KAKEK TUA itu SUAMIKU
Bab 6Bagaimana dia tahu kalau aku sudah menikah? Daripada pihak kampus tahu lebih baik aku menurutinya. Pintu belakang mobil itu terbuka lalu aku masuk dan duduk disebelahnya.Siapa kira-kira wanita ini ya?Bau parfum yang sangat wangi tercium begitu aku duduk di samping wanita itu. Beda sekali denganku yang bau matahari, apalagi kalau melihat dandanan dan model bajunya. Aku dan wanita itu layaknya bumi dan langit. Aku yang sangat lusuh dan dia yang cantik dan modis bak artis. "Jalan, Pak!" Perintahnya pada sopir. Mobil mewah yang aku tumpangi pun perlahan melaju. Tak ada suara berisik mesin seperti angkot yang biasa aku tumpangi, tak ada bau solar tercium yang ada wangi pengharum mobil dan hawa dingin yang keluar dari AC yang terpasang. Jika mereka yang diluar merasa kegerahan maka aku tetap sejuk walaupun di dalam mobil. Seumur hidup baru pernah aku merasakan naik mobil mewah seperti ini. "Kenapa? Baru pernah naik mobil mewah seperti ini?" Wanita itu seperti tahu dengan apa yang aku rasakan atau memang gestur tubuhku yang terlalu ketara?"Kita mau ke mana?" tanyaku."Duduk saja diam, nggak usah banyak tanya!" Wanita itu mulai membentakku.Lima belas menit perjalanan, mobil berhenti di sebuah bangunan."Turunlah dan ikuti aku!" Pintu mobil dibuka dari luar, sopir yang membukakan pintunya. Aku mengekori wanita itu sesuai perintahnya. "Selamat siang Nyonya Lidiya, hari ini perawatan seperti biasa, ya," ucap perempuan cantik yang menyambut kami eh lebih tepatnya menyambut wanita di depanku saat memasuki ruangan ini. Jadi wanita ini namanya Lidiya, persis seperti namaku Seva Lidiya Dewi."Ya, seperti biasanya," jawabnya singkat."Apakah gadis di belakang Anda juga akan melakukan perawatan? Jika rajin melakukan perawatan seperti Anda wajahnya pasti akan lebih cantik." "Jangan sembarangan! Dia itu cuma anak pembantuku, nggak level perawatan disini!" Wanita itu mengatakan sambil menunjuk ke arahku. "Selama dia menunggu perawatan kamu bisa menyuruhnya melakukan tugas pembantu, nggak usah bayar aku beri tenaga gratisan!" Telunjuk wanita itu mengarah lurus ke mukaku. Sialan wanita ini, enak aja menganggap aku pembantu."Oh, maaf! Mari, Nyonya Lidiya ke ruangan yang biasa. Dan kamu, duduk dulu disitu nanti akan aku beri tugas." Mau tidak mau aku hanya bisa menuruti perintahnya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang dipenuhi dengan kaca besar, ada juga ruangan lain tapi pintunya ditutup entah ruangan buat apa."Nggak usah takjub gitu, apa baru pertama kali masuk ke ruangan kayak gini?" Suara perempuan tadi menyadarkan ku dari lamunan. "Nggak Mbak, biasa aja!" Mana mungkin kujawab jujur, malu donk."Ikut aku! Ada tugas buat kamu!" Perempuan itu memintaku untuk mengikutinya. Dia terus berjalan melewati beberapa ruangan dan berhenti ketika sampai di ruangan yang aku kira ini dapur. "Cuci piring dan gelas yang kotor itu! Ingat jangan sampai ada yang pecah! Setelah itu kamu lanjutkan bersihkan kamar mandi, letaknya di sebelah dapur ini!" Rentetan tugas dia berikan tanpa menunggu persetujuanku. "Oh iya, jangan lupa sapu dan pel seluruh tempat ini! Yang bersih! Awas kalau sampai ada yang kotor!" Perempuan itu justru memberikan tugas lagi padaku. Tak ada jawaban dariku, aku hanya diam, ingin aku menolaknya tapi aku takut dilaporkan ke wanita yang membawaku. Kalau saja wanita itu tidak mengancamku akan memberitahukan pernikahanku ke pihak kampus tentu aku sudah kabur dari tempat ini. Sudahlah lebih baik aku kerjakan saja apa yang dia mau. Kuawali dengan mencuci piring dan gelas, beres mengerjakan itu kemudian beralih ke kamar mandi. Untung saja ini pekerjaan yang biasa aku lakukan di rumah jadi aku tak kaget dengan ini semua. Lepas itu aku mengambil sapu dan peralatan untuk mengepel yang terdapat di gudang sebelah kamar mandi. Sudah ada sekitar dua jam aku berkutat dengan tugas yang mirip dengan pembantu, rasanya capek juga. Baju seragam sekolah yang tadi aku kenakan kini sudah banjir oleh keringat. Jangan ditanya baunya, asem!Huft, keterlaluan memang mereka!"Udah selesai tugasnya?" tanya perempuan itu. "Udah," jawabku datar."Ke depan sana! Ditunggu sama Nyonya Lidiya." Aku yang sedang meletakkan alat pel bergegas menuju ke depan, kemudian mengikuti Nyonya Lidiya. Nyonya Lidiya kemudian berhenti di meja kasir, itu aku ketahui dari papan kecil yang tertera di meja."Semuanya lima puluh juta ya, Bu." Seorang pegawai dengan seragam merah dan rambut dicepol yang berada di balik meja mengatakan angka yang harus dibayar oleh Nyonya Lidiya. "Oke, pakai kartu yang ini." Nyonya Lidiya kemudian menyerahkan satu kartu tipis yang berbentuk seperti ATM kepada pegawai itu."Terimakasih, sudah melakukan perawatan di tempat kami. Bulan depan ada promo untuk masker berlian apa Nyonya tertarik? Jika iya, Nyonya bisa booking dari sekarang karena ini terbatas, biayanya dua kali lebih besar dari perawatan biasa yang biasa Nyonya lakukan." Pegawai itu menawarkan perawatan yang lebih mahal dari yang sekarang. Jika tadi nominal lima puluh juta sudah membuatku tercengang apalagi yang dua kali lipatnya? Itu artinya seratus juta hanya untuk perawatan muka! "Oke, aku booking sekalian. Ingat ya, aku harus berada di list yang pertama! Jika berada di nomer lain maka akan aku batalkan!" ancam Nyonya Lidiya. Begitu gampangnya orang kaya menghamburkan uang, tidakah mereka berpikir tentang orang yang sepertiku? Bahkan bapak harus menarik becak dengan sekuat tenaganya agar kami bisa terus bertahan sementara ini ratusan juta hanya untuk masker."Baik Nyonya Lidiya, ini sudah masuk di list yang pertama. Sekali lagi terimakasih." ***"Selamat sore Nyonya Lidiya, anda sudah ditunggu di meja nomor satu. Mari saya antar," ucap seorang laki-laki dengan seragam hitam putih. Kali ini aku sudah berada di lantai 5 gedung Hotel Piramida. Hotel yang biasanya hanya aku bisa lihat dari luar kini aku sudah berada di dalamnya. "Hei, kenapa lama sekali?" Wanita cantik yang duduk di meja nomor satu menyambut Nyonya Lidiya. "Apa kau tak lihat mukaku? Ini hasil selama dua jam lebih." Nyonya Lidiya memperlihatkan mukanya yang aku lihat malah jadi merah-merah seperti alergi. Apa memang orang yang habis perawatan efeknya gitu ya? "Apa dia gadis itu?" Wanita itu melirik kepadaku."Begitulah," jawab Nyonya Lidiya. "Silahkan duduk, Nyonya." Pelayan yang tadi mengantar menyeret kursi dengan sangat pelan dan mempersilahkan Nyonya Lidiya untuk duduk. Kemudian pelayan itu menyerahkan yang aku kira daftar menu kepada mereka. Entah apa yang mereka pesan aku tidak tahu, sedangkan aku tetap dalam posisi berdiri di belakang Nyonya Lidiya. Tak berselang lama pesanan makan mereka datang, biarpun saat ini aku sangat lapar tapi melihat makanan itu rasanya aku tak berselera. Bagaimana aku bisa berselera, mereka hanya makan daging yang terlihat masih mentah, minuman kopi yang atasnya ada gambarnya lalu kue yang mungkin hanya tiga sendok langsung habis. Masih enak jika Ibu masak nasi, ikan asin, lalapan dan sambel. Setelah makanan datang mereka tak langsung memakannya tapi memotretnya terlebih dahulu, mirip seperti Riska ketika sedang makan seblak. Dia pasti akan memotretnya entah berapa ratus kali sampai makanan itu dingin.Satu jam sudah berlalu, itu aku lihat dari jam besar yang ada di sudut ruangan. Aku masih setia berdiri layaknya sebuah patung. Jangankan disuruh ikut makan, setetes air putih pun tak mereka tawarkan untukku.Nyonya Lidiya mengarahkan tangannya ke atas dan tak berselang lama pelayan yang tadi datang menghampiri. Dia sempat melirikku tapi itu hanya sekilas.Tanpa percakapan pelayan itu menyerahkan nampan yang diatasnya berisi kertas."Aku saja yang bayar, cuma sepuluh juta." Nyonya Lidiya kembali mengeluarkan uangnya untuk makan yang bagiku tidak membuatku kenyang. Coba saja sepuluh juta untuk membeli beras, bisa dapat berapa puluh karung ya?Diletakkannya kartu yang sama seperti di tempat perawatan di atas nampan pelayan, kemudian pelayan itu pergi."Bagaimana rasanya berdiri terus?" Wanita yang satu itu bertanya padaku tapi aku sama sekali tak ingin menjawabnya.Untung saja pelayan itu sudah kembali lagi jadi mereka kembali acuh padaku."Ayo pergi!" Mereka mengatakan setelah memberikan dua lembar uang berwarna merah pada pelayan itu. Lepas itu kembali aku dibawanya ke tempat yang aku tau itu adalah showroom mobil. Terlihat berderet mobil dengan warna beragam."Ini sudah menjelang malam, apa masih buka?" tanya Nyonya Lidiya sambil memegang setang bundarnya. Sopir yang tadi mengantar ke hotel entah kemana atau memang disuruh pergi aku juga nggak tau, jadilah di dalam mobil tinggal kami bertiga. Aku, Nyonya Lidiya dan wanita yang makan bersamanya tadi."Tenang saja semua sudah diatur tak mungkin mereka akan menutupnya jika aku yang datang." "Bukankah satu minggu yang lalu kamu sudah membeli mobil baru? Untuk apa kesini lagi? Jangan bilang—" Nyonya Lidiya menghentikan ucapannya."Memang iya, satu minggu lagi Andi akan ulang tahun, sebagai ibu yang baik tentu saja aku akan memberikannya kado yang terbaik." Wanita itu mengucapkan nama Andi, nama yang sama dengan orang yang tadi memberikan coklat padaku. Tentu saja nama Andi itu banyak, kemungkinan besar mereka berbeda."Ikut kami turun! Bukankah manusia sepertimu belum pernah masuk ke showroom mobil mewah seperti ini?" Aku yang duduk sendirian di jok belakang langsung membuka pintu mobil. "Selamat sore Nyonya Tania dan ehm, Nyonya—" "Lidiya," sahut Nyonya Lidiya pada laki-laki yang menyambut mereka. Jadi yang satu namanya Tania, ya lumayan mirip."Ya, Nyonya Lidiya, dan yang ini?" Laki-laki itu memicingkan matanya ke arahku."Anggap dia debu kotor!" Seru Nyonya Tania.Deg!Begitu rendahnya aku di mata mereka sampai aku dianggapnya debu kotor."Oh, baiklah. Mari kita lihat mobilnya" ajak laki-laki itu. Lagi-lagi aku yang dianggapnya debu harus mengikutinya dari belakang. Sungguh aku merasa sangat lemas, lelah dan tentu saja lapar."Wow, kamu memang ibu yang sangat baik. Jika kamu membelikan Andi mobil ini pasti anakku Tristan juga akan memintanya. Berapa harganya?" tanya Nyonya Lidiya."Harga sesuai barang, tak lebih dari dua milyar," jawab laki-laki itu.Mobil berwarna kuning pemeran Bumblebee yang pernah aku lihat di film Transformers itu sekarang aku bisa melihat versi aslinya. Harganya pun tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dua milyar! Kalau dijadikan pecahan seribuan ada berapa lembar? Dua milyar hanya untuk kado anaknya yang ulang tahun. Sungguh mudah keuangan orang kaya ini berbanding terbalik dengan aku. Pantas saja aku dianggap debu kotor."Baiklah ... aku mau, kamu mengirimkannya pas hari ulang tahun anakku. Tutupi dulu semua bagian mobilnya. Jangan sampai ada satu kesalahan sedikitpun!" Nyonya Tania memberi arahan pada laki-laki itu."Percayakan padaku, bukankah showroom kami tak pernah membuat kesalahan."***Badan ini rasanya sudah sangat letih, hari juga sudah gelap tapi aku belum juga diperbolehkan pulang. Bapak sama Ibu pasti khawatir. Bagaimana kalau aku lari saja? Tidak … tidak … aku masih takut dengan ancaman itu. Aku ikuti saja barangkali setelah ini aku diperbolehkan pulang."Turun kamu!" Ada rasa enggan untuk mengikutinya, aku tetap bergeming ditempatku berharap mereka mengerti kalau aku tidak mau."Eh, malah diam saja! Ayo turun!" Ditariknya tanganku secara paksa, hampir saja aku terjatuh. Aku terus ditariknya sampai memasuki halaman rumah yang bak istana. Begitu masuk ke dalam ruangan aku dibuatnya takjub dengan kursi megah dan berdirinya guci antik yang ada di sudut ruangan. "Sudah datang rupanya. Hei, kemarilah Ibu tiri kalian sudah datang!" Seorang laki-laki berpawakan tinggi mengucapkan Ibu tiri kepadaku. Apa artinya mereka adalah anak-anak suamiku?Tanganku tak lagi ditariknya, aku mematung tak berani bergerak."O, jadi ini gadis murahan itu?" Datang lagi seorang laki-laki dan satu orang perempuan yang kemarin pernah datang. Ya, aku ingat namanya Nisa."Duduk!" Perintah Nisa kepadaku.Aku menuju kursi didekatku kemudian menjatuhkan bobot tubuhku di kursi yang sangat empuk. "Eeh enak saja duduk di kursi, duduk di lantai!" Nisa mendorongku dari kursi hingga aku jatuh terjerembab. "Ha ha ha ha, lihat itu! Dia jatuh!" Mereka bukannya membantuku tapi malah menertawakanku. Ya Tuhan, manusia macam apa mereka? Bibirku terasa perih karena tadi menghantam lantai, aku menempelkan telunjukku pada bagian yang sakit ternyata ada darah yang keluar dari bibirku."Kau tau kenapa aku mengajakmu berkeliling? Karena aku ingin kamu sadar, kamu tak sederajat denganku apalagi dengan ayah! Manusia miskin sepertimu nggak usah mimpi akan sama dengan kami! Apa yang kamu inginkan? Uang? Berapa harga tubuh yang kamu tawarkan pada ayahku? Satu milyar? Lima milyar? Sepertinya itu terlalu mahal, jangan-jangan malah gratisan, entah sudah berapa lelaki yang sudah menikmati tubuhmu!" Aku hanya diam dengan hinaan yang mereka lontarkan, walaupun ada rasa nyeri di dada. Mereka terlalu membanggakan harta yang mereka miliki sampai lupa manusia itu derajatnya sama, mereka bahkan menghinaku yang sampai detik ini masih menjaga mahkotaku."Kalian itu memang kaya harta tapi sayang miskin hati!" Kuberanikan diri untuk bicara setelah dari tadi diam.Plak!Satu tamparan mendarat di pipi kananku. Aku menatap nyalang pada dia yang telah menamparku—Nisa. Tak sampai disitu dia bahkan menjam*ak rambutku. "Berani kamu melawan kami, hah?!" Dia kemudian melepas rambutku dan beralih menarik paksa kemeja yang aku kenakan hingga kancing kemejanya lepas semua. Aku mempertahankannya dengan memegang kedua sisinya agar bagian depan tubuhku tak terlihat. Kejam sekali kamu Nisa!"Non, gawat! Tuan ada di depan!" Ucap wanita paruh baya yang datang dengan tergopoh-gopoh."Bagaimana ini? Jangan sampai katauan ayah bisa-bisa mam*us kita!" Nyonya Lidiya terlihat panik dengan kedatangan ayahnya. Dalam hati aku sedikit tenang akan ada bantuan datang."Ikat dia dan lakban mulutnya! Taruh di gudang!"***KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 7"Ikat dia dan lakban mulutnya! Taruh di gudang!"Astaga! Mereka begitu jahat! Ya Tuhan, selamatkan aku.Ditariknya aku untuk berdiri oleh dua orang laki-laki, kemudian memaksaku untuk jalan. "Lepasin aku! Lepas! Toloooong!" Aku berteriak minta tolong berharap ada bantuan yang datang. Kaki kananku tiba-tiba tersandung oleh kaki kiriku akibat jalanku yang dipaksa. Aku pun kemudian terjatuh. Mereka bukannya membantuku untuk berdiri tapi justru mereka melarakku di lantai. Tega sekali mereka. Ibu … bapak tolong Seva."Berhenti kalian!" Terdengar teriakan dari belakangku."A—ayah!" Kedua laki-laki yang menyeretku seketika berhenti dan melepaskan tanganku. Aku yang dengan posisi badan tertelungkup kemudian menyatukan tanganku dibawah dahiku. Ya, aku menangis. Aku yang sedari tadi menahannya kini tak sanggup lagi menahannya.Sentuhan di bahuku dan usapan tangan di kepalaku belum mampu meredakannya. Biarlah, aku melepas beban di dada. "Kalian keterlaluan! Siapa
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 8Memasuki halaman terlihat mobil mewah yang kemarin aku tumpangi bersama Nyonya Lidiya. Mau ngapain lagi dia kesini?Baiknya aku masuk atau aku menghindar dulu ya? Tunggu, di dalam masih ada ibu, bapak juga Seno. Bagaimana kalau mereka tau kejadian kemarin? Kalau begitu aku masuk saja. "Assalamualaikum," ucapku saat akan memasuki rumah."Waalaikumsalam," jawab mereka serempak. Ternyata bukan hanya Nyonya Lidiya tapi ada juga Nyonya Tania. "Sini, Nak, mereka anak-anak suamimu." Ibu memperkenalkan mereka. Ibu menyangka aku belum tahu siapa mereka. "O, ini ya istri baru Ayah? Wah, cantik ya, Ayah pinter banget cari ibu baru buat kita. Bener nggak Mbak Lidiyia?" Nyonya Tania mengatakan seolah-olah kita baru saja bertemu."Be—betul. Cantik banget, pantes Ayah langsung klepek klepek," jawab Nyonya Lidiya. Aku yang masih bingung dengan sikap mereka hanya bisa terdiam, sikap mereka sungguh sangat berbeda dengan yang kemarin. Apa mereka sudah sadar dan menerimaku
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 9"Terima kasih, sudah mau memaafkan anak-anak ku." Suara lirih itu terdengar menempel di telingaku. Nafasnya yang hangat kini beralih di leher. Aku merinding ketika sebuah kecupan mendarat di tengkuk. Rasanya bulu-bulu halus di seluruh tubuhku sudah berdiri. Dia membalikkan badanku, kini kami saling bertatapan. Tangannya yang sedianya melingkar di perutku kini beralih memegang kedua pipiku. Dia mendekatkan wajahnya padaku, semakin dekat bahkan hidung kami sudah saling menempel. Apa yang harus aku lakukan?Oh Tuhan bibirku ini masih perawan jangan sampai ternoda oleh suamiku. Aku belum rela … Berikan pertolongan untuk hambaMU yang selalu bersikap manis ini atau sebentar saja, ubah wajah suamiku seperti Bang Jimin atau Bang Lee Min Hoo ya boleh lah, atau kalau lokalan ya udah Bang Billar ya nggak apa-apa.Tok tok tok"Permisi Bos, mobil sudah siap apa jadi pulang sekarang?" Alhamdulillah ternyata Tuhan mengirimkan penyelamat itu Bang Agus, produk lokal yang
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 10Sepertinya aku melihat seseorang yang aku kenal. Bener nggak ya?Benar! Mataku nggak salah lihat! Dia memakai setelan jas yang juga berwarna putih. Kenapa Andi juga ada disini?Duh, kok jadi bisa kebetulan gini?"Ini acara apa?" tanyaku pada suamiku."Acara ulang tahun cucuku. Dinda nanti akan Kanda kenalin ke semua anak dan cucuku. Ayo, kita kesana.""Si—siapa nama cucunya?""Andi, mungkin dia seumuran sama Dinda. Nanti Kanda kenalin sama Dinda."Duar!Jawaban itu laksana petir yang menyambarku. Baru saja Andi tadi menyatakan suka padaku tapi malam ini, aku harus mendapati kenyataan kalau Andi adalah cucuku. Takdir seperti apa ini?"Permisi Bos, Nyonya ingin bertemu," ucap Pak Agus."Baiklah, Ayo!"Apa sekarang waktunya, apa sekarang jati diriku terungkap di depan Andi? Aku belum siap. Jujur, ada rasa tersendiri saat aku didekat Andi. Apalagi waktu kejadian tadi pagi."Dinda … kok bengong? Ayo!" "I—iya" jawabku gugup. Lalu digandengnya tanganku seperti t
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 11Aku yang mendengar ancaman Mbak Susi langsung terdiam. Lulus kuliah adalah impianku, bahkan cita-cita ku ingin menjadi arsitek. Kalau aku dikeluarkan dari kampus pupus sudah harapanku."Dinda, tolong ambilkan ponsel di kamar!" perintah suamiku. Dengan gontai aku melangkah ke kamar melaksanakan perintahnya. Tak butuh lama, aku sudah meletakkan ponselku dan juga ponsel Seno di atas meja."Ponselku, Dinda …" Aku kira Riko meminta ponselku dan Seno, apa mungkin saat aku tadi ke kamar mereka juga meminta ponsel suamiku? Betapa rakusnya mereka!Segera kuambil ponsel di atas nakas yang sedang diisi daya dan menyerahkannya pada suamiku. Langsung saja suamiku mengutak-atik benda pipih di tangannya. Mungkin sedang me reset ponsel sebelum diserahkan pada Bude Ratmi.'Ya, selamat siang' ucap Suamiku yang terlihat sedang menghubungi seseorang entah siapa.'Langsung saja, aku ingin karyawan yang bernama Suparmin bagian administrasi untuk dipecat hari ini juga! Tanpa pesa
KAKEK TUA itu SUAMIKU"Sebentar, aku ke dapur dulu." Aku yang tadinya sedang belajar langsung menutup bukuku. Sebenarnya aku bukan mau ke dapur tapi aku mencari ibu."Bu, bisa kesini sebentar," pintaku pada Ibu. Ibu ternyata ada di kamarnya sedang ngobrol sama Bapak."Ada apa? Sudah malam kenapa belum tidur?" tanya ibu."Ehm, suamiku minta dikerokin katanya masuk angin tapi—Ibu aja ya yang kerokin?" "Kok Ibu? Istrinya kan kamu masa Ibu yang kerokin! Lucu kamu!" Ibu menolak permintaanku secara tegas. "Nih, pakai ini buat kerokin." Diserahkannya koin seribuan serta balsem pada tanganku. "Kok pakai koin, Bu?""Lah ya pakai koin masa iya pakai sekop! Udah sana masuk kamar kerokin suamimu, Ibu ngantuk." Yah, Ibu malah ngantuk. Kutimang koin dalam genggaman lalu aku menuju tempat peraduan. Ecieeee peraduan, peraduan singa kali.Masuk ke kamar suamiku sudah melepas bajunya dan menyandarkan tubuhnya pada ranjang. Aku mendekati dan mulai naik ke ranjang. Tanpa dikomando suamiku langsung memun
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 13"Seva … apa kamu mau? Kalau kamu malu menjawabnya, ambil coklatnya itu artinya iya tapi kalau ka—""Aku nggak bisa Ndi! Nggak bisa," jawabku berat. Aku mundur perlahan kemudian berpaling. Tanpa terasa air mata ini menetes. Sekuat tenaga aku berlari menuju parkiran. "Va, tunggu! Biar aku yang bawa, kamu bonceng aja." Riska mengambil alih motor yang hendak aku bawa. Motor yang baru pertama kali aku bawa ke kampus.Sepanjang perjalanan aku hanya sibuk dengan pikiranku. "Kita duduk dulu disini, mungkin kamu butuh ketenangan." Riska membawaku ke taman kota. "Rasanya kok sakit ya Ris, bukan sakit tepatnya tapi entah rasa apa ini." Kuungkapkan apa yang aku rasa pada sahabatku Riska."Kenapa kamu menolak Andi? Bisa saja kamu menjalin hubungan dengannya, aku bisa jaga rahasia kok" ucap Riska. Riska belum tau siapa sebenarnya Andi."Kamu nggak tau siapa Andi, Ris," sahutku."Tau lah! Sang ketua BEM, cowok terganteng di kampus kita yang baru saja kamu tolak cintany
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 14 "Iya, Bu, semalam dikasih katanya hadiah karena udah jagain suamiku pas sakit kemarin malam.""Kayak kalung hadiah jajan itu ya?" Nah, kan ibu aja satu pemikiran denganku."Eh, jangan salah, Bu. Ini kalung berlian, katanya harganya bisa buat beli pabrik ciki.""Masa? Tau gitu Ibu aja yang kemarin jagain suamimu, ha ha ha," gurau Ibu. "Bercanda Va, simpan baik-baik kalungnya pakainya kalau pergi sama suamimu aja, selebihnya lepas." "Iya, Bu, Seva juga nggak berani pakai takut malah mengundang orang jahat."***"Va, kamu disuruh ke ruang wakil dekan tuh!" Riska memberitahuku saat sedang di kantin. Sebenarnya aku bingung, tumben aja sampai dipanggil bagian akademik. Bergegas aku menuju ruang wakil dekan. Ruang wakil dekan berada di samping lantai tiga dan untuk menuju kesana harus melewati ruang BEM, tempat biasa Andi berkumpul. Aku harap aku tidak berjumpa dengannya. Sepertinya aman, mungkin Andi sedang berada di kelas atau mungkin saja hari ini nggak ada j
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa