“Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.
“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih. “Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna. Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang. “Benar begitu, Naira?“ “Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku. “Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman. Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya. “Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—“ “Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langsung mendengkus lalu duduk di sampingnya. Aku tersenyum miris mendapati kenyataan hari ini. Tak kusangka, perempuan yang selama ini kusayangi itu ternyata pintar bersandiwara. Membuat drama seakan-akan dialah tokoh protagonisnya. “Kamu harus berterimakasih pada Medina, Naira. Kalau dia tak menghalangi, mungkin aku akan menamparku berkali-kali,“ ujar Mas Hangga dingin. Aku memalingkan wajah diiringi air mata yang mengalir. Lalu bangkit berdiri dan melangkah pergi dari hadapan mereka. . Setibanya di rumah, aku langsung mengambil wudhu dan menunaikan shalat magrib. Lalu membuka laptop. Aku bisa gila kalau terus-terusan diperlakukan seperti tadi. Aku butuh Meera, Cantika dan Adila. Karena saat ini hanya mereka yang bisa dipercaya. Setelah tersambung ke jaringan internet, aku membuka akun f******k yang semenjak menikah, tak pernah kupakai. Lalu mengirim pesan akun Meera, Cantika dan Adila. Minta tolong dijemput. [Sekarang Lo dimana, Nai? Biar gue jemput.] Meera yang kebetulan sedang aktif langsung membalas. [Di rumah. Aku bingung+takut, Meer ... Mas Hangga sangat menyeramkan.] Aku membalas dengan tangan gemetar dan air mata yang kembali luruh, mengingat kepingan-kepingan kejadian tadi di rumah Ibu. [Oke, tunggu. Gue bakal ke situ.] Kuhapus air mata dengan kasar dan mengiyakan balasannya. Lalu mengemasi dompet, ponsel dan laptop juga beberapa helai pakaian. Tak lupa melapisi tubuh dengan sweater. Setelah itu, duduk sambil memeluk lutut sambil menonton drama negeri tirai bambu. Sekitar dua puluh menit menunggu, terdengar jelas deru suara mobil. Disusul suara Meera memanggil namaku. Buru-buru aku berjalan, mengabaikan rasa lemas yang merundung tubuh. “Naira ... Lo ...“ Meera menatapku cukup lama saat aku membuka pintu. “Bisa kita pergi sekarang, Meer? Aku takut Mas Hangga keburu ke sini,“ ujarku. Meera langsung mengangguk lalu merangkul bahuku. “Kamu demam, Nai,“ katanya saat memasangkan sabuk pengaman. “Aku lelah, Meer. Boleh aku tidur?“ tanyaku. Meera menatapku ... sendu. Lalu mengangguk. “Lo tidur aja, nanti gue bangunin kalau udah nyampe.“ Aku memejamkan mata. Berharap bisa tidur barang sebentar saja, tapi hingga mobil berhenti nyatanya hanya mataku saja yang menutup. Tidak dengan pikiran dan jiwaku. “Nai ...“ Aku membuka mata dan terdiam sejenak melihat Cantika dan Adila menatap dengan raut wajah cemas. “Kamu bisa jalan sendiri, Nai?“ tanya Adila saat beranjak turun. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Kamu panas banget, Nai,“ ujar Cantika sambil merangkul bahuku. “Huum. Wajahnya juga pucat,“ timpal Meera yang kini menenteng tasku. “Kamu belum makan kan, Nai?“ Adila menatapku curiga. Begitupun yang lain. Aku terdiam. Sejak malam kemarin, aku memang belum mengisi perut. Kejutan yang diberikan Mas Hangga telah merenggut kenikmatan segalanya. Nikmat tidur, nikmat makan dan nikmatnya memiliki suami. Aku menggigit bibir, menahan air mata yang siap melaju. Lalu pertahananku roboh, saat Meera, Cantika dan Adila memeluk tubuh ini. “Nangis aja, Nai. Ada kita, bagi beban kamu sama kita,“ ujar Adila. Tangannya mengelus punggungku yang bergetar. “Iya, Nai. Nangis aja, jangan ditahan,“ tambah Cantika. Sementara Meera belum berkata apapun. Hanya tangannya bekerja, mengusap air mataku dengan hati-hati. “Air mata lo terlalu berharga buat lelaki seperti Hangga,“ katanya dengan suara tertahan dan dengkusan kasar. “Masuk, yuk! Kayaknya bentar lagi mau hujan,“ lanjutnya. * “Jadi beneran suamimu nikah sama Mbakmu?“ tanya Adila dengan mata membulat setelah kuceritakan semuanya. “Gila! Kek nggak ada cowok lain aja, ngembat laki sepupu sendiri!“ umpat Meera dengan mata memerah dan tangan mengepal. “Cowok sih emang banyak tapi masalahnya, punya orang lebih menggoda.“ Cantika menyahut dan Meera langsung menoyor pelan kepalanya. “Lo naksir cowok orang?“ tuduhnya. Cantika mendelik tak terima. “Suuzon! Ya kali aja gue ini tolol. Kagaklah, calon suami gue singel lillahi taala,“ jawabnya nyolot. Meera terkekeh. “Ya terus kenapa Lo ngomong gitu?“ tanya Meera. “Gue ngomong gitu karena kenyataannya kek gitu. Apa Lo lupa? Bokap Lo juga kan digondol Valak. Berarti walau udah tuwir, Bokap Lo masih menggoda, iya kan?“ balas Cantika. Meera langsung memicingkan mata. “Udahlah, kenapa jadi adu mulut gini sih? Kalian lupa, di sini ada Naira yang butuh perhatian dan support kita?“ tanya Adila. Membuat Meera dan Cantika tersenyum canggung. “So-sorry.“ Mereka berucap kompak. “Jadi, setelah ini kamu mau gimana?“ Cantika menatapku. Aku menggeleng cepat. “Jangan ditanya dulu dong. Mending sekarang Lo pesen makanan, Naira pasti lapar.“ Meera menyahuti. “Bener banget itu. Aku juga lapar,“ sahut Adila. “Iya juga, ya. Kenapa gue lupa?“ gumam Cantika sambil mengeluarkan ponselnya dan membuatku tiba-tiba teringat pada ponsel yang kini tinggal bangkainya saja. “Lo ngelamunin apa?“ Meera yang menyadari itu, menatapku dengan alis terangkat sebelah. Aku menggeleng, “nggak apa-apa. Cuma inget sama ponselku, sekarang matot,“ jawabku. Membuat mereka bertiga kompak menatapku. “Serius?“ tanya Meera. Aku mengangguk. “Kenapa tadi nggak cerita?“ Adila menambahi. “Lupa, Dil.“ Aku tersenyum kaku. “Mana ponselnya?“ Cantika mengulurkan tangan. Akupun merogoh benda itu dalam tas lalu memberikannya. “Kok bisa, Nai?“ Cantika membolak-balikkan ponselku. “Dibanting Mas Hangga.“ Hah? Mereka langsung melotot. “Sakau si Valak itu Laki Lo. Eh, apa jangan-jangan Lo juga kena banting?“ Meera menatap penuh selidik. Membuatku mematung. Aku memang tak menceritakan kejadian Mas Hangga menyeret dan menyentak tubuhku. Karena mengingatnya hanya membuat ulu hati perih dan dada berdebar kencang. “Nai, nggak begitu kan? Kamu nggak dibanting kan?“ Suara Adila membuatku tersadar. Aku mengerjap beberapa kali lalu menatap pergelangan tangan yang tertutup sweater dan kembali menangis. “Oh God ... Brengsek!“ Meera mengumpat kasar sambil menyingkap lengan sweaterku. “Bajingan!“ desisnya saat melihat pergelangan tanganku yang ternyata memerah. Sementara Adila dan Cantika tampak shock dengan raut wajah menegang. Tapi setelah itu Cantika mengarahkan ponselnya pada tanganku. “Mau ngapain?“ tanya Meera. “Mau gue abadikan. Siapa tau nanti kita butuh,“ jawabnya. Sementara Adila hanya mengusap-usap punggungku lagi, tapi kali ini dengan mata berkaca-kaca. “Kok aku jadi ragu ya sama Mahesa? Aku takut Mahesa ...“ Adila menggigit bibirnya. Seketika aku ingat kalau dia berencana mengakhiri masa lajangnya dan membuatku dilanda perasaan bersalah. “Nggak semua laki-laki kek suaminya Naira, Dil. Yang baik juga masih banyak kok,“ kata Cantika. “Masa?“ Meera tersenyum sinis. Cantika langsung memukulnya dengan bantal sofa. “Iyalah. Tuh Abang Lo juga baik, padahal Kakak ipar Lo juga belum hamil-hamil,“ katanya. “Udahlah nggak usah bahas Abang gue. Dia emang bucin akut sama istrinya,“ sahut Meera, terdengar malas. “Dih, Lo mah serba salah. Giliran ada laki setia, dikatain bucin akut. Giliran yang selingkuh—“ Ucapan Cantika terhenti karena ponselnya berdering nyaring. “Kurirnya udah di depan. Gue ambil dulu, ya,“ pamitnya sambil beranjak melangkah. “Aku juga mau ke kamar mandi dulu. Kebelet ini,“ kata Adila sambil berjalan dengan tergesa. “Iya, sana cepetan.“ Meera menyahuti lalu menatapku lekat-lekat. “Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami. Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.Tak ada istilah pacaran untuk hubungan
“Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l
Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk
“Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku
“Naira? Kamu Naira kan?“Aku mengerutkan dahi seketika. Dengan mata menyipit, kutatap lekat pemuda berkulit putih terawat itu.“Benarkan, kamu Naira Khairana?“ tanyanya memastikan dengan senyuman lebar. Mau tak mau aku mengangguk, walau bingung juga karna memang tak mengenalnya.“Kamu lupa sama aku?“ tanyanya sambil terkekeh ringan. Seolah kami pernah ....Lelaki itu mengikis jarak di antara kami. Masih dengan senyuman manisnya, dia mengulurkan tangannya. Kini giliranku yang memindai penampilannya. Mengingat-ingat, barangkali dia saudara atau kerabat Mas Hangga, meski rasanya tidak mungkin. Namun hingga beberapa menit berlalu, aku tak berhasil mengenalinya.“Jadi, kamu nggak beneran nggak ingat sama aku?“ Dia kembali melempar tanya. Lalu mendesah, saat aku menganggukkan kepala.“Aku Aric,“ lanjutnya. Aku masih diam, mengingat nama Aric yang pernah hadir di hidupku. Hingga akhirnya terbelalak saat sebuah bayangan melintas di kepala.“Aric? Alaric Daniyal Mahaprana?“ tanyaku memastikan
“Darimana saja kamu?““Mas?“ Aku menatapnya bingung sambil masuk melewati tubuhnya.“Darimana saja kamu?“ tanyanya lagi. Aku buru-buru menaruh belanjaan di atas meja makan. Lalu menatap wajahnya yang masih memerah, dan tiba-tiba saja teringat Aric. Apa mungkin Mas Hangga melihatku turun dari mobil Aric?“Aku kan sudah bilang, mau cari rumah sewaan,“ jawabku setenang mungkin.“Oh ya?“ Suaranya terdengar meremehkan. Membuatku dilanda keraguan.“Mas nggak percaya?“ tanyaku sambil menyentuh dagunya, tapi dia langsung menepisnya. Lalu mengembuskan napas kasar.“Tadi ada yang bilang, kamu turun dari mobil mewah,“ katanya dengan tangan mengepal. Aku tersenyum sinis. Apa mungkin dia cemburu?“Itu grabcar, Mas. Orang kaya gabut, nge-grab pake mobil mewah,“ sahutku sekenanya.“Kamu nggak bohong kan?“ tanyanya dengan mata memicing. Aku terkekeh sinis.“Kenapa bertanya seperti itu, sementara kamulah yang banyak berbohong padaku?“ balasku santai. Tubuhnya tampak menegang dan tangannya pun mengepal
“Dodol!“ Aku mengumpat kesal dan langsung membeku saat pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Kamu lagi apa?“ Mas Hangga merangsek masuk dengan mata tertuju pada tangan ini. Buru-buru kusembunyi ponsel di bawah karpet dan tersenyum paksa.“Kamu nggak macam-macam kan?“Aku langsung mengernyit mendengar pertanyaannya. Macam-macam apa maksudnya? Aku hendak berdiri, tapi Mas Hangga langsung menahan pundakku. Lalu dengan cepat berjalan ke sofa. Membuka bed sofa dengan tergesa.“Apa itu, Mas?“ tanyaku pura-pura tak tahu saat tangannya menggenggam sebuah map berwarna hitam.“Sertifikat toserba di Jalan Maleber,“ jawabnya disertai senyuman menyeringai. Membuat wajahku memanas.“Kamu tidak sedang mencari ini kan?“ tanyanya. Aku menggeleng ragu.“Benarkah?“ Dia tersenyum menyeringai. Aku mengembuskan napas kesal.“Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Apa kamu takut aku mencuri aset-asetmu?“ tanyaku kesal. Dia langsung terdiam.“Kalau benar begitu, kamu keterlaluan, Mas. Selama ini aku tak pernah m
Saat sibuk membuka lemari rusak berisi perabotan bekas, tanpa sengaja mataku menangkap sebuah koper kecil berwarna hitam. Dengan ragu, aku membuka koper yang ternyata tak dikunci dan tersenyum lebar saat melihat isi di dalamnya. Sesuatu yang dicari ada di sana. Bahkan ada juga perhiasan yang sepertinya milik Ibu.[Aku nemu ini.] Aku segera mengarahkan ponsel pada tumpukan map dengan nama-nama berbeda.[Kereeen. Ambil semua, Nai.] balas Cantika.[Jangan!] balas Adila.[Kenapa?] balas Meera. Aku sendiri tak sempat membalas karena Adila langsung memanggil. Panggilan konferensi, dimana Meera dan Cantika sudah terhubung.“Coba pastikan satu persatu, Nai. Milik siapa saja sertifikat itu,“ katanya.“Kenapa harus dipastikan, Dil? Mending ambil saja langsung.“ Cantika menimpali.“Enggak, Can ... kita nggak boleh gegabah. Nanti bukannya untung, Naira malah buntung,“ sahut Adila.
“Maaf, Naira. Aku sungguh minta maaf,“ ucapnya. Tapi entah, tak kudengar ketulusan dari suara maupun sorot matanya. “Simpan saja maafmu, Mas! Bosan aku mendengarnya. Sekarang katakan ... Apa lagi yang harus kulakukan?“ sindirku. Mas Hangga langsung menunduk, di menit selanjutnya, tangannya membuka map yang sedari tadi tergeletak di sampingnya.“Ada beberapa berkas yang membutuhkan tanda tandangmu,“ katanya.“Berkas apa?“ tanyaku dengan mata memicing. Netra pun sontak meliar.“Mas!“ “Aku akan menjual grosir di Jalan Haji Saleh,“ jawabnya. “Serius?“ Aku membulatkan mata tak percaya. Karena selama ini, perkembangan toserba cabang pertama itu cukup pesat.“Untuk apa kamu menjualnya? Jangan bilang kalau kamu terus merugi,“ tudingku. Dia langsung menggeleng.“Aku butuh uang untuk resepsi dan renovasi rumah Ibu, Ra,“ jawabnya.“Wow ...“ Aku bertepuk tangan p
“Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau cerailah, Ric. Tapi dia tidak mau, alasannya dia yakin bisa berlaku adil,“ jawabku sebal. Dia terkekeh geli.“Emang dasar buaya. Nggak cukup di satu tempat,“ cetusnya.“Dan kamu juga sama saja, Ric.“ Aku menyahut datar.“Sama gimana?“ tanyanya.“Ya sama. Kamu juga suka godain dan php-in pegawai toko sebelah kan?“ balasnya membuatnya tergelak.“Godain aja kok, nggak pake hati. Cuma mereka saja yang geer dan baperan,“ sahutnya santai. Membuatku bergidik.“lagian aku belum nikah, Khai. Jadi wajar saja,“ sambungnya. Aku memutar bola mata malas. “Sama saja. Dasar Playboy!“ umpatku. Dia pun langsung terbahak.“Aku tuh sebenarnya setia, Khai. Hanya saja, perempuan yang kucintai sulit kujangkau, jadi aku cari pelarian ke yang lain,“ katanya. Aku mengerjap tak percaya mendengarnya.“Gila! Benar-benar buaya kamu, Ric.“ Aku bergumam pelan, tapi lagi-lagi reaksi
Aric menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia datang dengan wajah sumringah. Aku yang sedari tadi menunggu pun segera menghampirinya. Lalu membiarkannya merangkul bahu ini.“Kita belanja dulu atau makan dulu?“ tanya sambil membukakan pintu mobil. Aku terdiam sejenak. “Makan dulu deh. Tapi makannya di luar saja, jangan di rumahku. Capek banget ini badan,“ jawabku.Sudah tiga hari ini, Aric selalu makan di rumahku. Walau dengan menu sederhana, tapi tetap saja butuh tenaga untuk mengolahnya. Sementara hari ini, tubuh terasa sangat lelah. Pengunjung siang tadi membludak, membuat kami kewalahan melayani.“Oke, kita makan di luar saja. Kita cari resto dekat supermarket,“ sahutnya sambil menoleh dan tersenyum padaku..Setelah mengantarku untuk shalat magrib, Aric membawaku ke restoran cepat saji dekat supermarket. Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mata sontak terbelalak melihat Mas Hangga ada di meja yang tak begitu jauh dari kami.“
“Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya. “Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mau
“Ada apa?“ tanyanya. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku tidak apa-apa. Hanya ucapanmu tadi membuatku tersentil. Mungkin benar apa yang kamu katakan, Mas Hangga menyukai—““Sssttt! Jangan bicara seperti itu, Khai. Maaf kalau ucapanku tadi menyinggungmu. Tadi aku hanya bercanda, tak ada maksud lain,“ potongnya.“Kalaupun bukan bercanda, aku terima, Ric. Memang benar kok, Mbak Medina punya banyak kelebihan yang tidak kumiliki. Wajar saja kalau suamiku sampai tergila-gila padanya,“ sahutku sambil mengerjap dan lekas melepaskan cekalannya. Lalu berlari menghampiri Mbak Tetty yang sedari tadi seperti mengamati kami.“Ada apa?“ Benar saja dugaanku. Begitu masuk, dia langsung bertanya. Aku hanya menggeleng pelan dan buru-buru mengambil pouch kosmetik.“Mbak, kalau ada tukang kue cubit nganterin pesananku, tolong terima ya. Aku mau ke toilet dulu,“ ujarku.“Siap.“ Dia menjawab
“Selingkuh yuk, Khai.“Aku terbelalak tak percaya mendengarnya.“Kamu waras kan, Ric?“ ujarku geli sambil menarik tangan yang masih dipegangnya. Lalu menyebrang jalan lebih dulu.“Hei, tunggu!“ Aku tersenyum mendengar seruannya sambil buru-buru melangkah.“Jalanmu cepat banget, Khai,“ keluhnya saat kami sudah di depan tukang bakso.“Pak, komplit satu, ya!“ Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri tukang bakso yang tersenyum ramah.“Dua dong, Khai. Kamu kok tega sama aku,“ sahut Aric. Membuat tukang bakso mengulum senyum.“Iya deh iya. Dua ya, Pak,“ ralatku.“Siap, Neng. Sebentar biar Bapak siapkan kurs—“"Nggak usah, Pak. Saya mau lesehan saja.“ Aku menyela sambil melangkah ke teras toko. Duduk di sana beralaskan dus bekas.“Nggak di bangku, Khai?“ tanya Aric.“Enggaklah. Kalau kamu mau, silahkan,“ jawabku. Tapi Aric malah menggeleng dan duduk di hadapanku.“Gimana kabarmu, Khai? Terakhir ketemu kan kamu lagi galau,“ katanya sambil mengangguk pada tukang bakso yang memberikan g
“Bajumu ...“ ucapnya menggantung dan membuatku sontak menutup bagian dada dengan tangan. Aric pun terkekeh. Lalu melangkah, mengikis jarak di antara kami sambil membuka kancing kemejanya.“Kamu mau ngapain?“ tanyaku sambil meliarkan pandangan ke sekeliling yang masih sepi. Karena memang toko dibuka sekitar satu jam lagi.“Aric ...“ ucapku saat dia melepas kemejanya, sambil melangkah mundur hingga akhirnya terhenti karena mentok di rak kain. “Aric!“ teriakku. Dia pun terkekeh ringan, lalu menyerahkan kemejanya padaku.“Apa yang kamu pikirkan, Khai? Apa kamu pikir, aku akan ...“ katanya sambil memainkan alis. Aku sontak mendelik tajam. Dia pun tergelak.“Ganti bajumu dengan kemejaku, Khai,“ ujarnya.Hah? Aku mengerjap tak percaya. Hendak menggeleng, tapi Aric segera menyela.“Pakailah, Khai. Itu bajumu basah dan bikin orang sala
Aku tiba di rumah baru tepat di saat azan magrib berkumandang. Dibantu pemilik mobil, aku memasukkan semua barang dan perabot ke ruang tamu. Setelah itu gegas menunaikan shalat dan membuka ponsel yang sedari pagi tak tersentuh. Ada banyak pesan dari grup. Membahas pernikahan Cantika yang akan digelar sekitar dua minggu lagi dan aku hanya meringis membaca pesan terbaru dari Meera.[Gue bakal datang sama Ken.] pesannya.[Aku insya Allah sama Mahesa.] balas Adila.[Kok Lo pada tega amat sih?][kalau Lo pada bawa pasangan, kasihan Naira dong. Si Hangga mana mau dibawa ke kondangan gue.] balas Cantika.[Hehehe, iya sih. Tapi Ken posesif. Dia gak ngizinin gue sendirian ke kondangan. Takut digoda cowok lain katanya.] Meera membalas.[Mahesa juga gitu. Makin dekat ke lamaran, tingkahnya makin nyebelin.] balas Adila.Aku tersenyum membaca semuany
“Sebelum pindah, kita ke rumah Ibu dulu, Ra,“ kata Mas Hangga saat aku tengah menyapukan bedak pada wajah.“Ngapain?“ tanyaku ketus.“Kamu nanya ngapain? Ya kita minta restu dan doanya lah. Dia Ibuku, aku takkan jadi seperti ini kalau bukan karena jasanya. Kalau aku nggak ada uang, kamu nggak akan bisa beli rumah,“ katanya.Aku hanya membulatkan bibir. Malas meladeninya. Lagian apa hubungannya rumah yang kubeli dengan Ibu? Toh rumah itu dibeli dengan uang warisan Ayah, uang setara mahar, uang untuk sewa rumah dan ... Hasil penjualan cincin mereka.“Kenapa cuma oh?“ tanyanya terdengar geram.“Terus aku harus jawab apa?“ tanyaku balik. Dia langsung menggeram. “Kamu ini benar-benar mengujiku, Naira. Makin ke sini bukan hanya penampilanmu yang berubah, tapi sifatmu juga. Kamu jadi kasar dan urakan.““Oh ya?“ Aku memutar bola mata. Dia hanya diam, hanya dadanya saja yang naik turun.“Cepatlah! Mau atau tidak, pokoknya kita harus ke rumah Ibu dulu,“ katanya, kali ini dengan suara lembut.“