5. Lompat Tali, Nih?
Aku belum selesai untuk memaki Akmal dan Julian padahal. Bahkan, ketika aku akan buka suara, suara Bang Ravi jauh lebih dulu menyapa dan menghancurkan semua rencana manisku. Sungguh menyebalkan sekali rasanya. Dengan begitu santai dia melemparkan handuk kecil yang sudah basah ke arahku. Untung saja aku mahir menangkap benda dengan cepat, kalau tidak, mungkin wajah tampanku akan ternodai dengan keringat busuk yang menempel di kulitku yang cerah.
Sini aku beritahu kalian tentang Bang Ravi, yang begitu luar biasa pesonanya tidak main-main. Kalau kalian pikir aku akan marah, itu sudah pasti! Aku akan marah padanya, tapi bukan di sini. Saat ini aku hanya perlu membuatnya jengkel, lagi pula salahnya sendiri yang megibarkan bendera perang padaku. Kalau aku bukan anak Papa, mungkin aku sudah dihajar olehnya saat ini. Tapi keberuntungan masih memihak padaku. Karena aku terlahir sebagai keturuan Papa, Abang mana mungkin berani menganiaya anak semanis dan setampan diriku. Belum lagi, aku adalah anak kesayangan Bubun yang cantik jelita.
Sebentar aku katakan satu lagi, kali ini aku serius, setelah Bang Ravi duduk diantara Akmal dan Julian, aku melihat ada yang berbeda dari cara Bang Ravi berjalan, kakinya sedikit membiru, aku pun melangkah maju untuk memastikan kalau penglihatanku masih waras. Aku sedikit berjongkok, menunduk sambil memperhatikan pergelangan kaki Abangku yang memang sedikit bengkak. Aku tidak tinggal diam, aku mencoba memeriksanya, padahal sudah sangat hati-hati tapi tetap saja, Bang Ravi malah menarik rambutku begitu keras, kan, sakit!
"Ini bengkak! Lo nggak waras? Kalau Bubun liat, yang ada Bubun bisa nangis tiga hari, tiga malem, ini kenapa bisa bengkak?" tanyaku tak tahu malu. Aku tidak peduli akan menjadi pusat perhatian semua orang atau tidak, aku memang kesal, sangat kesal. Bahkan Bang Ravi saja terkejut saat aku menaikan suaraku sedikit lebih keras padanya. Aku sudah kembali berdiri, tapi pandanganku masih tetap sama, menatap wajah Bang Ravi yang kini membalas tatapanku.
"Jawab! Kalau Lo nggak jawab, terpaksa DVD player keluaran terbaru dari Om Tio jadi hak milik Kalandra!"
Aku bisa melihat raut kesal yang Bang Ravi perlihatkan padaku. Sejujurnya itu sangat membuatku tak tega. Aku yakin sekali, di balik tatapan tajamnya tersimpan banyak beban yang sampai detik ini belum aku ketahui.
Aku juga bisa merasakan bagaiman bang Ravi mengambil napas panjang sebelum ia mulai buka suara.
"Cuma terkilir, besok juga sembuh."
Apa dia bilang? 'cuma terkilir?' mati saja hati ini. Bukan perkara mudah kalau kata 'cuma' sudah terlontar dari mulut manis seorang Ravindra.Aku heran mengapa dia begitu menyeramkan, padahal Papa saja masih ada manis-manisnya.
Tapi aku juga tidak tega kalau sudah menyangkut kesehatan. Terlebih, bukan hanya sekali ini, melihat Bang Ravi cidera, sebelumnya juga pernah, bahkan lebih parah sampai tidak diperbolehkan pergi ke manapun.
Namun, kali ini situasinya berbeda. Abangku terpilih menjadi salah satu peserta pertandingan yang akan di adakan kurang lebih dua bulan lagi. Itulah mengapa bang Ravi begitu telaten berlatih. Kalau kalian tanya aku, aku akan menjawabnya dengan amat baik. Usiaku masih muda, masih rentan untuk ikut kelas berat.
Omong-omong soal Julian dan Akmal, mereka sudah lanjut berlatih, setelah melihatku dan Bang Ravi mulai bercakap. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan pada Papa kalau beliau melihat putra tertuanya terluka, apalagi kalau Bubun yang lihat, seperti yang sudah kukatakan di awal, orang tuaku sangat sensitif kalau melihat atau mendengar masalah tentang putra-putri mereka
Entahlah, mungkin setelah kami pulang nanti, rumah akan ramai karena Abangku.
***
Malam ini Bubun masak makanan favorit keluarga kami, tentu saja aku sebagai putra yang baik akan membantu. Sebelum kami benar-benar menikmati makan malam yang terlihat lezat, Papa lebih dulu menyela. Padahal, saat itu Papa tahu kalau aku sedang ngobrol sama Bubun. Aku kesal, memang. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.
"Ravi mana?"
Aku sudah katakan, kan? Papa akan bertanya ke mana Abangku, padahal tadi saat baru sampai di rumah, Papa yang membuka pintu, dan sekarang Papa yang kebingungan, aku heran sebenarnya Papa keturunan siapa?
"Di kamar kayaknya, Andra nggak tau," jawabku. Papa mengangguk, setelahnya Papa memilih duduk di kursi meja makan.
"Mas, Adena nggak telepon kamu?" tanya Bubun tiba-tiba. Suara lembut Bubun selalu bisa mengalihkan suasana yang sedang menegang. Padahal Bubun lagi repot menyiapkan makan malam, aku ikut serta untuk membantu menyajikannya di atas meja makan.
"Nggak, kenapa? Kamu kangen anak gadis-mu?"
Papa emang nggak peka, makanya Bubun suka sebel. Jelas-jelas kalau Bubun nanya, pasti Bubun lagi kangen sama Kak Adena. Aku heran kenapa sifat dingin Papa malah menurun ke Bang Ravi, nyeremin!
"Nggak juga, katanya dia mau pulang akhir pekan, kalau jadi, aku mau buat cake kesukaannya. Lagian, udah lama juga nggak makan disert yang manis-manis," ucap Bubun.
Entah telingaku yang salah atau memang Papa mengatakan kalau Bubun sangat manis jika sudah tersenyum. Terlebih saat ini Bubun hanya mengenakan daster bercorak bunga mawar.
"Cie Papa puji-puji Bubun cantik, ngomongnya yang keras dong, masa bisik-bisik," kataku sedikit berteriak. Tujuannya agar Bubun bisa mendengar dan tersipu malu. Aku memang baik hati, kalau kalian lupa, aku ingatkan.
Omong-omong permasalahan Abang saat di tempat latihan, tadi kita kami dalam perjalanan Abang sempat berkata padaku. Aku tidak tahu apa yang akan Abang lakukan ketika tahu aku lolos seleksi. Rasanya seperti sedang bermain lompat tali, ingin mundur tapi sudah terlambat.
Posisiku benar-benar bimbang saat ini. Percuma saja untuk mengatakannya terus terang, karena Papa dan masih menjadi alasan terbesarku. Aku tidak ingin jatuh untuk yang kedua kalinya, hanya karena kecerobohan yang sama.
Terlalu sakit untuk diingat, terlalu perih untuk dirasakan. Itulah sebabnya aku memilih menjalani hidup yang biasa saja. Bukan karena aku tak mampu, hanya saja, aku belum siap untuk melukai kedua orang tuaku.
"Dek, Abang ke mana?"
"Bun, aku udah gede, masa mau dipanggil Adek terus, Andra aja, sih Bun?"
Aku benar-benar tidak suka kalau Bubun memanggilku dengan sebutan 'Dek' padahal aku sudah sering protes, namanya juga wanita, selalu maha benar.
Bubun hanya terkekeh, kemudian mencari posisi ternyaman ya untuk duduk, yaitu di sebelahku. Tentu saja, kalau ada aku pasti ada Bubun. Wanita paling cantik pertama sebelum Kak Adena hadir ke dunia. Bagaimana tidak? Bayangkan saja, kalau kalian setiap hari melihat wajah semungil Bubun, apalagi kalau Bubun sudah tersenyum. Papa saja bisa tersipu malu, apalagi aku yang selalu menempel jika Papa sedang ada tugas diluar kota.
"Kenapa Bun?"
Nah, kalau Bubun yang bertanya, Abang pasti akan muncul, heran juga sebenarnya, tapi aku tidak bisa mengatakan apapun, kecuali panggilan Bubun seperti mantra.
"Besok siap-siap, pelatih minta Lo datang ke gedung," bisik Abang sebelum duduk. Setelahnya Abang pun memilih duduk di kursi yang bersebrangan dengan aku dan Bubun.
Aku hanya diam, meski rasanya masih sangat mendadak buatku.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah makan malam, karena aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar aku bisa bangun di pagi hari, karena ada matakuliah penting yang tidak boleh terlambat.Namun, seingatku semalam, aku mendengar Papa membentak Abang sampai Bubun tersentak, padahal Bubun ada di sana. Aku mendengar Papa mengatakan ketidak sukaannya atas keputusan Abang.Entah apa yang dibahas semalam, pagi ini, tatap dingin Papa benar-benar menakutkan. Belum lagi, ketika aku datang Papa justru memalingkan wajahnya, berlalu meninggalkan meja makan dengan alasan takut terlambat.Aku yakin kalau semalam Abang dan Papa berdebat lagi, setelah hampir dua bulan terakhir aku tidak mendengar mereka berdebat.Papa dan Abang memiliki kadar kegengsian jauh lebih tinggi dari aku dan Kak Adena. Entah bagaimana bisa, kadar itu menurut seratus persen pada Bang Ravi, karena setahuku, Bang Ravi kalau sudah meminta satu hal, pasti akan sulit
loved you, I loved you, I loved youBut that was thenBut that was then"Maria bukan Meri, jangan salah ya, kamu yang mulai bukan aku Kala.""Lo yang bodoh, lo nyalahin semuanya ke Gue? Gila lo ya!""Hei, gurun pasir yang tandus juga tahu, kalau kamu emang bersalah, gak usah bela diri gitu.""Hah?! Cewek kayak LO ITU CUMA SAMPAH! BUAT APA DI PERTAHANIN?". . .Hai, selamat datang di dalam jamuan makan malam hari ini, sepenggal yang kalian baca di atas adalah rumah di mana nanti akan aku sampaikan sedikit. Tidak, aku orang yang baik hati kok. Bahkan kita belum kenalan. Bagaimana jika kita berkenalan terlebih dulu? Baiklah, mari berkenalan sebentar, kalau begitu.Kalandra? Ya. Orang memanggilku dengan nama itu. Nama yang begitu sempurna yang orang tuaku berikan ketika aku baru saja lahir ke muka bumi. Aku Kalandra Rezvan Akbar Putra terlalu panja
Kalian tahu apa yang indah dari sebuah kunci? Bukan karena bentuknya, tapi ada sebuah rahasia yang sulit kalian temukan di dalamnya. Katanya, kalau kunci itu memiliki makna tersembunyi, kalian sudah tahu itu? Aku rasa kalian belum tahu. Tentu, karena di sini aku yang akan mengajaknya untuk menyelam ke rumahku. Rumah di mana tempat semua orang kembali, tempat semua orang berlindung, dan tempat semua orang melepas lelah di saat semua tak lagi ada.Katanya kita memiliki banyak jalan sebelum memilih jalan yang tepat untuk tempat yang tepat. Kamu akan melakukan apa yang kamu mau untuk memilih jalan itu. Sama seperti aku, ketika aku memilih seni bela diri Taekwondo sebagai rumah untukku bertahan, berlindung, dan kembali pada kenyataan untuk tidak berhenti sebelum meraih. Mencoba untuk tidak menyerah meski lawannya berat.Aku tidak akan sendirian untuk melakukan apa yang aku mau hanya karena aku seorang yang bertindak sesuka hati, katanya seperti
Mungkin kalian akan mengatakan kalau aku adalah orang yang menyebalkan. Kalian tidak salah, aku memang menyebalkan, itu tuding yang selalu dilontarkan oleh Bang Ravi, laki-laki tertua kedua setelah Papa. Kalian tidak perlu mengatakan kalau aku hanya seorang anak bungsu yang suka menghamburkan uang. Aku hanya ingin menjelaskan pada kalian sedikit tentang bagaimana hidup sederhana meski aku terlahir dalam keluarga berada. Banyak hal yang aku lakukan untuk merencanakan semuanya. Aku ingin ini dan itu, tapi sekali lagi, ada sebuah batasan yang tidak seharusnya aku lakukan, termasuk beberapa larangan yang dulu pernah membuat keluargaku cemas, terlebih pada Bubun yang begitu murung saat melihatku berbaring di rumah sakit. Itu dulu... saat ini aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku memang sempat mengalami cidera cukup serius untuk memulihkannya juga butuh waktu yang lama. Cukup lama, sa
Titik di mana aku harus berakhir dengan segala rasa sakit adalah saat aku pernah tergeletak dengan darah yang mengalir bebas keluar dari hidungku. Semua anggota keluargaku ada di sana, seharusnya untuk melihat bagaimana penampilanku, tapi itu sebaliknya. Saat itu aku dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras ada keretakan pada tulang bagian belakangku. Mungkin itu terlihat kecil, tapi percayalah, selama dua bulan lamanya aku duduk di kursi roda hanya untuk pemulihan.Tubuhku terasa begitu kaku, tapi aku tidak bisa menolak dan harus lebih banyak beristirahat. Sejak kejadian yang pernah menimpaku kala itu, Bubun dan Papa melarang keras agar aku tidak ikut dalam pertandingan apapun. Bukankah aku pernah katakan kalau kalian lupa, aku akan mengingatkannya sampai kalian ingat semuanya tentangku, tentang keras kepalaku yang terkadang sulit untuk dikendalikan.Aku tidak akan banyak membahas tentang apa itu seni Taekwon
"Lakukan sekali lagi!""Itu belum benar, lakukan lagi!"Hei, aku sudah katakan setelah ini tubuhku pasti akan pegal-pegal. Tapi pelatih masih saja memintaku untuk melakukannya berulang kali.Jika saja bukan karena seleksi, mungkin aku akan pulang lebih awal, setelah kejadian di kampus membuat kepalaku benar-benar pusing. Belum lagi aku sempat bertemu dengan Erika , mantan pacar yang cantik tapi sayang, jiwanya lemah.Kalian akan menganggap aku lelaki tak tahu diri, dan aku tak peduli akan hal itu. Jika saja dia bisa mengambil keputusan yang tepat, mungkin hari ini yang duduk bersamaku bukan Akmal. Tapi, kenyataannya, Akmal yang memang selalu bisa kuandalkan. Akmal seperti orang suruhan Papa, kapanpun dan di manapun dia selalu ada meski sesekali aku ingin sendiri, tetap saja Akmal akan ada di sana bersamaku.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah makan malam, karena aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar aku bisa bangun di pagi hari, karena ada matakuliah penting yang tidak boleh terlambat.Namun, seingatku semalam, aku mendengar Papa membentak Abang sampai Bubun tersentak, padahal Bubun ada di sana. Aku mendengar Papa mengatakan ketidak sukaannya atas keputusan Abang.Entah apa yang dibahas semalam, pagi ini, tatap dingin Papa benar-benar menakutkan. Belum lagi, ketika aku datang Papa justru memalingkan wajahnya, berlalu meninggalkan meja makan dengan alasan takut terlambat.Aku yakin kalau semalam Abang dan Papa berdebat lagi, setelah hampir dua bulan terakhir aku tidak mendengar mereka berdebat.Papa dan Abang memiliki kadar kegengsian jauh lebih tinggi dari aku dan Kak Adena. Entah bagaimana bisa, kadar itu menurut seratus persen pada Bang Ravi, karena setahuku, Bang Ravi kalau sudah meminta satu hal, pasti akan sulit
5. Lompat Tali, Nih?Aku belum selesai untuk memaki Akmal dan Julian padahal. Bahkan, ketika aku akan buka suara, suara Bang Ravi jauh lebih dulu menyapa dan menghancurkan semua rencana manisku. Sungguh menyebalkan sekali rasanya. Dengan begitu santai dia melemparkan handuk kecil yang sudah basah ke arahku. Untung saja aku mahir menangkap benda dengan cepat, kalau tidak, mungkin wajah tampanku akan ternodai dengan keringat busuk yang menempel di kulitku yang cerah.Sini aku beritahu kalian tentang Bang Ravi, yang begitu luar biasa pesonanya tidak main-main. Kalau kalian pikir aku akan marah, itu sudah pasti! Aku akan marah padanya, tapi bukan di sini. Saat ini aku hanya perlu membuatnya jengkel, lagi pula salahnya sendiri yang megibarkan bendera perang padaku. Kalau aku bukan anak Papa, mungkin aku sudah dihajar olehnya saat ini. Tapi keberuntungan masih memihak padaku. Karena aku terlahir sebagai keturuan Papa, Abang mana mungkin berani menganiaya anak sem
"Lakukan sekali lagi!""Itu belum benar, lakukan lagi!"Hei, aku sudah katakan setelah ini tubuhku pasti akan pegal-pegal. Tapi pelatih masih saja memintaku untuk melakukannya berulang kali.Jika saja bukan karena seleksi, mungkin aku akan pulang lebih awal, setelah kejadian di kampus membuat kepalaku benar-benar pusing. Belum lagi aku sempat bertemu dengan Erika , mantan pacar yang cantik tapi sayang, jiwanya lemah.Kalian akan menganggap aku lelaki tak tahu diri, dan aku tak peduli akan hal itu. Jika saja dia bisa mengambil keputusan yang tepat, mungkin hari ini yang duduk bersamaku bukan Akmal. Tapi, kenyataannya, Akmal yang memang selalu bisa kuandalkan. Akmal seperti orang suruhan Papa, kapanpun dan di manapun dia selalu ada meski sesekali aku ingin sendiri, tetap saja Akmal akan ada di sana bersamaku.
Titik di mana aku harus berakhir dengan segala rasa sakit adalah saat aku pernah tergeletak dengan darah yang mengalir bebas keluar dari hidungku. Semua anggota keluargaku ada di sana, seharusnya untuk melihat bagaimana penampilanku, tapi itu sebaliknya. Saat itu aku dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras ada keretakan pada tulang bagian belakangku. Mungkin itu terlihat kecil, tapi percayalah, selama dua bulan lamanya aku duduk di kursi roda hanya untuk pemulihan.Tubuhku terasa begitu kaku, tapi aku tidak bisa menolak dan harus lebih banyak beristirahat. Sejak kejadian yang pernah menimpaku kala itu, Bubun dan Papa melarang keras agar aku tidak ikut dalam pertandingan apapun. Bukankah aku pernah katakan kalau kalian lupa, aku akan mengingatkannya sampai kalian ingat semuanya tentangku, tentang keras kepalaku yang terkadang sulit untuk dikendalikan.Aku tidak akan banyak membahas tentang apa itu seni Taekwon
Mungkin kalian akan mengatakan kalau aku adalah orang yang menyebalkan. Kalian tidak salah, aku memang menyebalkan, itu tuding yang selalu dilontarkan oleh Bang Ravi, laki-laki tertua kedua setelah Papa. Kalian tidak perlu mengatakan kalau aku hanya seorang anak bungsu yang suka menghamburkan uang. Aku hanya ingin menjelaskan pada kalian sedikit tentang bagaimana hidup sederhana meski aku terlahir dalam keluarga berada. Banyak hal yang aku lakukan untuk merencanakan semuanya. Aku ingin ini dan itu, tapi sekali lagi, ada sebuah batasan yang tidak seharusnya aku lakukan, termasuk beberapa larangan yang dulu pernah membuat keluargaku cemas, terlebih pada Bubun yang begitu murung saat melihatku berbaring di rumah sakit. Itu dulu... saat ini aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku memang sempat mengalami cidera cukup serius untuk memulihkannya juga butuh waktu yang lama. Cukup lama, sa
Kalian tahu apa yang indah dari sebuah kunci? Bukan karena bentuknya, tapi ada sebuah rahasia yang sulit kalian temukan di dalamnya. Katanya, kalau kunci itu memiliki makna tersembunyi, kalian sudah tahu itu? Aku rasa kalian belum tahu. Tentu, karena di sini aku yang akan mengajaknya untuk menyelam ke rumahku. Rumah di mana tempat semua orang kembali, tempat semua orang berlindung, dan tempat semua orang melepas lelah di saat semua tak lagi ada.Katanya kita memiliki banyak jalan sebelum memilih jalan yang tepat untuk tempat yang tepat. Kamu akan melakukan apa yang kamu mau untuk memilih jalan itu. Sama seperti aku, ketika aku memilih seni bela diri Taekwondo sebagai rumah untukku bertahan, berlindung, dan kembali pada kenyataan untuk tidak berhenti sebelum meraih. Mencoba untuk tidak menyerah meski lawannya berat.Aku tidak akan sendirian untuk melakukan apa yang aku mau hanya karena aku seorang yang bertindak sesuka hati, katanya seperti
loved you, I loved you, I loved youBut that was thenBut that was then"Maria bukan Meri, jangan salah ya, kamu yang mulai bukan aku Kala.""Lo yang bodoh, lo nyalahin semuanya ke Gue? Gila lo ya!""Hei, gurun pasir yang tandus juga tahu, kalau kamu emang bersalah, gak usah bela diri gitu.""Hah?! Cewek kayak LO ITU CUMA SAMPAH! BUAT APA DI PERTAHANIN?". . .Hai, selamat datang di dalam jamuan makan malam hari ini, sepenggal yang kalian baca di atas adalah rumah di mana nanti akan aku sampaikan sedikit. Tidak, aku orang yang baik hati kok. Bahkan kita belum kenalan. Bagaimana jika kita berkenalan terlebih dulu? Baiklah, mari berkenalan sebentar, kalau begitu.Kalandra? Ya. Orang memanggilku dengan nama itu. Nama yang begitu sempurna yang orang tuaku berikan ketika aku baru saja lahir ke muka bumi. Aku Kalandra Rezvan Akbar Putra terlalu panja