhiasan terus beli hape,“ jawabnya terdengar kesal dan sontak membuat tangisku kembali pecah. “Nai ... Aduh, Nai ... So-sorry,“ kata Meera. Aku menarik napas dalam-dalam. “Enggak apa-apa, Meer. Aku malah makasih banget udah dikasih tau,“ sahutku pilu di sela-sela tangis yang semakin deras. “Ya Allah, Nai ... yang sabar, ya,“ ucap Cantika. “Iya, Nai. Sabar, ya. Peluk jauh,“ timpal Adila. “Sabar, Nai. Sabar dan balas mereka, Nai. Tuman!“ Meera menambahi. “Balas ...“ ucapku lirih karena ternyata pintu terbuka dan Mas Hangga berdiri di sana dengan sorot mata tajam. “Mas ...?““M-mas ...““Nelepon siapa kamu?“ tanyanya sambil berjalan tergesa menghampiri. Lalu di detik berikutnya, dia merebut ponsel di tanganku.“Jangan pengaruhi istriku.“ Dia berkata tajam, membuat atmosfer kamar berubah mencekam. Aku menelan ludah dengan payah saat telepon diputus dan pandangan kami bersirobok.“Kamu bilang apa sama mereka?“ tanyanya. Aku menggeleng, “ti-dak. Aku tidak bilang apa—““Bohong!“ sentaknya membuatku spontan meremas sprei. Lalu memejamkan mata saat merasakan jemari panjangnya menyentuh daguku.“Jangan berani membohongiku, Naira,“ ujarnya dingin. Aku membuka mata dan sontak membeliak saat ponsel milikku dibanting dengan kasar.“Mas!“ teriakku tak terima. Kutepis tangannya dan buru-buru memunguti benda pipih yang layarnya sudah pecah. Gegas, kutekan tombol power, berharap masih menyala. Tapi hingga beberapa menit menunggu, layarnya tetap saja gelap.Aku pun bangkit berdiri. Menatapnya nyalang sambil meremas ponsel.“Puas kamu, Mas? Puas?“ teriakku. Mas Hangga han
“Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih.“Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna.Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang. “Benar begitu, Naira?“ “Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku.“Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman. Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya.“Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—““Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langs
“Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami. Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.Tak ada istilah pacaran untuk hubungan
“Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l
Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk
“Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku
“Naira? Kamu Naira kan?“Aku mengerutkan dahi seketika. Dengan mata menyipit, kutatap lekat pemuda berkulit putih terawat itu.“Benarkan, kamu Naira Khairana?“ tanyanya memastikan dengan senyuman lebar. Mau tak mau aku mengangguk, walau bingung juga karna memang tak mengenalnya.“Kamu lupa sama aku?“ tanyanya sambil terkekeh ringan. Seolah kami pernah ....Lelaki itu mengikis jarak di antara kami. Masih dengan senyuman manisnya, dia mengulurkan tangannya. Kini giliranku yang memindai penampilannya. Mengingat-ingat, barangkali dia saudara atau kerabat Mas Hangga, meski rasanya tidak mungkin. Namun hingga beberapa menit berlalu, aku tak berhasil mengenalinya.“Jadi, kamu nggak beneran nggak ingat sama aku?“ Dia kembali melempar tanya. Lalu mendesah, saat aku menganggukkan kepala.“Aku Aric,“ lanjutnya. Aku masih diam, mengingat nama Aric yang pernah hadir di hidupku. Hingga akhirnya terbelalak saat sebuah bayangan melintas di kepala.“Aric? Alaric Daniyal Mahaprana?“ tanyaku memastikan
“Darimana saja kamu?““Mas?“ Aku menatapnya bingung sambil masuk melewati tubuhnya.“Darimana saja kamu?“ tanyanya lagi. Aku buru-buru menaruh belanjaan di atas meja makan. Lalu menatap wajahnya yang masih memerah, dan tiba-tiba saja teringat Aric. Apa mungkin Mas Hangga melihatku turun dari mobil Aric?“Aku kan sudah bilang, mau cari rumah sewaan,“ jawabku setenang mungkin.“Oh ya?“ Suaranya terdengar meremehkan. Membuatku dilanda keraguan.“Mas nggak percaya?“ tanyaku sambil menyentuh dagunya, tapi dia langsung menepisnya. Lalu mengembuskan napas kasar.“Tadi ada yang bilang, kamu turun dari mobil mewah,“ katanya dengan tangan mengepal. Aku tersenyum sinis. Apa mungkin dia cemburu?“Itu grabcar, Mas. Orang kaya gabut, nge-grab pake mobil mewah,“ sahutku sekenanya.“Kamu nggak bohong kan?“ tanyanya dengan mata memicing. Aku terkekeh sinis.“Kenapa bertanya seperti itu, sementara kamulah yang banyak berbohong padaku?“ balasku santai. Tubuhnya tampak menegang dan tangannya pun mengepal
“Maaf, Naira. Aku sungguh minta maaf,“ ucapnya. Tapi entah, tak kudengar ketulusan dari suara maupun sorot matanya. “Simpan saja maafmu, Mas! Bosan aku mendengarnya. Sekarang katakan ... Apa lagi yang harus kulakukan?“ sindirku. Mas Hangga langsung menunduk, di menit selanjutnya, tangannya membuka map yang sedari tadi tergeletak di sampingnya.“Ada beberapa berkas yang membutuhkan tanda tandangmu,“ katanya.“Berkas apa?“ tanyaku dengan mata memicing. Netra pun sontak meliar.“Mas!“ “Aku akan menjual grosir di Jalan Haji Saleh,“ jawabnya. “Serius?“ Aku membulatkan mata tak percaya. Karena selama ini, perkembangan toserba cabang pertama itu cukup pesat.“Untuk apa kamu menjualnya? Jangan bilang kalau kamu terus merugi,“ tudingku. Dia langsung menggeleng.“Aku butuh uang untuk resepsi dan renovasi rumah Ibu, Ra,“ jawabnya.“Wow ...“ Aku bertepuk tangan p
“Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau cerailah, Ric. Tapi dia tidak mau, alasannya dia yakin bisa berlaku adil,“ jawabku sebal. Dia terkekeh geli.“Emang dasar buaya. Nggak cukup di satu tempat,“ cetusnya.“Dan kamu juga sama saja, Ric.“ Aku menyahut datar.“Sama gimana?“ tanyanya.“Ya sama. Kamu juga suka godain dan php-in pegawai toko sebelah kan?“ balasnya membuatnya tergelak.“Godain aja kok, nggak pake hati. Cuma mereka saja yang geer dan baperan,“ sahutnya santai. Membuatku bergidik.“lagian aku belum nikah, Khai. Jadi wajar saja,“ sambungnya. Aku memutar bola mata malas. “Sama saja. Dasar Playboy!“ umpatku. Dia pun langsung terbahak.“Aku tuh sebenarnya setia, Khai. Hanya saja, perempuan yang kucintai sulit kujangkau, jadi aku cari pelarian ke yang lain,“ katanya. Aku mengerjap tak percaya mendengarnya.“Gila! Benar-benar buaya kamu, Ric.“ Aku bergumam pelan, tapi lagi-lagi reaksi
Aric menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia datang dengan wajah sumringah. Aku yang sedari tadi menunggu pun segera menghampirinya. Lalu membiarkannya merangkul bahu ini.“Kita belanja dulu atau makan dulu?“ tanya sambil membukakan pintu mobil. Aku terdiam sejenak. “Makan dulu deh. Tapi makannya di luar saja, jangan di rumahku. Capek banget ini badan,“ jawabku.Sudah tiga hari ini, Aric selalu makan di rumahku. Walau dengan menu sederhana, tapi tetap saja butuh tenaga untuk mengolahnya. Sementara hari ini, tubuh terasa sangat lelah. Pengunjung siang tadi membludak, membuat kami kewalahan melayani.“Oke, kita makan di luar saja. Kita cari resto dekat supermarket,“ sahutnya sambil menoleh dan tersenyum padaku..Setelah mengantarku untuk shalat magrib, Aric membawaku ke restoran cepat saji dekat supermarket. Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mata sontak terbelalak melihat Mas Hangga ada di meja yang tak begitu jauh dari kami.“
“Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya. “Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mau
“Ada apa?“ tanyanya. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku tidak apa-apa. Hanya ucapanmu tadi membuatku tersentil. Mungkin benar apa yang kamu katakan, Mas Hangga menyukai—““Sssttt! Jangan bicara seperti itu, Khai. Maaf kalau ucapanku tadi menyinggungmu. Tadi aku hanya bercanda, tak ada maksud lain,“ potongnya.“Kalaupun bukan bercanda, aku terima, Ric. Memang benar kok, Mbak Medina punya banyak kelebihan yang tidak kumiliki. Wajar saja kalau suamiku sampai tergila-gila padanya,“ sahutku sambil mengerjap dan lekas melepaskan cekalannya. Lalu berlari menghampiri Mbak Tetty yang sedari tadi seperti mengamati kami.“Ada apa?“ Benar saja dugaanku. Begitu masuk, dia langsung bertanya. Aku hanya menggeleng pelan dan buru-buru mengambil pouch kosmetik.“Mbak, kalau ada tukang kue cubit nganterin pesananku, tolong terima ya. Aku mau ke toilet dulu,“ ujarku.“Siap.“ Dia menjawab
“Selingkuh yuk, Khai.“Aku terbelalak tak percaya mendengarnya.“Kamu waras kan, Ric?“ ujarku geli sambil menarik tangan yang masih dipegangnya. Lalu menyebrang jalan lebih dulu.“Hei, tunggu!“ Aku tersenyum mendengar seruannya sambil buru-buru melangkah.“Jalanmu cepat banget, Khai,“ keluhnya saat kami sudah di depan tukang bakso.“Pak, komplit satu, ya!“ Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri tukang bakso yang tersenyum ramah.“Dua dong, Khai. Kamu kok tega sama aku,“ sahut Aric. Membuat tukang bakso mengulum senyum.“Iya deh iya. Dua ya, Pak,“ ralatku.“Siap, Neng. Sebentar biar Bapak siapkan kurs—“"Nggak usah, Pak. Saya mau lesehan saja.“ Aku menyela sambil melangkah ke teras toko. Duduk di sana beralaskan dus bekas.“Nggak di bangku, Khai?“ tanya Aric.“Enggaklah. Kalau kamu mau, silahkan,“ jawabku. Tapi Aric malah menggeleng dan duduk di hadapanku.“Gimana kabarmu, Khai? Terakhir ketemu kan kamu lagi galau,“ katanya sambil mengangguk pada tukang bakso yang memberikan g
“Bajumu ...“ ucapnya menggantung dan membuatku sontak menutup bagian dada dengan tangan. Aric pun terkekeh. Lalu melangkah, mengikis jarak di antara kami sambil membuka kancing kemejanya.“Kamu mau ngapain?“ tanyaku sambil meliarkan pandangan ke sekeliling yang masih sepi. Karena memang toko dibuka sekitar satu jam lagi.“Aric ...“ ucapku saat dia melepas kemejanya, sambil melangkah mundur hingga akhirnya terhenti karena mentok di rak kain. “Aric!“ teriakku. Dia pun terkekeh ringan, lalu menyerahkan kemejanya padaku.“Apa yang kamu pikirkan, Khai? Apa kamu pikir, aku akan ...“ katanya sambil memainkan alis. Aku sontak mendelik tajam. Dia pun tergelak.“Ganti bajumu dengan kemejaku, Khai,“ ujarnya.Hah? Aku mengerjap tak percaya. Hendak menggeleng, tapi Aric segera menyela.“Pakailah, Khai. Itu bajumu basah dan bikin orang sala
Aku tiba di rumah baru tepat di saat azan magrib berkumandang. Dibantu pemilik mobil, aku memasukkan semua barang dan perabot ke ruang tamu. Setelah itu gegas menunaikan shalat dan membuka ponsel yang sedari pagi tak tersentuh. Ada banyak pesan dari grup. Membahas pernikahan Cantika yang akan digelar sekitar dua minggu lagi dan aku hanya meringis membaca pesan terbaru dari Meera.[Gue bakal datang sama Ken.] pesannya.[Aku insya Allah sama Mahesa.] balas Adila.[Kok Lo pada tega amat sih?][kalau Lo pada bawa pasangan, kasihan Naira dong. Si Hangga mana mau dibawa ke kondangan gue.] balas Cantika.[Hehehe, iya sih. Tapi Ken posesif. Dia gak ngizinin gue sendirian ke kondangan. Takut digoda cowok lain katanya.] Meera membalas.[Mahesa juga gitu. Makin dekat ke lamaran, tingkahnya makin nyebelin.] balas Adila.Aku tersenyum membaca semuany
“Sebelum pindah, kita ke rumah Ibu dulu, Ra,“ kata Mas Hangga saat aku tengah menyapukan bedak pada wajah.“Ngapain?“ tanyaku ketus.“Kamu nanya ngapain? Ya kita minta restu dan doanya lah. Dia Ibuku, aku takkan jadi seperti ini kalau bukan karena jasanya. Kalau aku nggak ada uang, kamu nggak akan bisa beli rumah,“ katanya.Aku hanya membulatkan bibir. Malas meladeninya. Lagian apa hubungannya rumah yang kubeli dengan Ibu? Toh rumah itu dibeli dengan uang warisan Ayah, uang setara mahar, uang untuk sewa rumah dan ... Hasil penjualan cincin mereka.“Kenapa cuma oh?“ tanyanya terdengar geram.“Terus aku harus jawab apa?“ tanyaku balik. Dia langsung menggeram. “Kamu ini benar-benar mengujiku, Naira. Makin ke sini bukan hanya penampilanmu yang berubah, tapi sifatmu juga. Kamu jadi kasar dan urakan.““Oh ya?“ Aku memutar bola mata. Dia hanya diam, hanya dadanya saja yang naik turun.“Cepatlah! Mau atau tidak, pokoknya kita harus ke rumah Ibu dulu,“ katanya, kali ini dengan suara lembut.“