Share

Bab 5

Author: Fatimah
last update Last Updated: 2024-10-20 18:11:27

“M-mas ...“

“Nelepon siapa kamu?“ tanyanya sambil berjalan tergesa menghampiri. Lalu di detik berikutnya, dia merebut ponsel di tanganku.

“Jangan pengaruhi istriku.“ Dia berkata tajam, membuat atmosfer kamar berubah mencekam. Aku menelan ludah dengan payah saat telepon diputus dan pandangan kami bersirobok.

“Kamu bilang apa sama mereka?“ tanyanya. Aku menggeleng, “ti-dak. Aku tidak bilang apa—“

“Bohong!“ sentaknya membuatku spontan meremas sprei. Lalu memejamkan mata saat merasakan jemari panjangnya menyentuh daguku.

“Jangan berani membohongiku, Naira,“ ujarnya dingin. Aku membuka mata dan sontak membeliak saat ponsel milikku dibanting dengan kasar.

“Mas!“ teriakku tak terima. Kutepis tangannya dan buru-buru memunguti benda pipih yang layarnya sudah pecah. Gegas, kutekan tombol power, berharap masih menyala. Tapi hingga beberapa menit menunggu, layarnya tetap saja gelap.

Aku pun bangkit berdiri. Menatapnya nyalang sambil meremas ponsel.

“Puas kamu, Mas? Puas?“ teriakku. Mas Hangga hanya tersenyum menyeringai, lalu dengan santainya merangkul bahuku.

“Kan sudah aku bilang, jangan macam-macam. Itu baru ponsel, Naira. Kalau kamu macam-macam lagi, tubuhmu yang kubanting,“ bisiknya membuat tubuhku meremang dan benak semakin dipenuhi tanya. Ada apa dengannya? Kenapa sikapnya semakin sulit kumengerti?

“Sekarang ganti bajumu. Kita ke rumah ibu,“ katanya. Aku menggeleng cepat sambil melepaskan bahunya dari pundak ini.

“Jangan membantah, Naira!“ tegasnya sambil meremas lenganku. Aku berdesis pelan dan memberanikan diri menatapnya dari dekat.

“Apa yang terjadi sama kamu, Mas? Kenapa kamu berubah? Kamu tak seperti Mas Hangga yang kukenal,“ ujarku bingung. Mengingat selama ini, dia tak pernah melakukan hal yang seperti tadi. Walau tak romantis, tapi Mas Hangga tak berperangai kasar. Pantang baginya bermain tangan.Tapi kini kenapa aku merasa, dia bukan Mas Hangga. Bahkan sorot matanya pun seperti ....

“Jangan berburuk sangka, Naira. Aku berubah karena sudah seharusnya. Kamu mulai berani membantah, makanya aku berubah,“ terangnya sambil melumat bibirku dengan kasar.

“Sepertinya aku harus sering melumat bibirmu, supaya mulutmu tak pongah,“ lanjutnya sambil berjalan ke arah pintu dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam celana.

“Cepat ganti. Aku tunggu di bawah.“

Aku mengembuskan napas kasar. Dengan malas membuka lemari dan mengganti baju rumahan dengan set gamis syari.

*

Suasana rumah ibu tampak tak seperti biasa. Tak ada keempat ipar yang biasanya berkumpul sambil berghibah. Saat aku masuk ke ruang tengah, mataku mendapati ibu duduk di sofa ditemani ... Mbak Medina. Mereka tampak akrab dan entah membahas apa. Melihat pemandangan itu mendadak hatiku jadi kerdil. Karena selama ini, aku tak begitu dekat dengan Ibu. Bahkan lebih sering berselisih paham.

“Assalamualaikum.“ Suara Mas Hangga membuat mereka sontak menoleh.

“Waalaikumussalam,“ jawab mereka kompak. Mas Hangga langsung melangkah menghampiri, sementara aku masih berdiri dekat lemari penghalang antara ruang tamu dan ruang tengah. Entahlah kenapa tiba-tiba aku jadi tak enak hati.

“Kamu mau berdiri di situ saja, Naira?“ Suara sinis Ibu, mau tak mau membuatku kembali melangkah. Lalu duduk di samping Mas Hangga. Mengabaikan Mbak Medina yang wajahnya agak ditekuk.

“Hangga, bukannya kamu mau ke toko lagi?“ tanya Ibu. Aku mengerutkan dahi. Kenapa aku disuruh ke sini, kalau ujung-ujungnya ditinggal pergi Mas Hangga?

“Oh iya, Bu.“ Mas Hangga langsung berdiri.

“Aku mau ke toko lagi. Nanti ada yang mau ibu dan Medina sampaikan padamu,“ lanjutnya. Ingin sekali memprotes, tapi melihat tatapan tajamnya, seketika nyaliku tenggelam.

“Mas ke toko dulu ya, Sayang.“ Mas Hangga mengulurkan tangannya pada Mbak Medina.

“Iya, Mas. Malam ini Mas nginap di aku kan?“ tanya Medina.

“Iyalah. Naira kan sudah tahu, jadi kita tak perlu sembunyi-sembunyi lagi,“ jawab Mas Hangga sambil melirikku sekilas.

Gelombang amarah dan cemburu seketika menerjang dadaku. Bagaimana tidak, caranya memperlakukan kami sangat jauh berbeda. Bukan hanya tutur katanya yang lembut, sikap Mas Hangga juga sangat romantis. Selain mengusap perut Mbak Medina, dia juga memeluk sepupuku itu cukup lama hingga akhirnya diurai setelah aku berdehem keras.

“Maaf, Ra ... Mbak lupa kalau ada kamu di sini,“ ucap Mbak Medina yang terdengar seperti ledekan.

“Nggak usah minta maaf. Kamu sedang mengandung darah daging Hangga, jadi sangat wajar diperlakukan seperti itu,“ sahut Ibu sambil melirikku sinis.

Aku bergeming. Muak sekali melihat ekspresi kedua betina itu. Hijab syari yang dikenakan mereka, nyatanya hanya sebuah topeng untuk menutupi kejulidan yang mendarah daging.

“Sudahlah, Bu.“ Mas Hangga menyentuh pundak ibu lalu mencium tangan berhias gelang itu takzim.

“Aku pergi. Nanti kamu pulang sendiri saja, aku mau pulang ke Madina,“ lanjutnya tanpa mengulurkan tangan padaku.

Aku menatapnya nanar. Rasa kecewa jelas berkelindan di dada. Kemana janjinya yang katanya akan adil? Baru sehari setelah pengakuannya, jangankan adil, dia justru membuat lukaku semakin menganga.

*

“Ibu rasa tak ada yang perlu dijelaskan. Kamu pasti sudah paham, kenapa Ibu menyuruh Hangga menikah lagi,“ ujar Ibu. Setelah sebelumnya hanya hening yang menemani kami.

“Iya, Bu.“ Aku menjawab malas.

“Kenapa jawabnya singkat gitu? Biasanya juga kamu kan suka mendebat,“ ujar Ibu dengan dahi agak mengerut.

“Terus aku harus jawab apa, Bu? Protes juga percuma kan? Nggak akan mengubah keadaan,“ jawabku pasrah. Lebih tepatnya tak berminat dan ingin segera menyudahi pembicaraan ini, walau tak dipungkiri agak penasaran juga sejak kapan mereka menikah siri.

“Baguslah kalau kamu sadar diri,“ cetus Ibu diakhiri seringai tipis.

Aku mengalihkan pandangan pada Mbak Medina yang ternyata juga tersenyum tipis.

“Ada yang mau dibicarakan lagi nggak?“ tanyaku. Membuat senyumnya langsung sirna, “kalau tidak ada, aku mau pulang. Sudah mau magrib,“ lanjutku.

Mbak Medina terdiam. Perempuan berusia tiga puluh empat tahun itu melirik pada Ibu sebelum menatapku sekilas.

“Kamu mau bicara berdua saja, Din? Kalau iya, Ibu kau ke rumah Mbak Hanin,“ ujar Ibu.

“I-iya, Bu. Maaf ya, Bu,“ jawab Mbak Medina sambil menganggukan kepala.

“Yasudah, Ibu ke rumah Mbak Hani dulu Nanti kalau mau makan, kasih tahu Ibu, ya.“ Ibu langsung beranjak, meninggalkan kami berdua.

“Iya, Bu.“ Mbak Medina menyahut pelan. Lalu menatapku lekat-lekat, tepat di saat punggung Ibu tertelan pintu.

“Apa kamu tidak penasaran, ingin tau sejak kapan kami menikah?“ tanyanya seakan tahu isi pikiranku. Dengan nada yang terdengar sinis.

“Bagaimana kalau aku tidak penasaran, Mba?“ tanyaku balik. Mbak Medina langsung membeliak. Persis sepuluh tahun lalu, saat ....

“Kami menikah tiga bulan lalu—“

“Oh.“ Aku menyela segera dan berusaha bersikap datar meski hati panas luar biasa.

Mbak Medina langsung terbelalak. Lalu bola matanya bergerak gusar.

“Sudah tidak ada lagi yang dibicarakan kan? Aku mau pulang,“ ujarku. Tapi Mbak Medina langsung memegang tangan ini.

“Sebentar, Ra. Tunggu dulu di sini,“ katanya, lalu melangkah masuk ke kamar tamu dan kembali dengan map di tangannya.

“Aku mau minta tandatanganmu, Ra. Aku mengandung anak Mas Hangga dan nanti pasti membutuhkan buku nikah dan kartu keluarga untuk mengurus dokumen negara anak kami,“ tuturnya enteng tanpa tendeng eling.

“Kenapa tak sekalian saja minta aku menggugat Mas Hangga? Biar nanti kamu dicap ... Pe-la-kor!“ seruku sinis dan membuat tubuhnya menegang seketika.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Elma Sukmala
ayo nai kamu urus sendiri surat" buat cerai dari laki brengsek tap nls dulu perbuatan nya.
goodnovel comment avatar
Elios EliosBengkulu
kurang seru jadi nya ini
goodnovel comment avatar
Novilyly Erniyani
next, kok ceritanya nggak dilanjutkan lagi disini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 6

    “Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih.“Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna.Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang. “Benar begitu, Naira?“ “Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku.“Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman. Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya.“Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—““Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langs

    Last Updated : 2024-12-13
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 7

    “Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami. Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.Tak ada istilah pacaran untuk hubungan

    Last Updated : 2024-12-14
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 8

    “Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l

    Last Updated : 2024-12-15
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 9

    Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk

    Last Updated : 2024-12-16
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 10

    “Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku

    Last Updated : 2024-12-17
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 11

    “Naira? Kamu Naira kan?“Aku mengerutkan dahi seketika. Dengan mata menyipit, kutatap lekat pemuda berkulit putih terawat itu.“Benarkan, kamu Naira Khairana?“ tanyanya memastikan dengan senyuman lebar. Mau tak mau aku mengangguk, walau bingung juga karna memang tak mengenalnya.“Kamu lupa sama aku?“ tanyanya sambil terkekeh ringan. Seolah kami pernah ....Lelaki itu mengikis jarak di antara kami. Masih dengan senyuman manisnya, dia mengulurkan tangannya. Kini giliranku yang memindai penampilannya. Mengingat-ingat, barangkali dia saudara atau kerabat Mas Hangga, meski rasanya tidak mungkin. Namun hingga beberapa menit berlalu, aku tak berhasil mengenalinya.“Jadi, kamu nggak beneran nggak ingat sama aku?“ Dia kembali melempar tanya. Lalu mendesah, saat aku menganggukkan kepala.“Aku Aric,“ lanjutnya. Aku masih diam, mengingat nama Aric yang pernah hadir di hidupku. Hingga akhirnya terbelalak saat sebuah bayangan melintas di kepala.“Aric? Alaric Daniyal Mahaprana?“ tanyaku memastikan

    Last Updated : 2024-12-18
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 12

    “Darimana saja kamu?““Mas?“ Aku menatapnya bingung sambil masuk melewati tubuhnya.“Darimana saja kamu?“ tanyanya lagi. Aku buru-buru menaruh belanjaan di atas meja makan. Lalu menatap wajahnya yang masih memerah, dan tiba-tiba saja teringat Aric. Apa mungkin Mas Hangga melihatku turun dari mobil Aric?“Aku kan sudah bilang, mau cari rumah sewaan,“ jawabku setenang mungkin.“Oh ya?“ Suaranya terdengar meremehkan. Membuatku dilanda keraguan.“Mas nggak percaya?“ tanyaku sambil menyentuh dagunya, tapi dia langsung menepisnya. Lalu mengembuskan napas kasar.“Tadi ada yang bilang, kamu turun dari mobil mewah,“ katanya dengan tangan mengepal. Aku tersenyum sinis. Apa mungkin dia cemburu?“Itu grabcar, Mas. Orang kaya gabut, nge-grab pake mobil mewah,“ sahutku sekenanya.“Kamu nggak bohong kan?“ tanyanya dengan mata memicing. Aku terkekeh sinis.“Kenapa bertanya seperti itu, sementara kamulah yang banyak berbohong padaku?“ balasku santai. Tubuhnya tampak menegang dan tangannya pun mengepal

    Last Updated : 2024-12-19
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 13

    “Dodol!“ Aku mengumpat kesal dan langsung membeku saat pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Kamu lagi apa?“ Mas Hangga merangsek masuk dengan mata tertuju pada tangan ini. Buru-buru kusembunyi ponsel di bawah karpet dan tersenyum paksa.“Kamu nggak macam-macam kan?“Aku langsung mengernyit mendengar pertanyaannya. Macam-macam apa maksudnya? Aku hendak berdiri, tapi Mas Hangga langsung menahan pundakku. Lalu dengan cepat berjalan ke sofa. Membuka bed sofa dengan tergesa.“Apa itu, Mas?“ tanyaku pura-pura tak tahu saat tangannya menggenggam sebuah map berwarna hitam.“Sertifikat toserba di Jalan Maleber,“ jawabnya disertai senyuman menyeringai. Membuat wajahku memanas.“Kamu tidak sedang mencari ini kan?“ tanyanya. Aku menggeleng ragu.“Benarkah?“ Dia tersenyum menyeringai. Aku mengembuskan napas kesal.“Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu? Apa kamu takut aku mencuri aset-asetmu?“ tanyaku kesal. Dia langsung terdiam.“Kalau benar begitu, kamu keterlaluan, Mas. Selama ini aku tak pernah m

    Last Updated : 2024-12-20

Latest chapter

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 87

    Menjelang siang, kami kedatangan tamu spesial. Dia Bu Annisa, pemilik butik sekaligus sahabat Bunda saat SMA. Ini kali pertamanya kami bertemu. Karena selama ini memang bahan jahitan dan yang sudah selesai dijahit, diantar jemput oleh pegawai. Dia datang tak seorang diri. Ditemani sang anak yang menunggu di luar. “Jadi ini yang namanya Naira?“ tanyanya saat aku menyalaminya. “Iya, Nis.“ Bukan aku yang menjawab, tapi Bunda. “Masya Allah … Kamu cantik banget, Sayang. Kamu juga masih muda,“ ucapnya. Aku tersenyum tipis “Kamu ada anak secantik ini kenapa diam-diam saja, Any? Tau gini, dari kemarin aku ke sini,“ sambungnya sambil menatap Bunda yang tengah menata cemilan. “Kemarin kan Naira masih dalam masa iddah. Mana bisa aku main kenalin-kenalin aja. Bisa ngantri nanti yang mau jadi jodohnya Naira,“ sahut

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 86

    “Kalian ngapain di sini?“ Pertanyaan itu kembali mengalun dari mulut Teh Alisa. Aku lantas melirik Meera yang menatap iparnya itu datar. “Kita mau ke dapur. Lapar,“ jawab Meera. Lalu dia menarik tanganku. “Ayo, Nai!“ Aku pun lantas mengikuti langkah Meera. Masuk ke dapur, aku dan Meera sama-sama menghela napas lega. “Tadi lo mau ngomong apa?“ tanya Meera. Aku hendak membuka suara, tapi urung karena Teh Alisa ternyata mengikuti kami. Dia bahkan berdiri seperti mengamati kami berdua. “Bukannya di depan masih banyak tamu, ya? Kenapa kamu malah makan?“ tanya Teh Alisa. Dia menatapku seakan ingin mengulitiku saja. “Ya namanya juga lapar. Lagian emak-emak di sana lagi ngobrol sama Bunda, kok. Yaudah, mending kita makan aja.“ Lagi-lagi Meera yang menjawab. Teh Alisa terdengar mendengkus. Lalu meninggalkan kami begitu saja.

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 85

    “Ah … congrat, Nai. Akhirnya lo jadi ibu,“ ucap Meera sambil memelukku. Gadis itu benar-benar tak ada capeknya. Padahal dia baru tiba, tapi langsung datang ke sini untuk menemaniku. “Thanks, Meer. Akhirnya kamu juga jadi Aunty,“ sahutku. Meera mengangguk. Lalu terdiam sejenak sambil menatap ke arah perutku. “Eh, perut lo nggak papa kan, Nai?“ tanyanya. “Its oke, Meer. Im fine.“ Aku menjawab sambil tersenyum. “Syukurlah,“ sahut Meera sambil mengambil cemilan yang entah sejak kapan ada di lemari. “Gue penasaran, kira-kira siapa yang nyelekain lo? Apa jangan-jangan si Alisa ya?“ ujarnya sambil memberikan sebungkus cemilan padaku. “Jangan suuzan!“ sahutku. Meera langsung mengerucutkan bibir. “Bukan suuzan, tapi kan emang cuma dia yang nggak suka sama lo. Kalau sampai dia yang ngelakuin itu, gue nggak bakalan segan laporin dia ke polisi,“

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 84

    ”Assalamualaikum.” Naira dan Bu Anya yang sedang menikmati sarapan lantas menoleh mendengar suara salam dibarengi kedatangan Rio. ”Waalaikumsalam,” jawab keduanya kompak. ”Aku numpang sarapan di sini, Bun.” Tanpa basa-basi, Rio menaruh tas kerjanya di kursi yang kosong. Lalu duduk di samping Bu Anya. ”Alisa nggak masak?” tanya Bu Anya. Tentu saja hanya basa-basi semata. Karena dia tahu, menantunya itu jarang memasak dan lebih sering membeli makanan siap santap. Rio tak menjawab. Dia langsung mengambil dua roti goreng. Lalu menuangkan susu ke gelas yang kosong. ”Kalian bertengkar ya?” Bu Anya menatap putranya intens. Rio masih bungkam. Lebih memilih menggigit roti yang isinya selai kacang coklat. Bu Anya menghela napas panjang. ”Kalau dipikir-pikir kalian itu lebih banyak bertengkarnya daripada akurnya,” celetuknya

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 83

    "Nai, makan dulu!” Naira yang tengah menjahit menghentikan aktifitasnya sejenak, dan lantas menoleh pada Bu Anya. "Bentar, Bun. Tanggung," sahutnya sambil tersenyum nyengir. Bu Anya langsung mencibir. "Tanggung … tanggung. Inget Ada dua janin di perut kamu, Nai," katanya. "lya, Bun. Aku inget, kok." Naira tersenyum nyengir. Bu Anya menghela napas panjang. Malas mendebat, wanita paruh baya berhijab hijau pupus itu lantas mendaratkan bobotnya di kursi depan mesin obras. Lalu menatap perut Naira yang semakin besar. ”Jangan capek-capek, Nai. Kasihan fisik sama dua janin kamu,” cetusnya. Naira tersenyum tipis. "Insya Allah, enggak capek kok, Bun." "Ah, kamu mah ngebales terus. Udah ah, bunda tunggu di ruang makan, ya!” Bu Anya berujar seraya beranjak berdiri. "Iya, Bun." Naira berge

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 82

    ”Loh Medina, wajahmu kenapa?” Mamah Tanti—mertuaku, tampak heran melihat wajah sembab Medina. Medina tak menjawab, dia langsung masuk begitu. Mamah Tanti beralih menatapku. ”Kamu apakan Medina, Hangga?” ”Bapak mana, Mah?” Aku bertanya balik seraya mencium punggung tangannya. Tak lama Bapak mertuaku keluar dari kamarnya. ”Hangga?” Bapak mengerutkan dahi melihat kehadiranku. Aku pun beranjak menghampirinya dan meraih tangannya. ”Ada yang mau Hangga bicarakan sama Mamah sama Bapak,” ujarku sambil menatap ke duanya bergantian. ”Masalah apa?” tanya Mamah Tanti. ”Suruh Hangga duduk dulu, Mah. Ayo, Hangga!” Bapak merangkul bahuku. Aku mengangguk. ”Ada masalah serius?” tanya Bapak. Aku mengangguk pelan. ”Masalah apa?” Bapak kembali bertanya dengan tenang. ”Hangga menalak Medina.”

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 81

    ”Enggak, Mas. Aku nggak setuju. Mas ini keterlaluan! Masalah segitu aja dibesar-besarkan,” ujar Hasna dengan napas memburu cepat. ”Bukan dibesar-besarkan, Hasna. Tapi memang masalahnya besar, kok. Suamimu dan iparmu itu sudah merugikan Masmu. Masa kamu masih mau membelanya,” sahut Ibu. Hasna memalingkan wajah. Seketika air matanya mengaliri pipi. Dia selalu saja begitu. Akan menangis untuk menarik simpati. ”Nggak usah menangis, Hasna. Air matamu tak akan mengubah keputusan mas,” ujarku. ”Mas, pikirkan nasibku dong. Nasib ponakan-ponakanmu,” balas Hasna. ”Iya betul, Hangga. Jangan mengedepankan emosi,” timpal Mas Haris. Aku berdecak pelan. Lucu sekali Mas Haris. Padahal selama ini dia lah yang sering mengedepankan emosi dan ego. ”Maafkan mas, Hangga. Mas melakukan ini juga karena tuntutan Mbakmu. Dia terlalu banyak permintaan. Sementara cicilan kami masih bany

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 80

    "Kamu...." Aku menatap sengit lelaki selingkuhan Naira itu. "Apa kabar, Pak Hangga?" ujarnya santai sambil mengulurkan tangan. "Baik." Aku menjawab tanpa menyambut uluran tangannya. Aric. Lelaki tampan bertubuh atletis itu lantas menarik tangannya. Lalu mengedarkan. pandangan ke sekeliling. "Kebetulan kita bertemu di sini, Pak Hangga. Ada yang mau saya bicarakan sama Anda. Bisa kita bicara sebentar, Pak Hangga?" tanyanya. Aku menatapnya penuh selidik. Mau membicarakan apa? Pamer perselingkuhannya dengan Naira? "Saya mau meluruskan kekeliruan selama ini, Pak. Tentang hubungan saya dengan Khaira," sambungnya. Aku tersenyum sinis. Lihat, dia bahkan mempunyai panggilan khusus untuk mantan istriku itu. "Saya yakin bapak akan menyesal kalau tahu yang sebenarnya." Dia benar-benar cerewet! Aku menghela napas panja

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 79

    Tampaknya, kali ini Medina benar-benar marah. Waktu isya sudah berlalu, dan belum ada tanda-tanda kepulangannya. Untung saja Meisya masih terlelap dalam tidurnya. Untung juga Meisya tak hanya meminum Asi saja. Jadi tak masalah jika tak ada Medina.Suara salam, membuatku beranjak dari sofa. Membukakan pintu dan mendapati Ibu berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang aneh.”Ada apa, Bu?” tanyaku. Ibu tak langsung menjawab, Hanya sedikit menggeser tubuhku. Lalu masuk dan duduk di sofa.”Mana Medina?” tanyanya sambil meliarkan pandangan ke sekeliling.”Nggak tau. Tadi dia merajuk gara-gara kusuruh masak,” jawabku. Ibu tampak tersenyum kecut.”Ibu lihat dia di kafe baru deket mini market. Sama laki-laki,” ujarnya membuat mataku terbelalak. Benarkah? Tapi sesaat setelah melahirkan, Medina sudah janji tak akan menduakanku. ”Coba kamu samperin sana!” serunya. Aku mengembuskan napas kasar.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status