Byanca sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Dengan tangan bergetar, ia menampar pipi Indira. “Hentikan omong kosongmu!”
Indira memegangi pipinya. Hangat bahkan mungkin sekarang sudah memerah.
“Kalian yang berselingkuh dan pada akhirnya aku yang disalahkan.” Kini gentian, Byanca lah yang meneriaki Indira. Dia belum pernah berpenampilan seperti ini. Kemarahannya tidak bisa ditoleransi.
Indira mengangkat kepalanya. Ia memperlihatkan pipinya pada Byanca kemudian ia mengusapnya perlahan di hadapan Byanca. Ia tersenyum. Itu memang sakit. Ia melihat bahwa Byanca sedang memejamkan mata. Mungkin untuk mengatur emosinya, pikirnya.
Ia menghampiri Byanca kemudian mencekiknya. “Kami tidak pernah mengkhiantimu di belakangmu. Aku bukan wanita perebut suami orang.” Indira berteriak di telinga Indira. Kata-kata itu menusuk kepala Byanca.
“Lalu kamu pikir aku percaya?”
Meski ia terbata-bata tetapi kata-kata i
Jika waktu bisa diputar, dia lebih memilih menghindar. Menjadi pelampiasan bukan suatu menyenangkan. Lihatlah dirinya, apa yang ia dapatkan dari kejadian ini? Orang luar menganggapnya merebut kebahagiaan rumah tangga orang lain. Dalam arti kata berbeda bahwa ia mendapatkan cinta dari Bian, tetapi pada hakikatnya tidak sama sekali. Melihatnya sebagai wanita saja, Bian enggan. Buktinya saat ini, ketika Dewo mengancamnya. Bian hanya diam dan lebih memilih menikmati kesempatan untuk tak berjarak dengan Byanca.Indira ingin batuk darah menyaksikan pemandangan itu. Mungkin memang mati adalah pilihan terbaik. Dulu, orang tuanya meninggalkannya juga mungkin karena mereka tidak mencintainya. Lantas untuk apa lagi ia hidup di dunia? Atas dasar cinta yang seperti apalagi ia punya dan cari. Semuanya tidak ditakdirkan untuk hidupnya.Indira melihat Dewo yang dengan kemarahan memuncak, “Izinkan saya menjadi Byanca sehari saja.”Hidup Byanca begitu sempurna bak put
Byanca memang rumah. Tempatnya kembali berpulang. Tempatnya beristirahat dari lelahnya dunia luar. Tempatnya berteduh dari semua permasalahan yang menghujani. Tempatnya mengumpulkan tenaga kembali. Tetapi permasalahannya saat ini, masih kah Byanca bersedia menjadi rumah baginya? Atau Byanca tetap akan menjadi rumah, hanya saja dia bukan lagi penghuninya bahkan untuk menjadi tamu saja sudah tidak layak. Lagi-lagi di saat Bian melirik Byanca, tatapan mereka bertemu. Pancaran mata yang saling menyampaikan kerinduan. Bohong bila Byanca mengatakan membenci Bian seutuhnya dan tidak ada perasaan sama sekali. Nyatanya, sejak awal melihat Bian kembali, jantungnya berdegup sama seperti pertama kali ia jatuh cinta pada Bian. Hanya saja ia mencoba untuk mengontrolnya karena tak mau terjatuh untuk kedua. Belum lagi kasus penculikan Ken masih menghantuinya. Mengingat itu membuatnya terlihat lemah. Mengapa ia ingin luluh dengan seseorang yang telah mencelakai anaknya? Bila Ken dewasa, maka
Byanca tersentak. Punggungnya sakit tak tertahan. Ia menatap wajah Dewo yang terlihat panik. Sedetik kemudian ia merasakan seperti seseorang menarik benda dari punggungnya. Itu sangat sakit juga sehingga ia tak mampu mempertahankan kesadarannya.Bian mematung. Ia bersimpuh di belakang Byanca, tangannya masih menggenggam pisau yang mengalir darah Byanca. Ia tidak bisa berkata apa-apa, kesedihan dan rasa bersalah meliputi perasaannya. Ini jauh lebih hancur pada saat dia diam-diam menyaksikan Byanca terbang ke Busa. Setidaknya waktu itu ia masih bisa melihat senyum manis Byanca.Air matanya keluar. Ia mengepalkan tangan dan melirik Indira yang hanya diam saja melihat Byanca. Terkadang wanita itu tertawa seperti orang gila. Bian tak bisa menoleransi lagi, ia berdiri dan mencekik leher Indira. “Apa yang kamu lakukan, Indira?”Karma sangat cepat. Baru beberapa jam yang lalu, ia lah yang mencekik Byanca dan sekarang ia pula yang merasakan apa yang Byanca ra
Udara dingin menusuk hingga ke tulang. Nyanyian bintang terdengar begitu lantang seakan rembulan ingin berpulang. Kedamaian yang diimpikan kebanyakan manusia ketika lelahnya berperang dengan kehidupan. Nyatanya sangat susah didapatkan.Dewo dengan penampilan berantakan, memegangi telapak tangan sang putri yang masih belum sadarkan diri. Sejak ia membawa Byanca ke rumah sakit ini, dokter telah mengatakan bahwa ia harus dirawat dengan serius. Luka yang didapatkan telah mengeluarkan darah begitu banyak sehingga keadaan Byanca lemah. Dia kekurangan darah dan membutuhkan tranfusi.“Maafkan Papi, By, seharusnya kita di Busan saja.”Seuntai kalimat penyesalan terus terlontar dari mulut pria senja itu. Dia terus mengecup tangan Byanca seolah itu bisa mentransfer energy. Jika bukan karena golongan darah mereka yang berbeda, maka ia sudah menyumbangkan segala darahnya demi kehidupuan Byanca.Berbicara tentang tranfusi darah, Dewo sempat panik. Persediaa
Ponsel Bian bergetar dan menampilkan nama Bunda pada layar. Tak ada keinginan bagi Bian untuk mengangkat panggilan itu sebab ia tahu bahwa saat ini Bunda sedang bersama Indira di sebuah tempat tersembunyi yang dimiliki om Salim.Apakah ia durhaka? Bian sudah tidak peduli. Jika bukan karena Bunda yang memujuknya dengan berdalih tanggung jawab pada masa depan Indira, maka semua ini tidak akan terjadi bukan? Menyebut namanya saja membuat darah Bian mendidih. Bolehkah ia membalas tusukan dengan tusukan kepada Indira?Ponsel itu berulang kali bergetar dan masih menampilkan nama yang sama. Merasa tertekan, akhirnya Bian mengangkatnya. Tak perlu menanyakan kabar atau sekedar berbasa-basi, Bian segera memberi interupsi. “Jika Bunda menelepon ku karena Indira, maka lupakanlah! Bian terlalu pusing dengan ulah wanita itu.”Tak terdengar bahasa dari Bunda selain longlongan napas yang berat seberat kehidupannya. Bian tak mau ambil pusing dengan bagaimana keadaan
Dewo terkena sakit kepala luar biasa setelah mendengar laporan dari anak buahnya. Ia memang sudah diberi tahu oleh Salim jika Rentina juga ikut serta ke rumah sekapan bersama Indira. Hal itu membuat Dewo menaruh curiga bahkan ia sempat membuat Rentina tertidur selama perjalanan dengan membuat pengharum mobil yang dicampurkan dengan aroma khusus untuk mengantuk. Dewo tak mau Indira lepas begitu saja dan ia yakin bahwa Rentina datang dengan perencanaan. Oleh sebab itu, ia juga membuat pengamanan ekstra dengan mengirimkan beberapa pengawal.Beberapa detik yang lalu seorang pengawal memberi laporan bahwa Rentina tengah meminta bantuan kepada orang lain. Hal itu juga didukung dengan bukti rekaman cctv yang dipasang di sudut ruangan tanpa Rentina ketahui. Dewo cukup lega karena melihat rekaman tersebut bahwa permintaan Rentina ditolak. Lagi pula siapa yang mau berurusan dengannya dan Salim. Yang membuat Dewo khawatir adalah Rentina nekat melakukan sesuatu di luar dugaan mereka. Dia
Asap mengembul dari bibir merah Dewo. Ia bukan seorang pecandu rokok tetapi kali ini ia membakar tembakau tersebut disebabkan pemikirannya yang sangat kalut.“Apa yang membawa Rentina ikut bersama Indira?”Ia bertanya terus terang. Meski Salim berada di belakangnya, ia yakin Salim dapat mendengar dengan jelas. Mereka sedang berdiri di atas balkon rumah sakit.“Entahlah. Aku rasa itu karena ia menyayangi Indira.” Sesungguhnya Salim juga tidak memahami apa yang sedang dipikirkan Rentina. Dia melibatkan diri terlalu dalam sehingga kebebasan pun kian menghilang.Dewo menginjak rokoknya. Kemudian berbalik dan menghadap Salim. Bibirnya melengkung membentuk seringai. “Dari mana deskripsi itu kau dapatkan?”Salim menautkan kedua alisnya. Kedua tangan ia selipkan di saku paha. Aura kepemimpinan sangat melekat pada diri Salim. “Aku hanya berasumsi demikian berdasarkan apa yang kulihat. Lagipula semua orang tahu
Dinginnya malam tak mampu membawa Dewo pulang. Setelah berdiskusi pada Salim yang tak menemukan solusi, ia masih betah berdiam diri di balik balkon yang sunyi. Ia menumpukan kedua tangannya di atas dinding setinggi dada. Menatap lampu-lampu berkilau yang menerangi kota. Ini sangat tenang meski isi kepalanya sedang berperang. Di usia yang tak lagi muda, ada beberapa hal yang tak bisa Dewo lakukan dengan mudah, termasuk memikirkan rencana untuk membalas Rentina. Ia mengacak rambutnya, kalimat pengandaian terus terucap dari bibirnya. Penyesalan demi penyesalan kian mengubur harga dirinya. Andai saja ia tak menjadikan Rentina sebagai sahabatnya, mungkin tidak akan sekacau ini. Ya, itulah kiranya penyesalan terbesar bagi Dewo. Seperti tamparan, ia berulang kali meletakkan kesalahan pada dirinya sendiri.&n
Tidak ada yang bisa menerima sebuah perpisahan. Baik pisah hidup maupun mati. Semua yang pernah bersama ingin selalu bersama hingga akhir hayat bahkan di kehidupan selanjutnya. Dunia fana ini selalu diimingi dengan kebahagiaan semata. Nyatanya kebahagiaan itu semu.Renata melakukan aksinya untuk memisahkan Dewo dan Rina karena kebenciannya pada ayah Dewo, Pramasta yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, menurut Rentina sejak sahabatnya itu—Dewo—mengenal Rina waktunya sangat sedikit untuk Rentina. Hal itu semakin memupuk rasa kebenciaannya.Strategi demi strategi untuk balas dendam telah direncanakan. Salah satu yang direalisasikannya adalah masuknya orang ketiga dalam rumah tangga Dewo. Sebenarnya itu tidak murni rencananya. Rams berselingkuh dengan seorang wanita bernama Mellisa. Suatu hari, Rams mengatakan bahwa Mellisa tengah mengandung anak mereka. Rentina tidak dapat menerima itu, dia pun kesal pada Rams dan mengancam Rams atas
Rentina tersadar dari hanyutan masa lalunya. Matanya memerah menatap Dewo. Aura kebencian terpancar dari lensa hitam tersebut. Aliran darahnya seakan membuncah untuk membalaskan dendam kepada Dewo. Sialnya, rantai yang kuat ini menjeratnya.“Pramasta apa kabar?”Ini adalah kali pertama ia menyebut nama ayah Dewo tanpa menggunakan embel-embel panggilan ‘om’ untuk kesopanan. Sejak ia menyelidiki lebih lanjut ucapan mantan supirnya, Rentina tidak menelan informasi itu mentah-mentah melainkan ia menyelidiki lebih lanjut. Masih ada harapan Rentina bahwa ayah temannya itu tidak bersalah. Satu demi satu bukti dan saksi Rentina kumpulkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya bahwa kecurigaan itu adalah benar.Lalu apa yang dilakukan Rentina?Apakah ia langsung membalaskan dendamnya pada Pramasta?Tidak!!Ya, jawabannya tidak. Rentina tidak melakukan apapun kepada Pramasta karena ketika ia telah berhasil mengumpulkan semua buk
Perusahaan warisan ayah Rentina telah dikelola oleh adik kandung ayahnya sendiri yang mana nantinya akan diserahkan kepadanya. Rentina tidak terlalu mengambil berat hal itu karena ia menganggap dirinya masih belum mampu untuk mengelola perusahaan tersebut. Rentina hanya menerima hasil setiap bulan dan dimanfaatkan untuk biaya sekolahnya. Rentina sering berkunjung hanya untuk mendapatkan teka-teki atas kematian orang tuanya. Dia mulai melibatkan diri dalam pekerjaan di perusahaan. Mulanya hanya untuk memecahkan teka-teki, lama kelamaan menjadi ketertarikan untuk bekerja di sana. Rentina meminta kepada omnya untuk diajak bekerja, ia pun ingin mengambil peran dari mulai yang terendah dahulu. Rentina mempelajari setiap liku pekerjaan tersebut. Perusahaan ayah mengalami gejolak hingga hampir gulung tikar. Om Irwan, omnya mengaku sudah melakukan banyak cara untuk menstabilkan permasalahan tersebut. Permasalahan ini dipicu karena mereka salah memilih distributor. Uang yang
Flashback on“Rentina, ikhlaskan kepergian mereka!” ucap tantenya sambil memeluk tubuh remaja Rentina.Rentina mengatupkan mulutnya. Membungkam kesedihan yang membendung. Hari itu adalah hari yang sangat buruk bagi Rentina. Tak pernah ia bayangkan bahwa hari itu datang, hari dimana ia kehilangan dua orang yang disayanginya yaitu papa dan mamanya.“Tante, kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi, sangat sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana aku akan menjalani hariku tanpa mereka? Aku hanya anak tunggal. Aku tak memiliki apapun dan siapapun lagi.”Rentina tahu bahwa ini kehendak Tuhan akan tetapi ia belum siap. Hati dan kepalanya terus berbicara akan sendiri yang akan dihadapinya. Rentina menekuk lututnya kemudian memeluk lutut itu, menggambarkan bahwa ia hanya bisa bertahan dengan dirinya sendiri. Hartanya adalah dirinya sendiri. Ia menangkup dan menangis sekencang-kencangnya. Para pelayat yang mengirimkan doa kepada orangtuanya
“Apa sebenarnya penyebab kalian merusak rumah tangga ku?”Rina tak mampu menahan seluruh gejolak pertanyaan yang telah dari Singapore ia pendam. Rina tak mementingkan waktu jika saat ini antara Rentina dan Dewo sedang bersitegang. Ia hanya ingin tahu agar dadanya tak sesak menahan.Mata Rentina beralih pada Rina. Alih-alih menjawab, ia justru menyunggingkan senyuman seakan mengejek Rina. Senyuman yang dulunya hangat kini menjadi tajam yang mampu menyabik hati Rina.“Karena kamu terlalu sombong, Rina.”Rina terpancing untuk menghampiri Rentina. Entah hanya sekedar mendekatkan telinganya agar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Namun, Dewo segera mencegahnya. Dewo menarik tangan Rina dan membisikkan kata-kata penenang.Rina memejamkan mata kemudian mengatur emosinya. Ia tak boleh terpancing demi permasalahan ini cepat diselesaikan. Melihat wajah Rentina terlalu lama akan mempengaruhi kesehatan jantungnya.“Kamu
Rina menyunggingkan senyuman kepada Bian setelah mendengar teriakan Indira. Wanita itu sangat kacau dan berantakan. Rina mengira bahwa mentalnya telah terguncang. Ia mendekati Dewo dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Indira. Dewo hanya menjawab dengan mengangkat bahunya membuat Rina menghela napas malas. Sudah dalam keadaan seperti ini pun Dewo masih sempat untuk bermain rahasia. Di hadapan Rams dan Rentina terbentang sebuah sofa panjang dengan sebuah meja di hadapannya yang berisi banyak makanan dan juga minuman. Dewo mengajak mereka semua untuk duduk. “Rentina, Rams dan Indira kehadiranku membawa mereka semua ke sini bukan untuk menghukum kalian. Aku tahu semua orang pasti pernah melakukan kesalahan tidak terkecuali diriku sendiri. Aku ingin kita menyelesaikan dengan damai dan secara kekeluargaan. Tolong akui semua kesalahan kalian!” Tak munafik bahwa kekesalan Dewo kepada tiga manusia di hadapannya sudah mengubun-ubun tetapi ia masih memiliki h
Pesawat yang ditumpangi mendarat indah di Bandar udara Soekarno Hatta. Dewo beserta rombongan segera menaiki mobil yang telah disediakan. Perjalanan selanjtunya adalah menuju tempat penyekapan Rams dan Rentina. Sepanjang perjalanan, semua tampak tak banyak bicara. Hanya diam dan menerka-nerka akan bagaimana kelanjutan cerita ini.Begitu sampai tempat penyekapan, Salim telah menunggu mereka. Ia segera mendekat dan menyapa satu-persatu. Dewo tersenyum ramah dan juga berjalan di samping Salim.“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Siapapun pasti akan sangat penasaran. Begitu pula dengan Salim. Sudah lama ia menanti hari ini. Ia juga sudah lelah menebak konspirasi di antara semuanya.“Dimana Bema dan Brian?” Dewo berhenti dan memperhatikan sekitar. Hal tersebut juga membuat semuanya berhenti dan mengikuti arah pandang Dewo.“Aku sudah meminta mereka datang tetapi tidak tahu kemana dua anak itu.” Tak ingin membuat suasana hati
Langit cerah menutupi raut kemarahan dari dua anak manusia yang saling berhadapan dengan kondisi tubuh terikat tali. Mereka adalah Rentina dan Rams. Rentina menggerakkan tubuhnya; menggapai-gapai tangan Rams. Ia tak bisa dengan lantang menyuarakan isi kepalanya sebab mulutnya ditutupi lakban hitam yang menyebalkan.Rentina berusaha berbicara lewat mata. Sayangnya Rams nampak tak tertarik, ia memutar lehernya dan lebih memilih menatap dinding yang dipenuhi sarang laba-laba tersebut. Lebih baik melihat itu dari pada menatap Rentina dengan segala gejolak emosinya.“Apa kau tak ingin mengalahkan Dewo di dunia bisnis?” Rams mengingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan Rentina dahulu. Kata yang menjadi mantra untuknya melakukan segala cara agar mengalahkan Dewo. Meski Dewo bukan tandingannya di dunia bisnis tetapi Rams mengal
Berdamai dengan keadaan adalah jalan yang dipilih Rina meski hati masih berbentur dengan luka masa lalu, tetapi ia begitu sadar bahwa semua karena jebakan. Rina memang mencoba untuk memaafkan Mellisa. Melihat Archi yang sedikit trauma membuat Rina merasa iba. Ia pernah melihat jiwa Byanca terguncang. Oleh sebab itu, ia tak ingin Archi juga nekat melakukan apa yang Byanca lakukan dahulu.Mellisa merasa terharu atas sikap Rina. Ia berulang mengucapkan terima kasih bahkan ia secara refelks memeluk Rina. Semua ini di luar ekspektasinya. Mellisa iri dengan Rina yang memiliki hati begitu lembut. Ia berjanji akan menjadikan dirinya lebih baik lagi untuk membalas kebaikan Rina. Untuk Dewo, ia tak akan mengejarnya lagi. Terserah pada Dewo untuk hidup seperti apa, lagi pula mereka telah berpisah sejak beberapa bulan yang lalu.Usai melepaskan pelukan Mellisa, Rina menatap Dewo dengan ekspresi tak terbaca. Dewo menaikkan sebelah alisnya tanda tak mengerti arti tatapan itu. Rina t