Malam semakin renta. Kutegakkan punggung yang terasa pegal karena terlalu lama duduk. Setelah kejutan bertubi-tubi yang diberikan Mas Hangga, aku kesulitan memejamkan mata. Hingga akhirnya menghabiskan berjam-jam lamanya di depan laptop, menonton drama Korea romantis. Berharap bisa membuatku agak lupa dengan kenyataan yang tengah dihadapi.Mas Hangga sendiri sepertinya takkan pulang. Tadi aku sempat membuka ponsel, tapi tak ada satu pun pesan maupun panggilan darinya. Namun pemberitahuan status Mbak Madina, menguatkan pradugaku kalau Mas Hangga takkan pulang.[Malam terindah bersamanya. Makasih Abi Sayang.]Begitulah caption yang dibubuhkannya pada sebuah foto Mas Hangga yang tengah menunggu di dekat angkringan pecel lele. Melihatnya membuat dada seakan terbakar dan air mata kembali tumpah, hingga akhirnya kuputuskan mematikan ponsel dan menyimpannya di dalam laci.Aku menghela napas dalam-dalam, saat samar terdengar suara azan awal. Kumatikan laptop dan menyeret langkah ke luar. Ke t
“Kamu mendengarnya, Naira?“ tanyanya tampak terkejut.Aku hanya tersenyum tipis dan segera menghalau tubuhnya yang menghalangi langkahku. Lalu beranjak membuka lemari, memilih outfit yang cocok dikenakan sore nanti.“Apa yang kamu dengar, tak sesuai dengan apa yang kamu bayangkan, Ra.“Gerakan tanganku terhenti mendengar ucapannya yang sungguh menggelitik. Aku memang tak tahu isi hatinya tapi ucapannya sudah cukup membuatku mengerti.“Memangnya apa yang kubayangkan?“ tanyaku geli.Mas Hangga terdiam.“Tak usah berbohong untuk menutup kebohonganmu yang lain, Mas. Karena semua itu hanya membuatku semakin tak mempercayaimu dan membuat keadaan semakin rumit,“ sahutku sambil menarik tunik baby blue dan celana jeans navy.“Loh kamu mau kemana?“ tanyanya seakan mengalihkan pembicaraan sebelumnya.“Aku mau hang out sama Meera, Cantika dan Adila,“ jawabku sambil menoleh padanya.“Tidak, Ra. Aku tidak mengizinkan,“ katanya sambil menggelengkan kepala.“Kenapa memangnya? Karena mereka nggak ber
“M-mas ...““Nelepon siapa kamu?“ tanyanya sambil berjalan tergesa menghampiri. Lalu di detik berikutnya, dia merebut ponsel di tanganku.“Jangan pengaruhi istriku.“ Dia berkata tajam, membuat atmosfer kamar berubah mencekam. Aku menelan ludah dengan payah saat telepon diputus dan pandangan kami bersirobok.“Kamu bilang apa sama mereka?“ tanyanya. Aku menggeleng, “ti-dak. Aku tidak bilang apa—““Bohong!“ sentaknya membuatku spontan meremas sprei. Lalu memejamkan mata saat merasakan jemari panjangnya menyentuh daguku.“Jangan berani membohongiku, Naira,“ ujarnya dingin. Aku membuka mata dan sontak membeliak saat ponsel milikku dibanting dengan kasar.“Mas!“ teriakku tak terima. Kutepis tangannya dan buru-buru memunguti benda pipih yang layarnya sudah pecah. Gegas, kutekan tombol power, berharap masih menyala. Tapi hingga beberapa menit menunggu, layarnya tetap saja gelap.Aku pun bangkit berdiri. Menatapnya nyalang sambil meremas ponsel.“Puas kamu, Mas? Puas?“ teriakku. Mas Hangga han
“Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih.“Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna.Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang. “Benar begitu, Naira?“ “Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku.“Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman. Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya.“Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—““Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langs
“Andai saja dulu Lo nikah sama Abang gue, Nai. Mungkin nasib Lo nggak semiris ini,“ katanya membuat tubuhku menegang seketika.“Nggak usah berandai-andai, Meer. Karena dulu juga aku pernah memimpikannya,“ sahutku ketus.Meera tersenyum nyengir, “bercanda, Nai.“Aku hanya tersenyum pahit dan mengembuskan napas kasar. Makin sesak saja hatiku gegara Meera menyinggung kakaknya itu.Dulu, lebih tepatnya saat kami masih duduk di kelas dua belas, Meera mengenalkan Abangnya pada kami—aku, Cantika dan Adila. Lelaki bernama Rio yang usianya enam tahun di atas kami. Awalnya kukira hanya kenalan biasa, tapi ternyata tidak. Perkenalan kami berlanjut. Bang Rio meminta kontakku. Lalu kami selalu bertukar kabar, saling memberi perhatian dan sesekali mengobrol saat aku ke rumahnya. Hampir setiap malam, dia juga menelepon. Meski ... harus bisik-bisik, karena jika ketahuan, Bibi Tanti akan mengambil ponselku. Semua itu jelas menumbuhkan perasaan lebih di hati ini.Tak ada istilah pacaran untuk hubungan
“Menurut gue ...“ ucapnya menggantung. Kami menatapnya penasaran. Terlebih melihat raut wajah seriusnya.“Menurut gue ... Lo harus berubah, Nai. Lo harus mandiri, glow up dan se-ling-kuh.“Jawabannya membuat bola mata kami membulat sempurna.“Gila ya, Lo?“ Cantika berteriak lantang sambil melempar bantal ke Meera. Sementara Adila hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa garing.“Bercanda kamu nggak lucu, Meer!“ serunya.Sementara aku hanya diam saja dan menyandarkan kepala pada tembok. Karena rasa pusing yang belum kunjung hilang.“Apa ucapan gue terdengar kek lawakan?“ Meera memicingkan mata. Melirik kami bertiga bergantian. Aku menggeleng cepat, sedangkan Cantika dan Adila hanya mengangkat bahu.Meera mengembuskan napas kasar. Lalu memasang wajah serius. “Salahsatu faktor suami selingkuh itu karena istrinya sudah membosankan. Dan sorry banget ya, Nai ... menurut gue, keknya si Hangga nikah lagi bukan karena faktor keturunan saja, tapi karena Lo kurang menarik,“ katanya membuatku l
Dinginnya udara pagi menemani perjalanan kembali ke rumah. Setelah menginap semalam, pagi ini, Meera mengantarku pulang. Bukan tanpa alasan, aku takut Mas Hangga menyadari kalau istrinya ini pergi dari rumah.“Serius mau turun di sini?“ tanya Meera, saat mobil berhenti tepat di gapura pemukimanku.“Iya, Meer.“ Aku menjawab singkat, sembari meraih tangannya dan kami pun berpelukan sesaat.“Oke deh. Kalo ada apa-apa, hubungi gue, Cantika atau Dila,“ katanya. “Sip.“ Aku mengacungkan jempol sambil bergegas turun lalu melambaikan tangan.“Hati-hati.““Oke.“Gontai kususuri jalanan pemukiman sambil menatap ponsel di genggaman. Ponsel pinjaman Cantika. Lalu tubuhku pun mematung sejenak tepat di depan warung sayur milik Ceu Elis. Di mana ada Ibu, Mbak Hanin, Mbak Nena, Hasna dan ... Mbak Medina. Mereka tampak memilih sayuran sambil bercengkrama.“Jadi Neng Naira itu selingkuh?“Aku menajamkan pendengaran saat suara Ceu Elis menyahut lantang. Dengan ragu dan dada berdegup kencang, aku melangk
“Aku akan menandatanganinya tapi dengan beberapa syarat,“ kataku sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Syarat?“ gumamnya.“Iya, Mas. Kalau kamu bersedia, aku akan menandatanganinya. Bahkan bila perlu, aku akan menyiapkan pesta resepsi untuk pernikahan kalian,“ ujarku dan tubuhnya pun menegang seketika.“Ma-maksudnya gimana, Ra? Aku nggak ngerti,“ katanya yang menurutku hanya kepura-puraannya saja. Karena meski bibirnya tak melengkung, tapi riak wajah dan matanya jelas bertolak belakang.“Aku akan tandatangani tapi dengan syarat dan bila Mas mau, aku akan mempersiapkan resepsi pernikahan kalian,“ jelasku lagi sambil menatap lurus ke cermin di lemari pakaian. Berat sebenarnya mengatakan halnya, karena bagaimana pun, rasa untuknya masih terpatri di hati ini. Tapi demi tercapainya rencana, terpaksa kutenggelamkan perasaan ini. Menahan sakit yang semakin merongrong jiwa.“Kamu bercanda kan, Ra?“ Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah dengan raut terkejut juga ... Sumringah. Aku
Naira mengeratkan rahangnya. Ketika ingin menyanggah, dengan cepat Sean menggandeng tangannya. Membawanya menghampiri si kembar. “Hai, Jagoan!“ Sean menyapa si kembar. Membuat kedua bocah itu langsung membalikkan badan. “Om Sean!“ Razka langsung memekik kaget bercampur senang. “Hai, Razka.“ Sean menyahut tersenyum. Lalu mengulurkan tangan. Melakukan kebiasaan setiap kali bertemu. Berjabat tangan dan ber-tos ria. Sementara Shaka hanya mendelik dengan wajah datarnya. Dibanding Razka, dia memang tak begitu dekat dengan Sean. Bahkan seringkali memasang wajah masam saat bertemu. “Hai, Shaka.“ Sean beralih menatap Shaka sambil mengulurkan tangan. Shaka menyambutnya singkat tanpa senyuman. “Om mau ngapain ke sini? Jangan ganggu momen kami dulu, Om. Hari ini harinya Mommy sam
“Oke.“ Naira menyahut lesu. Lalu mematikan panggilan lebih dulu dan mengembalikan ponsel itu pada Bu Anya. “Kenapa? Ribut lagi?“ tanya Rio sambil melirik Naira dari kaca depan. Naira tak menjawab, hanya tersenyum nyengir. “Udahlah putus aja, Nai. Belum jadi suami aja udah begitu. Apalagi kalau nanti udah jadi suami,“ sambung Rio. Dia ikut kesal dengan sikap Sean yang menurutnya lebay. “Nggak usah ngompor-ngomporin. Wajar Sean begitu. Itu tandanya dia cinta sama Naira.“ Naira tersentak kaget mendengar ucapan Bu Anya. Begitupun dengan Alisa dan Rio. Namun ketiganya hanya bergeming, tak berani menyanggah. “Kamu itu harusnya mendukung hubungan Naira dan Sean. Nggak usah mengharapkan Aric yang nggak pasti. Masalah protektif gitu, ya wajar. Namanya juga orang udah tunangan,“ ujar Bu Anya. Naira seketika menunduk sambil mencengkram tab
Naira tersenyum kecut mendengar ucapan Bu Anya. Batinnya meronta. Ingin dia mengatakan kalau hubungannya dengan Sean tak seperti hubungan sepasang kekasih pada umumnya. Dimulai dari Bu Annisa yang memintanya menemani Sean di acara pernikahan sepupunya. Awalnya Naira menolak. Tapi melihat Bu Annisa yang memohon-mohon, Naira pun terpaksa menyanggupinya. Siapa sangka, setelah acara selesai, Sean malah menyatakan perasaannya pada Naira di depan keluarga besarnya. Tak tanggung-tanggung, lelaki itu juga mempersiapkan cincin berlian untuknya. Naira tentu saja ingin menolak, tapi lagi-lagi tatapan memelas Bu Annisa membuatnya tak tega. Terlebih melihat wanita paruh baya itu menangkupkan tangan di dada. Akhirnya Naira terpaksa menerika Sean. Hubungan mereka pun mengalir seperti air. Tapi tidak dengan perasaan Naira. Satu tahun berlalu, perasaannya untuk Sean masih belum kunjung tumbuh. Bahkan Naira bern
Masuk ke butik, aku mendapati pemandangan yang membuat bibir ini melengkung tipis. Apa lagi kalau bukan kelakuan Mega dan teman-temannya yang berbisik-bisik sambil meliriknya. Namun aku menghiraukannya. Biarlah mereka mau menilaiku seperti apa. Aku tak peduli. Baru saja menghempaskan bobot di kursi, ponselku berdering. Bu Annisa menelepon. “Nai, tolong kamu temui calon klien kita dari Bali. Katanya sebentar lagi dia nyampe. Kamu ajakin dia ngobrol sambil nunggu saya datang,“ katanya. “Baik, Bu.“ Setelah panggilan terputus, aku menghela napas panjang seraya menyandarkan punggung yang terasa pegal. Tak lama tamu yang dimaksud Bu Annisa pun datang. Dia datang bersama suaminya. Aku bergegas menyambutnya seramah mungkin. Sembari menunggu Bu Annisa, aku pun mencoba menanyakan pakaian apa yang diinginkannya. Ternyata dia ingi
Kami pun melanjutkan aktifitas yang sempat tertunda tadi. Hingga tak terasa, tiga jam berlalu. Calon pengantin pun pamit undur diri, setelah menemukan kain yang cocok juga desain yang dibuat ala kadarnya oleh Bu Annisa. ** Setelah itu, aku dan Bu Annisa, memilih mampir dulu ke kafe. Selain ingin membasahi tenggorokan yang terasa kering. “Kalau ada yang ganti model seperti mereka, Ibu suka bete nggak?“ tanyaku saat kami sedang menunggu pesanan datang. “Bete sih ada, Nai. Tapi masih mending sih daripada gaunnya udah jadi, terus dicancel. Kalau gaunnya udah jadi, nyesek minta ampun,“ jawabnya. Aku menatap dengan mata membulat. “Emangnya pernah kejadian seperti itu, Bu?“ tanyaku. Bu Annisa mengangguk. “Pernah dong. Ya, walaupun mereka udah bayar uang muka, tetep saja ibu rugi, Nai. Soalnya gaun pengantin kan sizenya khusus,“ tuturnya. Aku mengangguk membenarkan. Tak lama
Linata Sulcha. Iseng, aku membuka profilnya. Melihatnya sekilas saja, aku sudah bisa menyimpulkan kalau dia bukan dari kalangan biasa. Selain wajahnya glowing, dia juga mengenakan barang-barang kenamaan dunia. Namun sayang, tak kutemui satu pun fotonya bersama kekasihnya. Hingga jemari ini tertuju pada feed berjudul ‘Love bird’. Dengan rasa penasaran yang cukup tinggi, aku membukanya. Jantung rasanya seperti berhenti saat melihat sosok Aric-lah yang dimaksud dia sebagai kekasih. Bukan hanya satu foto, tapi ada banyak foto Aric di dalamnya. Dengan gaya berbeda tentunya. Tak lama masuk lagi DM dari gadis itu. [Ada banyak foto Mbak di hp kekasihku, dan aku merasa sangat terganggu.] Tak kubalas pesannya, tapi langsung memblokirnya. Tak hanya dia, aku juga langsung mencari akun milik Aric. Lalu memblokirnya juga. ** Gegara DM dari gadis bernama Linata Sulcha
Aku mendengus pelan. Lalu pura-pura berdehem. Seketika, mereka pun menoleh padaku dengan wajah memerah. “Terimakasih, ya,“ ucapku. Mereka lantas saling lirik. “Terimakasih sudah mentransfer pahala buat aku,“ jelasku seraya melewati mereka begitu saja. ** Setelah waktu istirahat habis, aku kembali disibukkan dengan kegiatan baruku. Menerima beberapa panggilan dan mengatur jadwal pertemuan para klien baru dengan Bu Annisa. Ternyata begini rasanya jadi asisten. Lumayan repot. “Nai, sini, Sayang!“ Aku beranjak dari mejaku kala mendengar panggilan dari Bu Annisa. “Sini, duduk!“ titahnya. Aku pun lantas mengempaskan bobot di sampingnya. “Menurut kamu, kira-kira apa ya kurangnya desain ini?“ tanyanya sambil memperlihat hasil desain ballgown. “Apa ya?“ tanyaku seraya memperhatikannya lebih dekat. “Ini calon pengantinnya n
“Ya, kamu benar. Kira-kira pakai apa?“ tanya Bu Annisa. Aku mendekat padanya. “Bisa ditutup dengan kain tile berwarna senada, Bu. Lalu diberi hiasan payet untuk mempercantik bagian tilenya,“ jawabku. Bu Annisa tersenyum. Lalu menyuruhku mengambil sampel tile yang ada di kotak di sudut ruangan. Dia memintaku langsung memprakteknya. Sementara si calon pengantin dan ibunya hanya mengamati saja. Jujur, aku nervous. rasanya seperti sedang ujian saja. Setelah memotong tile berwarna senada, aku pun coba mengaplikasikannya ke gaun itu. Tak lupa dengan payet-payet. “Bagaimana, Rat? Nau?“ tanya Bu Annisa pada calon pengantin dan ibunya. “Oke banget, Tan. Menutup belahan dada, tapi tetap cantik,“ jawab si calon pengantin. Aku tersenyum lega mendengarnya. Setelahnya, Bu Annisa pun memanggil dua orang dari bagian jahit dan payet. ** Hari ini cukup melelahkan. Selep
Setelah perkenalan dengan beberapa pegawai, sekarang di sinilah aku ditempatkan. Di salah satu sudut di ruangan Bu Annisa. Ternyata Bu Annisa bukan hanya memperkenalkanku sebagai desain baru, tapi juga asistennya. Sebuah kejutan luar biasa bagiku yang tak mempunyai basic di bidang ini. “Nai, ini job desk kamu. Dipelajari baik-baik, ya.“ Aku yang tengah membereskan meja tempatku bekerja lekas menerima sebuah diktat yang diberikan Bu Annisa. “Baik, Bu,“ sahutku. “Kalau ada yang nggak kamu pahami, tanyakan saja,“ katanya. “Baik, Bu.“ Aku mengangguk pelan. Bu Annisa pun kembali ke mejanya. Setelah sosoknya berjibaku dengan buku sketsa, aku pun lekas mempelajari job desk. Tadi setelah berkenalan dengan karyawan lain, Bu Annisa bilang, asisten dia sebelumnya resign mendadak karena hamil muda yang mengharuskan bed rest. Sedangkan Bu Annisa butuh asisten dalam waktu cepat. Oleh kar