KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 11Aku yang mendengar ancaman Mbak Susi langsung terdiam. Lulus kuliah adalah impianku, bahkan cita-cita ku ingin menjadi arsitek. Kalau aku dikeluarkan dari kampus pupus sudah harapanku."Dinda, tolong ambilkan ponsel di kamar!" perintah suamiku. Dengan gontai aku melangkah ke kamar melaksanakan perintahnya. Tak butuh lama, aku sudah meletakkan ponselku dan juga ponsel Seno di atas meja."Ponselku, Dinda …" Aku kira Riko meminta ponselku dan Seno, apa mungkin saat aku tadi ke kamar mereka juga meminta ponsel suamiku? Betapa rakusnya mereka!Segera kuambil ponsel di atas nakas yang sedang diisi daya dan menyerahkannya pada suamiku. Langsung saja suamiku mengutak-atik benda pipih di tangannya. Mungkin sedang me reset ponsel sebelum diserahkan pada Bude Ratmi.'Ya, selamat siang' ucap Suamiku yang terlihat sedang menghubungi seseorang entah siapa.'Langsung saja, aku ingin karyawan yang bernama Suparmin bagian administrasi untuk dipecat hari ini juga! Tanpa pesa
KAKEK TUA itu SUAMIKU"Sebentar, aku ke dapur dulu." Aku yang tadinya sedang belajar langsung menutup bukuku. Sebenarnya aku bukan mau ke dapur tapi aku mencari ibu."Bu, bisa kesini sebentar," pintaku pada Ibu. Ibu ternyata ada di kamarnya sedang ngobrol sama Bapak."Ada apa? Sudah malam kenapa belum tidur?" tanya ibu."Ehm, suamiku minta dikerokin katanya masuk angin tapi—Ibu aja ya yang kerokin?" "Kok Ibu? Istrinya kan kamu masa Ibu yang kerokin! Lucu kamu!" Ibu menolak permintaanku secara tegas. "Nih, pakai ini buat kerokin." Diserahkannya koin seribuan serta balsem pada tanganku. "Kok pakai koin, Bu?""Lah ya pakai koin masa iya pakai sekop! Udah sana masuk kamar kerokin suamimu, Ibu ngantuk." Yah, Ibu malah ngantuk. Kutimang koin dalam genggaman lalu aku menuju tempat peraduan. Ecieeee peraduan, peraduan singa kali.Masuk ke kamar suamiku sudah melepas bajunya dan menyandarkan tubuhnya pada ranjang. Aku mendekati dan mulai naik ke ranjang. Tanpa dikomando suamiku langsung memun
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 13"Seva … apa kamu mau? Kalau kamu malu menjawabnya, ambil coklatnya itu artinya iya tapi kalau ka—""Aku nggak bisa Ndi! Nggak bisa," jawabku berat. Aku mundur perlahan kemudian berpaling. Tanpa terasa air mata ini menetes. Sekuat tenaga aku berlari menuju parkiran. "Va, tunggu! Biar aku yang bawa, kamu bonceng aja." Riska mengambil alih motor yang hendak aku bawa. Motor yang baru pertama kali aku bawa ke kampus.Sepanjang perjalanan aku hanya sibuk dengan pikiranku. "Kita duduk dulu disini, mungkin kamu butuh ketenangan." Riska membawaku ke taman kota. "Rasanya kok sakit ya Ris, bukan sakit tepatnya tapi entah rasa apa ini." Kuungkapkan apa yang aku rasa pada sahabatku Riska."Kenapa kamu menolak Andi? Bisa saja kamu menjalin hubungan dengannya, aku bisa jaga rahasia kok" ucap Riska. Riska belum tau siapa sebenarnya Andi."Kamu nggak tau siapa Andi, Ris," sahutku."Tau lah! Sang ketua BEM, cowok terganteng di kampus kita yang baru saja kamu tolak cintany
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 14 "Iya, Bu, semalam dikasih katanya hadiah karena udah jagain suamiku pas sakit kemarin malam.""Kayak kalung hadiah jajan itu ya?" Nah, kan ibu aja satu pemikiran denganku."Eh, jangan salah, Bu. Ini kalung berlian, katanya harganya bisa buat beli pabrik ciki.""Masa? Tau gitu Ibu aja yang kemarin jagain suamimu, ha ha ha," gurau Ibu. "Bercanda Va, simpan baik-baik kalungnya pakainya kalau pergi sama suamimu aja, selebihnya lepas." "Iya, Bu, Seva juga nggak berani pakai takut malah mengundang orang jahat."***"Va, kamu disuruh ke ruang wakil dekan tuh!" Riska memberitahuku saat sedang di kantin. Sebenarnya aku bingung, tumben aja sampai dipanggil bagian akademik. Bergegas aku menuju ruang wakil dekan. Ruang wakil dekan berada di samping lantai tiga dan untuk menuju kesana harus melewati ruang BEM, tempat biasa Andi berkumpul. Aku harap aku tidak berjumpa dengannya. Sepertinya aman, mungkin Andi sedang berada di kelas atau mungkin saja hari ini nggak ada j
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 15"Halo istrinya aki-aki yang baru dikeluarkan dari kampus , gimana rasanya udah nggak boleh kuliah lagi?" Mbak Susi menemuiku di kelas saat aku sedang membereskan buku untuk dibawa pulang. Aku tetap bergeming tak menghiraukannya. Bahkan aku tinggalkan dia saat dia masih terus mengoceh."Dasar bude* ditanya malah diam saja! Memang kamu klop banget sama aki-aki!" Teriaknya saat aku melenggang pergi.***"Seva dikeluarin dari kampus Pak, Bu …" ucapku saat Bapak dan Ibu bertanya kenapa aku pulang lebih gasik dari biasanya. "Dinda tenang aja, Kanda yang akan mengurusnya. Oh iya, sore nanti kita pindah dulu ya, rumah ini akan direnovasi mulai besok." Suamiku malah bilang agar aku tenang. Hancur sudah impianku!"Kita pindah kemana?" tanya Seno."Ke salah satu rumahku, sekalian liburan juga." "Sekolah Seno gimana?""Nanti akan diantar jemput sopir, tenanglah jarak rumahnya juga nggak terlalu jauh."Jadilah sore itu kami semua pindah, ternyata rumahnya di kawasan p
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 16Aaaaaw, aduh! Tolooooong!" Jeritan minta tolong kini terdengar, ada apa dengan suamiku? Apa dia kalah melawan? Atau jangan-jangan dia tergelincir masuk jurang?Aku ragu.Lari meminta bantuan balik lagi atau sekarang saja aku berbalik? Kalau aku meminta bantuan itu terlalu lama.Hhhhhhhh, bagaimanapun juga dia suamiku, aku tak boleh egois. Aku berbalik kembali ke arah dimana tadi suamiku berada. Kok nggak ada? Dimana suamiku? Jangan-jangan beneran jatuh ke jurang? Atau digigit ular? Ah tidak mungkin rasanya kalau digigit ular yang rugi pasti ularnya. Bisa-bisa taring ular nyangkut di kulit suamiku saking alotnya. Ya Tuhan, selamatkan suamiku. Dia orang baik, dia sudah rela berkorban untukku. Tiba-tiba aku merasa sedih saat tidak menemukannya. Pikiran negatif sudah menghantuiku. "Kanda … jangan pergi … jangan mati dulu … hu hu hu." Tangisku sembari terus mencarinya. "Dinda janji, Dinda akan—""Akan apa Dinda?" Suara itu? Dimana suara itu? Apa hantu?"Ka
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 17"Va, sudah siang! Ayo bangun!" Terdengar suara panggilan dari Ibu. "Iya, Bu," jawabku parau. Masih saja rasa malas ini mendera. Kuambil ponsel di samping nakas tempat tidurku. Ya ampun sudah jam tujuh! Aku terlambat ke kampus! Ah, aku lupa, aku bukan lagi seorang mahasiswi sekarang. Kubuka aplikasi hijau yang baru berisi beberapa kontak saja.[ Kanda berangkat dulu, Dinda istirahat saja di rumah. Motor sudah di antar Agus, ada di garasi. Kalau Dinda mau keliling pakai motor saja. Ingat, hati-hati jangan ngebut! ] Pesan dari suamiku. Saking siangnya aku bangun, sampai tak sadar suamiku sudah bangun dan pergi.[Pindah nggak ngomong-ngomong!] Pesan kedua dari Riska. Riska mengirimkan foto rumah lama yang kosong hanya ada para pekerja yang sedang merenovasi.[ Woy ][ Bales ][ Va ][ Seva, masih hidup kan? ]Entah berapa pesan lagi yang Riska kirimkan. [ Hmmmmmm ] Balasku singkat.[ Alhamdulillah masih hidup, baru aja aku ganti baju warna hitam buat takziah
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 18"Jelas ada! Andi itu pindah gara-gara ditolak cintanya sama kamu. Ha ha ha" Riska justru tertawa setelahnya. "Woy! Bercanda kali! Dari info yang aku dapat, Andi pindah karena ngikutin orang tuanya, jadi mau nggak mau ya Andi pindah. Nah, kamu kan sebagai ibu tiri sekaligus neneknya Andi, masa kamu nggak tau?" Kugelengkan kepalaku karena memang aku benar-benar nggak tau. Berarti Mbak Tania sama suaminya juga ikut pindah donk."Nanti kamu tanyakan saja sama suamimu soal kebenarannya."Benar juga ucapan Riska, nanti aku coba tanyakan. "Makan yuk, laper nih," ajak Riska."Yok ah, aku juga laper. Makan bakso yang diujung jalan sana yuks," tawarku."Bayarin, ya" pinta Riska. Kuanggukan kepalaku tandanya setuju. Nggak ada salahnya aku membalas kebaikan Riska selama ini. Dulu Riska sering mentraktir aku makan jadi sekarang gantian aku yang mentraktirnya.Sesampainya di kedai bakso suasananya cukup ramai. Kuambil tempat duduk yang tersedia. Kupesan juga beberapa bu
"Ehm, Pak Agus kalau pulangnya naik taxi online nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa sih, Nona Bos, tapi mobilnya mau dibawa kemana?""Mau dibawa buat momong aki-aki," gurauku."Gimana Bos?" Pak Agus meminta persetujuan dari suamiku."Perintah istriku mutlak wajib dikabulkan," jawab suamiku. Pak Agus kemudian menyerahkan kunci mobil pada suamiku namun sebelum suamiku menerimanya aku sudah terlebih dahulu merebutnya."Aku yang nyetir," ucapku sambil berlalu menaiki mobil."Jangan lupa pasang safety belt ya Kek," candaku saat suamiku duduk di kursi penumpang sebelahku."Mohon maaf Cu, Kakek lupa cara pasangnya." Lah malah suamiku balik ledek."Oke, kita berangkat. Sesuai aplikasi ya," ucapku menirukan driver taxi online. Kemudian aku pacu mobil sedan Mercedes Benz keluaran terbaru berwarna hitam dengan kecepatan sedang."Kita mau kemana, Sayang?" tanya suamiku."Gimana kalau nonton bioskop?" usulku."Boleh, bentar Kanda booking dulu.""Eh, jangan donk, jangan main asal booking. Kita biasa a
Aku cukup kaget mendengar perintah suamiku, dan Seno pun terlihat langsung menunduk."Darimana kamu belajar nyetir?" tanya suamiku."Dari Bapak," jawab Seno lirih."Maaf Mas Mantu, Seno sebenarnya sudah ada satu tahun belajar nyetir, kadang dia yang antar pesanan ketring, tapi tetap dalam pengawasan bapak. Hanya saja, setelah bapak meninggal, Seno bawa sendiri. Kalau keberatan nanti biar mobilnya ditinggal disini," imbuh Ibu."Apa Kanda marah sama Seno?" tanyaku pada suamiku."Siapa yang marah?""Itu tadi minta mobil di tinggal disini.""Memangnya nggak boleh kalau ditinggal disini?" "Satu minggu lagi kan Seno tujuh belas tahun, bisa buat SIM sama KTP kenapa harus ditinggal disini mobilnya? Kalau ditinggal disini Ibu gimana anter pesanan ketring?" "Dinda jangan marah-marah dulu, belum selesai ngomong udah di protes." "Terus?""Itu mobil yang dibawa Seno udah ketinggalan model, masa anak muda kaya Seno bawa mobil kaya gitu, niatnya mau dibelikan yang baru …," jelas suamiku. "Tapi ka
Perhatian kini tertuju pada perempuan itu, ah iya aku ingat namanya Mayang.Mbak Nisa berbalik, karena perempuan itu datang dari arah belakang Mbak Nisa."Enak banget kamu mau melamar dia?!" pekik Mayang.Ivan yang tadinya berlutut kemudian berdiri menghampiri Mayang."Apa ada yang salah, Mayang?" tanya Ivan."Tentu saja ada!" jawab Mayang dengan nada tinggi. "Kalau kamu melamar dia, apa arti kedekatan kita selama ini?" "Kedekatan? Apa maksudmu? Bukankah dari awal aku sudah memberitahu tentang rencana ini?" tanya Ivan."Kalian selesaikan dulu masalahnya, aku pergi dulu," ucap Mbak Nisa."Tunggu, Nisa!" cegah Ivan."Ada apa lagi? Sudah jelas kan kalau dia berharap lebih pada kamu?""Tapi aku tidak ada maksud apa-apa sama Mayang, aku hanya mencintaimu Nisa ….""Aku juga," jawab Mbak Nisa lirih. "Tapi aku tidak mau ada orang lain yang sakit hati dengan hubungan kita.""Katakan sekali lagi Nisa, apa kamu mencintai Ivan?" tanya Mayang."Maaf, kalau aku salah. Aku memang masih sangat menci
Setelah dilakukan cek darah, dia terkena tipes dan itu sudah lumayan parah," jelas Dokter. "Dia harus rawat inap di rumah sakit," imbuh Dokter."Lakukan yang terbaik untuk putri saya Dok," ucap Ayah Riska."Rawat dia di ruang VVIP, akan aku booking satu lantai untuk dia," ujar suamiku."Tuh, Ris, ucapan adalah doa. Kamu kan dulu pengen booking satu lantai sekarang kesampaian." "Ya kali harus sakit dulu kaya gini," elak Riska. "Ehm, aku cancel deh buat booking satu lantai, mending pulang aja. Boleh nggak, Dok?" pinta Riska."Nggak bisa. Apa kamu mau sakitmu tambah parah?" Riska akhirnya pasrah harus opname di rumah sakit. "Terimakasih Pak Bambang, sudah sangat peduli dengan anak kami," ucap Ayah Riska saat aku dan suamiku hendak pulang."Tidak apa-apa. Riska adalah sahabat baik istriku, dia sudah saya anggap sebagai—""Stop Pak Bambang!" sergah Riska. "Jangan anggap aku sebagai istrimu!" Mendengar ucapan Riska, Ibu Riska langsung memukul kaki Riska."Astaga! ini bocah kalau ngomong
"Maaf Va, tapi benar-benar perutku mual," ucap Riska."Nggak apa-apa." Aku mendorong kursiku kemudian mendekati Riska. Aku pijat tengkuk lehernya, agar dia merasa lebih baik. "Jangan-jangan dia hamil," ucap seseorang yang duduk di meja sebelahku."Apa maksudmu mengatakan hal itu?" tanyaku padanya."Ya nggak apa-apa. Sekarang lihat deh, dia muntah-muntah di pagi hari, bukankah pas sama ciri-ciri orang hamil?""Kalau ngomong disaring dulu mulutnya! Nggak tau apa-apa udah ngomong hamil!""Loh, kok kamu nggak terima?!""Kirim aja nggak gimana aku mau terima? Dasar aneh, kenal juga nggak udah main tuduh!" Ingin aku menyiram muka perempuan itu dengan teh yang ada diatas meja, tapi tanganku malah ditarik oleh Riska."Va … aku pulang aja ya," ucap Riska."Aku anterin ya," usulku pada Riska."Nggak usah, aku naik taksi online aja, kamu kan ada kelas pagi," tolak Riska."Udah, nggak usah dipikirin," jawabku.Aku kemudian membantu Riska untuk berdiri dan memapahnya."Maaf Va, ngrepotin kamu," u
"Va, kamu selalu bawa kan?" tanya Riska. Entah apa maksudnya malah tanya seperti itu."Bawa apaan?" "Permen!" jawab Riska ketus. "Botol Va, botol."Auto mikir dengan ucapan Riska. Aku ingat-ingat tentang botol, yang terlintas di otak malah bayangan tampan suamiku. Aku geser kembali bayangan suamiku, yang keluar malah Song Joong Ki. Hih! Ni otak kenapa mendadak pintar!"Kelamaan mikir kamu, Va!" hardik Riska. Dua orang laki-laki itu sudah sangat dekat jaraknya dengan kami. "Om-om! Lihat deh, ke atas," ucap Riska."Ada apa di atas?" tanya salah satu laki-laki itu."Itu ada cicak bawa koper, kayaknya keberatan deh. Bantuin dulu gih Om," jawab Riska membuatku tepuk jidat. Bisa-bisanya dia bercanda disaat seperti ini."Ngledek kamu, hah?!" bentak laki-laki itu."Siapa yang ngeledek?" elak Riska. "Kalau yang ini beneran deh, tuh lihat dipojokkan," tunjuk Riska pada benda kecil yang terpasang di langit-langit pojok lift. "Kasih lihat giginya dulu, Om!" perintah Riska. Yang lebih mencengang
"Mbak … Mbak Nisa kenapa?" Aku beranikan diri untuk bertanya pada Mbak Nisa karena semakin lama air mata Mbak Nisa semakin banyak mengalir di pipi."Mbak Nisa nangis pengin balon? Atau mau kue ulang tahun? Nanti Riska ambilkan, tapi jangan nangis ya …" hibur Riska."Kenapa rasanya sakit kaya gini? Seharusnya aku biasa saja. Aku sudah menolaknya, tapi aku sakit melihatnya dengan perempuan lain," ucap Mbak Nisa terisak."Apa itu karena Ivan Mbak?" tanyaku pada Mbak Nisa. "Kenapa Mbak Nisa menolak lamaran Ivan kalau Mbak Nisa cinta sama dia?""A—aku takut dia kecewa Va. Kamu kan tau aku nggak bisa kasih dia keturunan dulu juga ibunya menentang hubungan kami karena hal itu.""Waktu mau melamar Mbak Nisa kan ibunya sudah merestui Mbak, kenapa Mbak Nisa tetap menolaknya?""Aku takut Va, takut jika suatu saat ibunya kembali mengungkitnya.""Mbak Nisa sekarang masih cinta sama Ivan?""Dari dulu aku nggak pernah mencintai laki-laki lain selain dia, bahkan setelah aku meninggalkannya ke Austral
Malamnya kami sudah sampai di tempat Ibu. Mbak Nisa malah sudah sampai terlebih dahulu karena Mbak Nisa dari kantor langsung ke tempat Ibu. Kue yang aku pesan juga sudah sekalian dibawa sama Mbak Nisa.Di ruang tamu para tamu datang berkumpul untuk mengirimkan doa untuk Bapak."Va, kuenya enak," ucap Riska saat baca doa telah selesai."Hmmmm, makan terus kamu kerjanya! Bukannya ikut kirim doa!" sungutku pada Riska."Aku kan lagi halangan, Va," jawabnya dengan mulut penuh makanan. "Halah! Alasan aja kamu!" timpal Mbak Nisa. "Aku perhatiin kok dari tadi kamu sibuk sama kacang di depan kamu. Tuh lihat kulitnya aja paling banyak di depan kamu." "Lah kan biar pas, nanti kalau kulitnya di buang jadinya kacang yang lupa sama kulitnya," elak Riska.Pukul sembilan malam akhirnya acara telah selesai, semua tamu sudah kembali ke rumah masing-masing. Kami memutuskan untuk menginap di rumah Ibu."Ris, kamu masih ngunyah?" tanya Mbak Nisa saat Riska masih menikmati bola-bola coklat yang ada di de
Bi Asih kemudian mematikan sambungan teleponnya dan berbalik."Nyo—nya," ucap Bi Asih gelagapan. Mukanya menunduk tak berani menatapku."Iya ini saya. Kaget?!" "Ti—tidak Nyonya, saya kira Nyonya masih di kamar sebelah," jawab Bi Asih melawan rasa gugupnya."Sudah dari tadi saya disini. Mana ponselmu?" Bi Asih kemudian merogoh saku bajunya dan menyerahkan ponsel kepadaku, yang diserahkannya justru ponselku padahal sudah jelas yang aku minta adalah ponsel Bi Asih. Aku terima saja ponselku dan aku masukkan kantong bajuku."Ponsel Bi Asih mana?" tanyaku."Bu—bu—buat apa Nyonya?" "Nggak usah banyak tanya! Saya sudah tau semuanya! Cepat berikan ponsel kamu!" teriaku.Bi Asih kaget dengan suara nada tinggi yang aku keluarkan. Tangannya langsung bertindak cepat merogoh saku kemudian menyerahkan ponsel miliknya padaku."Ada apa Dinda?" tanya suamiku yang baru saja terbangun. Mungkin dia kaget dengan suara kerasku."Maaf Kanda, sudah membuat Kanda kaget sampai terbangun," jawabku pada suamik