KAKEK TUA itu SUAMIKU
Bab 2CupDia mengecup keningku. Apa yang harus aku lakukan?Haruskah aku pasrah?"Tidurlah, Kanda tak akan menyentuhmu."Apa? Kanda? Aku membekap mulutku sendiri, ingin rasanya aku tertawa. Kanda … Dinda, oh Tuhan begitu beragam nama panggilan di dunia ini.***"Dinda … Ayo bangun! Sudah subuh loh." Terdengar suara lirih disertai goncangan di bahuku. Ah, mungkin mimpi. Namun, lagi-lagi bahuku terasa ada yang mengusapnya."Iiiih, apaan sih? Masih ngantuk ini, 5 menit lagi ya," jawabku malas. Mata ini rasanya seperti ada lem nya, lengket. Kutarik lagi selimut yang menutup hanya sampai di bagian perut hingga sampai di leher, memulai lagi mimpi yang sempat terganggu."Dinda … nggak baik loh menunda sholat. Bangun gih nanti sholat subuh berjamaah. Kanda yang jadi imamnya."Loh kok suaranya bukan suara Bapak? Panggilnya Dinda lagi, apa Bapak punya anak lain selain aku? Atau namaku yang sudah ganti? Dengan rasa ngantuk yang masih mendera aku duduk dan mulai membuka mataku."Wuaaaaaaaaaaa, kamu siapa? Ibu … Bapak ... ada aki-aki di kamarku!" Aku berteriak melihat ada laki-laki tua asing yang berada di ranjangku.HmmmmmppppTiba-tiba dia membekap mulutku."Apa kamu lupa kalau kamu sudah menikah?" Aku memutar bola mataku berusaha mengingat siapa sosok yang sudah berani membekap mulutku.Ah, iya, benar dia suamiku. "Dinda sudah ingat?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk sebagai jawabannya karena tangannya masih saja membekap mulutku."Masih mau berteriak?" Kugelengkan kepalaku. Akhirnya tangannya dilepaskan dari mulutku."Maaf, aku lupa," ucapku lirih. "Aku mandi dan wudhu dulu."Bergegas aku mengambil handuk yang tergantung di pintu kamar. Tapi sial, tiba-tiba seekor cicak malah mengeluarkan kotoran dan jatuh tepat di atas kepalaku. Dikira toilet kali ya kepalaku."Dasar cicak nggak punya etika! Apa nggak bisa kalau mau buang kotoran ke toilet dulu!" gumamku."Kenapa? Bangun tidur kok ngomel?" tanya Ibu saat berpapasan di dapur."Nggak apa-apa Bu, Seva ke kamar mandi dulu. Nggak ada orang kan di dalam?" Kamar mandi rumahku memang nggak ada pintunya, hanya selembar kain yang digunakan sebagai pengganti pintu. "Nggak ada, bapak sama Seno sudah pergi ke mushola tadi." Alhamdulillah, selama ini bapak dan Seno sering sholat berjamaah di mushola dekat rumah, biasanya aku dan ibu juga ikut, tapi hari ini terkecuali.Aku melanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Gara-gara cicak sialan pagi-pagi aku harus keramas, mana dingin lagi. Umpatku dalam hati.Setelah sholat subuh berjamaah aku berniat untuk membantu ibu mengerjakkan pekerjaan rumah. Sementara laki-laki yang bergelar suami sudah sibuk dengan ponselnya. Entah sudah berapa kali ponsel itu berdering dari mulai di aktifkan. "Bu, Seva bantuin ya," tawarku. Ibu yang sedang mengaduk adonan kemudian menghentikan aktifitasnya. "Seva ke warung aja ya, belikan Ibu minyak goreng. Kayaknya itu nggak cukup," titah Ibu.Tanpa menunggu persetujuanku Ibu langsung memberikan selembar uang berwarna biru padaku. "Nggak usah, Bu, pakai uang Seva aja," tolakku halus. Lumayan tadi sebelum ke luar kamar aku dikasih sepuluh lembar uang merah sama suamiku katanya buat beli garam. Kupikir sampai seribu kali pun otakku nggak nyampe, masa iya uang satu juta buat beli garam yang per bungkus harganya paling lima ribu perak. Jangan-jangan dia sarapan garam, makan siang garam, makan malam garam. Pantesan kalau orang yang sudah tua dibilang sudah banyak makan garam. Aku tertawa sendiri dengan pikiranku."Disuruh ke warung malah ngelamun! Pake acara ketawa lagi! Kenapa?" Perkataan ibu membuyarkan lamunanku, ternyata dari tadi ibu memperhatikanku."Ehm ini, Bu." Kurogoh uang yang ada di saku celanaku lalu kutunjukkan pada ibu. "Kata Pak Bambang tadi buat beli garam, tapi kok banyak banget ya? Bisa dapet berapa bungkus itu ya?" Akhirnya kuceritakan saja apa yang buatku tertawa."Cah cah, maksud suamimu itu buat beli keperluan dapur nggak buat beli garam semuanya! Dah sana pergi ke warung!" "Siap! Nih, uangnya Ibu aja yang pegang, Seva ambil selembar buat ke warung." Kulangkahkan kakiku ke luar rumah menuju ke warung Bu Sri. Warung yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumahku. Udara dingin langsung menerpaku begitu aku berjalan, ditambah rambut yang masih basah gara-gara keramas. Tak butuh waktu lama akhirnya aku sampai di warung Bu Sri."Assalamualaikum, Bu Sri … "Kupanggil pemilik warung agar segera keluar."Waalaikumsalam, eh Seva, nyari apa?" "Minyak goreng Bu."Diberikannya minyak goreng ukuran gelas untukku."Maaf Bu Sri, Seva maunya yang kemasan dua liter bukan yang ini." "Biasanya juga yang kayak gini belinya. Ngutang lagi! Kalau mau beli yang dua liter nggak boleh ngutang!" Bu Sri mengucapkannya dengan ketus."Nggak Bu, Seva nggak ngutang, nih bayar!" Kuberikan uang lembaran merah pada Bu Sri. "Cie, penganten baru pagi-pagi udah keramas aja!" Duh, kenapa sih harus ketemu Bude Ratmi. Dipegangnya rambutku yang memang masih dalam keadaan basah. "Kayaknya semalem ada yang habis gulat nih.""Paling juga baru sekali udah KO apa malah jangan-jangan belum selesai udah nyerah" timpal Bu Sri. "Ha ha ha, lagian kamu sih, masih muda mau aja sama aki-aki kan rugi!" "Ngomong-ngomong dapet berapa ronde?" tanya Bude Ratmi."Ronde? Emangnya Seva habis tinju?"Bukannya menjawab pertanyaanku malah Bu Sri dan Bude Ratmi kompak tertawa."Udah lah, Seva pulang dulu mana minyaknya Bu?" Males banget kalau lama-lama harus ketemu mereka omongannya bisa ngelantur kemana-mana."Tunggu dulu donk, buru-buru amat. Bude masih penasaran nih, udah apa belum?" "RA HA SI A." Aku langsung membawa minyak yang aku beli dan segera untuk pulang."Coba lihat cara jalannya Rat, kalau ngangkang berarti semalam sudah gol." Aku yang mendengar ucapan Bu Sri langsung merubah cara jalanku. Kuperagakan saja cara monyet berjalan, biar mereka semakin puas!"Dasar cah edan!"Masih jelas terdengar suara mereka ketika mengumpatku. Bodo amat!***Jebred!Kubanting pintu depan dengan keras saat memasuki rumah."Astaghfirullah hal adzim! Masuk rumah itu ngucapin salam bukannya banting pintu, Bapak sampai kaget loh! Kalau jantung Bapak kumat gimana?" Seno dan Bapak yang sedang duduk memang kaget saat aku menutup pintu dengan keras. Lagian aku masih kesel sama kejadian di warung."Maaf," ucapku. Kuserahkan minyak goreng tadi pada Ibu."Va, bikinkan minuman buat suamimu sana!" Lagi-lagi Ibu memberiku perintah. Mau tak mau aku harus menurutinya kalau tidak bisa-bisa merembet kemana-mana. Tapi aku bikin minum apa ya? Kopi pahit? Nanti dikira aku kasih minum dukun. Teh manis? Yang manis-manis kan nggak boleh buat orang tua apalagi kalau udah sepuh. Nah, air putih aja, lebih sehat dan lebih mudah bikinnya, tinggal 'cor' jadi deh. Kubawa air putih hangat itu ke dalam kamar. "Ini, Seva sudah bawain air minum anget!" Kuberikan secangkir air putih itu padanya yang ternyata masih sibuk dengan ponselnya. Ah, rasanya canggung sekali."Bawa keluar lagi!"Deg!Apa dia marah? Sepertinya dia nggak suka dengan minuman yang aku bawa. "Bawa minumannya ke ruang tamu, nanti Kanda minum disana." Kembali dia memintaku membawa minumnya tapi dengan suara yang lebih pelan. Syukurlah ternyata dia tidak marah, kubawa lagi minuman itu dan meletakkannya di meja ruang tamu. "Kenapa dibawa kesini?" tanya Bapak yang masih duduk bersama Seno."Katanya mau minum disini nggak di kamar," jawabku. "Aku yang menyuruhnya membawa kesini." Ternyata suamiku sudah ada di belakangku. "Dinda juga duduk sini temani Kanda ngobrol." Akhirnya aku, bapak, Seno dan suamiku duduk bersama di kursi dari kayu yang sudah mulai lapuk. "Nih ... mendoan sama pisang gorengnya sudah matang, lumayan buat teman ngobrol." Ibu yang datang dengan nampan berisi gorengan itu juga ikut ngobrol dengan kami."Dinda, besok masih kuliah?" tanya suamiku."Masih, selama pihak kampus belum tau tentang pernikahan ini mungkin aku bisa melanjutkan kampus." Aku memang merahasiakan pernikahanku. Hanya sahabatku Riska yang aku beri tahu. Aku masih sangat ingin kuliah. Selama ini aku kuliah dengan jalur bidik misi, jika tidak lewat jalur itu mungkin aku berakhir hanya lulusan SMA. Penghasilan bapak yang hanya seorang tukang becak sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami."Ehm, Seno boleh tanya nggak?" tanya Seno. "Apa Mbak Seva sudah ganti nama jadi Dinda?" Aku yang mendengar pertanyaan Seno hanya bisa melirik suamiku, dia yang harusnya menjawab pertanyaan Seno. Aku saja geli dengan panggilan itu. Tok tok tokTerdengar suara ketukan pintu di depan rumah."Siapa yang bertamu pagi-pagi gini ya, Bu?" tanya Bapak."Nggak tau Pak, sebentar Ibu buka dulu." Ceklek!Pintu dibuka oleh Ibu, kemudian masuklah seorang perempuan muda dengan rambut pirang panjang, hidung mancung dan mata yang lentik, mirip artis yang aku lihat di televisi. Siapa dia ya?***KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 3Pintu dibuka oleh Ibu, kemudian masuklah seorang perempuan muda dengan rambut pirang panjang, hidung mancung dan mata yang lentik, mirip artis yang aku lihat di televisi. Siapa dia ya?"Nisa? Kenapa ada disini? Kapan pulang?" Kali ini malah suamiku yang bersuara."Ayah terkejut? Sama! Nisa juga terkejut dengan kabar pernikahan Ayah!" Oh, jadi ini anaknya suamiku. Jadi aku ibunya perempuan cantik ini donk. Tapi malah lebih tua anaku daripada ibunya. "Duduk dulu, Nak, kita ngobrol dulu. Pulang dari luar negeri kok nggak kabar-kabar?" Perempuan itu tetap bergeming tak mau menuruti perintah ayahnya."Mana istri baru Ayah? Dia?" Telunjuknya mengarah pada Ibu. Ibu pun kaget, dikira dia istri suamiku padahal adalah ibu mertuanya."Bukan Nak, bukan dia." Suamiku kemudian berdiri, dan menarik tanganku sehingga aku mengikutinya berdiri. "Dinda, kenalin ini anakku yang paling bontot, namanya Nisa." Aku mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan tapi sama sekali tak
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 4 Lima belas menit perjalanan akhirnya kami sampai di rumah. Memasuki halaman ada mobil ambulance yang terparkir dan motor yang kuhitung ada lima buah juga berada di halaman. Pikiranku langsung tertuju ke Bapak. Ya Tuhan, ada apa ini?"Pak … Bapak!" Aku memanggil Bapak sambil berlari menuju rumah. Ya Tuhan semoga Bapak tidak apa-apa. Aku sangat khawatir karena Bapak punya riwayat penyakit jantung."Kenapa, Va? Kenapa teriak-teriak?" jawab Bapak.Ah, lega rasanya. Ternyata bapak sedang duduk di ruang tamu. Ibu juga duduk disampingnya. Tunggu, mana Seno?"Seno mana, Pak?" Masih saja aku takut terjadi sesuatu dengan anggota keluargaku."Ada itu di kamar. Sini loh, ada Bu Bidan sama perangkat desa mau ketemu sama kamu." Bapak menjelaskan siapa saja yang ada di ruang tamu. Karena ruang tamu yang sempit jadi yang duduk hanya Bu Bidan dan Pak Lurah saja yang lainnya berdiri. "Kami tunggu di luar saja ya Pak, biar lebih enak ngobrolnya." Salah satu dari laki laki
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 5"Mar, kamu kan masih punya utang lima ratus ribu jadi motor ini saya bawa dulu sebagai jaminan sampai kamu bisa lunasin utang kamu!"Apa?! Dih, Bude emang keterlaluan!"Rik … Riko, sini kamu!" Riko yang sedang berjalan kemudian berbelok setelah mendengar panggilan ibunya."Ada apa, Bu? Riko mau main, nih," jawab Riko. Riko tampak kesal acaranya terganggu."Mau motor baru ini nggak? Ini bawa motornya pulang!" Bude Ratmi menyerahkan kunci motor yang dipegangnya."Beneran? Ini motor yang Riko pengin, siapa yang beli Bu? Ayo deh Riko boncengin Ibu, tapi nanti Riko langsung bawa main ya motornya." Riko begitu bersemangat dan langsung menaikinya."Tunggu!" Aku yang sedari tadi hanya memperhatikan lama-lama geram juga melihat tingkah Bude. "Assalamualaikum," ucap suamiku yang baru datang. Saking konsentrasinya melihat tingkah laku Bude dan Riko sampai tidak sadar ada yang datang."Waalaikumsalam," jawab kami serempak."Udah nyampe motornya? Gimana? Dinda suka ng
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 6Bagaimana dia tahu kalau aku sudah menikah? Daripada pihak kampus tahu lebih baik aku menurutinya. Pintu belakang mobil itu terbuka lalu aku masuk dan duduk disebelahnya.Siapa kira-kira wanita ini ya?Bau parfum yang sangat wangi tercium begitu aku duduk di samping wanita itu. Beda sekali denganku yang bau matahari, apalagi kalau melihat dandanan dan model bajunya. Aku dan wanita itu layaknya bumi dan langit. Aku yang sangat lusuh dan dia yang cantik dan modis bak artis. "Jalan, Pak!" Perintahnya pada sopir. Mobil mewah yang aku tumpangi pun perlahan melaju. Tak ada suara berisik mesin seperti angkot yang biasa aku tumpangi, tak ada bau solar tercium yang ada wangi pengharum mobil dan hawa dingin yang keluar dari AC yang terpasang. Jika mereka yang diluar merasa kegerahan maka aku tetap sejuk walaupun di dalam mobil. Seumur hidup baru pernah aku merasakan naik mobil mewah seperti ini. "Kenapa? Baru pernah naik mobil mewah seperti ini?" Wanita itu seperti
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 7"Ikat dia dan lakban mulutnya! Taruh di gudang!"Astaga! Mereka begitu jahat! Ya Tuhan, selamatkan aku.Ditariknya aku untuk berdiri oleh dua orang laki-laki, kemudian memaksaku untuk jalan. "Lepasin aku! Lepas! Toloooong!" Aku berteriak minta tolong berharap ada bantuan yang datang. Kaki kananku tiba-tiba tersandung oleh kaki kiriku akibat jalanku yang dipaksa. Aku pun kemudian terjatuh. Mereka bukannya membantuku untuk berdiri tapi justru mereka melarakku di lantai. Tega sekali mereka. Ibu … bapak tolong Seva."Berhenti kalian!" Terdengar teriakan dari belakangku."A—ayah!" Kedua laki-laki yang menyeretku seketika berhenti dan melepaskan tanganku. Aku yang dengan posisi badan tertelungkup kemudian menyatukan tanganku dibawah dahiku. Ya, aku menangis. Aku yang sedari tadi menahannya kini tak sanggup lagi menahannya.Sentuhan di bahuku dan usapan tangan di kepalaku belum mampu meredakannya. Biarlah, aku melepas beban di dada. "Kalian keterlaluan! Siapa
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 8Memasuki halaman terlihat mobil mewah yang kemarin aku tumpangi bersama Nyonya Lidiya. Mau ngapain lagi dia kesini?Baiknya aku masuk atau aku menghindar dulu ya? Tunggu, di dalam masih ada ibu, bapak juga Seno. Bagaimana kalau mereka tau kejadian kemarin? Kalau begitu aku masuk saja. "Assalamualaikum," ucapku saat akan memasuki rumah."Waalaikumsalam," jawab mereka serempak. Ternyata bukan hanya Nyonya Lidiya tapi ada juga Nyonya Tania. "Sini, Nak, mereka anak-anak suamimu." Ibu memperkenalkan mereka. Ibu menyangka aku belum tahu siapa mereka. "O, ini ya istri baru Ayah? Wah, cantik ya, Ayah pinter banget cari ibu baru buat kita. Bener nggak Mbak Lidiyia?" Nyonya Tania mengatakan seolah-olah kita baru saja bertemu."Be—betul. Cantik banget, pantes Ayah langsung klepek klepek," jawab Nyonya Lidiya. Aku yang masih bingung dengan sikap mereka hanya bisa terdiam, sikap mereka sungguh sangat berbeda dengan yang kemarin. Apa mereka sudah sadar dan menerimaku
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 9"Terima kasih, sudah mau memaafkan anak-anak ku." Suara lirih itu terdengar menempel di telingaku. Nafasnya yang hangat kini beralih di leher. Aku merinding ketika sebuah kecupan mendarat di tengkuk. Rasanya bulu-bulu halus di seluruh tubuhku sudah berdiri. Dia membalikkan badanku, kini kami saling bertatapan. Tangannya yang sedianya melingkar di perutku kini beralih memegang kedua pipiku. Dia mendekatkan wajahnya padaku, semakin dekat bahkan hidung kami sudah saling menempel. Apa yang harus aku lakukan?Oh Tuhan bibirku ini masih perawan jangan sampai ternoda oleh suamiku. Aku belum rela … Berikan pertolongan untuk hambaMU yang selalu bersikap manis ini atau sebentar saja, ubah wajah suamiku seperti Bang Jimin atau Bang Lee Min Hoo ya boleh lah, atau kalau lokalan ya udah Bang Billar ya nggak apa-apa.Tok tok tok"Permisi Bos, mobil sudah siap apa jadi pulang sekarang?" Alhamdulillah ternyata Tuhan mengirimkan penyelamat itu Bang Agus, produk lokal yang
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 10Sepertinya aku melihat seseorang yang aku kenal. Bener nggak ya?Benar! Mataku nggak salah lihat! Dia memakai setelan jas yang juga berwarna putih. Kenapa Andi juga ada disini?Duh, kok jadi bisa kebetulan gini?"Ini acara apa?" tanyaku pada suamiku."Acara ulang tahun cucuku. Dinda nanti akan Kanda kenalin ke semua anak dan cucuku. Ayo, kita kesana.""Si—siapa nama cucunya?""Andi, mungkin dia seumuran sama Dinda. Nanti Kanda kenalin sama Dinda."Duar!Jawaban itu laksana petir yang menyambarku. Baru saja Andi tadi menyatakan suka padaku tapi malam ini, aku harus mendapati kenyataan kalau Andi adalah cucuku. Takdir seperti apa ini?"Permisi Bos, Nyonya ingin bertemu," ucap Pak Agus."Baiklah, Ayo!"Apa sekarang waktunya, apa sekarang jati diriku terungkap di depan Andi? Aku belum siap. Jujur, ada rasa tersendiri saat aku didekat Andi. Apalagi waktu kejadian tadi pagi."Dinda … kok bengong? Ayo!" "I—iya" jawabku gugup. Lalu digandengnya tanganku seperti t
"Ehm, Pak Agus kalau pulangnya naik taxi online nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa sih, Nona Bos, tapi mobilnya mau dibawa kemana?""Mau dibawa buat momong aki-aki," gurauku."Gimana Bos?" Pak Agus meminta persetujuan dari suamiku."Perintah istriku mutlak wajib dikabulkan," jawab suamiku. Pak Agus kemudian menyerahkan kunci mobil pada suamiku namun sebelum suamiku menerimanya aku sudah terlebih dahulu merebutnya."Aku yang nyetir," ucapku sambil berlalu menaiki mobil."Jangan lupa pasang safety belt ya Kek," candaku saat suamiku duduk di kursi penumpang sebelahku."Mohon maaf Cu, Kakek lupa cara pasangnya." Lah malah suamiku balik ledek."Oke, kita berangkat. Sesuai aplikasi ya," ucapku menirukan driver taxi online. Kemudian aku pacu mobil sedan Mercedes Benz keluaran terbaru berwarna hitam dengan kecepatan sedang."Kita mau kemana, Sayang?" tanya suamiku."Gimana kalau nonton bioskop?" usulku."Boleh, bentar Kanda booking dulu.""Eh, jangan donk, jangan main asal booking. Kita biasa a
Aku cukup kaget mendengar perintah suamiku, dan Seno pun terlihat langsung menunduk."Darimana kamu belajar nyetir?" tanya suamiku."Dari Bapak," jawab Seno lirih."Maaf Mas Mantu, Seno sebenarnya sudah ada satu tahun belajar nyetir, kadang dia yang antar pesanan ketring, tapi tetap dalam pengawasan bapak. Hanya saja, setelah bapak meninggal, Seno bawa sendiri. Kalau keberatan nanti biar mobilnya ditinggal disini," imbuh Ibu."Apa Kanda marah sama Seno?" tanyaku pada suamiku."Siapa yang marah?""Itu tadi minta mobil di tinggal disini.""Memangnya nggak boleh kalau ditinggal disini?" "Satu minggu lagi kan Seno tujuh belas tahun, bisa buat SIM sama KTP kenapa harus ditinggal disini mobilnya? Kalau ditinggal disini Ibu gimana anter pesanan ketring?" "Dinda jangan marah-marah dulu, belum selesai ngomong udah di protes." "Terus?""Itu mobil yang dibawa Seno udah ketinggalan model, masa anak muda kaya Seno bawa mobil kaya gitu, niatnya mau dibelikan yang baru …," jelas suamiku. "Tapi ka
Perhatian kini tertuju pada perempuan itu, ah iya aku ingat namanya Mayang.Mbak Nisa berbalik, karena perempuan itu datang dari arah belakang Mbak Nisa."Enak banget kamu mau melamar dia?!" pekik Mayang.Ivan yang tadinya berlutut kemudian berdiri menghampiri Mayang."Apa ada yang salah, Mayang?" tanya Ivan."Tentu saja ada!" jawab Mayang dengan nada tinggi. "Kalau kamu melamar dia, apa arti kedekatan kita selama ini?" "Kedekatan? Apa maksudmu? Bukankah dari awal aku sudah memberitahu tentang rencana ini?" tanya Ivan."Kalian selesaikan dulu masalahnya, aku pergi dulu," ucap Mbak Nisa."Tunggu, Nisa!" cegah Ivan."Ada apa lagi? Sudah jelas kan kalau dia berharap lebih pada kamu?""Tapi aku tidak ada maksud apa-apa sama Mayang, aku hanya mencintaimu Nisa ….""Aku juga," jawab Mbak Nisa lirih. "Tapi aku tidak mau ada orang lain yang sakit hati dengan hubungan kita.""Katakan sekali lagi Nisa, apa kamu mencintai Ivan?" tanya Mayang."Maaf, kalau aku salah. Aku memang masih sangat menci
Setelah dilakukan cek darah, dia terkena tipes dan itu sudah lumayan parah," jelas Dokter. "Dia harus rawat inap di rumah sakit," imbuh Dokter."Lakukan yang terbaik untuk putri saya Dok," ucap Ayah Riska."Rawat dia di ruang VVIP, akan aku booking satu lantai untuk dia," ujar suamiku."Tuh, Ris, ucapan adalah doa. Kamu kan dulu pengen booking satu lantai sekarang kesampaian." "Ya kali harus sakit dulu kaya gini," elak Riska. "Ehm, aku cancel deh buat booking satu lantai, mending pulang aja. Boleh nggak, Dok?" pinta Riska."Nggak bisa. Apa kamu mau sakitmu tambah parah?" Riska akhirnya pasrah harus opname di rumah sakit. "Terimakasih Pak Bambang, sudah sangat peduli dengan anak kami," ucap Ayah Riska saat aku dan suamiku hendak pulang."Tidak apa-apa. Riska adalah sahabat baik istriku, dia sudah saya anggap sebagai—""Stop Pak Bambang!" sergah Riska. "Jangan anggap aku sebagai istrimu!" Mendengar ucapan Riska, Ibu Riska langsung memukul kaki Riska."Astaga! ini bocah kalau ngomong
"Maaf Va, tapi benar-benar perutku mual," ucap Riska."Nggak apa-apa." Aku mendorong kursiku kemudian mendekati Riska. Aku pijat tengkuk lehernya, agar dia merasa lebih baik. "Jangan-jangan dia hamil," ucap seseorang yang duduk di meja sebelahku."Apa maksudmu mengatakan hal itu?" tanyaku padanya."Ya nggak apa-apa. Sekarang lihat deh, dia muntah-muntah di pagi hari, bukankah pas sama ciri-ciri orang hamil?""Kalau ngomong disaring dulu mulutnya! Nggak tau apa-apa udah ngomong hamil!""Loh, kok kamu nggak terima?!""Kirim aja nggak gimana aku mau terima? Dasar aneh, kenal juga nggak udah main tuduh!" Ingin aku menyiram muka perempuan itu dengan teh yang ada diatas meja, tapi tanganku malah ditarik oleh Riska."Va … aku pulang aja ya," ucap Riska."Aku anterin ya," usulku pada Riska."Nggak usah, aku naik taksi online aja, kamu kan ada kelas pagi," tolak Riska."Udah, nggak usah dipikirin," jawabku.Aku kemudian membantu Riska untuk berdiri dan memapahnya."Maaf Va, ngrepotin kamu," u
"Va, kamu selalu bawa kan?" tanya Riska. Entah apa maksudnya malah tanya seperti itu."Bawa apaan?" "Permen!" jawab Riska ketus. "Botol Va, botol."Auto mikir dengan ucapan Riska. Aku ingat-ingat tentang botol, yang terlintas di otak malah bayangan tampan suamiku. Aku geser kembali bayangan suamiku, yang keluar malah Song Joong Ki. Hih! Ni otak kenapa mendadak pintar!"Kelamaan mikir kamu, Va!" hardik Riska. Dua orang laki-laki itu sudah sangat dekat jaraknya dengan kami. "Om-om! Lihat deh, ke atas," ucap Riska."Ada apa di atas?" tanya salah satu laki-laki itu."Itu ada cicak bawa koper, kayaknya keberatan deh. Bantuin dulu gih Om," jawab Riska membuatku tepuk jidat. Bisa-bisanya dia bercanda disaat seperti ini."Ngledek kamu, hah?!" bentak laki-laki itu."Siapa yang ngeledek?" elak Riska. "Kalau yang ini beneran deh, tuh lihat dipojokkan," tunjuk Riska pada benda kecil yang terpasang di langit-langit pojok lift. "Kasih lihat giginya dulu, Om!" perintah Riska. Yang lebih mencengang
"Mbak … Mbak Nisa kenapa?" Aku beranikan diri untuk bertanya pada Mbak Nisa karena semakin lama air mata Mbak Nisa semakin banyak mengalir di pipi."Mbak Nisa nangis pengin balon? Atau mau kue ulang tahun? Nanti Riska ambilkan, tapi jangan nangis ya …" hibur Riska."Kenapa rasanya sakit kaya gini? Seharusnya aku biasa saja. Aku sudah menolaknya, tapi aku sakit melihatnya dengan perempuan lain," ucap Mbak Nisa terisak."Apa itu karena Ivan Mbak?" tanyaku pada Mbak Nisa. "Kenapa Mbak Nisa menolak lamaran Ivan kalau Mbak Nisa cinta sama dia?""A—aku takut dia kecewa Va. Kamu kan tau aku nggak bisa kasih dia keturunan dulu juga ibunya menentang hubungan kami karena hal itu.""Waktu mau melamar Mbak Nisa kan ibunya sudah merestui Mbak, kenapa Mbak Nisa tetap menolaknya?""Aku takut Va, takut jika suatu saat ibunya kembali mengungkitnya.""Mbak Nisa sekarang masih cinta sama Ivan?""Dari dulu aku nggak pernah mencintai laki-laki lain selain dia, bahkan setelah aku meninggalkannya ke Austral
Malamnya kami sudah sampai di tempat Ibu. Mbak Nisa malah sudah sampai terlebih dahulu karena Mbak Nisa dari kantor langsung ke tempat Ibu. Kue yang aku pesan juga sudah sekalian dibawa sama Mbak Nisa.Di ruang tamu para tamu datang berkumpul untuk mengirimkan doa untuk Bapak."Va, kuenya enak," ucap Riska saat baca doa telah selesai."Hmmmm, makan terus kamu kerjanya! Bukannya ikut kirim doa!" sungutku pada Riska."Aku kan lagi halangan, Va," jawabnya dengan mulut penuh makanan. "Halah! Alasan aja kamu!" timpal Mbak Nisa. "Aku perhatiin kok dari tadi kamu sibuk sama kacang di depan kamu. Tuh lihat kulitnya aja paling banyak di depan kamu." "Lah kan biar pas, nanti kalau kulitnya di buang jadinya kacang yang lupa sama kulitnya," elak Riska.Pukul sembilan malam akhirnya acara telah selesai, semua tamu sudah kembali ke rumah masing-masing. Kami memutuskan untuk menginap di rumah Ibu."Ris, kamu masih ngunyah?" tanya Mbak Nisa saat Riska masih menikmati bola-bola coklat yang ada di de
Bi Asih kemudian mematikan sambungan teleponnya dan berbalik."Nyo—nya," ucap Bi Asih gelagapan. Mukanya menunduk tak berani menatapku."Iya ini saya. Kaget?!" "Ti—tidak Nyonya, saya kira Nyonya masih di kamar sebelah," jawab Bi Asih melawan rasa gugupnya."Sudah dari tadi saya disini. Mana ponselmu?" Bi Asih kemudian merogoh saku bajunya dan menyerahkan ponsel kepadaku, yang diserahkannya justru ponselku padahal sudah jelas yang aku minta adalah ponsel Bi Asih. Aku terima saja ponselku dan aku masukkan kantong bajuku."Ponsel Bi Asih mana?" tanyaku."Bu—bu—buat apa Nyonya?" "Nggak usah banyak tanya! Saya sudah tau semuanya! Cepat berikan ponsel kamu!" teriaku.Bi Asih kaget dengan suara nada tinggi yang aku keluarkan. Tangannya langsung bertindak cepat merogoh saku kemudian menyerahkan ponsel miliknya padaku."Ada apa Dinda?" tanya suamiku yang baru saja terbangun. Mungkin dia kaget dengan suara kerasku."Maaf Kanda, sudah membuat Kanda kaget sampai terbangun," jawabku pada suamik