KAKEK TUA itu SUAMIKU
Bab 5"Mar, kamu kan masih punya utang lima ratus ribu jadi motor ini saya bawa dulu sebagai jaminan sampai kamu bisa lunasin utang kamu!"Apa?! Dih, Bude emang keterlaluan!"Rik … Riko, sini kamu!" Riko yang sedang berjalan kemudian berbelok setelah mendengar panggilan ibunya."Ada apa, Bu? Riko mau main, nih," jawab Riko. Riko tampak kesal acaranya terganggu."Mau motor baru ini nggak? Ini bawa motornya pulang!" Bude Ratmi menyerahkan kunci motor yang dipegangnya."Beneran? Ini motor yang Riko pengin, siapa yang beli Bu? Ayo deh Riko boncengin Ibu, tapi nanti Riko langsung bawa main ya motornya." Riko begitu bersemangat dan langsung menaikinya."Tunggu!" Aku yang sedari tadi hanya memperhatikan lama-lama geram juga melihat tingkah Bude. "Assalamualaikum," ucap suamiku yang baru datang. Saking konsentrasinya melihat tingkah laku Bude dan Riko sampai tidak sadar ada yang datang."Waalaikumsalam," jawab kami serempak."Udah nyampe motornya? Gimana? Dinda suka nggak?" tanya suamiku."Ayo Bu, cepetan kita bawa motornya!" Riko justru mengajak Bude Ratmi untuk membawa motor baru itu, apa dia nggak dengar tadi suamiku bilang apa."Kamu siapa? Mau bawa motor ini ke mana?" tanya suamiku pada Riko."Saya yang punya motor ini! Ibu yang belikan motor ini, ya mau dibawa pulang lah, Kek!" Riko menjawab sambil teriak-teriak sampai membuat suamiku menutup telinganya."Apa kamu nggak diajari sopan santun? Ngomong sama orang tua kok teriak-teriak!" Suamiku merasa kesal dengan sikap Riko."Kakek kan sudah tua biasanya kalau orang yang sudah tua itu pendengarannya kurang, makannya Riko teriak-teriak. Ayo Bu, kenapa masih diam? Katanya mau bawa motor ini pulang.""Loh, saya beli motor ini buat istri saya Seva, kenapa malah mau dibawa pulang sama kalian?" Suamiku sepertinya bingung dengan kejadian ini."Istri? Berarti Kakek suaminya Mbak Seva? Apa nggak salah?" Riko berusaha mencerna ucapan suamiku."Motor ini mau saya bawa pulang sebagai jaminan karena Marni masih punya hutang sama saya. Udah ya, keburu hujan nanti motornya kotor kalau kehujanan. Buruan, Rik!" ujar Bude Ratmi. Bude Ratmi masih saja berniat membawa motor itu."Berapa hutangnya?" tanya suamiku."Lima ratus ribu," jawab Bude."Gus, Agus! Sini sebentar, bawakan juga tas yang di dalam mobil," perintah suamiku pada sopirnya yang bernama Agus.Tak perlu waktu lama Pak Agus sudah datang dengan menenteng tas kerja suamiku."Ini, Bos." Agus menyerahkan tas kerja pada suamiku kemudian membukanya. Mataku terbelakak sempurna begitu melihat isi tas itu. Terlihat tas itu penuh terisi dengan uang berwarna merah. Aku yang baru pertama kali melihat uang sebanyak itu hanya bisa melongo."Ini, satu juta rupiah, lunas kan? Bahkan saya bayar dua kali lipat hutangnya." Suamiku menyerahkan uang itu pada Bude Ratmi. "Serahkan kunci motornya pada istriku dan kalian pulanglah, lima ratus ribu kok mau bawa pulang motor baru. Beli spionnya aja dulu sana!" Bude Ratmi kemudian menyerahkan kunci motornya padaku. Bukannya pulang Bude malah masuk ke dalam rumah."Seno mana?" tanya suamiku. Tumben ini tanya adikku, apa ada masalah sama Seno?"Ada tadi di kamar lagi tidur. Pulang sekolah katanya ada tugas terus masuk kamar, Ibu lihat tadi malah ketiduran" jawab Ibu. "Ini buat Dinda sama Seno." Diserahkannya dua buah paperbag yang sedari tadi ditentengnya."Apa ini?" tanyaku penasaran."Bukalah!"Aku menurutinya kemudian mengeluarkan isinya, yang ternyata itu adalah ponsel. Astaga! Ini ponsel keluaran terbaru yang logonya apel nggak utuh bahkan ini seri yang paling baru. Kata Riska kemarin harganya ini puluhan juta dan di dalam paperbag ini ada dua ponsel berarti kalau di total lebih dari tiga puluh juta hanya untuk beli ponsel."Ayo pulang!" Bude Ratmi sudah keluar kemudian mengajak Riko untuk pulang."Apa itu, Bu?" Riko menunjuk kantong kresek yang dibawa Bude dari dalam rumah. Perasaan tadi pas masuk Bude nggak bawa apa-apa kenapa keluar bisa bawa kantong kresek?"Pisang goreng," jawab Bude. Sejujurnya aku ingin tertawa melihat kelakuan Bude. Ternyata Bude masih menginginkan pisang goreng yang tadi masih tersisa di piring."Bu, belikan ponsel yang kayak gitu ya," pinta Riko sambil menunjuk ponsel yang sedang aku pegang."Iya, besok Ibu belikan, bukan cuma satu malah dua sekalian!" "Beneran Bu? Janji loh harus yang sama persis! Motornya gimana?" "Iya besok beli! Motornya nanti kamu bilang dulu sama bapakmu buat belikan.""Bu, Mbak Susi suruh nikah sama kakek-kakek aja Bu, biar bisa dikasih motor sama ponsel yang bagus." Susi itu anaknya Bude Ratmi yang pertama, usianya terpaut satu tahun di atasku dan dia juga satu kampus denganku, tapi sayang kita nggak terlalu dekat, bahkan kalau di kampus Mbak Susi nggak pernah menyapaku katanya malu punya saudara miskin sepertiku."Ehm, Kakek punya temen yang lagi nyari istri nggak? Nanti Riko kenalin sama Mbak Susi." Suamiku tak menghiraukan ucapan Riko justru dia langsung masuk ke dalam rumah.***Malam hari aku sedang mengerjakan tugas kuliahku, sedangkan suamiku masih duduk bersender di ranjang tua milikku. "Apa tugasnya masih banyak?" Suamiku memulai percakapan karena dari tadi hanya ada keheningan diantara kita. Entahlah, rasanya aku masih canggung dengannya."Tidak, ini sudah selesai. Besok ada ujian jadi aku harus belajar," jawabku sambil membereskan peralatan belajarku."Belajarlah yang rajin, kalau Dinda lulus kuliah Dinda bisa melanjutkan kuliah S2 di universitas manapun yang Dinda pilih bahkan ke luar negeri pun boleh dan Kanda tau Dinda pasti bisa." Beberapa bulan lagi harusnya aku sudah lulus kuliah makannya aku sangat berharap pihak kampus tidak ada yang tau tentang pernikahanku. "Kemarin Pak Lurah dan Bu Bidan datang kesini." Hampir saja aku lupa untuk menceritakannya."Ada apa? Apa ada masalah?" Kuceritakan semua apa yang Pak Lurah dan Bu Bidan bicarakan."Bukankah tujuanku menikah dengan Dinda supaya Dinda bisa memberikanku anak laki-laki? Kalau dilarang hamil mana bisa melahirkan anak laki-laki?" "Bukan dilarang, tapi tunggu pernikahan kita sah dimata hukum dan agama.""Kita bicarakan ini lain kali, lagian Kanda juga belum menyentuhmu, atau sekarang sudah siap?" Pertanyaan suamiku membuatku bergidik ngeri, segera kugelengkan kepalaku pertanda aku belum siap. "Aku ngantuk, mau tidur dulu. Selamat malam." Daripada membicarakan hal itu lebih baik aku tidur. Kutarik selimut sampai ke leher kemudian aku tidur dengan membelakanginya. "Selamat malam Dinda, semoga mimpi indah." Terdengar ucapan sangat dekat dengan telingaku bahkan nafasnya yang hangat bisa kurasakan dan lagi-lagi dia mengecup keningku seperti waktu habis resepsi.***"Pak Bambang, terimakasih atas pemberian ponselnya, tapi bolehkah ditukar saja?" Suamiku yang sedang sarapan langsung meletakkan sendoknya setelah mendengar ucapan Seno. "Kenapa? Kenapa minta ditukar? Itu ponsel yang paling baru bahkan belum banyak yang punya." Suamiku merasa heran dengan permintaan Seno."Ponsel itu terlalu bagus dan terlalu mahal, Seno tidak bisa menerimanya dan juga uang saku yang kemarin diberikan kepada Seno terlalu banyak." Seno itu anak yang baik, seberapapun uang saku yang diberikan oleh bapak dia tak pernah protes. Seno bahkan sering berjalan kaki ketika berangkat ataupun pulang ke sekolah bersamaku. Jaraknya memang cukup jauh tapi kami tak pernah mengeluh karena kami tahu bapak itu pendapatannya nggak banyak bahkan sering kurang. Kami saja sering makan dengan lauk seadanya."Kamu itu aneh, disaat anak yang lain menginginkan ponsel dan uang saku yang banyak justru kamu menolaknya. Uang itu kalau terlalu banyak kamu tabung saja, dan ponsel itu pergunakanlah dengan baik, anggap itu hadiah dariku dan kamu tidak boleh menolaknya." Kali ini Suamiku menolak permintaan Seno dia tetap memberikan ponsel dan uang saku kepada Seno."Oh iya, Dinda Nanti berangkat kuliah bareng sama Seno ya, nggak usah naik angkot pakai motor yang baru. Kanda sengaja membelikannya agar digunakan ke sekolah oleh kalian." Lanjutnya lagi."Motor itu terlalu bagus untukku bagaimana kata teman-teman nanti mereka pasti curiga." "Buat saja alasan, Dinda itu pintar pasti bisa mencari alasan." "Tapi aku tak pandai berbohong, lain kali saja aku bawa, hari ini aku naik angkot dulu sama Seno. Aku pergi ke kampus dulu. Assalamualaikum." Tak lupa aku mencium takzim tangan bapak, ibu dan suamiku.***"Ris, sini deh aku mau tunjukkan sesuatu tapi ingat kamu jangan kaget ya, nggak usah berteriak." Hanya Riska yang bisa aku percaya saat ini karena dia memang sahabatku tak ada satupun rahasia yang kami tutupi. Saat ini adalah jam istirahat dan semua siswa kebetulan keluar dari kelas hanya tersisa aku dan Riska."Apaan sih? Ayo tunjukan, rasanya aku sudah tidak sabar."Aku pun menunjukkan ponsel terbaru yang suamiku belikan, Riska lalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya, begitu melihat ponsel itu sepertinya dia kaget karena justru dia yang sangat menginginkan ponsel itu. Aku juga tahu ponsel itu keluaran terbaru dari Riska. Riska yang bercerita karena dia selalu update, aku mana tahu tentang itu semua, ponsel saja baru pertama kali aku miliki."Astaga Seva, kamu sudah punya ponsel ini? Ini tuh harganya mahal banget, puluhan juta!" Riska membolak-balikkan ponsel yang ada di tangannya."Jangan-jangan kamu belum bisa menggunakannya ya?" Aku pun menggelengkan kepalaku karena nyatanya memang aku belum bisa menggunakannya, hanya aplikasi tertentu yang sudah ada di ponselku.Kemudian Riska mulai mengajarkanku tentang fitur-fitur yang ada di ponselku. Aku pun mulai mengerti, beruntungnya aku punya sahabat seperti Riska. "Hai, sedang apa kalian?" Kami berdua cukup kaget dengan kedatangan Andi. Buru-buru aku memasukkan ponselku ke dalam tas."Ehm, nggak ada apa-apa kok biasa anak cewek, lagi gibah! Kamu sendiri ada apa? Ini kan bukan kelas kamu?" Riska terlihat santai menjawab pertanyaan Andi."Emang nggak boleh main ke lain kelas? Oh ya Va, ini ada coklat buat kamu ya," ucap Andi. Sebungkus coklat kini telah berada di atas meja belajarku."Andi! Dari tadi aku cariin ternyata ada disini! Itu dicariin sama dosen katanya ada tugas!" Mbak Susi yang satu kelas dengan Andi langsung menggeret tangannya dan mengajaknya keluar. Bukan rahasia lagi jika Mbak Susi itu naksir sama Andi, tapi tak pernah mendapat respon dari Andi.***Cuaca siang ini cukup terik, aku yang sedang berdiri sendirian menunggu angkot hanya bisa berlindung di bawah pohon yang agak rindang. Angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku cukup membuatku merasa sejuk. Biasanya ada Riska yang mengajakku pulang bareng tapi kali ini Riska harus menjemput Ibunya di rumah saudaranya jadilah aku pulang sendirian.Tak lama berselang bukan angkot yang berhenti di depanku melainkan sebuah mobil sedan berwarna hitam yang sangat mewah berhenti di hadapanku. Kaca mobil belakang itu perlahan turun, terlihat seorang wanita memakai kacamata hitam berada di dalam mobil."Kamu yang bernama Seva?" tanya wanita itu. Aku terkejut, kenapa dia bisa tahu namaku. "Masuklah! Ada yang ingin aku bicarakan!" Aku ragu, aku tak mengenalnya, jangan-jangan dia culik! Ah masa iya ada culik cantik dan mobilnya sangat mewah. Kalau culik kan di film-film biasanya mobilnya Jeep. Batinku."Kamu mau berdiri terus di situ? Atau kamu mau dilaporkan ke kampus tentang pernikahanmu?" Deg!Bagaimana dia tahu kalau aku sudah menikah? Daripada pihak kampus tahu lebih baik aku menurutinya. Pintu belakang mobil itu terbuka lalu aku masuk dan duduk disebelahnya.Siapa kira-kira wanita ini ya?***KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 6Bagaimana dia tahu kalau aku sudah menikah? Daripada pihak kampus tahu lebih baik aku menurutinya. Pintu belakang mobil itu terbuka lalu aku masuk dan duduk disebelahnya.Siapa kira-kira wanita ini ya?Bau parfum yang sangat wangi tercium begitu aku duduk di samping wanita itu. Beda sekali denganku yang bau matahari, apalagi kalau melihat dandanan dan model bajunya. Aku dan wanita itu layaknya bumi dan langit. Aku yang sangat lusuh dan dia yang cantik dan modis bak artis. "Jalan, Pak!" Perintahnya pada sopir. Mobil mewah yang aku tumpangi pun perlahan melaju. Tak ada suara berisik mesin seperti angkot yang biasa aku tumpangi, tak ada bau solar tercium yang ada wangi pengharum mobil dan hawa dingin yang keluar dari AC yang terpasang. Jika mereka yang diluar merasa kegerahan maka aku tetap sejuk walaupun di dalam mobil. Seumur hidup baru pernah aku merasakan naik mobil mewah seperti ini. "Kenapa? Baru pernah naik mobil mewah seperti ini?" Wanita itu seperti
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 7"Ikat dia dan lakban mulutnya! Taruh di gudang!"Astaga! Mereka begitu jahat! Ya Tuhan, selamatkan aku.Ditariknya aku untuk berdiri oleh dua orang laki-laki, kemudian memaksaku untuk jalan. "Lepasin aku! Lepas! Toloooong!" Aku berteriak minta tolong berharap ada bantuan yang datang. Kaki kananku tiba-tiba tersandung oleh kaki kiriku akibat jalanku yang dipaksa. Aku pun kemudian terjatuh. Mereka bukannya membantuku untuk berdiri tapi justru mereka melarakku di lantai. Tega sekali mereka. Ibu … bapak tolong Seva."Berhenti kalian!" Terdengar teriakan dari belakangku."A—ayah!" Kedua laki-laki yang menyeretku seketika berhenti dan melepaskan tanganku. Aku yang dengan posisi badan tertelungkup kemudian menyatukan tanganku dibawah dahiku. Ya, aku menangis. Aku yang sedari tadi menahannya kini tak sanggup lagi menahannya.Sentuhan di bahuku dan usapan tangan di kepalaku belum mampu meredakannya. Biarlah, aku melepas beban di dada. "Kalian keterlaluan! Siapa
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 8Memasuki halaman terlihat mobil mewah yang kemarin aku tumpangi bersama Nyonya Lidiya. Mau ngapain lagi dia kesini?Baiknya aku masuk atau aku menghindar dulu ya? Tunggu, di dalam masih ada ibu, bapak juga Seno. Bagaimana kalau mereka tau kejadian kemarin? Kalau begitu aku masuk saja. "Assalamualaikum," ucapku saat akan memasuki rumah."Waalaikumsalam," jawab mereka serempak. Ternyata bukan hanya Nyonya Lidiya tapi ada juga Nyonya Tania. "Sini, Nak, mereka anak-anak suamimu." Ibu memperkenalkan mereka. Ibu menyangka aku belum tahu siapa mereka. "O, ini ya istri baru Ayah? Wah, cantik ya, Ayah pinter banget cari ibu baru buat kita. Bener nggak Mbak Lidiyia?" Nyonya Tania mengatakan seolah-olah kita baru saja bertemu."Be—betul. Cantik banget, pantes Ayah langsung klepek klepek," jawab Nyonya Lidiya. Aku yang masih bingung dengan sikap mereka hanya bisa terdiam, sikap mereka sungguh sangat berbeda dengan yang kemarin. Apa mereka sudah sadar dan menerimaku
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 9"Terima kasih, sudah mau memaafkan anak-anak ku." Suara lirih itu terdengar menempel di telingaku. Nafasnya yang hangat kini beralih di leher. Aku merinding ketika sebuah kecupan mendarat di tengkuk. Rasanya bulu-bulu halus di seluruh tubuhku sudah berdiri. Dia membalikkan badanku, kini kami saling bertatapan. Tangannya yang sedianya melingkar di perutku kini beralih memegang kedua pipiku. Dia mendekatkan wajahnya padaku, semakin dekat bahkan hidung kami sudah saling menempel. Apa yang harus aku lakukan?Oh Tuhan bibirku ini masih perawan jangan sampai ternoda oleh suamiku. Aku belum rela … Berikan pertolongan untuk hambaMU yang selalu bersikap manis ini atau sebentar saja, ubah wajah suamiku seperti Bang Jimin atau Bang Lee Min Hoo ya boleh lah, atau kalau lokalan ya udah Bang Billar ya nggak apa-apa.Tok tok tok"Permisi Bos, mobil sudah siap apa jadi pulang sekarang?" Alhamdulillah ternyata Tuhan mengirimkan penyelamat itu Bang Agus, produk lokal yang
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 10Sepertinya aku melihat seseorang yang aku kenal. Bener nggak ya?Benar! Mataku nggak salah lihat! Dia memakai setelan jas yang juga berwarna putih. Kenapa Andi juga ada disini?Duh, kok jadi bisa kebetulan gini?"Ini acara apa?" tanyaku pada suamiku."Acara ulang tahun cucuku. Dinda nanti akan Kanda kenalin ke semua anak dan cucuku. Ayo, kita kesana.""Si—siapa nama cucunya?""Andi, mungkin dia seumuran sama Dinda. Nanti Kanda kenalin sama Dinda."Duar!Jawaban itu laksana petir yang menyambarku. Baru saja Andi tadi menyatakan suka padaku tapi malam ini, aku harus mendapati kenyataan kalau Andi adalah cucuku. Takdir seperti apa ini?"Permisi Bos, Nyonya ingin bertemu," ucap Pak Agus."Baiklah, Ayo!"Apa sekarang waktunya, apa sekarang jati diriku terungkap di depan Andi? Aku belum siap. Jujur, ada rasa tersendiri saat aku didekat Andi. Apalagi waktu kejadian tadi pagi."Dinda … kok bengong? Ayo!" "I—iya" jawabku gugup. Lalu digandengnya tanganku seperti t
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 11Aku yang mendengar ancaman Mbak Susi langsung terdiam. Lulus kuliah adalah impianku, bahkan cita-cita ku ingin menjadi arsitek. Kalau aku dikeluarkan dari kampus pupus sudah harapanku."Dinda, tolong ambilkan ponsel di kamar!" perintah suamiku. Dengan gontai aku melangkah ke kamar melaksanakan perintahnya. Tak butuh lama, aku sudah meletakkan ponselku dan juga ponsel Seno di atas meja."Ponselku, Dinda …" Aku kira Riko meminta ponselku dan Seno, apa mungkin saat aku tadi ke kamar mereka juga meminta ponsel suamiku? Betapa rakusnya mereka!Segera kuambil ponsel di atas nakas yang sedang diisi daya dan menyerahkannya pada suamiku. Langsung saja suamiku mengutak-atik benda pipih di tangannya. Mungkin sedang me reset ponsel sebelum diserahkan pada Bude Ratmi.'Ya, selamat siang' ucap Suamiku yang terlihat sedang menghubungi seseorang entah siapa.'Langsung saja, aku ingin karyawan yang bernama Suparmin bagian administrasi untuk dipecat hari ini juga! Tanpa pesa
KAKEK TUA itu SUAMIKU"Sebentar, aku ke dapur dulu." Aku yang tadinya sedang belajar langsung menutup bukuku. Sebenarnya aku bukan mau ke dapur tapi aku mencari ibu."Bu, bisa kesini sebentar," pintaku pada Ibu. Ibu ternyata ada di kamarnya sedang ngobrol sama Bapak."Ada apa? Sudah malam kenapa belum tidur?" tanya ibu."Ehm, suamiku minta dikerokin katanya masuk angin tapi—Ibu aja ya yang kerokin?" "Kok Ibu? Istrinya kan kamu masa Ibu yang kerokin! Lucu kamu!" Ibu menolak permintaanku secara tegas. "Nih, pakai ini buat kerokin." Diserahkannya koin seribuan serta balsem pada tanganku. "Kok pakai koin, Bu?""Lah ya pakai koin masa iya pakai sekop! Udah sana masuk kamar kerokin suamimu, Ibu ngantuk." Yah, Ibu malah ngantuk. Kutimang koin dalam genggaman lalu aku menuju tempat peraduan. Ecieeee peraduan, peraduan singa kali.Masuk ke kamar suamiku sudah melepas bajunya dan menyandarkan tubuhnya pada ranjang. Aku mendekati dan mulai naik ke ranjang. Tanpa dikomando suamiku langsung memun
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 13"Seva … apa kamu mau? Kalau kamu malu menjawabnya, ambil coklatnya itu artinya iya tapi kalau ka—""Aku nggak bisa Ndi! Nggak bisa," jawabku berat. Aku mundur perlahan kemudian berpaling. Tanpa terasa air mata ini menetes. Sekuat tenaga aku berlari menuju parkiran. "Va, tunggu! Biar aku yang bawa, kamu bonceng aja." Riska mengambil alih motor yang hendak aku bawa. Motor yang baru pertama kali aku bawa ke kampus.Sepanjang perjalanan aku hanya sibuk dengan pikiranku. "Kita duduk dulu disini, mungkin kamu butuh ketenangan." Riska membawaku ke taman kota. "Rasanya kok sakit ya Ris, bukan sakit tepatnya tapi entah rasa apa ini." Kuungkapkan apa yang aku rasa pada sahabatku Riska."Kenapa kamu menolak Andi? Bisa saja kamu menjalin hubungan dengannya, aku bisa jaga rahasia kok" ucap Riska. Riska belum tau siapa sebenarnya Andi."Kamu nggak tau siapa Andi, Ris," sahutku."Tau lah! Sang ketua BEM, cowok terganteng di kampus kita yang baru saja kamu tolak cintany
"Ehm, Pak Agus kalau pulangnya naik taxi online nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa sih, Nona Bos, tapi mobilnya mau dibawa kemana?""Mau dibawa buat momong aki-aki," gurauku."Gimana Bos?" Pak Agus meminta persetujuan dari suamiku."Perintah istriku mutlak wajib dikabulkan," jawab suamiku. Pak Agus kemudian menyerahkan kunci mobil pada suamiku namun sebelum suamiku menerimanya aku sudah terlebih dahulu merebutnya."Aku yang nyetir," ucapku sambil berlalu menaiki mobil."Jangan lupa pasang safety belt ya Kek," candaku saat suamiku duduk di kursi penumpang sebelahku."Mohon maaf Cu, Kakek lupa cara pasangnya." Lah malah suamiku balik ledek."Oke, kita berangkat. Sesuai aplikasi ya," ucapku menirukan driver taxi online. Kemudian aku pacu mobil sedan Mercedes Benz keluaran terbaru berwarna hitam dengan kecepatan sedang."Kita mau kemana, Sayang?" tanya suamiku."Gimana kalau nonton bioskop?" usulku."Boleh, bentar Kanda booking dulu.""Eh, jangan donk, jangan main asal booking. Kita biasa a
Aku cukup kaget mendengar perintah suamiku, dan Seno pun terlihat langsung menunduk."Darimana kamu belajar nyetir?" tanya suamiku."Dari Bapak," jawab Seno lirih."Maaf Mas Mantu, Seno sebenarnya sudah ada satu tahun belajar nyetir, kadang dia yang antar pesanan ketring, tapi tetap dalam pengawasan bapak. Hanya saja, setelah bapak meninggal, Seno bawa sendiri. Kalau keberatan nanti biar mobilnya ditinggal disini," imbuh Ibu."Apa Kanda marah sama Seno?" tanyaku pada suamiku."Siapa yang marah?""Itu tadi minta mobil di tinggal disini.""Memangnya nggak boleh kalau ditinggal disini?" "Satu minggu lagi kan Seno tujuh belas tahun, bisa buat SIM sama KTP kenapa harus ditinggal disini mobilnya? Kalau ditinggal disini Ibu gimana anter pesanan ketring?" "Dinda jangan marah-marah dulu, belum selesai ngomong udah di protes." "Terus?""Itu mobil yang dibawa Seno udah ketinggalan model, masa anak muda kaya Seno bawa mobil kaya gitu, niatnya mau dibelikan yang baru …," jelas suamiku. "Tapi ka
Perhatian kini tertuju pada perempuan itu, ah iya aku ingat namanya Mayang.Mbak Nisa berbalik, karena perempuan itu datang dari arah belakang Mbak Nisa."Enak banget kamu mau melamar dia?!" pekik Mayang.Ivan yang tadinya berlutut kemudian berdiri menghampiri Mayang."Apa ada yang salah, Mayang?" tanya Ivan."Tentu saja ada!" jawab Mayang dengan nada tinggi. "Kalau kamu melamar dia, apa arti kedekatan kita selama ini?" "Kedekatan? Apa maksudmu? Bukankah dari awal aku sudah memberitahu tentang rencana ini?" tanya Ivan."Kalian selesaikan dulu masalahnya, aku pergi dulu," ucap Mbak Nisa."Tunggu, Nisa!" cegah Ivan."Ada apa lagi? Sudah jelas kan kalau dia berharap lebih pada kamu?""Tapi aku tidak ada maksud apa-apa sama Mayang, aku hanya mencintaimu Nisa ….""Aku juga," jawab Mbak Nisa lirih. "Tapi aku tidak mau ada orang lain yang sakit hati dengan hubungan kita.""Katakan sekali lagi Nisa, apa kamu mencintai Ivan?" tanya Mayang."Maaf, kalau aku salah. Aku memang masih sangat menci
Setelah dilakukan cek darah, dia terkena tipes dan itu sudah lumayan parah," jelas Dokter. "Dia harus rawat inap di rumah sakit," imbuh Dokter."Lakukan yang terbaik untuk putri saya Dok," ucap Ayah Riska."Rawat dia di ruang VVIP, akan aku booking satu lantai untuk dia," ujar suamiku."Tuh, Ris, ucapan adalah doa. Kamu kan dulu pengen booking satu lantai sekarang kesampaian." "Ya kali harus sakit dulu kaya gini," elak Riska. "Ehm, aku cancel deh buat booking satu lantai, mending pulang aja. Boleh nggak, Dok?" pinta Riska."Nggak bisa. Apa kamu mau sakitmu tambah parah?" Riska akhirnya pasrah harus opname di rumah sakit. "Terimakasih Pak Bambang, sudah sangat peduli dengan anak kami," ucap Ayah Riska saat aku dan suamiku hendak pulang."Tidak apa-apa. Riska adalah sahabat baik istriku, dia sudah saya anggap sebagai—""Stop Pak Bambang!" sergah Riska. "Jangan anggap aku sebagai istrimu!" Mendengar ucapan Riska, Ibu Riska langsung memukul kaki Riska."Astaga! ini bocah kalau ngomong
"Maaf Va, tapi benar-benar perutku mual," ucap Riska."Nggak apa-apa." Aku mendorong kursiku kemudian mendekati Riska. Aku pijat tengkuk lehernya, agar dia merasa lebih baik. "Jangan-jangan dia hamil," ucap seseorang yang duduk di meja sebelahku."Apa maksudmu mengatakan hal itu?" tanyaku padanya."Ya nggak apa-apa. Sekarang lihat deh, dia muntah-muntah di pagi hari, bukankah pas sama ciri-ciri orang hamil?""Kalau ngomong disaring dulu mulutnya! Nggak tau apa-apa udah ngomong hamil!""Loh, kok kamu nggak terima?!""Kirim aja nggak gimana aku mau terima? Dasar aneh, kenal juga nggak udah main tuduh!" Ingin aku menyiram muka perempuan itu dengan teh yang ada diatas meja, tapi tanganku malah ditarik oleh Riska."Va … aku pulang aja ya," ucap Riska."Aku anterin ya," usulku pada Riska."Nggak usah, aku naik taksi online aja, kamu kan ada kelas pagi," tolak Riska."Udah, nggak usah dipikirin," jawabku.Aku kemudian membantu Riska untuk berdiri dan memapahnya."Maaf Va, ngrepotin kamu," u
"Va, kamu selalu bawa kan?" tanya Riska. Entah apa maksudnya malah tanya seperti itu."Bawa apaan?" "Permen!" jawab Riska ketus. "Botol Va, botol."Auto mikir dengan ucapan Riska. Aku ingat-ingat tentang botol, yang terlintas di otak malah bayangan tampan suamiku. Aku geser kembali bayangan suamiku, yang keluar malah Song Joong Ki. Hih! Ni otak kenapa mendadak pintar!"Kelamaan mikir kamu, Va!" hardik Riska. Dua orang laki-laki itu sudah sangat dekat jaraknya dengan kami. "Om-om! Lihat deh, ke atas," ucap Riska."Ada apa di atas?" tanya salah satu laki-laki itu."Itu ada cicak bawa koper, kayaknya keberatan deh. Bantuin dulu gih Om," jawab Riska membuatku tepuk jidat. Bisa-bisanya dia bercanda disaat seperti ini."Ngledek kamu, hah?!" bentak laki-laki itu."Siapa yang ngeledek?" elak Riska. "Kalau yang ini beneran deh, tuh lihat dipojokkan," tunjuk Riska pada benda kecil yang terpasang di langit-langit pojok lift. "Kasih lihat giginya dulu, Om!" perintah Riska. Yang lebih mencengang
"Mbak … Mbak Nisa kenapa?" Aku beranikan diri untuk bertanya pada Mbak Nisa karena semakin lama air mata Mbak Nisa semakin banyak mengalir di pipi."Mbak Nisa nangis pengin balon? Atau mau kue ulang tahun? Nanti Riska ambilkan, tapi jangan nangis ya …" hibur Riska."Kenapa rasanya sakit kaya gini? Seharusnya aku biasa saja. Aku sudah menolaknya, tapi aku sakit melihatnya dengan perempuan lain," ucap Mbak Nisa terisak."Apa itu karena Ivan Mbak?" tanyaku pada Mbak Nisa. "Kenapa Mbak Nisa menolak lamaran Ivan kalau Mbak Nisa cinta sama dia?""A—aku takut dia kecewa Va. Kamu kan tau aku nggak bisa kasih dia keturunan dulu juga ibunya menentang hubungan kami karena hal itu.""Waktu mau melamar Mbak Nisa kan ibunya sudah merestui Mbak, kenapa Mbak Nisa tetap menolaknya?""Aku takut Va, takut jika suatu saat ibunya kembali mengungkitnya.""Mbak Nisa sekarang masih cinta sama Ivan?""Dari dulu aku nggak pernah mencintai laki-laki lain selain dia, bahkan setelah aku meninggalkannya ke Austral
Malamnya kami sudah sampai di tempat Ibu. Mbak Nisa malah sudah sampai terlebih dahulu karena Mbak Nisa dari kantor langsung ke tempat Ibu. Kue yang aku pesan juga sudah sekalian dibawa sama Mbak Nisa.Di ruang tamu para tamu datang berkumpul untuk mengirimkan doa untuk Bapak."Va, kuenya enak," ucap Riska saat baca doa telah selesai."Hmmmm, makan terus kamu kerjanya! Bukannya ikut kirim doa!" sungutku pada Riska."Aku kan lagi halangan, Va," jawabnya dengan mulut penuh makanan. "Halah! Alasan aja kamu!" timpal Mbak Nisa. "Aku perhatiin kok dari tadi kamu sibuk sama kacang di depan kamu. Tuh lihat kulitnya aja paling banyak di depan kamu." "Lah kan biar pas, nanti kalau kulitnya di buang jadinya kacang yang lupa sama kulitnya," elak Riska.Pukul sembilan malam akhirnya acara telah selesai, semua tamu sudah kembali ke rumah masing-masing. Kami memutuskan untuk menginap di rumah Ibu."Ris, kamu masih ngunyah?" tanya Mbak Nisa saat Riska masih menikmati bola-bola coklat yang ada di de
Bi Asih kemudian mematikan sambungan teleponnya dan berbalik."Nyo—nya," ucap Bi Asih gelagapan. Mukanya menunduk tak berani menatapku."Iya ini saya. Kaget?!" "Ti—tidak Nyonya, saya kira Nyonya masih di kamar sebelah," jawab Bi Asih melawan rasa gugupnya."Sudah dari tadi saya disini. Mana ponselmu?" Bi Asih kemudian merogoh saku bajunya dan menyerahkan ponsel kepadaku, yang diserahkannya justru ponselku padahal sudah jelas yang aku minta adalah ponsel Bi Asih. Aku terima saja ponselku dan aku masukkan kantong bajuku."Ponsel Bi Asih mana?" tanyaku."Bu—bu—buat apa Nyonya?" "Nggak usah banyak tanya! Saya sudah tau semuanya! Cepat berikan ponsel kamu!" teriaku.Bi Asih kaget dengan suara nada tinggi yang aku keluarkan. Tangannya langsung bertindak cepat merogoh saku kemudian menyerahkan ponsel miliknya padaku."Ada apa Dinda?" tanya suamiku yang baru saja terbangun. Mungkin dia kaget dengan suara kerasku."Maaf Kanda, sudah membuat Kanda kaget sampai terbangun," jawabku pada suamik