Share

Bab 2

Author: Fatimah
last update Last Updated: 2024-10-20 18:09:53

“Aku hanya ingin sesuatu yang sulit kamu kabulkan. Aku ingin keturunan.“

Aku menggeleng cepat mendengarnya. Menggigit bibir seraya mendorongnya menjauh. Menatapnya nanar seraya meredam tangis dengan membekap mulut.

“Bukannya kamu sendiri yang bilang, akan menerimaku apa adanya, dengan atau tanpa anak, Mas?“ Aku menarik napas sejenak, “dan kamu sendiri yang bilang kalau anak itu hak prerogatif Allah. Kita hanya perlu berdoa dan ikhtiar sewajarnya? Tapi kenapa ...“ lanjutku yang terhenti karena rasa sesak yang berkelindan di hati.

Keturunan. Seperti lazimnya kebanyakan pasangan, aku pun menginginkannya. Bahkan sangat. Namun, setelah tiga kali menjalani program kehamilan lalu hamil dan berakhir di meja operasi, semua keinginan itu terpaksa kukubur.

Bukan karena keterbatasan dana, tapi karena alasan yang dilontarkan Mas Hangga dan keluarga. Mas Hangga bilang, dia tak tega melihatku kesakitan acapkali menjalani program kehamilan. Dia juga bertekad menerimaku apa adanya, baik dengan ataupun tanpa keturunan.

Sementara alasan keluarga  Mas Hangga berbanding terbalik. Alih-alih membesarkan hatiku, mereka justru membunuh mental ini secara perlahan dengan cara menghina dan mencemooh. Mengatai aku mandul, perempuan penyakitan, menghabiskan harta suami dan masih banyak lagi. Maka sejak saat itu, aku pun hanya melakukan ikhtiar dengan bahan seadanya bukan melalui jalur medis. 

“Maaf, Ra ... Maaf. Aku minta maaf,“ katanya dan aku hanya  pasrah saat dia memeluk tubuh ini. Dalam nestapa yang merundung atma, kutinju pelan dadanya dan kembali menangis selepas-lepasnya.

“Sakit, Mas ... Sakit,“ ujarku di sela tangis yang terus mengguyur.

“Maafkan aku, Ra. Tapi kamu sendiri tahu kan, Ibu sangat mengharapkannya. Ibu mau cucu dariku, dari anak lelaki satu-satunya ini,“ katanya.

“Lagipula benar kata Ibu, aku butuh penerus dan penjamin di masa tua nanti,“ lanjutnya. Aku meringis mendengarnya. Kejutannya bertubi-tubi yang diberikannya membuat hatiku seakan disayat lalu ditaburi garam. Sakit dan perih.

Bodoh! Aku merutuki diri yang selama ini terlalu mempercayai dan mencintainya. Bahkan selama ini janjinya, lebih tepatnya tekad Mas Hangga, selalu kujadikan mantra tiap kali ibu mertua dan para ipar menghajar mental habis-habisan. Andai tahu dia akan menikah lagi, sudah tentu sejak lama kupilih pisah darinya. Bukan sekarang, di saat perasaan untuknya tumbuh lebat dan mengakar.

Aku bergeming sejenak, memikirkan apa kira yang harus kulakukan. Setelah cukup bisa mengontrol diri, aku menguraikan pelukannya. Lalu menatapnya lekat-lekat.

“Ceraikan aku, Mas!“

Matanya langsung membulat sempurna. Disertai deru napas yang memburu, dia balik  menatapku tajam.

“Jangan macam-macam, Naira! Sampai kapanpun aku takkan melepasmu!“ sentaknya dengan suara yang tinggi. Membuat tangisku reda seketika dan tubuh bergetar saat matanya menatap tajam. Entah kenapa, raut wajahnya kini terlihat sangat menyeramkan. 

“Dengar baik-baik, Naira! Sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu, bila kamu ngotot ingin pisah dariku ... makan akan kupastikan kamu akan  menderita!“

“Mas!“

Aku memekik keras.

“Kamu egois, Mas! Kamu egois dan tak punya hati. Kenapa mau mempertahankan aku, sementara sudah ada dia sudah jelas mengandung anakmu?“ lanjutku dengan suara bergetar dan air mata yang kembali jatuh.

 Namun Mas Hangga tak sempat menyahut, karena terdengar pintu terbuka, disusul derap langkah mendekat. Ibu mertua masuk diikuti Paman Ismail dan Bibi Tanti juga perempuan yang konon tengah mengandung anak Mas Hangga. Sepertinya Mas Hangga yang menyuruh mereka datang ke rumah kami.

“Kamu sudah sadar, Naira?“ Bibi Tanti mendekat lalu tangannya bergerak hendak menyentuh kening ini, tapi segera.

“Naira ...“ ujarnya tampak kaget.

“Naira, apa mau Bibi panggilkan dokter?“ tanyanya. Aku menggeleng cepat. Mengalihkan pandangan, tak ingin menatap mereka yang kusayangi ternyata telah mengkhianati tanpa ampun.

“Sudahlah, Jeng ... nggak usah dibujuk-bujuk. Naira sudah dewasa, biarkan dia berbuat semaunya,“ sahut ibu dengan santainya. Aku menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Jika dia bukan ibu mertuaku dan bukan orangtua, ingin sekali kujejali mulutnya dengan uang. Biar tak bicara seenaknya.

“Naira ...“ panggil Paman Ismail. Mas Hangga yang duduk di sampingku, langsung beranjak menjauh. Membiarkan waliku itu menggantikan posisinya.

“Naira ... Maafkan Paman, Nak,“ ucapnya seraya merengkuh tubuhku.

“Iya, Nak. Maafkan Bibi juga,“ timpal Bibi Tanti.

Tanpa diminta, tangisku kembali pecah. Air mata langsung membasahi kemeja Paman Ismail.

“Maafkan Paman, Naira,“ bisiknya bergetar, tepat di telingaku. 

Aku terdiam, menatapnya bingung saat dia melepas rengkuhannya. Lalu tak lama, Mbal Madina—sepupuku yang entah sejak kapan menjadi maduku—mendekati kami dan mengedarkan pandangannya sesaat. Sementara di belakangnya, Bibi Tanti menatap kami dengan sorot yang sulit dipahami. 

“Maaf, kalau boleh Dina ingin bicara empat mata dengan Naira,“ katanya. 

“Tidak usah, Sayang. Nanti biar Mas saja yang bicara dengan Naira,“ sahut Mas Hangga. Membuat air mata semakin mengalir deras dan degup jantungku seakan berhenti, mendengar panggilan kepada istri barunya itu. Panggilan yang dulu pernah kuinginkan, tapi selalu dia tolak dengan alasan lebay.

“Benar kata Hangga. Lebih baik sekarang kamu pulang dan istirahat, calon cucu Ibu butuh ketenangan,“ timpal Ibu.

“Ta-tapi—“

“Jangan bantah ibu mertuamu, Nak. Manut, ya! Kita pulang sekarang,“ potong Bibi Tanti sambil merangkul bahu putrinya itu. Sedangkan Paman Ismail hanya bergeming, seakan enggan meninggalkanku. Tapi kemudian dia beranjak berdiri saat Bibi Tanti menatapnya cukup lama.

“Ayo, Pak!“

Paman Ismail mengangguk dan menatapku dengan senyuman sangat tipis. Lalu mengusap puncak kepala ini.

“Maafkan paman, Naira. Maaf,“ ucapnya. Aku menggeleng tak mengerti, tapi Paman Ismail lagi-lagi hanya tersenyum tipis.

Kutatap kepergiaan adik kandung ayah itu dengan nanar. Lalu mengusap wajah dengan kasar, saat pintu tertutup. Meninggalkanku berdua saja dengan Mas Hangga.

“Kamu mau kan memaafkan aku dan menerima sepupumu sebagai madumu?“ 

Tiba-tiba Mas Hangga berjongkok di hadapanku sambil meraih tanganku. Air mata yang sempat reda, kini mengalir lagi.

“Sudah, jangan menangis lagi. Mulai detik ini kamu hanya perlu nurut dan aku janji akan berbuat adil padamu dan Medina,“ katanya sambil menyodorkan tempat tisu padaku. 

“Maaf kalau aku menyakitimu. Tapi jujur, aku bingung harus berbuat apa. Karena aku yakin kamu takkan mengizinkan jika bilang dari awal,“ lanjutnya dan aku dapat melihat matanya yang tampak berkaca-kaca. 

“Tolong jangan minta pisah, Naira. Karena sampai kapanpun aku takkan mengabulkannya.“ Dia mengecup jemariku.

“Hangga ... Antar dulu Medina pulang.“ Tiba-tiba Ibu masuk, membuat Mas Hangga segera melepaskan tangannya lalu mengangguk dan mengambil kunci di atas nakas.

“Titip Naira ya, Bu,“ katanya sambil mengusap pundakku. Ibu menatapku dan tersenyum sinis.

“Harusnya Ibu yang bilang begitu padamu, Hangga. Titip Medina, dia sedang hamil anakmu sekaligus cucu Ibu,“ katanya. Aku segera mengalihkan pandangan dan meremas spreai dengan kuat, berharap amarah pergi dengan sendirinya.

“Sudahlah nggak usah mewek terus, Naira. Karena percuma saja. Air matamu itu takkan mampu mengubah nasib burukmu,“ cetusnya sambil duduk di sampingku.

"Satu lagi ... terimalah Medina sepupumu dengan hati terbuka dan berdoalah supaya kelak kamu seberuntung sepupumu itu,“ tambahnya disertai seringai tipis sambil melenggang keluar dari kamar.

Related chapters

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 3

    Malam semakin renta. Kutegakkan punggung yang terasa pegal karena terlalu lama duduk. Setelah kejutan bertubi-tubi yang diberikan Mas Hangga, aku kesulitan memejamkan mata. Hingga akhirnya menghabiskan berjam-jam lamanya di depan laptop, menonton drama Korea romantis. Berharap bisa membuatku agak lupa dengan kenyataan yang tengah dihadapi.Mas Hangga sendiri sepertinya takkan pulang. Tadi aku sempat membuka ponsel, tapi tak ada satu pun pesan maupun panggilan darinya. Namun pemberitahuan status Mbak Madina, menguatkan pradugaku kalau Mas Hangga takkan pulang.[Malam terindah bersamanya. Makasih Abi Sayang.]Begitulah caption yang dibubuhkannya pada sebuah foto Mas Hangga yang tengah menunggu di dekat angkringan pecel lele. Melihatnya membuat dada seakan terbakar dan air mata kembali tumpah, hingga akhirnya kuputuskan mematikan ponsel dan menyimpannya di dalam laci.Aku menghela napas dalam-dalam, saat samar terdengar suara azan awal. Kumatikan laptop dan menyeret langkah ke luar. Ke t

    Last Updated : 2024-10-20
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 4

    “Kamu mendengarnya, Naira?“ tanyanya tampak terkejut.Aku hanya tersenyum tipis dan segera menghalau tubuhnya yang menghalangi langkahku. Lalu beranjak membuka lemari, memilih outfit yang cocok dikenakan sore nanti.“Apa yang kamu dengar, tak sesuai dengan apa yang kamu bayangkan, Ra.“Gerakan tanganku terhenti mendengar ucapannya yang sungguh menggelitik. Aku memang tak tahu isi hatinya tapi ucapannya sudah cukup membuatku mengerti.“Memangnya apa yang kubayangkan?“ tanyaku geli.Mas Hangga terdiam.“Tak usah berbohong untuk menutup kebohonganmu yang lain, Mas. Karena semua itu hanya membuatku semakin tak mempercayaimu dan membuat keadaan semakin rumit,“ sahutku sambil menarik tunik baby blue dan celana jeans navy.“Loh kamu mau kemana?“ tanyanya seakan mengalihkan pembicaraan sebelumnya.“Aku mau hang out sama Meera, Cantika dan Adila,“ jawabku sambil menoleh padanya.“Tidak, Ra. Aku tidak mengizinkan,“ katanya sambil menggelengkan kepala.“Kenapa memangnya? Karena mereka nggak ber

    Last Updated : 2024-10-20
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 5

    “M-mas ...““Nelepon siapa kamu?“ tanyanya sambil berjalan tergesa menghampiri. Lalu di detik berikutnya, dia merebut ponsel di tanganku.“Jangan pengaruhi istriku.“ Dia berkata tajam, membuat atmosfer kamar berubah mencekam. Aku menelan ludah dengan payah saat telepon diputus dan pandangan kami bersirobok.“Kamu bilang apa sama mereka?“ tanyanya. Aku menggeleng, “ti-dak. Aku tidak bilang apa—““Bohong!“ sentaknya membuatku spontan meremas sprei. Lalu memejamkan mata saat merasakan jemari panjangnya menyentuh daguku.“Jangan berani membohongiku, Naira,“ ujarnya dingin. Aku membuka mata dan sontak membeliak saat ponsel milikku dibanting dengan kasar.“Mas!“ teriakku tak terima. Kutepis tangannya dan buru-buru memunguti benda pipih yang layarnya sudah pecah. Gegas, kutekan tombol power, berharap masih menyala. Tapi hingga beberapa menit menunggu, layarnya tetap saja gelap.Aku pun bangkit berdiri. Menatapnya nyalang sambil meremas ponsel.“Puas kamu, Mas? Puas?“ teriakku. Mas Hangga han

    Last Updated : 2024-10-20
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 6

    “Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih.“Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna.Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang. “Benar begitu, Naira?“ “Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku.“Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman. Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya.“Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—““Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langs

    Last Updated : 2024-12-13
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 7

    “Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami. Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.Tak ada istilah pacaran untuk hubungan

    Last Updated : 2024-12-14
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 8

    “Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l

    Last Updated : 2024-12-15
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 9

    Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk

    Last Updated : 2024-12-16
  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 10

    “Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku

    Last Updated : 2024-12-17

Latest chapter

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 34

    “Maaf, Naira. Aku sungguh minta maaf,“ ucapnya. Tapi entah, tak kudengar ketulusan dari suara maupun sorot matanya. “Simpan saja maafmu, Mas! Bosan aku mendengarnya. Sekarang katakan ... Apa lagi yang harus kulakukan?“ sindirku. Mas Hangga langsung menunduk, di menit selanjutnya, tangannya membuka map yang sedari tadi tergeletak di sampingnya.“Ada beberapa berkas yang membutuhkan tanda tandangmu,“ katanya.“Berkas apa?“ tanyaku dengan mata memicing. Netra pun sontak meliar.“Mas!“ “Aku akan menjual grosir di Jalan Haji Saleh,“ jawabnya. “Serius?“ Aku membulatkan mata tak percaya. Karena selama ini, perkembangan toserba cabang pertama itu cukup pesat.“Untuk apa kamu menjualnya? Jangan bilang kalau kamu terus merugi,“ tudingku. Dia langsung menggeleng.“Aku butuh uang untuk resepsi dan renovasi rumah Ibu, Ra,“ jawabnya.“Wow ...“ Aku bertepuk tangan p

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 33

    “Pertanyaan bodoh! Jelas aku mau cerailah, Ric. Tapi dia tidak mau, alasannya dia yakin bisa berlaku adil,“ jawabku sebal. Dia terkekeh geli.“Emang dasar buaya. Nggak cukup di satu tempat,“ cetusnya.“Dan kamu juga sama saja, Ric.“ Aku menyahut datar.“Sama gimana?“ tanyanya.“Ya sama. Kamu juga suka godain dan php-in pegawai toko sebelah kan?“ balasnya membuatnya tergelak.“Godain aja kok, nggak pake hati. Cuma mereka saja yang geer dan baperan,“ sahutnya santai. Membuatku bergidik.“lagian aku belum nikah, Khai. Jadi wajar saja,“ sambungnya. Aku memutar bola mata malas. “Sama saja. Dasar Playboy!“ umpatku. Dia pun langsung terbahak.“Aku tuh sebenarnya setia, Khai. Hanya saja, perempuan yang kucintai sulit kujangkau, jadi aku cari pelarian ke yang lain,“ katanya. Aku mengerjap tak percaya mendengarnya.“Gila! Benar-benar buaya kamu, Ric.“ Aku bergumam pelan, tapi lagi-lagi reaksi

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 32

    Aric menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, dia datang dengan wajah sumringah. Aku yang sedari tadi menunggu pun segera menghampirinya. Lalu membiarkannya merangkul bahu ini.“Kita belanja dulu atau makan dulu?“ tanya sambil membukakan pintu mobil. Aku terdiam sejenak. “Makan dulu deh. Tapi makannya di luar saja, jangan di rumahku. Capek banget ini badan,“ jawabku.Sudah tiga hari ini, Aric selalu makan di rumahku. Walau dengan menu sederhana, tapi tetap saja butuh tenaga untuk mengolahnya. Sementara hari ini, tubuh terasa sangat lelah. Pengunjung siang tadi membludak, membuat kami kewalahan melayani.“Oke, kita makan di luar saja. Kita cari resto dekat supermarket,“ sahutnya sambil menoleh dan tersenyum padaku..Setelah mengantarku untuk shalat magrib, Aric membawaku ke restoran cepat saji dekat supermarket. Sambil menunggu pesanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mata sontak terbelalak melihat Mas Hangga ada di meja yang tak begitu jauh dari kami.“

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 31

    “Jangan anggap aku sebagai orang asing, Khai. Karena aku masih Aricmu yang dulu,“ lanjutnya. “Ya ya ya.“ Aku menyahut sambil memutar bola mata dan dibalasnya dengan senyuman lebar juga sentuhan di puncak kepala.Setelah itu dia banyak menceritakan hal-hal konyol di kehidupannya, yang membuatku tak bisa untuk menahan tawa.“Nah, gitu dong. Kamu makin cantik pas ketawa.“Ucapannya sontak membuat tawaku berhenti seketika. Lalu tersenyum kaku dan memutus kontak mata di antara kami..“Jadi sekarang kamu pindah ke sini, Khai?“ tanyanya saat mobil sudah berhenti tepat di depan rumahku.“Iya, Ric. Mau mampir?“ ujarku basa-basi sambil melangkah keluar dari mobil.“Punya apa kamu, nawari aku mampir?“ tanyanya.Aku pun tersenyum nyengir. Merasa terjebak ucapan sendiri, karena ternyata dia keluar juga dari mobil dan menghampiriku.“Kamu mau

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    bab 30

    “Ada apa?“ tanyanya. Aku menggigit bibir, lalu mengembuskan napas pelan.“Aku tidak apa-apa. Hanya ucapanmu tadi membuatku tersentil. Mungkin benar apa yang kamu katakan, Mas Hangga menyukai—““Sssttt! Jangan bicara seperti itu, Khai. Maaf kalau ucapanku tadi menyinggungmu. Tadi aku hanya bercanda, tak ada maksud lain,“ potongnya.“Kalaupun bukan bercanda, aku terima, Ric. Memang benar kok, Mbak Medina punya banyak kelebihan yang tidak kumiliki. Wajar saja kalau suamiku sampai tergila-gila padanya,“ sahutku sambil mengerjap dan lekas melepaskan cekalannya. Lalu berlari menghampiri Mbak Tetty yang sedari tadi seperti mengamati kami.“Ada apa?“ Benar saja dugaanku. Begitu masuk, dia langsung bertanya. Aku hanya menggeleng pelan dan buru-buru mengambil pouch kosmetik.“Mbak, kalau ada tukang kue cubit nganterin pesananku, tolong terima ya. Aku mau ke toilet dulu,“ ujarku.“Siap.“ Dia menjawab

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 29

    “Selingkuh yuk, Khai.“Aku terbelalak tak percaya mendengarnya.“Kamu waras kan, Ric?“ ujarku geli sambil menarik tangan yang masih dipegangnya. Lalu menyebrang jalan lebih dulu.“Hei, tunggu!“ Aku tersenyum mendengar seruannya sambil buru-buru melangkah.“Jalanmu cepat banget, Khai,“ keluhnya saat kami sudah di depan tukang bakso.“Pak, komplit satu, ya!“ Tanpa menjawab pertanyaannya, aku menghampiri tukang bakso yang tersenyum ramah.“Dua dong, Khai. Kamu kok tega sama aku,“ sahut Aric. Membuat tukang bakso mengulum senyum.“Iya deh iya. Dua ya, Pak,“ ralatku.“Siap, Neng. Sebentar biar Bapak siapkan kurs—“"Nggak usah, Pak. Saya mau lesehan saja.“ Aku menyela sambil melangkah ke teras toko. Duduk di sana beralaskan dus bekas.“Nggak di bangku, Khai?“ tanya Aric.“Enggaklah. Kalau kamu mau, silahkan,“ jawabku. Tapi Aric malah menggeleng dan duduk di hadapanku.“Gimana kabarmu, Khai? Terakhir ketemu kan kamu lagi galau,“ katanya sambil mengangguk pada tukang bakso yang memberikan g

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 28

    “Bajumu ...“ ucapnya menggantung dan membuatku sontak menutup bagian dada dengan tangan. Aric pun terkekeh. Lalu melangkah, mengikis jarak di antara kami sambil membuka kancing kemejanya.“Kamu mau ngapain?“ tanyaku sambil meliarkan pandangan ke sekeliling yang masih sepi. Karena memang toko dibuka sekitar satu jam lagi.“Aric ...“ ucapku saat dia melepas kemejanya, sambil melangkah mundur hingga akhirnya terhenti karena mentok di rak kain. “Aric!“ teriakku. Dia pun terkekeh ringan, lalu menyerahkan kemejanya padaku.“Apa yang kamu pikirkan, Khai? Apa kamu pikir, aku akan ...“ katanya sambil memainkan alis. Aku sontak mendelik tajam. Dia pun tergelak.“Ganti bajumu dengan kemejaku, Khai,“ ujarnya.Hah? Aku mengerjap tak percaya. Hendak menggeleng, tapi Aric segera menyela.“Pakailah, Khai. Itu bajumu basah dan bikin orang sala

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 27

    Aku tiba di rumah baru tepat di saat azan magrib berkumandang. Dibantu pemilik mobil, aku memasukkan semua barang dan perabot ke ruang tamu. Setelah itu gegas menunaikan shalat dan membuka ponsel yang sedari pagi tak tersentuh. Ada banyak pesan dari grup. Membahas pernikahan Cantika yang akan digelar sekitar dua minggu lagi dan aku hanya meringis membaca pesan terbaru dari Meera.[Gue bakal datang sama Ken.] pesannya.[Aku insya Allah sama Mahesa.] balas Adila.[Kok Lo pada tega amat sih?][kalau Lo pada bawa pasangan, kasihan Naira dong. Si Hangga mana mau dibawa ke kondangan gue.] balas Cantika.[Hehehe, iya sih. Tapi Ken posesif. Dia gak ngizinin gue sendirian ke kondangan. Takut digoda cowok lain katanya.] Meera membalas.[Mahesa juga gitu. Makin dekat ke lamaran, tingkahnya makin nyebelin.] balas Adila.Aku tersenyum membaca semuany

  • KAU MENDUA AKU PUN SAMA    Bab 26

    “Sebelum pindah, kita ke rumah Ibu dulu, Ra,“ kata Mas Hangga saat aku tengah menyapukan bedak pada wajah.“Ngapain?“ tanyaku ketus.“Kamu nanya ngapain? Ya kita minta restu dan doanya lah. Dia Ibuku, aku takkan jadi seperti ini kalau bukan karena jasanya. Kalau aku nggak ada uang, kamu nggak akan bisa beli rumah,“ katanya.Aku hanya membulatkan bibir. Malas meladeninya. Lagian apa hubungannya rumah yang kubeli dengan Ibu? Toh rumah itu dibeli dengan uang warisan Ayah, uang setara mahar, uang untuk sewa rumah dan ... Hasil penjualan cincin mereka.“Kenapa cuma oh?“ tanyanya terdengar geram.“Terus aku harus jawab apa?“ tanyaku balik. Dia langsung menggeram. “Kamu ini benar-benar mengujiku, Naira. Makin ke sini bukan hanya penampilanmu yang berubah, tapi sifatmu juga. Kamu jadi kasar dan urakan.““Oh ya?“ Aku memutar bola mata. Dia hanya diam, hanya dadanya saja yang naik turun.“Cepatlah! Mau atau tidak, pokoknya kita harus ke rumah Ibu dulu,“ katanya, kali ini dengan suara lembut.“

DMCA.com Protection Status