Share

Bab 7

Penulis: Fatimah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-14 06:43:01

“Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.

“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.

Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“

Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.

Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami.

Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.

Tak ada istilah pacaran untuk hubungan kami. Bang Rio tak pernah mengutarakan perasaannya, aku sendiri tak berani bertanya dan lebih membiarkan hubungan kami mengalir apa adanya. Hingga tak terasa sudah satu tahun lebih hubungan kami dan usiaku hampir genap dua puluh tahun. Bibi Tanti yang memang tak menyukaiku, mulai mengusir, meski tak secara gamblang. Padahal selama lima tahun tinggal bersama mereka—Bibi Tanti, Paman Ismail dan Mbak Medina—selalunya aku yang mengerjakan tugas rumah. Sekalipun sudah lulus SMA dan bekerja di pabrik.

“Kamu kapan mau nikah, Ra?“ Suatu hari, sepulang bekerja dan langsung memasak untuk makan malam, Bibi Tanti bertanya dengan nada datar.

Aku jelas menggeleng karena memang hubunganku dengan Bang Rio, belum menjanjikan masa depan apapun.

“Ck ... Carilah calon suami. Bosan aku nampung kamu,“ katanya.

Aku hanya menunduk. Sebenarnya, aku juga lelah tinggal bersama mereka. Paman Ismail memang baik, tapi beliau jarang ada di rumah karena bekerja di luar kota. Bibi Tanti sendiri, dari saat ayah meninggal dan Paman Ismail memutuskan membawaku, tak menyambut dengan ramah. Dia lebih sering marah-marah, da mengomel dan hanya baik saat sawah warisan milikku dipanen.

Sementara Mbak Medina, walau baik dan kami cukup dekat, tapi bukan berarti dia mau membantu meringankan pekerjaan rumah. Sehari-hari dia sibuk bekerja dan berkencan dengan kekasihnya di akhir pekan. Bahkan sering menyuruhku seenaknya.

“Kalau kamu nggak ada calon, biar Bibi carikan,“ pungkas Bibi Tanti sambil melenggang, meninggalkanku yang mematung.

Malamnya, ketika Bang Rio menelepon, aku memberanikan diri. Menanyakan kelanjutan hubungan kami. Berharap dia memberi kepastian tapi ternyata ...

“Maaf banget, Nai. Aku memang nyaman sama kamu, tapi untuk menikah ... Aku belum siap. Aku masih ingin bebas dan kamu juga terlalu muda untuk dijadikan istri.“

Tubuhku menegang mendengar penuturannya.

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Kecewa dan marah melebur jadi satu.

“Nai, kamu dengar aku kan?“

“Ya, Bang?“

“Maaf, ya. Untuk saat ini aku nyaman seperti ini,“ katanya.

“Tidak apa-apa, Bang,“ balasku lesu walau hati jelas tak terima.

Setelah pengakuannya itu, hubungan kami masih tetap berlanjut. Hanya saja aku membatasi komunikasi. Tak pernah lagi menjawab telepon dan membalas pesan darinya pun, hanya singkat.

Hingga akhirnya tiga bulan berlalu dan aku bertemu dengan Mas Hangga di halaman masjid, setelah menunaikan shalat ashar.

Kepribadian yang sopan, caranya menjaga pandangan, membuatku tak ragu saat dia meminta kontak. Kehadirannya pun perlahan menggeser posisi Bang Rio di hati ini. Terlebih saat dengan gentelnya, Mas Hangga datang menghadap Paman Ismail. Meminta restu meminangku.

Aku yang memang cukup tertarik padanya, lalu dukungan Paman Ismail dan desakan Bibi Tanti, membuatku gegas mengambil keputusan. Menerimanya dan menikah tepat dua bulan dari perkenalan kami.

“Mana Dila, Meer? Eh Nai, kamu kenapa? Masih mikirin suamimu?“

Suara Cantika menarikku dari lamunan. Aku menggeleng cepat, lalu beranjak untuk mencuci tangan.

“Naira kenapa?“ Samar aku mendengar Cantika bertanya pada Meera. Tapi gadis tomboy itu tak menjawab.

.

“Tambah lagi, Nai. Aku lihat badanmu makin kurus dari terakhir kita ketemu,“ ucap Adila saat kami baru selesai menikmati makan malam.

“Iya, Nai, makan yang banyak. Kamu harus punya banyak tenaga untuk melawan mereka,“ tambah Cantika.

“Emang mau dilawan? Enggak mundur saja?“ tanya Meera, membuat Cantika sontak tersedak.

“Jangan langsung mundur dong. Rugi banget,“ protesnya. Adila pun mengangguk.

“Kenapa enggak? Menurut gue, mending lepaskan saja lelaki kek dia. Daripada makan hati,“ ujar Meera. Adila menatapnya.

“Kayak Bunda kamu gitu?“ tanyanya. Meera mengangguk.

Bundanya Meera memang korban perselingkuhan sepertiku. Ayahnya Meera mendua, di saat usia pernikahan mereka sudah lebih dari dua puluh tahun. Kalau tak salah ingat, saat Meera berusia enam belas tahun. Bunda yang tak terima pun akhirnya memilih mundur, membiarkan Ayah Meera menikahi selingkuhannya itu.

“Nggak, Meer ... Naira nggak bisa kek Bunda Lo,“ kata Cantika.

“Setuju!“ Adila menimpali tegas.

“Kenapa nggak?“ Meera mengerutkan dahi.

“Ada beberapa faktor, Meer. Sekarang kita beresin dulu makanannya, terus bebersih diri lanjut shalat isya. Setelah itu kita cari solusinya bareng-bareng,“ jawab Adila sambil membereskan bekas makanan kami.

“Kamu nggak mau makan lagi, Nai?“ Adila menatapku dengan bibir mencebik. Aku menggeleng. Bisa makan seporsi saja sudah cukup melelahkan. Sepanjang makan aku harus menahan mual yang terus menyerang.

“Yaudah, aku simpen ya?“ Adila menatapku, Meera dan Cantika bergantian.

“Ya.“

.

Setelah membersihkan diri dan shalat isya, kami berempat duduk melingkar di kamar Meera yang tampak jauh berbeda dari terakhir aku ke sini.

“Sekarang gini ... aku mau kita kasih pendapat masing-masing untuk masalah sahabat kita ini.“ Adila membuka obrolan dengan raut wajah serius.

“Dimulai dari kamu, Can,“ lanjutnya sambil menatap Cantika. Membuat gadis penyuka warna pink dan ungu itu, menopang dagu.

“Kalau menurut gue sih ...“ Cantika beralih menatapku, “menurut gue, Naira harus bertahan dulu. Jangan gegabah.“

“Kenapa?“ Meera menyahut, tampak tak terima. Tapi begitu Adila menggelengkan kepala, mulutnya pun langsung mengatup.

“Soalnya rugi banget kalau Lo langsung pilih pisah, Nai. Maaf banget ya, Lo kan belum ada anak, belum ada kerjaan juga. Gue takutnya nanti Si Vedebah itu nggak ngasih apa-apa sama Lo,“ terang Cantika.

“Jadi, intinya?“ Meera memicingkan mata.

“Ya bertahan dulu. Minimal sampai Lo dapat sebagian hartanya. Enak banget si Valak kalau Lo langsung gugat gitu aja. Dia dapat plus-plus, ya laki Lo, ya harta hak Lo juga,“ jawab Cantika.

Aku terdiam sejenak. Apa yang dikatakannya memang benar. Rugi besar jika langsung memilih mundur, sementara aku lah yang menemani perjalanan kesuksesan Mas Hangga. Aku ikut mengencangan ikat pinggang saat ekonomi Mas Hangga sedang drop. Aku juga yang ikut berkorban, menjual sawah warisan untuk menyokong usahanya. Hingga akhirnya bisa berkembang . Mas Hangga punya tiga grosir di lokasi berbeda.

“Oke, kita tampung dulu. Sekarang giliran kamu, Meer,“ kata Adila. Tapi Meera langsung menggeleng.

“Lo aja duluan,“ sahutnya. Adila berdecak pelan, tapi kemudian menatapku.

“Saran aku sama kek Cantika, Nai. Aku mendukungmu bertahan dan mengambil dulu apa yang jadi hakmu. Terus ada baiknya kamu bekerja, biar nanti nggak dianggap gila harta,“ katanya. Meera hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa menyeringai.

“Kenapa Lo, Meer? Kesambet?“ tanya Cantika dengan alis terangkat. Meera hanya menggelengkan kepala, lalu diam saat Cantika menepuk bibirnya pelan.

“Nah sekarang, gimana menurut kamu, Meer?“ tanya Adila. Meera mendengkus kasar. Lalu menatapku lekat-lekat.

“Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.

“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“

Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Novilyly Erniyani
next author yang cantik dan baik hati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 8

    “Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 9

    Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 10

    “Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 11

    “Naira? Kamu Naira kan?“Aku mengerutkan dahi seketika. Dengan mata menyipit, kutatap lekat pemuda berkulit putih terawat itu.“Benarkan, kamu Naira Khairana?“ tanyanya memastikan dengan senyuman lebar. Mau tak mau aku mengangguk, walau bingung juga karna memang tak mengenalnya.“Kamu lupa sama aku?“ tanyanya sambil terkekeh ringan. Seolah kami pernah ....Lelaki itu mengikis jarak di antara kami. Masih dengan senyuman manisnya, dia mengulurkan tangannya. Kini giliranku yang memindai penampilannya. Mengingat-ingat, barangkali dia saudara atau kerabat Mas Hangga, meski rasanya tidak mungkin. Namun hingga beberapa menit berlalu, aku tak berhasil mengenalinya.“Jadi, kamu nggak beneran nggak ingat sama aku?“ Dia kembali melempar tanya. Lalu mendesah, saat aku menganggukkan kepala.“Aku Aric,“ lanjutnya. Aku masih diam, mengingat nama Aric yang pernah hadir di hidupku. Hingga akhirnya terbelalak saat sebuah bayangan melintas di kepala.“Aric? Alaric Daniyal Mahaprana?“ tanyaku memastikan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 12

    “Darimana saja kamu?““Mas?“ Aku menatapnya bingung sambil masuk melewati tubuhnya.“Darimana saja kamu?“ tanyanya lagi. Aku buru-buru menaruh belanjaan di atas meja makan. Lalu menatap wajahnya yang masih memerah, dan tiba-tiba saja teringat Aric. Apa mungkin Mas Hangga melihatku turun dari mobil Aric?“Aku kan sudah bilang, mau cari rumah sewaan,“ jawabku setenang mungkin.“Oh ya?“ Suaranya terdengar meremehkan. Membuatku dilanda keraguan.“Mas nggak percaya?“ tanyaku sambil menyentuh dagunya, tapi dia langsung menepisnya. Lalu mengembuskan napas kasar.“Tadi ada yang bilang, kamu turun dari mobil mewah,“ katanya dengan tangan mengepal. Aku tersenyum sinis. Apa mungkin dia cemburu?“Itu grabcar, Mas. Orang kaya gabut, nge-grab pake mobil mewah,“ sahutku sekenanya.“Kamu nggak bohong kan?“ tanyanya dengan mata memicing. Aku terkekeh sinis.“Kenapa bertanya seperti itu, sementara kamulah yang banyak berbohong padaku?“ balasku santai. Tubuhnya tampak menegang dan tangannya pun mengepal

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 13

    “Dodol!“ Aku mengumpat kesal dan langsung membeku saat pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Kamu lagi apa?“ Mas Hangga merangsek masuk dengan mata tertuju pada tangan ini. Buru-buru kusembunyi ponsel di bawah karpet dan tersenyum paksa.“Kamu nggak macam-macam kan?“Aku langsung mengernyit mendengar pertanyaannya. Macam-macam apa maksudnya? Aku hendak berdiri, tapi Mas Hangga langsung menahan pundakku. Lalu dengan cepat berjalan ke sofa. Membuka bed sofa dengan tergesa.“Apa itu, Mas?“ tanyaku pura-pura tak tahu saat tangannya menggenggam sebuah map berwarna hitam.“Sertifikat toserba di Jalan Maleber,“ jawabnya disertai senyuman menyeringai. Membuat wajahku memanas.“Kamu tidak sedang mencari ini kan?“ tanyanya. Aku menggeleng ragu.“Benarkah?“ Dia tersenyum menyeringai. Aku mengembuskan napas kesal.“Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Apa kamu takut aku mencuri aset-asetmu?“ tanyaku kesal. Dia langsung terdiam.“Kalau benar begitu, kamu keterlaluan, Mas. Selama ini aku tak pernah m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 14

    Saat sibuk membuka lemari rusak berisi perabotan bekas, tanpa sengaja mataku menangkap sebuah koper kecil berwarna hitam. Dengan ragu, aku membuka koper yang ternyata tak dikunci dan tersenyum lebar saat melihat isi di dalamnya. Sesuatu yang dicari ada di sana. Bahkan ada juga perhiasan yang sepertinya milik Ibu.[Aku nemu ini.] Aku segera mengarahkan ponsel pada tumpukan map dengan nama-nama berbeda.[Kereeen. Ambil semua, Nai.] balas Cantika.[Jangan!] balas Adila.[Kenapa?] balas Meera. Aku sendiri tak sempat membalas karena Adila langsung memanggil. Panggilan konferensi, dimana Meera dan Cantika sudah terhubung.“Coba pastikan satu persatu, Nai. Milik siapa saja sertifikat itu,“ katanya.“Kenapa harus dipastikan, Dil? Mending ambil saja langsung.“ Cantika menimpali.“Enggak, Can ... kita nggak boleh gegabah. Nanti bukannya untung, Naira malah buntung,“ sahut Adila.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 15

    Kuembuskan napas kasar. Lalu iseng membuka akun facebook di laptop. Berharap bisa menemukan hiburan di sana. Tapi lagi-lagi, hati yang sudah patah, dihancurkan tanpa ampun saat melihat foto yang diunggah Mas Hangga.Menikah lagi dengan restu dari istri pertama.Alhamdulillah, berkah.#poligamisyari#satuistribelumcukup#poligamiberkah#poligamijalansurga.Begitulah caption yang diberikannya pada sebuah fotonya yang tengah memeluk Mbak Medina. Melihat itu air mata lagi-lagi luruh dan aku kembali tergugu saat menulusuri isi akunnya. Begitu banyak hal yang tak kuketahui. Di akun facebooknya, Mas Hangga mengekspresikan perasaannya yang jelas bukan untukku melainkan untuk Mbak Medina. Begitu banyak foto kebersamaannya dengan maduku itu yang diunggah dari beberapa bulan lalu. Salahsatunya saat lamaran. Aku memejamkan mata, mengingat hal-hal yang terjadi di beberapa bulan ke belakang. Hingga satu hal langsung membayang di ingatan. Waktu dimana Mbak Medina mengunggah cincin emas putih di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22

Bab terbaru

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 34

    “Maaf, Naira. Aku sungguh minta maaf,“ ucapnya. Tapi entah, tak kudengar ketulusan dari suara maupun sorot matanya. “Simpan saja maafmu, Mas! Bosan aku mendengarnya. Sekarang katakan ... Apa lagi yang harus kulakukan?“ sindirku. Mas Hangga langsung menunduk, di menit selanjutnya, tangannya membuka map yang sedari tadi tergeletak di sampingnya.“Ada beberapa berkas yang membutuhkan tanda tandangmu,“ katanya.“Berkas apa?“ tanyaku dengan mata memicing. Netra pun sontak meliar.“Mas!“ “Aku akan menjual grosir di Jalan Haji Saleh,“ jawabnya. “Serius?“ Aku membulatkan mata tak percaya. Karena selama ini, perkembangan toserba cabang pertama itu cukup pesat.“Untuk apa kamu menjualnya? Jangan bilang kalau kamu terus merugi,“ tudingku. Dia langsung menggeleng.“Aku butuh uang untuk resepsi dan renovasi rumah Ibu, Ra,“ jawabnya.“Wow ...“ Aku bertepuk tangan p

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 33

    “Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau cerailah, Ric. Tapi dia tidak mau, alasannya dia yakin bisa berlaku adil,“ jawabku sebal. Dia terkekeh geli.“Emang dasar buaya. Nggak cukup di satu tempat,“ cetusnya.“Dan kamu juga sama saja, Ric.“ Aku menyahut datar.“Sama gimana?“ tanyanya.“Ya sama. Kamu juga suka godain dan php-in pegawai toko sebelah kan?“ balasnya membuatnya tergelak.“Godain aja kok, nggak pake hati. Cuma mereka saja yang geer dan baperan,“ sahutnya santai. Membuatku bergidik.“lagian aku belum nikah, Khai. Jadi wajar saja,“ sambungnya. Aku memutar bola mata malas. “Sama saja. Dasar Playboy!“ umpatku. Dia pun langsung terbahak.“Aku tuh sebenarnya setia, Khai. Hanya saja, perempuan yang kucintai sulit kujangkau, jadi aku cari pelarian ke yang lain,“ katanya. Aku mengerjap tak percaya mendengarnya.“Gila! Benar-benar buaya kamu, Ric.“ Aku bergumam pelan, tapi lagi-lagi reaksi

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 32

    Aric menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia datang dengan wajah sumringah. Aku yang sedari tadi menunggu pun segera menghampirinya. Lalu membiarkannya merangkul bahu ini.“Kita belanja dulu atau makan dulu?“ tanya sambil membukakan pintu mobil. Aku terdiam sejenak. “Makan dulu deh. Tapi makannya di luar saja, jangan di rumahku. Capek banget ini badan,“ jawabku.Sudah tiga hari ini, Aric selalu makan di rumahku. Walau dengan menu sederhana, tapi tetap saja butuh tenaga untuk mengolahnya. Sementara hari ini, tubuh terasa sangat lelah. Pengunjung siang tadi membludak, membuat kami kewalahan melayani.“Oke, kita makan di luar saja. Kita cari resto dekat supermarket,“ sahutnya sambil menoleh dan tersenyum padaku..Setelah mengantarku untuk shalat magrib, Aric membawaku ke restoran cepat saji dekat supermarket. Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mata sontak terbelalak melihat Mas Hangga ada di meja yang tak begitu jauh dari kami.“

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 31

    “Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya. “Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mau

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    bab 30

    “Ada apa?“ tanyanya. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku tidak apa-apa. Hanya ucapanmu tadi membuatku tersentil. Mungkin benar apa yang kamu katakan, Mas Hangga menyukai—““Sssttt! Jangan bicara seperti itu, Khai. Maaf kalau ucapanku tadi menyinggungmu. Tadi aku hanya bercanda, tak ada maksud lain,“ potongnya.“Kalaupun bukan bercanda, aku terima, Ric. Memang benar kok, Mbak Medina punya banyak kelebihan yang tidak kumiliki. Wajar saja kalau suamiku sampai tergila-gila padanya,“ sahutku sambil mengerjap dan lekas melepaskan cekalannya. Lalu berlari menghampiri Mbak Tetty yang sedari tadi seperti mengamati kami.“Ada apa?“ Benar saja dugaanku. Begitu masuk, dia langsung bertanya. Aku hanya menggeleng pelan dan buru-buru mengambil pouch kosmetik.“Mbak, kalau ada tukang kue cubit nganterin pesananku, tolong terima ya. Aku mau ke toilet dulu,“ ujarku.“Siap.“ Dia menjawab

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 29

    “Selingkuh yuk, Khai.“Aku terbelalak tak percaya mendengarnya.“Kamu waras kan, Ric?“ ujarku geli sambil menarik tangan yang masih dipegangnya. Lalu menyebrang jalan lebih dulu.“Hei, tunggu!“ Aku tersenyum mendengar seruannya sambil buru-buru melangkah.“Jalanmu cepat banget, Khai,“ keluhnya saat kami sudah di depan tukang bakso.“Pak, komplit satu, ya!“ Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri tukang bakso yang tersenyum ramah.“Dua dong, Khai. Kamu kok tega sama aku,“ sahut Aric. Membuat tukang bakso mengulum senyum.“Iya deh iya. Dua ya, Pak,“ ralatku.“Siap, Neng. Sebentar biar Bapak siapkan kurs—“"Nggak usah, Pak. Saya mau lesehan saja.“ Aku menyela sambil melangkah ke teras toko. Duduk di sana beralaskan dus bekas.“Nggak di bangku, Khai?“ tanya Aric.“Enggaklah. Kalau kamu mau, silahkan,“ jawabku. Tapi Aric malah menggeleng dan duduk di hadapanku.“Gimana kabarmu, Khai? Terakhir ketemu kan kamu lagi galau,“ katanya sambil mengangguk pada tukang bakso yang memberikan g

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 28

    “Bajumu ...“ ucapnya menggantung dan membuatku sontak menutup bagian dada dengan tangan. Aric pun terkekeh. Lalu melangkah, mengikis jarak di antara kami sambil membuka kancing kemejanya.“Kamu mau ngapain?“ tanyaku sambil meliarkan pandangan ke sekeliling yang masih sepi. Karena memang toko dibuka sekitar satu jam lagi.“Aric ...“ ucapku saat dia melepas kemejanya, sambil melangkah mundur hingga akhirnya terhenti karena mentok di rak kain. “Aric!“ teriakku. Dia pun terkekeh ringan, lalu menyerahkan kemejanya padaku.“Apa yang kamu pikirkan, Khai? Apa kamu pikir, aku akan ...“ katanya sambil memainkan alis. Aku sontak mendelik tajam. Dia pun tergelak.“Ganti bajumu dengan kemejaku, Khai,“ ujarnya.Hah? Aku mengerjap tak percaya. Hendak menggeleng, tapi Aric segera menyela.“Pakailah, Khai. Itu bajumu basah dan bikin orang sala

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 27

    Aku tiba di rumah baru tepat di saat azan magrib berkumandang. Dibantu pemilik mobil, aku memasukkan semua barang dan perabot ke ruang tamu. Setelah itu gegas menunaikan shalat dan membuka ponsel yang sedari pagi tak tersentuh. Ada banyak pesan dari grup. Membahas pernikahan Cantika yang akan digelar sekitar dua minggu lagi dan aku hanya meringis membaca pesan terbaru dari Meera.[Gue bakal datang sama Ken.] pesannya.[Aku insya Allah sama Mahesa.] balas Adila.[Kok Lo pada tega amat sih?][kalau Lo pada bawa pasangan, kasihan Naira dong. Si Hangga mana mau dibawa ke kondangan gue.] balas Cantika.[Hehehe, iya sih. Tapi Ken posesif. Dia gak ngizinin gue sendirian ke kondangan. Takut digoda cowok lain katanya.] Meera membalas.[Mahesa juga gitu. Makin dekat ke lamaran, tingkahnya makin nyebelin.] balas Adila.Aku tersenyum membaca semuany

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 26

    “Sebelum pindah, kita ke rumah Ibu dulu, Ra,“ kata Mas Hangga saat aku tengah menyapukan bedak pada wajah.“Ngapain?“ tanyaku ketus.“Kamu nanya ngapain? Ya kita minta restu dan doanya lah. Dia Ibuku, aku takkan jadi seperti ini kalau bukan karena jasanya. Kalau aku nggak ada uang, kamu nggak akan bisa beli rumah,“ katanya.Aku hanya membulatkan bibir. Malas meladeninya. Lagian apa hubungannya rumah yang kubeli dengan Ibu? Toh rumah itu dibeli dengan uang warisan Ayah, uang setara mahar, uang untuk sewa rumah dan ... Hasil penjualan cincin mereka.“Kenapa cuma oh?“ tanyanya terdengar geram.“Terus aku harus jawab apa?“ tanyaku balik. Dia langsung menggeram. “Kamu ini benar-benar mengujiku, Naira. Makin ke sini bukan hanya penampilanmu yang berubah, tapi sifatmu juga. Kamu jadi kasar dan urakan.““Oh ya?“ Aku memutar bola mata. Dia hanya diam, hanya dadanya saja yang naik turun.“Cepatlah! Mau atau tidak, pokoknya kita harus ke rumah Ibu dulu,“ katanya, kali ini dengan suara lembut.“

DMCA.com Protection Status