KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 71"Sepertinya jarumnya terlepas.""Sebentar Kanda panggilkan perawat." Suamiku lantas memanggil perawat melalui alat yang terpasang di samping ranjang.Tak lama berselang perawat datang bersama dengan dokter kemudian memeriksa keadaanku."Ini infusnya dilepas saja nggak apa-apa, kondisi Bu Seva juga sudah membaik," ucap Dokter."Berarti sudah boleh pulang?" tanyaku pada Dokter."Besok pagi USG ya, kalau semuanya baik nanti boleh pulang. Suster, nanti dilepas saja infusnya ya.""Iya, Dok," jawab perawat itu. Perawat yang sama yang tadi datang disaat moment yang kurang tepat."Baiklah Bu Seva, saya permisi dulu." "Iya Dok, terimakasih."Perawat mulai mengambil infus yang terpasang di tiang kemudian menurunkannya. Plester di tanganku juga mulai di lepas, yang jadi persoalan kenapa perawat itu senyum-senyum sendiri. Terkadang dia mencuri pandang kepadaku lalu ke suamiku. Wajahnya juga memerah dan selalu menunduk."Sudah selesai Bu, saya permisi." Perawat itu ke
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 72"Mbak Nisa yang terlihat berjalan dengan seorang laki-laki yang wajahnya tak asing buatku. Mereka terlihat akrab dan saling bercanda. Reflek aku menggenggam erat tangan suamiku.Laki-laki yang dulu pernah menjadi guru homeschooling ku, laki-laki yang pernah mengutarakan perasaan sukanya padaku dan laki-laki itu pula yang telah menghina suamiku. Ya dia adalah Pak Bagas!Ada hubungan apa Mbak Nisa dengan Pak Bagas?"Kanda …." Lirih aku memanggil suamiku agar dia tau apa yang aku pikirkan. "Ya, Sayang," jawab suamiku sambil tersenyum. Apa suamiku nggak ingat dengan laki-laki yang bersama Mbak Nisa ya?Mbak Nisa dan Pak Bagas kini semakin mendekat, aku yang takut mundur berlindung di belakang badan suamiku."Selamat siang Om, siang Seva" sapa Pak Bagas. Aku tak membalasnya justru aku menundukkan wajahku. Malas rasanya melihat Pak Bagas. "Sepertinya Seva masih takut sama aku."Aku mendongakkan wajahku setelah mendengar ucapan Pak Bagas. "Kamu harus tanggung ja
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 73Aku tepuk jidat sampai lupa kalau belum tau jenis kelamin anakku. Aku kembalikan baju bayi itu pada tempatnya, kemudian aku pilih model baju dan warna yang netral."Kalau nanti anak kita lahir dan sudah tau jenis kelaminnya kita beli baju lagi ya … atau baju yang tadi Dinda pengin, beli saja nggak apa-apa, barangkali nanti anak kita perempuan." "Nggak apa-apa Kanda, kita pilih baju yang lain saja ya," jawabku sambil tersenyum.Setelah puas belanja kami melanjutkan dengan makan di restoran di mall. Kami semua berkumpul bersama.Terlihat mereka sudah menenteng barang belanja mereka.Suamiku memanggil pelayan restoran untuk meminta meja digabung menjadi satu agar kita semua bisa makan bersama tanpa terpisah."Dinda duduk disini ya" Suamiku menyeret kursi dan membantuku untuk duduk. "Ratih, kamu tidak lupa membawanya kan?" tanya suamiku pada Bi Ratih."Tidak Tuan, apa mau saya buatkan sekarang?""Tidak usah, biar saya yang membuatnya." Bi Ratih kemudian meny
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 74"Nggak perlu Kanda, mungkin ini efek terlalu lelah tadi siang.""Pokoknya Dinda harus periksa ke dokter!""Kanda, ini itu biasa pada orang hamil, tadi aku udah tanya sama Ibu. Ke dokternya besok aja ya kalau masih bengkak. Aku sudah sangat capek mau istirahat." Maaf Kanda aku berbohong, sebenarnya aku tidak menghubungi ibuku, suamiku saja yang terlalu khawatir."Ya sudah, Dinda berbaring ya, biar Kanda lanjut lagi pijit kakinya." Ah, daripada ribet menolak mending aku turuti saja, toh suamiku yang mau. Kutepuk-tepuk bantal empukku, kubaca doa, tak lupa kuelus perut buncitku seraya berkata pada anak-anak dalam perutku agar jangan main bola dulu di dalam perut biar aku bisa tidur nyenyak."Selamat malam Kanda sayang" Tak lupa kuberikan senyum termanis pakai gula alami biar suamiku tak kena diabetes jika aku pakai gula buatan.***"Dinda, ayo bangun! Ini sudah subuh." Suara dari suamiku terdengar samar di telingaku."Ini jam berapa, Kanda?" tanyaku dengan sua
"Kenapa Nyonya?" tanya Bi Ratih yang masih belum sadar tentang keadaanku."I—itu Bi," ucapku tersekat. Aku menunjukkan air yang berada di bawah tubuhku."Loh, Nyonya ngompol?" "Bukan Bi, kalau ngompol saya bisa kendalikan, ini nggak bisa. Airnya keluar begitu saja." Aku yang masih belum paham menjelaskannya pada Bi Ratih."Bukan ngompol berarti—""Huaaaaaaaa, Nyonya pecah ketuban!" Bi Ratih justru berteriak histeris dan mondar mandir di depanku. "Bibi! Jangan disini aja, cepat panggil Tuan!" Aku sebenarnya panik tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Bi Ratih akhirnya ke luar kamarku dengan berlari, baju yang tadi sedianya akan dibawa keluar malah dilempar ke sembarang tempat.Tak berselang lama, semua penghuni rumah masuk ke kamar. Aku masih berdiri mematung tak berani bergerak walaupun hanya satu langkah. Aku takut kalau bergerak air yang keluar akan tambah banyak."Dinda …." Suamiku terlihat panik dan memegang lenganku. "Kata Bi Ratih air ketubanku pecah," ucapku sambil melihat k
"Kanda,apa yang terjadi?" Aku yang masih dalam proses operasi tidak bisa melihat apapun hanya suara yang terdengar jelas."Tidak apa-apa Sayang, Dokter pasti melakukan yang terbaik. Dinda yakin kan kalau anak kita kuat?"Tak ada jawaban yang keluar dari bibir ini. Hanya air mata yang terus membasahi pipi, begitu juga dengan suamiku.Nak, kuat ya Nak … bertahanlah, jangan menyerah. Ada kami yang menantimu. "Kanda, apa Kanda tidak mau tau kenapa anak kita tidak menangis? Apa Kanda tidak khawatir dengan anak kita? Apa Kanda—" "Sssst, Kanda hanya yakin anak kita kuat anak kita pasti sehat. Yakin itu!" Dihapusnya air mata di pipiku. Aku yang dalam posisi terlentang dengan peralatan yang menempel di kedua tanganku tak mampu berbuat apapun.Oeeee oeeee"Alhamdulillah."Terdengar kalimat syukur di ruang operasi. Ada secercah harapan yang membuncah saat mendengarkan kalimat itu. Apa itu artinya anakku selamat? "Bu Seva, Alhamdulillah, bayi ibu yang satu selamat." Diletakkannya bayiku di ata
"Va, kok bayinya belum dibawa kesini?" tanya Ibu saat menjelang maghrib bayinya belum juga diantar."Tadi kata perawat masih di inkubator, Bu. Bukannya tadi Ibu sama yang lain ke ruangan bayi ya?" "Apaan orang nggak boleh masuk, ya belum ketemu lah!" Mbak Nisa mencebik, kesal keinginannya bertemu dengan anak-anakku belum terlaksana."Jangankan Mbak Nisa, aku aja baru ketemu sebentar Mbak, rasanya nggak sabar pengen ketemu, tapi mau gimana lagi, kata dokter bayiku lahir prematur jadi butuh waktu di inkubator." "Oh, iya Va, dari tadi aku mau tanya tapi lupa, anak kembar kamu jenis kelaminnya apa?" tanya Riska penasaran."Laki-laki dan perempuan," jawabku singkat."Beneran?" tanya Mbak Nisa tak percaya. Aku menganggukkan kepalaku."Alhamdulillah, langsung sepasang. Pak, kita langsung punya cucu sepasang Pak," ucap Ibu sambil menggenggam tangan Bapak."Va, udah punya nama buat anak kamu belum?" tanya Riska. "Belum. Mungkin Kanda sudah punya?" Aku beralih tanya pada suamiku yang sedang
Wanita itu berjalan menjauh, semakin jauh sampai kulihat dia berpapasan dengan Mbak Nisa.Tampak Mbak Nisa berpelukan dengan wanita bernama Andini. "Yah, kenapa Tante Andini ada disini?" tanya Mbak Nisa setelah berhasil menyusul kami."Nggak tau, Ayah baru saja bertemu.""Kanda, siapa dia?" "Bukan siapa-siapa, Sayang," jawab suamiku. "Kalau bukan siapa-siapa kenapa tadi menampar Kanda?" "Wah, benarkah seorang Bambang Hendromoyo ada yang berani menamparnya?" tanya Mbak Nisa yang berjalan di belakang kursi rodaku."Iya, Mbak Nisa lihat saja pipinya pasti masih ada bekas telapak tangan wanita cantik itu." Aku bilang dia cantik karena memang dia sangat cantik walaupun usianya sudah tak lagi muda tapi aku lihat masih terlihat jelas gurat kecantikannya."Cantik? Usianya sudah lebih dari setengah abad Va," ucap Mbak Nisa."Dengarkan aku Tuan Putri Seva, jangan pikirkan wanita itu. Dia hanya terobsesi dengan Kanda." Suamiku sudah berjongkok di depan kursi rodaku dan meletakkan kedua tanga