Dewo terkena sakit kepala luar biasa setelah mendengar laporan dari anak buahnya. Ia memang sudah diberi tahu oleh Salim jika Rentina juga ikut serta ke rumah sekapan bersama Indira. Hal itu membuat Dewo menaruh curiga bahkan ia sempat membuat Rentina tertidur selama perjalanan dengan membuat pengharum mobil yang dicampurkan dengan aroma khusus untuk mengantuk. Dewo tak mau Indira lepas begitu saja dan ia yakin bahwa Rentina datang dengan perencanaan. Oleh sebab itu, ia juga membuat pengamanan ekstra dengan mengirimkan beberapa pengawal.
Beberapa detik yang lalu seorang pengawal memberi laporan bahwa Rentina tengah meminta bantuan kepada orang lain. Hal itu juga didukung dengan bukti rekaman cctv yang dipasang di sudut ruangan tanpa Rentina ketahui. Dewo cukup lega karena melihat rekaman tersebut bahwa permintaan Rentina ditolak. Lagi pula siapa yang mau berurusan dengannya dan Salim. Yang membuat Dewo khawatir adalah Rentina nekat melakukan sesuatu di luar dugaan mereka. Dia
Asap mengembul dari bibir merah Dewo. Ia bukan seorang pecandu rokok tetapi kali ini ia membakar tembakau tersebut disebabkan pemikirannya yang sangat kalut.“Apa yang membawa Rentina ikut bersama Indira?”Ia bertanya terus terang. Meski Salim berada di belakangnya, ia yakin Salim dapat mendengar dengan jelas. Mereka sedang berdiri di atas balkon rumah sakit.“Entahlah. Aku rasa itu karena ia menyayangi Indira.” Sesungguhnya Salim juga tidak memahami apa yang sedang dipikirkan Rentina. Dia melibatkan diri terlalu dalam sehingga kebebasan pun kian menghilang.Dewo menginjak rokoknya. Kemudian berbalik dan menghadap Salim. Bibirnya melengkung membentuk seringai. “Dari mana deskripsi itu kau dapatkan?”Salim menautkan kedua alisnya. Kedua tangan ia selipkan di saku paha. Aura kepemimpinan sangat melekat pada diri Salim. “Aku hanya berasumsi demikian berdasarkan apa yang kulihat. Lagipula semua orang tahu
Dinginnya malam tak mampu membawa Dewo pulang. Setelah berdiskusi pada Salim yang tak menemukan solusi, ia masih betah berdiam diri di balik balkon yang sunyi. Ia menumpukan kedua tangannya di atas dinding setinggi dada. Menatap lampu-lampu berkilau yang menerangi kota. Ini sangat tenang meski isi kepalanya sedang berperang. Di usia yang tak lagi muda, ada beberapa hal yang tak bisa Dewo lakukan dengan mudah, termasuk memikirkan rencana untuk membalas Rentina. Ia mengacak rambutnya, kalimat pengandaian terus terucap dari bibirnya. Penyesalan demi penyesalan kian mengubur harga dirinya. Andai saja ia tak menjadikan Rentina sebagai sahabatnya, mungkin tidak akan sekacau ini. Ya, itulah kiranya penyesalan terbesar bagi Dewo. Seperti tamparan, ia berulang kali meletakkan kesalahan pada dirinya sendiri.&n
Dia dilanda sakit kepala ketika pikirannya bertumpu pada seorang wanita yang sayangnya tak bisa ditemui walau sekedar menyapa. Dia berulang kali menelan waktu tanpa kabar apapun seolah semesta turut menghukumnya. Wanita yang dikhawatirkannya sedang terbaring lemah dan ia tak bisa melakukan apa-apa. Seperti apa definisi cinta jika kita tak bisa saling membantu? Keputusannya sudah bulat. Apapun yang terjadi ke depannya akan ia kesampingkan. Yang penting adalah ia bertemu dengan sang pujaan hati. Dia tahu bahwa ruang inap sang wanita dijaga ketat. Namun, hal itu tak menyurutkan niatnya. Biarlah waktu yang menjawab nasib ke depannya. Ia mengambil jaket berwarna hitam serta topi, masker dan kaca mata. Menguatkan tekadnya bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Dia adalah Bian, si budak cinta namun gengsi untuk mengakui. Sejak Byanca masuk
Setelah berembuk tentang ganjaran apa yang pas untuk Rentina, kini mereka—Dewo dan Rina—kembali ke ruangan Byanca. Mereka tidak terlalu khawatir meninggalkan sang putri karena Dewo telah menyewa dua orang penjaga di depan ruangan. Jadi, aman saja, pikir mereka. Rina terus menceletuk Dewo dengan candaan bahwa Dewo sangat mudah dibohongi oleh Rentina. Dewo yang tak terima juga mengatakan bahwa Rina pun sama seperti dirinya. Mereka sama saja mudah dibohongi oleh Rentina. Rina terus mengelak dengan dalih jika mereka di masa lalu hanya bertemu sesekali di saat waktu les vokal saja. “Akan kusampaikan pada Byanca bahwa maminya tak sebaik yang ia kira!” ucap Dewo seiring langkah mereka yang mendekati ruangan sang putri. Rina tak mau kalah, ia membel
Hal yang pertama kali dilihat oleh Byanca ketika sadar adalah seorang pria berjas putih dan dua wanita di belakangnya. Hidungnya mencium aroma obat-obatan kemudian ia bisa menangkap sinyal bahwa ia sedang berada di rumah sakit. Kepalanya terasa sakit sehingga ia tidak terlalu memfokuskan diri atas apa yang disampaikan oleh dokter. Ia bergerak pelan, tetapi tangannya terasa keram. Ia melirik dan mendapati tangannya bersambung tali infus. Ia tidak tahu entah sudah berapa lama ia terbaring di atas nakas ini. Kemudian bayangan beberapa hari silam mulai muncul dimana ia dan Indira sedang bertengkar hebat. Indira menusukkan pisau di punggungnya. Secara naluriah, ia meraba punggungnya. “Nona, lukanya masih belum terlalu kering. Oleh sebab itu kami menyarankan anda untuk lebih banyak tidur dalam keadaaan miring,” beritahu dokte
Rina memperlakukan Byanca seolah ia adalah anak kecil. Ia begitu memanjakannya dari mulai menyuapi makan hingga menemani Byanca ke kamar mandi. Tak sedetik pun ia lewatkan tanpa merawat Byanca. Byanca merasa haru dengan kehangatan tersebut. Tak hanya itu ia juga merasa bahagia melihat kekompakan kedua orang tuanya. Lihatlah sekarang! Kedua orang tua tersebut sedang asyik di pantry. Rina sibuk menghangatkan makanan, sementara Dewo sibuk membuat minuman. Keduanya juga saling terlibat percakapan seolah mereka sepasang kekasih. Jika seperti ini mungkin orang luar tidak akan menduga bahwa keduanya telah bercerai. “By, apakah kamu masih lapar?” tanya Rina ketika ia ingin menikmati makanannya. Byanca tersenyum lalu menggeleng. “Mami makanlah! Perut Byanca terla
“Percuma saja menyesal, tidak ada gunanya,” hardik Rina. Ia menyilangkan kedua tangannya di atas dada. Baginya mengapa seseorang bertindak dengan implusif? Tidakkah mereka berpikir terlebih dahulu akibat dari keputusan yang dibuat. Dari pada menyesal di belakang lebih baik matang dalam merencanakan. Dewo dalam kondisi berbaring dan mata terpejam berkata, “Itulah pembelajaran hidup. Diawal ia tidak tahu akan terjadi hal seperti ini.” “Lalu setelah ia tahu akan seperti ini, harapannya apa?” tantang Rina dengan emosi yang membara. Tidak semudah itu baginya melupakan bagaimana teganya Bian menyakiti Byanca dan sekarang dengan mudahnya ia mengatakan menyesal. Dia pikir ini adalah panggung sandiwara? Rina tertawa membayangkan hal itu.&nbs
Usai sholat subuh, Dewo memilih untuk berolahraga di sekitaran rumah sakit. Sudah lama ia tak menghirup udara segar karena terus berada di rumah sakit. Ia tak perlu khawatir lagi meninggalkan Byanca karena sudah ada Rina. Peregangan sudah ia lakukan dan bersiap menyusuri jalanan nan sepi. Aroma hujan menyita indera penciuman Dewo, ia menginjak jalanan yang lembab serta beberapa tumbuhan menari dengan air di atas daunnya. Dewo juga menyapa beberapa petugas kebersihan yang bekerja seperti biasanya. “Om…” Di tengah kegiatannya, ia dikejutkan kehadiran Bian. Mantan menantunya itu datang dengan sebotol minuman dingin yang ia serahkan pada Dewo. &