Byanca tersentak. Punggungnya sakit tak tertahan. Ia menatap wajah Dewo yang terlihat panik. Sedetik kemudian ia merasakan seperti seseorang menarik benda dari punggungnya. Itu sangat sakit juga sehingga ia tak mampu mempertahankan kesadarannya.
Bian mematung. Ia bersimpuh di belakang Byanca, tangannya masih menggenggam pisau yang mengalir darah Byanca. Ia tidak bisa berkata apa-apa, kesedihan dan rasa bersalah meliputi perasaannya. Ini jauh lebih hancur pada saat dia diam-diam menyaksikan Byanca terbang ke Busa. Setidaknya waktu itu ia masih bisa melihat senyum manis Byanca.
Air matanya keluar. Ia mengepalkan tangan dan melirik Indira yang hanya diam saja melihat Byanca. Terkadang wanita itu tertawa seperti orang gila. Bian tak bisa menoleransi lagi, ia berdiri dan mencekik leher Indira. “Apa yang kamu lakukan, Indira?”
Karma sangat cepat. Baru beberapa jam yang lalu, ia lah yang mencekik Byanca dan sekarang ia pula yang merasakan apa yang Byanca ra
Udara dingin menusuk hingga ke tulang. Nyanyian bintang terdengar begitu lantang seakan rembulan ingin berpulang. Kedamaian yang diimpikan kebanyakan manusia ketika lelahnya berperang dengan kehidupan. Nyatanya sangat susah didapatkan.Dewo dengan penampilan berantakan, memegangi telapak tangan sang putri yang masih belum sadarkan diri. Sejak ia membawa Byanca ke rumah sakit ini, dokter telah mengatakan bahwa ia harus dirawat dengan serius. Luka yang didapatkan telah mengeluarkan darah begitu banyak sehingga keadaan Byanca lemah. Dia kekurangan darah dan membutuhkan tranfusi.“Maafkan Papi, By, seharusnya kita di Busan saja.”Seuntai kalimat penyesalan terus terlontar dari mulut pria senja itu. Dia terus mengecup tangan Byanca seolah itu bisa mentransfer energy. Jika bukan karena golongan darah mereka yang berbeda, maka ia sudah menyumbangkan segala darahnya demi kehidupuan Byanca.Berbicara tentang tranfusi darah, Dewo sempat panik. Persediaa
Ponsel Bian bergetar dan menampilkan nama Bunda pada layar. Tak ada keinginan bagi Bian untuk mengangkat panggilan itu sebab ia tahu bahwa saat ini Bunda sedang bersama Indira di sebuah tempat tersembunyi yang dimiliki om Salim.Apakah ia durhaka? Bian sudah tidak peduli. Jika bukan karena Bunda yang memujuknya dengan berdalih tanggung jawab pada masa depan Indira, maka semua ini tidak akan terjadi bukan? Menyebut namanya saja membuat darah Bian mendidih. Bolehkah ia membalas tusukan dengan tusukan kepada Indira?Ponsel itu berulang kali bergetar dan masih menampilkan nama yang sama. Merasa tertekan, akhirnya Bian mengangkatnya. Tak perlu menanyakan kabar atau sekedar berbasa-basi, Bian segera memberi interupsi. “Jika Bunda menelepon ku karena Indira, maka lupakanlah! Bian terlalu pusing dengan ulah wanita itu.”Tak terdengar bahasa dari Bunda selain longlongan napas yang berat seberat kehidupannya. Bian tak mau ambil pusing dengan bagaimana keadaan
Dewo terkena sakit kepala luar biasa setelah mendengar laporan dari anak buahnya. Ia memang sudah diberi tahu oleh Salim jika Rentina juga ikut serta ke rumah sekapan bersama Indira. Hal itu membuat Dewo menaruh curiga bahkan ia sempat membuat Rentina tertidur selama perjalanan dengan membuat pengharum mobil yang dicampurkan dengan aroma khusus untuk mengantuk. Dewo tak mau Indira lepas begitu saja dan ia yakin bahwa Rentina datang dengan perencanaan. Oleh sebab itu, ia juga membuat pengamanan ekstra dengan mengirimkan beberapa pengawal.Beberapa detik yang lalu seorang pengawal memberi laporan bahwa Rentina tengah meminta bantuan kepada orang lain. Hal itu juga didukung dengan bukti rekaman cctv yang dipasang di sudut ruangan tanpa Rentina ketahui. Dewo cukup lega karena melihat rekaman tersebut bahwa permintaan Rentina ditolak. Lagi pula siapa yang mau berurusan dengannya dan Salim. Yang membuat Dewo khawatir adalah Rentina nekat melakukan sesuatu di luar dugaan mereka. Dia
Asap mengembul dari bibir merah Dewo. Ia bukan seorang pecandu rokok tetapi kali ini ia membakar tembakau tersebut disebabkan pemikirannya yang sangat kalut.“Apa yang membawa Rentina ikut bersama Indira?”Ia bertanya terus terang. Meski Salim berada di belakangnya, ia yakin Salim dapat mendengar dengan jelas. Mereka sedang berdiri di atas balkon rumah sakit.“Entahlah. Aku rasa itu karena ia menyayangi Indira.” Sesungguhnya Salim juga tidak memahami apa yang sedang dipikirkan Rentina. Dia melibatkan diri terlalu dalam sehingga kebebasan pun kian menghilang.Dewo menginjak rokoknya. Kemudian berbalik dan menghadap Salim. Bibirnya melengkung membentuk seringai. “Dari mana deskripsi itu kau dapatkan?”Salim menautkan kedua alisnya. Kedua tangan ia selipkan di saku paha. Aura kepemimpinan sangat melekat pada diri Salim. “Aku hanya berasumsi demikian berdasarkan apa yang kulihat. Lagipula semua orang tahu
Dinginnya malam tak mampu membawa Dewo pulang. Setelah berdiskusi pada Salim yang tak menemukan solusi, ia masih betah berdiam diri di balik balkon yang sunyi. Ia menumpukan kedua tangannya di atas dinding setinggi dada. Menatap lampu-lampu berkilau yang menerangi kota. Ini sangat tenang meski isi kepalanya sedang berperang. Di usia yang tak lagi muda, ada beberapa hal yang tak bisa Dewo lakukan dengan mudah, termasuk memikirkan rencana untuk membalas Rentina. Ia mengacak rambutnya, kalimat pengandaian terus terucap dari bibirnya. Penyesalan demi penyesalan kian mengubur harga dirinya. Andai saja ia tak menjadikan Rentina sebagai sahabatnya, mungkin tidak akan sekacau ini. Ya, itulah kiranya penyesalan terbesar bagi Dewo. Seperti tamparan, ia berulang kali meletakkan kesalahan pada dirinya sendiri.&n
Dia dilanda sakit kepala ketika pikirannya bertumpu pada seorang wanita yang sayangnya tak bisa ditemui walau sekedar menyapa. Dia berulang kali menelan waktu tanpa kabar apapun seolah semesta turut menghukumnya. Wanita yang dikhawatirkannya sedang terbaring lemah dan ia tak bisa melakukan apa-apa. Seperti apa definisi cinta jika kita tak bisa saling membantu? Keputusannya sudah bulat. Apapun yang terjadi ke depannya akan ia kesampingkan. Yang penting adalah ia bertemu dengan sang pujaan hati. Dia tahu bahwa ruang inap sang wanita dijaga ketat. Namun, hal itu tak menyurutkan niatnya. Biarlah waktu yang menjawab nasib ke depannya. Ia mengambil jaket berwarna hitam serta topi, masker dan kaca mata. Menguatkan tekadnya bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Dia adalah Bian, si budak cinta namun gengsi untuk mengakui. Sejak Byanca masuk
Setelah berembuk tentang ganjaran apa yang pas untuk Rentina, kini mereka—Dewo dan Rina—kembali ke ruangan Byanca. Mereka tidak terlalu khawatir meninggalkan sang putri karena Dewo telah menyewa dua orang penjaga di depan ruangan. Jadi, aman saja, pikir mereka. Rina terus menceletuk Dewo dengan candaan bahwa Dewo sangat mudah dibohongi oleh Rentina. Dewo yang tak terima juga mengatakan bahwa Rina pun sama seperti dirinya. Mereka sama saja mudah dibohongi oleh Rentina. Rina terus mengelak dengan dalih jika mereka di masa lalu hanya bertemu sesekali di saat waktu les vokal saja. “Akan kusampaikan pada Byanca bahwa maminya tak sebaik yang ia kira!” ucap Dewo seiring langkah mereka yang mendekati ruangan sang putri. Rina tak mau kalah, ia membel
Hal yang pertama kali dilihat oleh Byanca ketika sadar adalah seorang pria berjas putih dan dua wanita di belakangnya. Hidungnya mencium aroma obat-obatan kemudian ia bisa menangkap sinyal bahwa ia sedang berada di rumah sakit. Kepalanya terasa sakit sehingga ia tidak terlalu memfokuskan diri atas apa yang disampaikan oleh dokter. Ia bergerak pelan, tetapi tangannya terasa keram. Ia melirik dan mendapati tangannya bersambung tali infus. Ia tidak tahu entah sudah berapa lama ia terbaring di atas nakas ini. Kemudian bayangan beberapa hari silam mulai muncul dimana ia dan Indira sedang bertengkar hebat. Indira menusukkan pisau di punggungnya. Secara naluriah, ia meraba punggungnya. “Nona, lukanya masih belum terlalu kering. Oleh sebab itu kami menyarankan anda untuk lebih banyak tidur dalam keadaaan miring,” beritahu dokte