Share

Bab 6

Penulis: Fatimah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-13 21:51:48

“Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.

“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih.

“Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna.

Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang.

“Benar begitu, Naira?“

“Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku.

“Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman.

Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya.

“Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—“

“Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langsung mendengkus lalu duduk di sampingnya.

Aku tersenyum miris mendapati kenyataan hari ini. Tak kusangka, perempuan yang selama ini kusayangi itu ternyata pintar bersandiwara. Membuat drama seakan-akan dialah tokoh protagonisnya.

“Kamu harus berterimakasih pada Medina, Naira. Kalau dia tak menghalangi, mungkin aku akan menamparku berkali-kali,“ ujar Mas Hangga dingin. Aku memalingkan wajah diiringi air mata yang mengalir. Lalu bangkit berdiri dan melangkah pergi dari hadapan mereka.

.

Setibanya di rumah, aku langsung mengambil wudhu dan menunaikan shalat magrib. Lalu membuka laptop. Aku bisa gila kalau terus-terusan diperlakukan seperti tadi. Aku butuh Meera, Cantika dan Adila. Karena saat ini hanya mereka yang bisa dipercaya.

Setelah tersambung ke jaringan internet, aku membuka akun f******k yang semenjak menikah, tak pernah kupakai. Lalu mengirim pesan akun Meera, Cantika dan Adila. Minta tolong dijemput.

[Sekarang Lo dimana, Nai? Biar gue jemput.]

Meera yang kebetulan sedang aktif langsung membalas.

[Di rumah. Aku bingung+takut, Meer ... Mas Hangga sangat menyeramkan.]

Aku membalas dengan tangan gemetar dan air mata yang kembali luruh, mengingat kepingan-kepingan kejadian tadi di rumah Ibu.

[Oke, tunggu. Gue bakal ke situ.]

Kuhapus air mata dengan kasar dan mengiyakan balasannya. Lalu mengemasi dompet, ponsel dan laptop juga beberapa helai pakaian. Tak lupa melapisi tubuh dengan sweater. Setelah itu, duduk sambil memeluk lutut sambil menonton drama negeri tirai bambu.

Sekitar dua puluh menit menunggu, terdengar jelas deru suara mobil. Disusul suara Meera memanggil namaku. Buru-buru aku berjalan, mengabaikan rasa lemas yang merundung tubuh.

“Naira ... Lo ...“ Meera menatapku cukup lama saat aku membuka pintu.

“Bisa kita pergi sekarang, Meer? Aku takut Mas Hangga keburu ke sini,“ ujarku. Meera langsung mengangguk lalu merangkul bahuku.

“Kamu demam, Nai,“ katanya saat memasangkan sabuk pengaman.

“Aku lelah, Meer. Boleh aku tidur?“ tanyaku. Meera menatapku ... sendu. Lalu mengangguk.

“Lo tidur aja, nanti gue bangunin kalau udah nyampe.“

Aku memejamkan mata. Berharap bisa tidur barang sebentar saja, tapi hingga mobil berhenti nyatanya hanya mataku saja yang menutup. Tidak dengan pikiran dan jiwaku.

“Nai ...“

Aku membuka mata dan terdiam sejenak melihat Cantika dan Adila menatap dengan raut wajah cemas.

“Kamu bisa jalan sendiri, Nai?“ tanya Adila saat beranjak turun. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis.

“Kamu panas banget, Nai,“ ujar Cantika sambil merangkul bahuku.

“Huum. Wajahnya juga pucat,“ timpal Meera yang kini menenteng tasku.

“Kamu belum makan kan, Nai?“ Adila menatapku curiga. Begitupun yang lain.

Aku terdiam. Sejak malam kemarin, aku memang belum mengisi perut. Kejutan yang diberikan Mas Hangga telah merenggut kenikmatan segalanya. Nikmat tidur, nikmat makan dan nikmatnya memiliki suami.

Aku menggigit bibir, menahan air mata yang siap melaju. Lalu pertahananku roboh, saat Meera, Cantika dan Adila memeluk tubuh ini.

“Nangis aja, Nai. Ada kita, bagi beban kamu sama kita,“ ujar Adila. Tangannya mengelus punggungku yang bergetar.

“Iya, Nai. Nangis aja, jangan ditahan,“ tambah Cantika. Sementara Meera belum berkata apapun. Hanya tangannya bekerja, mengusap air mataku dengan hati-hati.

“Air mata lo terlalu berharga buat lelaki seperti Hangga,“ katanya dengan suara tertahan dan dengkusan kasar.

“Masuk, yuk! Kayaknya bentar lagi mau hujan,“ lanjutnya.

*

“Jadi beneran suamimu nikah sama Mbakmu?“ tanya Adila dengan mata membulat setelah kuceritakan semuanya.

“Gila! Kek nggak ada cowok lain aja, ngembat laki sepupu sendiri!“ umpat Meera dengan mata memerah dan tangan mengepal.

“Cowok sih emang banyak tapi masalahnya, punya orang lebih menggoda.“ Cantika menyahut dan Meera langsung menoyor pelan kepalanya.

“Lo naksir cowok orang?“ tuduhnya. Cantika mendelik tak terima.

“Suuzon! Ya kali aja gue ini tolol. Kagaklah, calon suami gue singel lillahi taala,“ jawabnya nyolot. Meera terkekeh.

“Ya terus kenapa Lo ngomong gitu?“ tanya Meera.

“Gue ngomong gitu karena kenyataannya kek gitu. Apa Lo lupa? Bokap Lo juga kan digondol Valak. Berarti walau udah tuwir, Bokap Lo masih menggoda, iya kan?“ balas Cantika. Meera langsung memicingkan mata.

“Udahlah, kenapa jadi adu mulut gini sih? Kalian lupa, di sini ada Naira yang butuh perhatian dan support kita?“ tanya Adila. Membuat Meera dan Cantika tersenyum canggung.

“So-sorry.“ Mereka berucap kompak.

“Jadi, setelah ini kamu mau gimana?“ Cantika menatapku. Aku menggeleng cepat.

“Jangan ditanya dulu dong. Mending sekarang Lo pesen makanan, Naira pasti lapar.“ Meera menyahuti.

“Bener banget itu. Aku juga lapar,“ sahut Adila.

“Iya juga, ya. Kenapa gue lupa?“ gumam Cantika sambil mengeluarkan ponselnya dan membuatku tiba-tiba teringat pada ponsel yang kini tinggal bangkainya saja.

“Lo ngelamunin apa?“ Meera yang menyadari itu, menatapku dengan alis terangkat sebelah.

Aku menggeleng, “nggak apa-apa. Cuma inget sama ponselku, sekarang matot,“ jawabku. Membuat mereka bertiga kompak menatapku.

“Serius?“ tanya Meera. Aku mengangguk.

“Kenapa tadi nggak cerita?“ Adila menambahi.

“Lupa, Dil.“ Aku tersenyum kaku.

“Mana ponselnya?“ Cantika mengulurkan tangan. Akupun merogoh benda itu dalam tas lalu memberikannya.

“Kok bisa, Nai?“ Cantika membolak-balikkan ponselku.

“Dibanting Mas Hangga.“

Hah?

Mereka langsung melotot.

“Sakau si Valak itu Laki Lo. Eh, apa jangan-jangan Lo juga kena banting?“ Meera menatap penuh selidik. Membuatku mematung.

Aku memang tak menceritakan kejadian Mas Hangga menyeret dan menyentak tubuhku. Karena mengingatnya hanya membuat ulu hati perih dan dada berdebar kencang.

“Nai, nggak begitu kan? Kamu nggak dibanting kan?“

Suara Adila membuatku tersadar. Aku mengerjap beberapa kali lalu menatap pergelangan tangan yang tertutup sweater dan kembali menangis.

“Oh God ... Brengsek!“ Meera mengumpat kasar sambil menyingkap lengan sweaterku.

“Bajingan!“ desisnya saat melihat pergelangan tanganku yang ternyata memerah. Sementara Adila dan Cantika tampak shock dengan raut wajah menegang. Tapi setelah itu Cantika mengarahkan ponselnya pada tanganku.

“Mau ngapain?“ tanya Meera.

“Mau gue abadikan. Siapa tau nanti kita butuh,“ jawabnya. Sementara Adila hanya mengusap-usap punggungku lagi, tapi kali ini dengan mata berkaca-kaca.

“Kok aku jadi ragu ya sama Mahesa? Aku takut Mahesa ...“ Adila menggigit bibirnya. Seketika aku ingat kalau dia berencana mengakhiri masa lajangnya dan membuatku dilanda perasaan bersalah.

“Nggak semua laki-laki kek suaminya Naira, Dil. Yang baik juga masih banyak kok,“ kata Cantika.

“Masa?“ Meera tersenyum sinis. Cantika langsung memukulnya dengan bantal sofa.

“Iyalah. Tuh Abang Lo juga baik, padahal Kakak ipar Lo juga belum hamil-hamil,“ katanya.

“Udahlah nggak usah bahas Abang gue. Dia emang bucin akut sama istrinya,“ sahut Meera, terdengar malas.

“Dih, Lo mah serba salah. Giliran ada laki setia, dikatain bucin akut. Giliran yang selingkuh—“

Ucapan Cantika terhenti karena ponselnya berdering nyaring.

“Kurirnya udah di depan. Gue ambil dulu, ya,“ pamitnya sambil beranjak melangkah.

“Aku juga mau ke kamar mandi dulu. Kebelet ini,“ kata Adila sambil berjalan dengan tergesa.

“Iya, sana cepetan.“ Meera menyahuti lalu menatapku lekat-lekat.

“Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
yuk di foto buat nnti Naira gugat cerai DA JD bukti
goodnovel comment avatar
Elma Sukmala
hangga dia yg selingkuh eeee dia juga yg kasar,bagus nai jgn plg" biar kan aja mereka,
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
sdh egois selingkuh buang ketong sampah jijiiiìiik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 7

    “Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami. Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.Tak ada istilah pacaran untuk hubungan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 8

    “Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 9

    Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 10

    “Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 11

    “Naira? Kamu Naira kan?“Aku mengerutkan dahi seketika. Dengan mata menyipit, kutatap lekat pemuda berkulit putih terawat itu.“Benarkan, kamu Naira Khairana?“ tanyanya memastikan dengan senyuman lebar. Mau tak mau aku mengangguk, walau bingung juga karna memang tak mengenalnya.“Kamu lupa sama aku?“ tanyanya sambil terkekeh ringan. Seolah kami pernah ....Lelaki itu mengikis jarak di antara kami. Masih dengan senyuman manisnya, dia mengulurkan tangannya. Kini giliranku yang memindai penampilannya. Mengingat-ingat, barangkali dia saudara atau kerabat Mas Hangga, meski rasanya tidak mungkin. Namun hingga beberapa menit berlalu, aku tak berhasil mengenalinya.“Jadi, kamu nggak beneran nggak ingat sama aku?“ Dia kembali melempar tanya. Lalu mendesah, saat aku menganggukkan kepala.“Aku Aric,“ lanjutnya. Aku masih diam, mengingat nama Aric yang pernah hadir di hidupku. Hingga akhirnya terbelalak saat sebuah bayangan melintas di kepala.“Aric? Alaric Daniyal Mahaprana?“ tanyaku memastikan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 12

    “Darimana saja kamu?““Mas?“ Aku menatapnya bingung sambil masuk melewati tubuhnya.“Darimana saja kamu?“ tanyanya lagi. Aku buru-buru menaruh belanjaan di atas meja makan. Lalu menatap wajahnya yang masih memerah, dan tiba-tiba saja teringat Aric. Apa mungkin Mas Hangga melihatku turun dari mobil Aric?“Aku kan sudah bilang, mau cari rumah sewaan,“ jawabku setenang mungkin.“Oh ya?“ Suaranya terdengar meremehkan. Membuatku dilanda keraguan.“Mas nggak percaya?“ tanyaku sambil menyentuh dagunya, tapi dia langsung menepisnya. Lalu mengembuskan napas kasar.“Tadi ada yang bilang, kamu turun dari mobil mewah,“ katanya dengan tangan mengepal. Aku tersenyum sinis. Apa mungkin dia cemburu?“Itu grabcar, Mas. Orang kaya gabut, nge-grab pake mobil mewah,“ sahutku sekenanya.“Kamu nggak bohong kan?“ tanyanya dengan mata memicing. Aku terkekeh sinis.“Kenapa bertanya seperti itu, sementara kamulah yang banyak berbohong padaku?“ balasku santai. Tubuhnya tampak menegang dan tangannya pun mengepal

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-19
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 13

    “Dodol!“ Aku mengumpat kesal dan langsung membeku saat pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Kamu lagi apa?“ Mas Hangga merangsek masuk dengan mata tertuju pada tangan ini. Buru-buru kusembunyi ponsel di bawah karpet dan tersenyum paksa.“Kamu nggak macam-macam kan?“Aku langsung mengernyit mendengar pertanyaannya. Macam-macam apa maksudnya? Aku hendak berdiri, tapi Mas Hangga langsung menahan pundakku. Lalu dengan cepat berjalan ke sofa. Membuka bed sofa dengan tergesa.“Apa itu, Mas?“ tanyaku pura-pura tak tahu saat tangannya menggenggam sebuah map berwarna hitam.“Sertifikat toserba di Jalan Maleber,“ jawabnya disertai senyuman menyeringai. Membuat wajahku memanas.“Kamu tidak sedang mencari ini kan?“ tanyanya. Aku menggeleng ragu.“Benarkah?“ Dia tersenyum menyeringai. Aku mengembuskan napas kesal.“Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Apa kamu takut aku mencuri aset-asetmu?“ tanyaku kesal. Dia langsung terdiam.“Kalau benar begitu, kamu keterlaluan, Mas. Selama ini aku tak pernah m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 14

    Saat sibuk membuka lemari rusak berisi perabotan bekas, tanpa sengaja mataku menangkap sebuah koper kecil berwarna hitam. Dengan ragu, aku membuka koper yang ternyata tak dikunci dan tersenyum lebar saat melihat isi di dalamnya. Sesuatu yang dicari ada di sana. Bahkan ada juga perhiasan yang sepertinya milik Ibu.[Aku nemu ini.] Aku segera mengarahkan ponsel pada tumpukan map dengan nama-nama berbeda.[Kereeen. Ambil semua, Nai.] balas Cantika.[Jangan!] balas Adila.[Kenapa?] balas Meera. Aku sendiri tak sempat membalas karena Adila langsung memanggil. Panggilan konferensi, dimana Meera dan Cantika sudah terhubung.“Coba pastikan satu persatu, Nai. Milik siapa saja sertifikat itu,“ katanya.“Kenapa harus dipastikan, Dil? Mending ambil saja langsung.“ Cantika menimpali.“Enggak, Can ... kita nggak boleh gegabah. Nanti bukannya untung, Naira malah buntung,“ sahut Adila.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21

Bab terbaru

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 161

    Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 160

    Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 159

    Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 158

    “Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 157

    “Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 156

    “Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 155

    “Kalau Om mau melamar jadi Papi kalian … kira-kira bakalan kalian terima nggak?“ Mendengar pertanyaan Aric, Shaka dan Razka sontak saling pandang. Lalu keduanya menatap Aric lekat-lekat. “Om Dokter beneran mau jadi Papi kita?“ tanya Razka. “Ya.“ Aric tersenyum. “Aku sih setuju, Om. Yang penting Om nggak pisahkan kita dari Mommy,“ kata Shaka. Dalam benaknya masih tercetak jelas bagaimana upaya Sean memisahkan mereka dari Naira. “Mana bisa begitu. Kalau Om jadi Papi kalian, ya kita harus sama-sama. Dimanapun, kapanpun, dengan kondisi apapun, Om harus selalu sama kalian,“ jawab Aric. Shaka tersenyum samar. “Jadi gimana?“ lanjut Aric. “Aku setuju. Asalkan Om bisa bikin Mommy cantik setiap hari,” jawab Razka. Aric mengernyit tak paham. “Mommy itu cantik kalau tersenyum, Om. Jadi Om harus bisa bikin Mommy tersenyum setiap hari,“ ujar Shaka, seakan tahu arti kerutan di wajah Aric. “Oh … begitu ya?“ Aric mangut-mangut. “Kalau begitu, bantu Om bikin Mommy kalian selalu ter

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 154

    Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 153

    “Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status