“Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.
“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih. “Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna. Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang. “Benar begitu, Naira?“ “Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku. “Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman. Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya. “Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—“ “Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langsung mendengkus lalu duduk di sampingnya. Aku tersenyum miris mendapati kenyataan hari ini. Tak kusangka, perempuan yang selama ini kusayangi itu ternyata pintar bersandiwara. Membuat drama seakan-akan dialah tokoh protagonisnya. “Kamu harus berterimakasih pada Medina, Naira. Kalau dia tak menghalangi, mungkin aku akan menamparku berkali-kali,“ ujar Mas Hangga dingin. Aku memalingkan wajah diiringi air mata yang mengalir. Lalu bangkit berdiri dan melangkah pergi dari hadapan mereka. . Setibanya di rumah, aku langsung mengambil wudhu dan menunaikan shalat magrib. Lalu membuka laptop. Aku bisa gila kalau terus-terusan diperlakukan seperti tadi. Aku butuh Meera, Cantika dan Adila. Karena saat ini hanya mereka yang bisa dipercaya. Setelah tersambung ke jaringan internet, aku membuka akun f******k yang semenjak menikah, tak pernah kupakai. Lalu mengirim pesan akun Meera, Cantika dan Adila. Minta tolong dijemput. [Sekarang Lo dimana, Nai? Biar gue jemput.] Meera yang kebetulan sedang aktif langsung membalas. [Di rumah. Aku bingung+takut, Meer ... Mas Hangga sangat menyeramkan.] Aku membalas dengan tangan gemetar dan air mata yang kembali luruh, mengingat kepingan-kepingan kejadian tadi di rumah Ibu. [Oke, tunggu. Gue bakal ke situ.] Kuhapus air mata dengan kasar dan mengiyakan balasannya. Lalu mengemasi dompet, ponsel dan laptop juga beberapa helai pakaian. Tak lupa melapisi tubuh dengan sweater. Setelah itu, duduk sambil memeluk lutut sambil menonton drama negeri tirai bambu. Sekitar dua puluh menit menunggu, terdengar jelas deru suara mobil. Disusul suara Meera memanggil namaku. Buru-buru aku berjalan, mengabaikan rasa lemas yang merundung tubuh. “Naira ... Lo ...“ Meera menatapku cukup lama saat aku membuka pintu. “Bisa kita pergi sekarang, Meer? Aku takut Mas Hangga keburu ke sini,“ ujarku. Meera langsung mengangguk lalu merangkul bahuku. “Kamu demam, Nai,“ katanya saat memasangkan sabuk pengaman. “Aku lelah, Meer. Boleh aku tidur?“ tanyaku. Meera menatapku ... sendu. Lalu mengangguk. “Lo tidur aja, nanti gue bangunin kalau udah nyampe.“ Aku memejamkan mata. Berharap bisa tidur barang sebentar saja, tapi hingga mobil berhenti nyatanya hanya mataku saja yang menutup. Tidak dengan pikiran dan jiwaku. “Nai ...“ Aku membuka mata dan terdiam sejenak melihat Cantika dan Adila menatap dengan raut wajah cemas. “Kamu bisa jalan sendiri, Nai?“ tanya Adila saat beranjak turun. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Kamu panas banget, Nai,“ ujar Cantika sambil merangkul bahuku. “Huum. Wajahnya juga pucat,“ timpal Meera yang kini menenteng tasku. “Kamu belum makan kan, Nai?“ Adila menatapku curiga. Begitupun yang lain. Aku terdiam. Sejak malam kemarin, aku memang belum mengisi perut. Kejutan yang diberikan Mas Hangga telah merenggut kenikmatan segalanya. Nikmat tidur, nikmat makan dan nikmatnya memiliki suami. Aku menggigit bibir, menahan air mata yang siap melaju. Lalu pertahananku roboh, saat Meera, Cantika dan Adila memeluk tubuh ini. “Nangis aja, Nai. Ada kita, bagi beban kamu sama kita,“ ujar Adila. Tangannya mengelus punggungku yang bergetar. “Iya, Nai. Nangis aja, jangan ditahan,“ tambah Cantika. Sementara Meera belum berkata apapun. Hanya tangannya bekerja, mengusap air mataku dengan hati-hati. “Air mata lo terlalu berharga buat lelaki seperti Hangga,“ katanya dengan suara tertahan dan dengkusan kasar. “Masuk, yuk! Kayaknya bentar lagi mau hujan,“ lanjutnya. * “Jadi beneran suamimu nikah sama Mbakmu?“ tanya Adila dengan mata membulat setelah kuceritakan semuanya. “Gila! Kek nggak ada cowok lain aja, ngembat laki sepupu sendiri!“ umpat Meera dengan mata memerah dan tangan mengepal. “Cowok sih emang banyak tapi masalahnya, punya orang lebih menggoda.“ Cantika menyahut dan Meera langsung menoyor pelan kepalanya. “Lo naksir cowok orang?“ tuduhnya. Cantika mendelik tak terima. “Suuzon! Ya kali aja gue ini tolol. Kagaklah, calon suami gue singel lillahi taala,“ jawabnya nyolot. Meera terkekeh. “Ya terus kenapa Lo ngomong gitu?“ tanya Meera. “Gue ngomong gitu karena kenyataannya kek gitu. Apa Lo lupa? Bokap Lo juga kan digondol Valak. Berarti walau udah tuwir, Bokap Lo masih menggoda, iya kan?“ balas Cantika. Meera langsung memicingkan mata. “Udahlah, kenapa jadi adu mulut gini sih? Kalian lupa, di sini ada Naira yang butuh perhatian dan support kita?“ tanya Adila. Membuat Meera dan Cantika tersenyum canggung. “So-sorry.“ Mereka berucap kompak. “Jadi, setelah ini kamu mau gimana?“ Cantika menatapku. Aku menggeleng cepat. “Jangan ditanya dulu dong. Mending sekarang Lo pesen makanan, Naira pasti lapar.“ Meera menyahuti. “Bener banget itu. Aku juga lapar,“ sahut Adila. “Iya juga, ya. Kenapa gue lupa?“ gumam Cantika sambil mengeluarkan ponselnya dan membuatku tiba-tiba teringat pada ponsel yang kini tinggal bangkainya saja. “Lo ngelamunin apa?“ Meera yang menyadari itu, menatapku dengan alis terangkat sebelah. Aku menggeleng, “nggak apa-apa. Cuma inget sama ponselku, sekarang matot,“ jawabku. Membuat mereka bertiga kompak menatapku. “Serius?“ tanya Meera. Aku mengangguk. “Kenapa tadi nggak cerita?“ Adila menambahi. “Lupa, Dil.“ Aku tersenyum kaku. “Mana ponselnya?“ Cantika mengulurkan tangan. Akupun merogoh benda itu dalam tas lalu memberikannya. “Kok bisa, Nai?“ Cantika membolak-balikkan ponselku. “Dibanting Mas Hangga.“ Hah? Mereka langsung melotot. “Sakau si Valak itu Laki Lo. Eh, apa jangan-jangan Lo juga kena banting?“ Meera menatap penuh selidik. Membuatku mematung. Aku memang tak menceritakan kejadian Mas Hangga menyeret dan menyentak tubuhku. Karena mengingatnya hanya membuat ulu hati perih dan dada berdebar kencang. “Nai, nggak begitu kan? Kamu nggak dibanting kan?“ Suara Adila membuatku tersadar. Aku mengerjap beberapa kali lalu menatap pergelangan tangan yang tertutup sweater dan kembali menangis. “Oh God ... Brengsek!“ Meera mengumpat kasar sambil menyingkap lengan sweaterku. “Bajingan!“ desisnya saat melihat pergelangan tanganku yang ternyata memerah. Sementara Adila dan Cantika tampak shock dengan raut wajah menegang. Tapi setelah itu Cantika mengarahkan ponselnya pada tanganku. “Mau ngapain?“ tanya Meera. “Mau gue abadikan. Siapa tau nanti kita butuh,“ jawabnya. Sementara Adila hanya mengusap-usap punggungku lagi, tapi kali ini dengan mata berkaca-kaca. “Kok aku jadi ragu ya sama Mahesa? Aku takut Mahesa ...“ Adila menggigit bibirnya. Seketika aku ingat kalau dia berencana mengakhiri masa lajangnya dan membuatku dilanda perasaan bersalah. “Nggak semua laki-laki kek suaminya Naira, Dil. Yang baik juga masih banyak kok,“ kata Cantika. “Masa?“ Meera tersenyum sinis. Cantika langsung memukulnya dengan bantal sofa. “Iyalah. Tuh Abang Lo juga baik, padahal Kakak ipar Lo juga belum hamil-hamil,“ katanya. “Udahlah nggak usah bahas Abang gue. Dia emang bucin akut sama istrinya,“ sahut Meera, terdengar malas. “Dih, Lo mah serba salah. Giliran ada laki setia, dikatain bucin akut. Giliran yang selingkuh—“ Ucapan Cantika terhenti karena ponselnya berdering nyaring. “Kurirnya udah di depan. Gue ambil dulu, ya,“ pamitnya sambil beranjak melangkah. “Aku juga mau ke kamar mandi dulu. Kebelet ini,“ kata Adila sambil berjalan dengan tergesa. “Iya, sana cepetan.“ Meera menyahuti lalu menatapku lekat-lekat. “Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami. Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.Tak ada istilah pacaran untuk hubungan
“Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l
Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk
“Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku
“Naira? Kamu Naira kan?“Aku mengerutkan dahi seketika. Dengan mata menyipit, kutatap lekat pemuda berkulit putih terawat itu.“Benarkan, kamu Naira Khairana?“ tanyanya memastikan dengan senyuman lebar. Mau tak mau aku mengangguk, walau bingung juga karna memang tak mengenalnya.“Kamu lupa sama aku?“ tanyanya sambil terkekeh ringan. Seolah kami pernah ....Lelaki itu mengikis jarak di antara kami. Masih dengan senyuman manisnya, dia mengulurkan tangannya. Kini giliranku yang memindai penampilannya. Mengingat-ingat, barangkali dia saudara atau kerabat Mas Hangga, meski rasanya tidak mungkin. Namun hingga beberapa menit berlalu, aku tak berhasil mengenalinya.“Jadi, kamu nggak beneran nggak ingat sama aku?“ Dia kembali melempar tanya. Lalu mendesah, saat aku menganggukkan kepala.“Aku Aric,“ lanjutnya. Aku masih diam, mengingat nama Aric yang pernah hadir di hidupku. Hingga akhirnya terbelalak saat sebuah bayangan melintas di kepala.“Aric? Alaric Daniyal Mahaprana?“ tanyaku memastikan
“Darimana saja kamu?““Mas?“ Aku menatapnya bingung sambil masuk melewati tubuhnya.“Darimana saja kamu?“ tanyanya lagi. Aku buru-buru menaruh belanjaan di atas meja makan. Lalu menatap wajahnya yang masih memerah, dan tiba-tiba saja teringat Aric. Apa mungkin Mas Hangga melihatku turun dari mobil Aric?“Aku kan sudah bilang, mau cari rumah sewaan,“ jawabku setenang mungkin.“Oh ya?“ Suaranya terdengar meremehkan. Membuatku dilanda keraguan.“Mas nggak percaya?“ tanyaku sambil menyentuh dagunya, tapi dia langsung menepisnya. Lalu mengembuskan napas kasar.“Tadi ada yang bilang, kamu turun dari mobil mewah,“ katanya dengan tangan mengepal. Aku tersenyum sinis. Apa mungkin dia cemburu?“Itu grabcar, Mas. Orang kaya gabut, nge-grab pake mobil mewah,“ sahutku sekenanya.“Kamu nggak bohong kan?“ tanyanya dengan mata memicing. Aku terkekeh sinis.“Kenapa bertanya seperti itu, sementara kamulah yang banyak berbohong padaku?“ balasku santai. Tubuhnya tampak menegang dan tangannya pun mengepal
“Dodol!“ Aku mengumpat kesal dan langsung membeku saat pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Kamu lagi apa?“ Mas Hangga merangsek masuk dengan mata tertuju pada tangan ini. Buru-buru kusembunyi ponsel di bawah karpet dan tersenyum paksa.“Kamu nggak macam-macam kan?“Aku langsung mengernyit mendengar pertanyaannya. Macam-macam apa maksudnya? Aku hendak berdiri, tapi Mas Hangga langsung menahan pundakku. Lalu dengan cepat berjalan ke sofa. Membuka bed sofa dengan tergesa.“Apa itu, Mas?“ tanyaku pura-pura tak tahu saat tangannya menggenggam sebuah map berwarna hitam.“Sertifikat toserba di Jalan Maleber,“ jawabnya disertai senyuman menyeringai. Membuat wajahku memanas.“Kamu tidak sedang mencari ini kan?“ tanyanya. Aku menggeleng ragu.“Benarkah?“ Dia tersenyum menyeringai. Aku mengembuskan napas kesal.“Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Apa kamu takut aku mencuri aset-asetmu?“ tanyaku kesal. Dia langsung terdiam.“Kalau benar begitu, kamu keterlaluan, Mas. Selama ini aku tak pernah m
Saat sibuk membuka lemari rusak berisi perabotan bekas, tanpa sengaja mataku menangkap sebuah koper kecil berwarna hitam. Dengan ragu, aku membuka koper yang ternyata tak dikunci dan tersenyum lebar saat melihat isi di dalamnya. Sesuatu yang dicari ada di sana. Bahkan ada juga perhiasan yang sepertinya milik Ibu.[Aku nemu ini.] Aku segera mengarahkan ponsel pada tumpukan map dengan nama-nama berbeda.[Kereeen. Ambil semua, Nai.] balas Cantika.[Jangan!] balas Adila.[Kenapa?] balas Meera. Aku sendiri tak sempat membalas karena Adila langsung memanggil. Panggilan konferensi, dimana Meera dan Cantika sudah terhubung.“Coba pastikan satu persatu, Nai. Milik siapa saja sertifikat itu,“ katanya.“Kenapa harus dipastikan, Dil? Mending ambil saja langsung.“ Cantika menimpali.“Enggak, Can ... kita nggak boleh gegabah. Nanti bukannya untung, Naira malah buntung,“ sahut Adila.
Menjelang siang, kami kedatangan tamu spesial. Dia Bu Annisa, pemilik butik sekaligus sahabat Bunda saat SMA. Ini kali pertamanya kami bertemu. Karena selama ini memang bahan jahitan dan yang sudah selesai dijahit, diantar jemput oleh pegawai. Dia datang tak seorang diri. Ditemani sang anak yang menunggu di luar. “Jadi ini yang namanya Naira?“ tanyanya saat aku menyalaminya. “Iya, Nis.“ Bukan aku yang menjawab, tapi Bunda. “Masya Allah … Kamu cantik banget, Sayang. Kamu juga masih muda,“ ucapnya. Aku tersenyum tipis “Kamu ada anak secantik ini kenapa diam-diam saja, Any? Tau gini, dari kemarin aku ke sini,“ sambungnya sambil menatap Bunda yang tengah menata cemilan. “Kemarin kan Naira masih dalam masa iddah. Mana bisa aku main kenalin-kenalin aja. Bisa ngantri nanti yang mau jadi jodohnya Naira,“ sahut
“Kalian ngapain di sini?“ Pertanyaan itu kembali mengalun dari mulut Teh Alisa. Aku lantas melirik Meera yang menatap iparnya itu datar. “Kita mau ke dapur. Lapar,“ jawab Meera. Lalu dia menarik tanganku. “Ayo, Nai!“ Aku pun lantas mengikuti langkah Meera. Masuk ke dapur, aku dan Meera sama-sama menghela napas lega. “Tadi lo mau ngomong apa?“ tanya Meera. Aku hendak membuka suara, tapi urung karena Teh Alisa ternyata mengikuti kami. Dia bahkan berdiri seperti mengamati kami berdua. “Bukannya di depan masih banyak tamu, ya? Kenapa kamu malah makan?“ tanya Teh Alisa. Dia menatapku seakan ingin mengulitiku saja. “Ya namanya juga lapar. Lagian emak-emak di sana lagi ngobrol sama Bunda, kok. Yaudah, mending kita makan aja.“ Lagi-lagi Meera yang menjawab. Teh Alisa terdengar mendengkus. Lalu meninggalkan kami begitu saja.
“Ah … congrat, Nai. Akhirnya lo jadi ibu,“ ucap Meera sambil memelukku. Gadis itu benar-benar tak ada capeknya. Padahal dia baru tiba, tapi langsung datang ke sini untuk menemaniku. “Thanks, Meer. Akhirnya kamu juga jadi Aunty,“ sahutku. Meera mengangguk. Lalu terdiam sejenak sambil menatap ke arah perutku. “Eh, perut lo nggak papa kan, Nai?“ tanyanya. “Its oke, Meer. Im fine.“ Aku menjawab sambil tersenyum. “Syukurlah,“ sahut Meera sambil mengambil cemilan yang entah sejak kapan ada di lemari. “Gue penasaran, kira-kira siapa yang nyelekain lo? Apa jangan-jangan si Alisa ya?“ ujarnya sambil memberikan sebungkus cemilan padaku. “Jangan suuzan!“ sahutku. Meera langsung mengerucutkan bibir. “Bukan suuzan, tapi kan emang cuma dia yang nggak suka sama lo. Kalau sampai dia yang ngelakuin itu, gue nggak bakalan segan laporin dia ke polisi,“
”Assalamualaikum.” Naira dan Bu Anya yang sedang menikmati sarapan lantas menoleh mendengar suara salam dibarengi kedatangan Rio. ”Waalaikumsalam,” jawab keduanya kompak. ”Aku numpang sarapan di sini, Bun.” Tanpa basa-basi, Rio menaruh tas kerjanya di kursi yang kosong. Lalu duduk di samping Bu Anya. ”Alisa nggak masak?” tanya Bu Anya. Tentu saja hanya basa-basi semata. Karena dia tahu, menantunya itu jarang memasak dan lebih sering membeli makanan siap santap. Rio tak menjawab. Dia langsung mengambil dua roti goreng. Lalu menuangkan susu ke gelas yang kosong. ”Kalian bertengkar ya?” Bu Anya menatap putranya intens. Rio masih bungkam. Lebih memilih menggigit roti yang isinya selai kacang coklat. Bu Anya menghela napas panjang. ”Kalau dipikir-pikir kalian itu lebih banyak bertengkarnya daripada akurnya,” celetuknya
"Nai, makan dulu!” Naira yang tengah menjahit menghentikan aktifitasnya sejenak, dan lantas menoleh pada Bu Anya. "Bentar, Bun. Tanggung," sahutnya sambil tersenyum nyengir. Bu Anya langsung mencibir. "Tanggung … tanggung. Inget Ada dua janin di perut kamu, Nai," katanya. "lya, Bun. Aku inget, kok." Naira tersenyum nyengir. Bu Anya menghela napas panjang. Malas mendebat, wanita paruh baya berhijab hijau pupus itu lantas mendaratkan bobotnya di kursi depan mesin obras. Lalu menatap perut Naira yang semakin besar. ”Jangan capek-capek, Nai. Kasihan fisik sama dua janin kamu,” cetusnya. Naira tersenyum tipis. "Insya Allah, enggak capek kok, Bun." "Ah, kamu mah ngebales terus. Udah ah, bunda tunggu di ruang makan, ya!” Bu Anya berujar seraya beranjak berdiri. "Iya, Bun." Naira berge
”Loh Medina, wajahmu kenapa?” Mamah Tanti—mertuaku, tampak heran melihat wajah sembab Medina. Medina tak menjawab, dia langsung masuk begitu. Mamah Tanti beralih menatapku. ”Kamu apakan Medina, Hangga?” ”Bapak mana, Mah?” Aku bertanya balik seraya mencium punggung tangannya. Tak lama Bapak mertuaku keluar dari kamarnya. ”Hangga?” Bapak mengerutkan dahi melihat kehadiranku. Aku pun beranjak menghampirinya dan meraih tangannya. ”Ada yang mau Hangga bicarakan sama Mamah sama Bapak,” ujarku sambil menatap ke duanya bergantian. ”Masalah apa?” tanya Mamah Tanti. ”Suruh Hangga duduk dulu, Mah. Ayo, Hangga!” Bapak merangkul bahuku. Aku mengangguk. ”Ada masalah serius?” tanya Bapak. Aku mengangguk pelan. ”Masalah apa?” Bapak kembali bertanya dengan tenang. ”Hangga menalak Medina.”
”Enggak, Mas. Aku nggak setuju. Mas ini keterlaluan! Masalah segitu aja dibesar-besarkan,” ujar Hasna dengan napas memburu cepat. ”Bukan dibesar-besarkan, Hasna. Tapi memang masalahnya besar, kok. Suamimu dan iparmu itu sudah merugikan Masmu. Masa kamu masih mau membelanya,” sahut Ibu. Hasna memalingkan wajah. Seketika air matanya mengaliri pipi. Dia selalu saja begitu. Akan menangis untuk menarik simpati. ”Nggak usah menangis, Hasna. Air matamu tak akan mengubah keputusan mas,” ujarku. ”Mas, pikirkan nasibku dong. Nasib ponakan-ponakanmu,” balas Hasna. ”Iya betul, Hangga. Jangan mengedepankan emosi,” timpal Mas Haris. Aku berdecak pelan. Lucu sekali Mas Haris. Padahal selama ini dia lah yang sering mengedepankan emosi dan ego. ”Maafkan mas, Hangga. Mas melakukan ini juga karena tuntutan Mbakmu. Dia terlalu banyak permintaan. Sementara cicilan kami masih bany
"Kamu...." Aku menatap sengit lelaki selingkuhan Naira itu. "Apa kabar, Pak Hangga?" ujarnya santai sambil mengulurkan tangan. "Baik." Aku menjawab tanpa menyambut uluran tangannya. Aric. Lelaki tampan bertubuh atletis itu lantas menarik tangannya. Lalu mengedarkan. pandangan ke sekeliling. "Kebetulan kita bertemu di sini, Pak Hangga. Ada yang mau saya bicarakan sama Anda. Bisa kita bicara sebentar, Pak Hangga?" tanyanya. Aku menatapnya penuh selidik. Mau membicarakan apa? Pamer perselingkuhannya dengan Naira? "Saya mau meluruskan kekeliruan selama ini, Pak. Tentang hubungan saya dengan Khaira," sambungnya. Aku tersenyum sinis. Lihat, dia bahkan mempunyai panggilan khusus untuk mantan istriku itu. "Saya yakin bapak akan menyesal kalau tahu yang sebenarnya." Dia benar-benar cerewet! Aku menghela napas panja
Tampaknya, kali ini Medina benar-benar marah. Waktu isya sudah berlalu, dan belum ada tanda-tanda kepulangannya. Untung saja Meisya masih terlelap dalam tidurnya. Untung juga Meisya tak hanya meminum Asi saja. Jadi tak masalah jika tak ada Medina.Suara salam, membuatku beranjak dari sofa. Membukakan pintu dan mendapati Ibu berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang aneh.”Ada apa, Bu?” tanyaku. Ibu tak langsung menjawab, Hanya sedikit menggeser tubuhku. Lalu masuk dan duduk di sofa.”Mana Medina?” tanyanya sambil meliarkan pandangan ke sekeliling.”Nggak tau. Tadi dia merajuk gara-gara kusuruh masak,” jawabku. Ibu tampak tersenyum kecut.”Ibu lihat dia di kafe baru deket mini market. Sama laki-laki,” ujarnya membuat mataku terbelalak. Benarkah? Tapi sesaat setelah melahirkan, Medina sudah janji tak akan menduakanku. ”Coba kamu samperin sana!” serunya. Aku mengembuskan napas kasar.